Barang siapa ingin menyaksikan pilot berwajah kocak, tengoklah Pilot
Bejo. Kulitnya licin, wajahnya seperti terbuat dari karet, dan apakah
dia sedang gemetar ketakutan, sedih, atau gembira, selalu memancarkan
suasana sejuk. Karena itu, kendati dia suka menyendiri, dia sering
dicari.
Kalau dilihat dari ilmu pengetahuan, entah apa, mungkin pula
sosiologi, dia masuk dalam kawasan panah naik. Hampir semua neneknya
hidup dari mengangkut orang lain dari satu tempat ke tempat lain. Ada
leluhurnya yang menjadi kusir, lalu keturunannya menjadi masinis, dan
setelah darah nenek moyang mengalir kepada dia, dia menjadi pilot.
Karena pekerjaan mengangkut orang dapat memancing bahaya, maka,
turun menurun mereka selalu diberi nama yang menyiratkan keselamatan.
Dia sendiri diberi nama Bejo, yaitu “selalu beruntung,” ayahnya bernama
Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama
Sugeng, Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak
pernah kena musibah.
Namun ingat, kendati pilot lebih terhormat
daripada masinis, dan masinis lebih dihargai daripada kusir,
masing-masing pekerjaan juga mempunyai kelas masing-masing. Ada kusir
yang mengangkut orang-orang biasa, ada pula yang dipelihara oleh
bangsawan dan khusus mengangkut bangsawan. Slamet, ayah Pilot Bejo,
juga mengikuti panah naik: ayahnya, yaitu nenek Pilot Bejo, hanyalah
seorang masinis kereta api jarak pendek, mengangkut orang-orang desa
dari satu desa ke kota-kota kecil, sementara Waluyo, ayah Pilot Bejo,
tidak lain adalah masinis kereta api ekspres jarak jauh.
Dibanding dengan ayahnya, kedudukan Pilot Bejo jauh lebih baik,
meskipun Pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai
penerbangan AA (Amburadul Airlines), yaitu perusahaan yang dalam banyak
hal bekerja asal-asalan. Selama tiga tahun AA berdiri, tiga pesawat
telah jatuh dan membunuh semua penumpangnya, dua pesawat telah meledak
bannya pada waktu mendarat dan menimbulkan korban- korban luka, dan
paling sedikit sudah lima kali pesawat terpaksa berputar-putar di atas
untuk menghabiskan bensin sebelum berani mendarat, tidak lain karena
rodanya menolak untuk keluar. Kalau masalah keterlambatan terbang, dan
pembuatan jadwal terbang asal-asalan, ya, hampir setiap harilah.
Perjuangan Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah
lulus SMA dia menganggur, karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari
pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah. Untunglah
ayahnya mau menolong, tentu saja dengan minta tolong seorang saudara
jauh yang sama sekali tidak suka bekerja sebagai kusir, masinis, pilot,
atau apa pun yang berhubungan dengan pengangkutan. Orang ini, Paman
Bablas, lebih memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi
pedagang yang tidak tanggung- tanggung.
Ketika dengan malu-malu Bejo menemuinya, dengan lagak bijak Paman
Bablas berkhotbah: “Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah
berhasil seperti aku, heh, dapat menjadi politikus, setiap saat bisa
menyogok, dan mendirikan maskapai penerbangan sendiri, kalau perlu
kelas bohong-bohongan.”
Mungkin karena wajah Bejo kocak, Paman Bablas tidak sampai hati
untuk menolak. Maka, semua biaya pendidikan Bejo di Akademi Pilot
ditanggung oleh Paman Bablas. Kendati otak Bejo sama sekali tidak
cemerlang, akhirnya lulus, dan resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot.
Namun, resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot, tidak selamanya
dapat menjadi pilot, bahkan ada juga yang akhirnya menjadi pelayan
restoran. Mirip-miriplah dengan para lulusan Akademi Pimpinan
Perusahaan. Mereka resmi berhak menjadi pimpinan perusahaan, tapi
perusahaan siapakah yang mau mereka pimpin?
Andaikata dia minta tolong Paman Bablas lagi, kemungkinan besar dia
akan diterima oleh maskapai besar. Namun dia tahu diri, apalagi dia
percaya, darah nenek moyang serta namanya pasti akan terus melesatkan
panah ke atas. Panah benar-benar melesat ke atas, ketika maskapai
penerbangan SA (Sontholoyo Airlines) dibuka.
Setelah mengikuti ujian yang sangat mudah sekali, Bejo langsung
diterima tanpa perlu latihan-latihan lagi, hanya diajak sebentar ke
ruang simulasi, ke hanggar, melihat-lihat pesawat, semua bukan milik
Sontholoyo Airlines, lalu diberi brosur. Ujian kesehatan memang
dilakukan, oleh seorang dokter, Gemblung namanya, yang mungkin seperti
dia sendiri, sudah bertahun-tahun menganggur. Dokter Gemblung bertanya
apakah dia pernah operasi dan dia menjawab tidak pernah, meskipun
sebenarnya dia pernah operasi usus buntu.
Pada hari pertama akan terbang, dia merasa bangga sekali. Dengan
pakaian resmi sebagai pilot, dia menunggu jemputan dari kantor. Dia
tahu, beberapa hari sebelum terbang dia pasti sudah diberi tahu jadwal
penerbangannya, tapi hari itu dia tidak tahu akan terbang ke mana.
Melalui berbagai peraturan dia juga tahu, paling lambat satu jam
sebelum pesawat mulai terbang, pilot sudah harus tahu keadaan pesawat
dengan jelas.
Demikianlah, sejak pagi sekali dia sudah menunggu di rumah, dan
akhirnya, memang jemputan datang. Sopir ngebut lebih cepat daripada
ambulans, menyalip sekian banyak kendaraan di sana dan di sini, karena,
katanya, sangat tergesa-gesa. Dia baru tahu dari bos, bahwa hari itu
sekonyong-konyong dia harus menjemput Pilot Bejo.
Begitu tiba di kantor Sontholoyo di bandara, Pilot Bejo dengan
mendadak diberi tahu untuk terbang ke Makassar. Sebagai seorang pilot
yang ingin bertanggung jawab, dia bertanya data-data terakhir mengenai
pesawat. Dengan nada serampangan bos berkata: “Gitu saja kok
ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya terbang.”
Demikianlah, dengan tangan gemetar dan doa-doa pendek, Pilot Bejo
mulai menerbangkan pesawatnya. Sebelum masuk pesawat dia sempat melihat
sepintas semua ban pesawat sudah gundul, cat di badan pesawat sudah
banyak mengelupas, dan setelah penumpang masuk, dia sempat pula
mendengar seorang penumpang memaki-maki karena setiap kali bersandar,
kursinya selalu rebah ke belakang.
Hari pertama disusul hari kedua, lalu disusul hari ketiga, dan
demikianlah seterusnya sampai tahun ketiga tiba. Dia tidak berkeberatan
lagi untuk dijemput terlambat lalu diajak ngebut ke bandara, merasa
tidak perlu lagi bertanya mengenai data-data pesawat, merasa biasa
mendengar penumpang memaki-maki, dan tenang-tenang saja dalam
menghadapi segala macam cuaca. Darah nenek moyang dan namanya pasti
akan menjamin dia, apa pun yang terjadi.
Tapi, mengapa manusia menciptakan kata “tapi”? Tentu saja, karena
“tapi” mungkin saja datang setiap saat. Dan “tapi” ini datang ketika
Pilot Bejo dalam keadaan payah karena terlalu sering diperintah bos
untuk terbang dengan jadwal yang sangat sering berubah-ubah dengan
mendadak, gaji yang dijanjikan naik tapi tidak pernah naik-naik, mesin
pesawat terasa agak terganggu, dan beberapa kali mendapat teguran keras
karena beberapa kali melewati jalur yang lebih jauh untuk menghindari
badai, dan entah karena apa lagi.
Demikianlah, dalam keadaan lelah, dengan mendadak dia mendapat
perintah untuk terbang ke Nusa Tenggara Timur. Awan hitam benar-benar
pekat. Hujan selama beberapa jam menolak untuk berhenti.
Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa penumpang
berteriak-teriak ketakutan. Semua awak pesawat sudah lama tahan
banting, tapi kali ini perasaan mereka berbeda. Dengan suara agak
bergetar seorang awak pesawat mengumumkan, bahwa pesawat dikemudikan
oleh pilot bernama Bejo, dan nama ini adalah jaminan keselamatan.
“Percayalah, Pilot Bejo berwajah kocak, tetap tersenyum, tidak mungkin pesawat menukik.”
Pilot Bejo sendiri merasa penerbangan ini berbeda. Hatinya
terketar-ketar, demikian pula tangannya. Meskipun wajahnya kocak,
hampir saja dia terkencing-kencing.
Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh
lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia
tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk
melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat.
Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan
kedudukan yang disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, “tidak
layak lagi untuk menjadi pilot selama hayat masih di kandung badan,”
dengan alasan “membahayakan jiwa penumpang.”
Meskipun ketika masih belajar di Akademi Pilot dulu dia tidak pernah
menunjukkan keistimewaan, dia tahu bahwa dalam keadaan ini dia harus
melakukan akrobat. Kadang-kadang pesawat harus menukik dengan mendadak,
kadang-kadang harus melesat ke atas dengan mendadak pula, dan harus
gesit membelok ke sana kemari untuk menghindari halilintar. Tapi dia
tahu, bos akan marah karena dia akan dituduh memboros-boroskan bensin.
Dia juga tahu, dalam keadaan apa pun seburuk apa pun, dia tidak
diperkenankan untuk melaporkan kepada tower di mana pun mengenai
keadaan yang sebenarnya. Kalau ada pertanyaan dari tower mana pun, dia
tahu, dia harus menjawab semuanya berjalan dengan amat baik.
Tapi, dalam keadaan telanjur terjebak semacam ini, pikirannya kabur,
seolah tidak ingat apa-apa lagi, kecuali keadaan pesawat. Bisa saja dia
mendadak melesat ke atas, menukik dengan kecepatan kilat ke bawah, lalu
belok kanan belok kiri untuk menghindari kilat-kilat yang amat
berbahaya, namun dia tahu, pesawat pasti akan rontok. Dia tahu umur
pesawat sudah hampir dua puluh lima tahun dan sudah lama tidak
diperiksa, beberapa suku cadangnya seharusnya sudah diganti, radarnya
juga sudah beberapa kali melenceng.
Perasaannya sekonyong menjerit: “Awas!” Dengan kecepatan kilat
pesawat melesat ke atas, dan halilintar jahanam berkelebat ganas di
bawahnya. Lalu, dengan sangat mendadak pula pesawat menukik ke bawah,
dan halilintar ganas berkelebat di atasnya.
Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak pesawat
termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tapi
berteriak-teriak keras: “Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!”
Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar