teks

selamat datang di blog saya

Rabu, 24 November 2010

Maling

cerpen:Sungeb Sangaji

“Ma… maling! Maling!”
Aku berteriak tertahan. Kerongkongan
terasa kelu. Dadaku berdegup
kencang. Aku melangkah patah-patah
mengikuti segerombolan orang yang
terus berteriak.
“Maling! Maling!”
“Telanjangin!”
“Hajar aja!”
“Bakar!”
Beberapa lelaki mencekal, memukul, menendang, dan menginjak lalu melemparkan tubuh lunglai si tertuduh maling. Beberapa yang lain menimpukkan bebatuan ke sekujur tubuh kerempeng pasrah itu. Mirip segerombolan anjing berebut tulang, mulut-mutut mereka terbuka menghirup-embuskan udara maam dengan buas. Jumlah mereka semakin banyak laki-laki, permepuan, tua dan muda, berkeluaran dari rumah-rumah yang berjejer rapi. Beberapa hanya menonton saja. Mulut mereka juga terbuka. Yang perempuan menutup mulut terbukanya dengan tangan.
Wajah si tertuduh maling berkilat-kilat karena darah segar memanulkan cahaya bulan yang sedang pumama. Di sebagian kepalanya menempel debu dan butir-butir kerikil. Beberapa gigi depannya copot dengan paksa. Ada yang patah lalu jatuh ke aspal dan hancur terinjak-injak. Memar biru di dadanya menandakan ada tulang iga yang telah patah. Di tubuhnya Mnggal menempel cawat kotor menghitam compang-camping. Pakaiannya teiah lepas tercabik-cabik. Lenguhan-lenguhan kecil dari mulutnya menunjukkan ia masih bemyawa, walaupun mungkin tinggal separuh.
Lelaki malang si tertuduh maling itu bemama Kemin. Kemin bin Rawin. Aku tahu orang ini, bahkan kenal baik.
***
Kemin adalah tetanggaku. Rumah kamu di perkampungan miskin yang letaknya agak jauh dari perumahan terawat ini. Aku dan Kemin sudah berkawan sejak kecil. Kami selalu duduk di sekolah yang sama. Sama-sama pemah tidak naik kelas saat SD. Tahun pertama di SMP, kami juga kompak tinggal kelas.
Untuk membiayai keperluan sekolah di SMP, kami mengasong barang apa saja yang laku dijual di terminal. Lontong tahu, kacang bawang, air mineral, dan lain-lain. Pekerjaan ini tidak membutuhkan modal uang. Mula-mula kami hanya memohon kepada Bu Par, tetangga kami pemilik kios di terminal, untuk mengasong barang dagangannya. Lama-kelamaan para pemilik barang dagangan lain di terminal dan sekitamya mengenal kami. Mereka juga bersedia menitipkan barang pada kami.
Akhirnya kami lulus SMP setelah mengulang ujian di tahun berikutnya. Kami Tidak melanjulkan ke SMA karena tak mampu. Kami capek sekolah dan tahu diri. Mencoba peruntungan, kami melamar bekerja menjadi buruh di beberapa pabrik di dekat kampung. Tetapi, belum pemah satu pun lamaran kami mendapatkan balasan. Mungkin karena tulisan di surat lamaran kami seperti cakar ayam, atau para pelamar lain, yang kebanyakan dari luar kota, jauh lebih pintar. Mereka berijazah SMA. Bahkan, katanya, ada juga yang lulusan universitas. Beberapa lama kemudian, baru kami menyadari bahwa kami melamar dengan cara yang salah. Untuk melamar menjadi buruh di pabrik-pabrik itu tak perlu tulisan bagus atau ijazah tinggi. Cukup menghubungi Pak Dul dari kampung sebelah, menitipkan lamaran, dan menyerahkan uang jaminan sekian juta. Setelah itu tinggal menunggu panggilan kerja. Mengetahui hal itu, kami menutup rapat-rapat keinginan bekerja di pabrik. Sekian juta dari mana?
Begitulah kami. Enam tahun tetap berstatus pedagang asongan. Tak pernah berpikiran pindah profesi lain. Menjadi centeng terminal, misalnya. Padahal, penghasilan centeng terminal lebih banyak dari penghasilan pengasong. Tubuh kami yang kecil, kurus, dan lemah tidak memungkinkan untuk itu. Dengar-dengar, jadi centeng juga harus punya jimat yang didapat dari tempat-tempat jauh. Sedangkan kami tidak memiliki uang untuk pergi-perrgi jauh. Bagi kami lebih aman menjadi pengasong saja.
Di terminal ini. Kemin jatuh cinta pada Nur, sesama pengasong sebaya kami. Lalu mereka pacaran. Sebenamya, aku juga naksir Nur. Tapi aku terima saja saat akhirnya Nur menjatuhkan cintanya untuk Kemin. Wajah Kemin lebih lumayan dibanding wajahku, walaupun secara umum, kami sama-sama jelek. Wajah Nur juga tidak cantik.
Kurang dari setahun pacaran, saat sebuah Yayasan mengadakan program pernikahan massal lengkap dengan bantuan maskawin, mereka sepakat menikah. Kemin dan Nur tenlihat sangat bahagia. Aku pun merasa bahagia. Aku menyumbangkan seluruh uang hasil kerjaku selama sebuIan untuk mereka. Saat itu, sempat terbersit di dalam pikiranku, kedekatanku dengan Kemin akan berkurang. Apalagi, Kemin tinggal bersama orangtua Nur di kampung sebelah terminal.
Ternyata kekhawatiranku tidak terjadi. Kami berdua tetap dekat. Bahkan, aku sering menumpang istirahat di rumah mertua Kemin. Kami juga mempunyal bahan obrolan baru, yaltu pengalaman berumah tangga Kemin. Pengalaman yang tak tahu kapan bisa aku alami sendiri.
Kehadiran Nur sebagal istri Kemin membawa peshabatan kami menjadi lebih berwarna. Kadang-kadang Nur bertanya kepadaku tentang perempuan-perempuan yang naksir Kemin. Walaupun Kemin pernah bercerita bahwa Milah si penjual jeruk naksir padanya, aku tutup mulut saja, demi membuat hati Nur tenang. Aku berpikir, jika mereka ribut, aku juga yang repot.
Tiga bulan kemudian, Nur hamil. Wajah Nur terlihat lebih berseri. Wajah Kemin? Awalnya terlihat bahagia. Tetapi seiring berjalannya bulan, wajah itu menjadi berubah-uhah. Kadang bahagia, kadang murung. Tentu ia bahagia menjelang kedatangan sang buah hati. Pada saat yang sama, kami merasakan bekerja mengasong di terminal semakin berat. Jumlah pengasong bertambah banyak. Bahkan, yang berbadan kuat pun nimbrung menjadi pengasohg. Kami sering kalah berebut untuk masuk bus. Pendapatan kami menurun. Mungkin ini yang membuat Kemin murung.
Kemin pernah berkeluh-kesah tentang biaya melahirkan anak yang sangat mahal. Ia bertekad untuk bekerja lebih keras mengumpulkan uang banyak Aku termangu-mangu mendengar ceritanya saat itu. Bagaimana caranyu Kemin bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Penghasilan jadi pengasong hanya cukup menutup kebutuhan satu-dua hari saja? Aku mungkin bisa membantunya. Tetapi berapa banyak uangku? Utang? Bukannya itu malah menambah masalah? Orangtua mereka? Ahhh… lupakan saja.
***
Dua han yang lalu, saat aku istirahat di rumah mertua Kemin, Kemin mengutarakan sebuah rencana. Dia hendak mencuri barang elektronik di sebuah rumah di kompleks perumahan. Barang elektronik bagus, walaupun curian, bisa dijual lagi dengan harga yang tinggi. Ujang tetangga Kemin yang suka mencuri pemah memberitahukan padanya bahwa perumahan ini keamanannya lemah. Petugas satpamnya sudah tua dan sering bolos sakit. Kemin juga bercerita bahwa ayah mertuanya mendukung rencana ini. Nur dan ibu mertuanya tidak diberitahu. Kemin memintaku untuk tutup mulut dan membantunya. Aku tak kuasa menolak.
Kemarin saat istirahat slang, kami mencoba mengamati kompleks perumahan ini. Meski sebelumnya kami sudah beberapa kali ke sini, tetapi kemarin tempat ini terasa lebih asing. Aku disergap rasa waswas dan takut. Aku merasa semua orang sedang mencurigai gerak-gerik kami. Aku tidak mampu berpikir untuk membuat strategi. Aku hanya pasrah kepada Kemin, apa yang akan kami lakukan malam ini.
Ternyata Kemin sudah mempunyai rencina yang menurutnya matang. Mungkin Ujang telah memberi masukan kepadanya. Ia sudah menentukan rumah mana yang akan dimasuki, jalur untuk menyusup dan melarikan diri dan apa tugasku. Tugasku adalah berjaga-jaga di dekat tiang listrik yang berjarak sekitar 50 meter dari rumah sasaran. Di bawah tiang listrik ada semak yang lumayan tinggi sehingga sepintas orang tidak akan melihatku. Aku diminta memberikan kode dengan memukulkan batu pada tang listrik. Jangan terlalu keras yang penting kedengaran. Satu kali tanda aman. Dua kali tanda bahaya.
Sejam yang lalu, aku berdiri tegang dekat tiang listrik itu. Mataku membelalak mengamati Kemin berjalan di keremangan mendekati rumah sasaran. Keringat dingin menggigit tengkukku yang kurus. Tangan terasa kesemutan mencengkeram sebongkah batu yang kulekatkan ke dada. Sesaat kemudian, Kemin menaiki sebuah pohon untuk masuk melalui pagar belakang rumah. Ia telah hilang dari pandangan. Aku tak tahu apa yang sedang dikerjakannya. Tugasku sekareng menghitung kira-kira lima menit setelah Kemin berjalan, lalu memukulkan batu sebagai tanda aman atau sebaliknva. Mataku jelalatan mengamati keadaan sekitar. Aku rasa sudah lima menit.
“Aman!” aku mendesah.
Batu dingin menggigit telapak tangan berpeluh. Bergetar lengan saat kutarik menjauhi tiang. Aku merasa sangat sulit mengontrol gerakan ini. Aku empaskan saja tanganku.
“Tang!”
Mendengung.
Sesaat kemudian….
“Maaaaaaaaliiiiing, maaaaliiiiing!”
Aku terkesiap. Teriakan itu datang dan rumah sasaran. Terus mengumandang. Dadaku herdegup lebih kencang lagi. Napasku semakin memburu. Aku merangsek keluar dari semak kudengar ayunan langkah kaki di belakangku.
“Bukk!” orang menepuk pundakku.
“Mana malingnya, Bang?”
“Di sana”
“Maaaaaaaaliiiiing, maaaaliiiiing!”
***
Aku tidak tahu, di langit bulan tengah meronta atau tertawa. Orang-orang masih berpesta menggelandang Kemin. Mulut-mulut itu masih terbuka. Napas-napas terus mendengus kencang. Seolah ada alunan gaib yang membuat mereka bergerak seirama, ditimpali histeria yang memecah kebekuan malam.
Aku menari mengikuti atunan itu dengan perasaan menrintih.
Kulihat di kejauhan polisi-polisi berjalan pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar