teks

selamat datang di blog saya

Rabu, 24 November 2010

Bengawan Solo

Cerpen:Danarto

Badan saya masih meriang ketika polisi itu datang. Semalam, saya berkelahi melawan Pak Darkin memperebutkan Nining dan saya kena swing kepalan kirinya. Saya terjerembab tak sadarkan diri. Anak-anak mengangkat tubuh saya ke atas dipan. Ada yang sibuk mencarikan minuman panas. Ada yang mau memanggil dokter. Ada yang memijit. Malam itu, karena peristiwa itu, penghuni Rumah Kita jadi rame sekali. Rupanya ada yang lapor polisi tentang perkelahian itu. Polisi itu kembali ke pos ketika saya katakan bahwa kejadian semalam perkelahian biasa, tidak penting untuk dipersoalkan. Tapi, apa pun yang terjadi, kami, penghuni Rumah Kita dengan para pedagang di Pasar Kliwon, telah kehilangan Nining yang digelandang Pak Darkin secara paksa kembali ke rumahnya. Nining, gadis kecil hitam manis tujuh tahun, memang milik Pak Darkin, meski hanya sebagai ayah tirinya.
Nining sering ditempeleng ketika marah Pak Darkin kumat. Ibunya, yang selalu membela putri kandungnya itu, sering tubuhnya dilempar sampai membentur dinding. Untung dinding rumahnya dari anyaman bambu sehingga cukup lentur. Pada suatu malam, dengan tersengal-sengal Nining menghambur ke perkumpulan Rumah Kita untuk bersembunyi. Kami menyambutnya dengan sukacita. Di dalam gerombolan kami itulah, Nining merasa aman dan nyaman.
Di sepetak ruang yang merebut ruang milik pasar itulah, saya hidup. Sehari-harinya saya pura-pura berbenah dengan perabotan dari potongan-potongan sisa-sisa kayu yang berserakan di mana-mana. Saya ditemani kompor minyak tanah, teko, panci, gelas, piring, sendok garpu, ember, dan di atas dipan dengan tikar plastik itulah saya bisa beristirahat dengan nyenyak.
Kemudian satu-dua anak datang dan pergi, mereka belajar apa saja, juga memasak, rame-rame makan, dan tidur. Akhirnya Rumah Kita resmi menjadi tempat mangkal anak-anak gelandangan, pengamen, pengemis, pemulung, anak baik-baik yang tidak betah di rumah karena berbagai alasan. Saya sebagai tukang sapu bagian kebersihan pasar merasa dituakan lalu mengatur mereka dengan marah-marah, lelah, dan sedih, sejak tahun 1997.
Sebagai tukang sapu pasar, saya tak punya kebisaan apa-apa untuk mengajar anak-anak itu. Untung, beberapa guru dan mahasiswa datang secara sukarela mengajar anak-anak itu menulis, menyanyi, membaca, dan bercocok tanam. Setiap minggu, anak-anak diminta membaca puisi karangannya sendiri, juga cerpen, esai, dan menyanyikan lagu yang ditulisnya sendiri. Ketika anak-anak dibawa ke kebun untuk belajar bercocok taman itulah, Pak Darkin memergoki Nining ada di antara anak-anak itu dan mencengkeram tangannya dan menggelandangnya. Serta-merta saya menubruk tubuh Pak Darkin dan kami bergumul, tindih-menindih. Saya yang boleh dikata tak pernah berkelahi begitu saja terkapar. Sayup-sayup terdengar orang-orang sibuk menolong saya.
Gaji saya yang tak seberapa harus cukup cekatan dalam berkelit menghidupi anak-anak itu. Sekitar 15 anak setiap hari paling tidak makan dua kali. Setiap habis gajian, tak ada sisa sama sekali, bahkan digayuti utang di sejumlah warung. Syukurlah ada anak yang bisa menyumbang dari pendapatannya mengamen atau memulung. Tapi, yang sangat membantu adalah sumbangan para pedagang pasar. Pedagang beras menyumbang beras. Pedagang sayur menyumbang sayur. Pedagang ikan menyumbang ikan. Bumbu-bumbu dapur rasanya tak pernah kehabisan.
Di malam yang sunyi ketika anak-anak sudah tidur, tiba-tiba datang beberapa orang memanggul beberapa karung beras yang diperuntukkan Rumah Kita. Orang-orang itu menaruhkan begitu saja karung-karung itu tanpa ada sepatah pun kata pengantar. Ternyata tidak hanya beras, juga minyak goreng beberapa botol, telor beberapa kilo, gula, kopi, teh, beberapa ekor daging ayam segar. Tak ketinggalan banyak sekali kain sarung, kaus oblong, dan peralatan mandi. Saya tidak tahu dari mana semua sumbangan itu.
Pagi harinya semua sumbangan itu dibagi rata untuk anak-anak. Saya sempat kebagian sarung dan kaus oblong. Anak-anak bertanya dari siapa semua sedekah itu. Hari itu kami masak rame-rame dengan mengundang siapa saja yang mau makan bersama kami. Anak-anak pengamen memeriahkan pesta hari itu dengan mementil gitar dan menyanyi. Aduh, meriahnya. Aduh, bahagianya. Sayang sekali, Nining tidak bersama kami. Tapi, kami sisihkan sarung dan kaus oblong untuknya. Satu saat kami harus merebutnya kembali atau kami akan bersedih sepanjang masa.
Malam yang tenteram tidak selamanya dapat dipertahankan. Saya bangun tersentak tak bisa bernapas karena dicekik Pak Darkin yang bisa mulus menyelinap ke gerombolan kami. Ia meradang.
”Kamu sembunyikan Nining di mana!”
Saya tak bisa menjawab. Bernapas saja sangat sulit. Pak Darkin paham lalu mengendorkan cekikannya.
”Saya tidak tahu,” jawab saya.
”Mau kamu saya bikin modar!”
”Sungguh mati saya tak tahu di mana Nining.”
”Bohong!”
”Kalau memang Nining hilang, saya bisa membantu mencarinya.”
”Sontoloyo!”
Saya terbatuk-batuk. Saya diseretnya keluar. Saya heran, tak seorang pun anak yang terbangun. Saya digelandang terus. Sesampai di jalan raya, saya dinaikkan ke becak. Pak Darkin duduk di samping sambil terus nyerocos yang tak jelas. Rupanya saya dibawa ke sebuah pekuburan yang gelap gulita. Dua orang yang sigap membekuk tubuh saya, membanting dan membalut dengan kain kafan.
”Kamu harus sumpah pocong!” geram Pak Darkin lalu pergi bersama kedua kawannya.
Saya tak bisa bergerak, ketat sekali balutannya, membujur kaku bagai jenazah.
Tiba-tiba:
”Pak Totok,” suara seorang gadis membisik, ”Saya Nining.”
”Mengapa kamu di sini?” sergah saya.
”Saya menunggu Bapak,” jawabnya sambil melepaskan belitan kain kafan dari tubuh saya.
”Dari mana kamu tahu saya di sini?”
”Kiai Kintir baru saja mengantar saya kemari.”
”Sekarang beliau di mana?”
”Sedang bersiap-siap hanyut di Bengawan Solo.”
”Wah, gawat!”
Maka kami berdua bergegas ke Jurug tempat Kiai Kintir biasa memulai kegiatannya menghanyutkan tubuhnya. Kiai Kintir alias Kiai Hanyut adalah kiai—tak seorang pun tahu nama aslinya—yang punya kebiasaan menghanyutkan tubuhnya di Bengawan Solo. Itulah jalan spiritualnya.
Sejumlah warga Solo ada yang mengolok-oloknya sebagai Kiai Kenthir alias Kiai Sinting. Beliau tidak peduli atas cemoohan itu karena hidup beliau sehari-harinya sangat serius. Bahkan yang melecehkannya dikiriminya segepok uang yang dicomotnya dari udara. Maka semakin bertambah banyak orang-orang yang meledeknya dengan pamrih Kiai itu mengiriminya duit. Saya sendiri pernah melihat beliau mencomot uang dari udara dan diberikannya kepada saya. Beliau pernah menyitir sabda Kanjeng Rasul Muhammad SAW bahwa seandainya kalian tahu apa yang terjadi di dunia ini, kalian akan menangis terus-menerus sepanjang hidup kalian.
Sepanjang hayat Kiai Kintir mengasingkan diri. Tidak bergaul, tidak menerima santri, tidak mengajar, tidak mau diwawancara, tidak mau diundang makan. Pokoknya serba tidak. Saya sadar, semua kiriman beras dan kebutuhan dapur yang mendorong kami bisa berpesta itu, merupakan sumbangan Kiai Kintir. Beliau selalu bisa membahagiakan orang, sedang untuk dirinya sendiri, beliau tidak berniat sedikit pun. Cerita lainnya adalah, pernah sejumlah wartawan elektronik diam-diam mengambil gambarnya. Ternyata wajah beliau tidak terekam, yang muncul hanya gelap gulita. Jika beliau mulai menghanyutkan diri di Bengawan Solo, itu pertanda di Solo akan terjadi sesuatu.
Sejak dini hari, ratusan orang dengan obor memenuhi kedua sisi bantaran Bengawan Solo menyaksikan tubuh Kiai Kintir yang telentang mengambang di sungai, hanyut dibawa arus. Orang-orang terus bergerak mengikuti tubuh beliau yang dibalut pakaian, diam mengambang hanyut seperti mayat. Saya dan Nining harus waspada supaya tidak kepergok Pak Darkin yang barangkali saja ikut nonton. Sampai fajar merekah, rasanya orang-orang yang menyaksikan tontonan aneh ini bertambah banyak. Tak ada seorang pun yang berucap. Semuanya diam. Jika satu orang pun yang berbicara memberi komentar, bisa-bisa Kiai Kintir tenggelam, begitulah kepercayaan yang menyebar yang boleh jadi cuma dibikin-bikin oleh orang-orang yang suka mengolok-olok. Dari jauh, Kiai Kintir cukup meyakinkan sebagai perenang yang kebanyakan mampu diam telentang mengambang.
Hari belum panas benar ketika air Bengawan Solo mulai naik. Tak terdengar geledek. Tak terjadi gerimis. Cuaca cerah dengan langit biru seperti undangan untuk keluar rumah menikmati keramaian kota. Ratusan orang-orang yang berada di seberang menyeberang Bengawan Solo merasakan air bengawan mulai mencium lutut. Tampak tubuh Kiai Kintir telentang tenang hanyut semakin menjauh dari pendangan kami. Satu-dua orang penonton terseret ke tengah bengawan. Puluhan orang lainnya berlarian menyingkir dari bantaran sungai. Saya tarik Nining untuk menghindar dari bantaran bersama puluhan orang yang kacau berlarian. Sesampai di jalan raya, banjir sudah melahap seluruh kota Solo. Mobil, motor, andong, becak ditinggalkan pemiliknya. Sejauh mata memandang, cuma air yang berkilau-kilau yang tampak dengan orag-orang yang kebingungan menyelamatkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar