teks

selamat datang di blog saya

Kamis, 16 Desember 2010

cerita tentang otok

GERIMIS megiris kesunyian. Tiris. Otok rebahan di amben, mencoba menikmati keletik atap seng, seperti musik gaib yang membuatnya ditangkup rasa kantuk. Sementara dari kejauhan suara kucing kedinginan sayup mengeram, membuatnya membayangkan seseorang yang penat dan gelisah ingin bersetebuh. Situasi seperti ini –  sore dengan gerimis riwis-riwis sementara hawa panas masih menguar berkitaran dalam kamar — memang gampang membuat orang berpikiran mesum. Otok jadi ingat Atun. Alangkah enaknya kalau ada Atun. Ia bisa kelon. Mengirup bau keringatnya yang apak, tapi selalu membuatnya terangsang. Belakangan ini Atun memang sudah jarang mampir. Otok dengar, dia mulai gandeng bareng Solihan. Hubungannya dengan Atun memang mulai dipenuhi pertengkaran. Atun kerap mendesaknya untuk segera menikah, padahal ia masih merasa belum siap. Apakah orang pacaran memang mesti menikah? Ah, sebodo amat dengan Atun! Mau kawin, kawinlah sono. Bikin anak sebanyak-banyaknya kayak marmut. Nggak perlu mikir mau jadi apa mereka kelak.
Ia pandangi poster Madonna yang tampak pusarnya. Entah kapan ia membelinya. Mungkin ketika ia jalan bareng Atun. Mungkin. Ia tak terlalu ingat. Mungkin juga diberi Badrun, karena kawannya itu tahu kalau ia suka Madonna. Ia sering mengkhayal bercinta dengan Madonna, bahkan ketika ia kelon sama Atun. Di bawah poster itu, sandal dan sepatu butut, juga pakaian kotor yang telah seminggu tak juga ia cuci, menumpuk, bagai kenyataan buruk.Beberapa kecoak merayap.
Sambil mengkhayal memandangi poster itu, Otok rebahan, membantali kepalanya yang terasa penat dengan lengan; hingga setiap kali menarik nafas, meski pelan, terhirup bau ketiaknya yang sengak. Ia merasa kamarnya kian sesak, bertambah menekan perasaannya. Ah, alangkah nikmatnya punya rumah lapang, batinnya. Punya istri cantik — dan tentu saja, setia. Ah, tetapi, apakah ada waanita cantik yang setia? Biasanya, ya biasanya, wanita cantik itu tak terlalu setia. Sebab, karena cantik itulah, ia tak merasa perlu untuk setia. Buat apa? Toh pasti banyak yang suka. Karena itukah ia memilih Atun, yang berhidung besar dan tembam? Kalau boleh memilih sih, ia akan memilih wanita cantik, meski tak setia. Ia sendiri tak terlalu setia, kan?! Kalau pun selama ini ia terus pacaran dengan Atun,  yeah… dari pada nganggurlah! Begitu sering ia membohongi Atun. Ia sering kencan dengan Marni, Leha, dan Rohayati — yang, semuanya, tak lebih cantik dari Atun. Jadi tak apalah wanita tak setia, asal cantik dan kaya. Otok tersenyum oleh pikiran itu. Ya, kaya, rasanya setiap orang pun ingin kaya. Enak lagi, kaya tapi tak usah repok bekerja. Setidaknya nggak perlu capek-capeklah. Duduk ongkang-ongkang, dan tinggal terima komisi. Itukah yang membuat orang jadi suka korupsi?
Otok masih rebahan, sambil terus membayangkan itu semua, ketika di pintu terdengar ketukan berulang-ulang. Otok tak peduli, terus memejam dan berkhayal. Sampai ketukan itu kemudian kian keras — nyaris jadi gedoran; membuatnya jengkel dan terganggu. Malas ia bangkit. jengah menyeret langkah, dan dengan sengaja ia buka pintu dengan sentakan. Tiga laki-laki gempal berambut cepat, berdiri kira-kira satu meter di muka pintu.
“Saudara Otok?” tanya yang paling depan. Otok mengangguk. Ia hendak menyemprot mereka tadi, tetapi melihat tampang ketiga orang yang tak dikenalnya itu, entah kenapa, Otok jadi mengkerut. Lantas laki-laki menyodorkan surat. Otok menerima, membaca — tak percaya. Surat penangkapan!
“A…ada, apa, Pak…”
“Mari ikut kami!”
Otok ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ia sudah keburu takut. Ia memang selalu merasa kecut bila berurusan dengan petugas keamanan. Ia ingat bermacam cerita seram, yang membuatnya kerap berdoa semoga sepanjang hidup ia tak pernah berurusan dengan petugas keamanan. Ia sendiri heran, kenapa petugas keamanan justru membuatnya selalu merasa tak aman. Lantas ia mencoba menenangkan diri. Ini pasti salah faham. Otok mencoba mengingat, adakah ia berbuat salah belakangan ini. Rasanya tidak. Karena itu tak ada yang perlu dicemaskan. Ia tak pernah berbuat macam-macam. Kecuali kalau Atun terlanjur hamil dan mengadukannya ke polisi!
***
GERIMIS masih mengertap atap ketika Otok terpuruk dalam ruangan 4×5 meter, dengan tembok penuh bercak darah, cokelat kehitaman, dan di lantai berdebu bergeletakan lonjoran besi, ember pecah, pisau lipat, solder, juga obeng dan pengungkit, serta jumput yang bersilangan di atas meja.
“Tak usah gelisah begitu. Santai saja. Semuanya akan menyenangkan kalau kamu tidak berbelit-belit. Kami sudah tahu semuanya. Siapa-siapa saja yang terlebat. Kamu tinggal menandatangani berkas perkara ini, dan beres…” Laki-laki itu menatap tajam Otok.
Santai? bagaimana ia bisa santai? Hampir lima jam ia dibiarkan teronggok di ruang ini, sendirian, dengan pikiran berkecamuk mencoba memahami apa arti semua ini, sampai kemudian laki-laki ini muncul dan dengan enteng mengatakan semua akan baik-baik saja. Apanya yang baik? Ini sungguh buruk! Tapi Otok hanya menunduk. Gemetar menerima berkas yang disodorkan padanya. Membaca, dan benar-benar tak percaya. Berkali-kali Otok membaca, sesekali melirik pada laki-laki yang duduk di seberang meja, begitu tenang, mengetuk-ngetukkan ujung obeng ke pinggiran meja.
“A..apa, Bapak tidak salah?”
“Apanya yang salah. Semua sudah jelas di berkas itu.”
“Tapi, Pak, su… sungguh, saya tak melakukan ini semua. Sungguh, Pak. Saya tidak tahu apa-apa. Barangkali Bapak salah tangkap. Mungkin, salah nama, Pak…”
“Anda bernama Otok, kan?”
“Saya, Pak.”
“Anda tinggal di Nitiprayan?”
“Saya, Pak.”
“RT 4 RW 20 Dusun Jomegatan, kan?”
“Saya, Pak.”
“Lalu apa yang salah? Intelejen kami begitu rapi, sempurna, tak pernah salah!”
“Mungkin kali ini salah, Pak.”
“Sudahlah, tak perlu mengelak. Tanda tangani, dan saya bisa segera pulang.” Laki-laki itu kemudian batuk-batuk kecil, melirik ke arah tangan Otok yang menggigil. Dikeluarkannya bungkus rokok, menyalakan sebatang.
“Sungguh, Pak, saya tak kenal nama-nama ini. Saya tak kenal Rijali. Apalagi ini, Surkam, baru ini saya dengar. Juga Kusnedi…”
“Coba kamu ingat-ingat dulu.”
Apa yang mesti diingat?  Pembakaran?  Ya, ia memang pernah membakar, tapi itu dulu waktu di kampung, ketika ia suka membakar jerami kering dan juga sampah. Ia malah sempat membakar buku-buku pelajaran sekolahnya, waktu SMP, lantaran jengkel pada ayahnya yang tak mau membelikan sepeda. Rasanya suma itu yang pernah ia bakar. Bukan pertokoan. Bukan bengkel milik Haji Basir.
“Bagaimana, sudah ingat?”
Gerimis seakan begitu saja raib, membuat Otok merasa ada sesuatu yang mendadak hilang. Ia seolah tak lagi yakin pada dirinya. Bahwa ini semua bukan mimpi. Jangan-jangan memang benar apa yang tertulis dalam berkas itu. Ia ikut membakar bengkel Haji Basir ketika kerusuhan minggu lalu meledak. Hanya ia tak ingat. Sorot laki-laki itu tak bisa ia bantah, mendorong masuk pada lorong masa lalunya yang mendadak gelap. Lalu ia gamang. Dan bila ingin keluar dari lorong gelap itu, ia mesti percaya pada semua yang dituduhkan padanya. Tapi, sungguh, ia tak kenal Haji Basir! Ketika kerusuhan itu meledak, bahkan ia tengah molor di kamar. Lantas bagaimana mungkin dikatakan ikut menggerakkan massa membakar pasar dan pertokoan? Atau saat ia tidur, ia ngelindur, berjalan keluar dalam keadaan masih mimpi setengah sadar, ikut bakar-bakar?!
Sampai malam, sampai kemudian ia berkali-kali dibenamkan ke bak mandi, Otok masih sangsi pada apa yang terjadi, pada dirinya sendiri. Ia tergeletak letih. Cahaya bulan yang redup, menyelusup masuk lewat celah-celah genting. Ia ingat kamarnya yang pengap dan sesak, tapi kini terasa begitu berharga. Alangkah nyamannya bisa tidur selonjor di amben…

***
“BAGAIMANA, sudah ingat?”
Gigi Otok gemeletuk. Persendiannya ngilu.
“Ngaku tidak!” bentak yang satu.
Kepala Otok kembali dibenamkan ke bak mandi, sampai gelagapan. Napasnya sesak, panas oleh air yang menyolok lubang hidung.
“Ngaku, tidak?!”
Satu hantaman membuat kepalanya langsung berdenyut. Otok mencoba menjawab, tetapi suaranya tercekat, hingga yang terdengar cuma suara serak seakan kerongkongannya penuh dahak. Sesak. Tapi tak bisa berteriak. Begitu lemas. Tubuhnya terkulai ketika ia diseret melintasi lantai berkerikil kasar, hingga ujung jari-jari kakinya lecet pedih dan sompal. Ia tak berdaya ketika tiga laki-laki itu memaksanya menjilati kotoran di sepatu mereka.
“Bagaimana?!” Mereka terus membentak.
Sambil memejam, Otok menjilati kotoran di sepatu itu, dan teringat pada poster Madonna di kamarnya — betapa ia kerap berkhayal menjilati puting susu Madonna. Ah, siapa sangka, ia malah menjilati sepatu begini rupa? Lidahnya gatal, terasa menebal. Lantas ia juga teringat pada kecoa-kecoa yang biasa kelayapan menjilati sisa nasi bungkus di piring atau menyelusup di sandal dan sepatunya yang bacin. Ia merasa seperti kecoa-kecoa itu. Ya, saya memang kecoa, batinnya. Setidaknya, itu sedikit mengurangi rasa jijiknya. Dan kecoa mesti menerima nasibnya. bahkan ketika dipaksa menjilati sepatu, karena kecoa tak punya pilihan. Kecoa tak boleh membantah dan melawan. Apa pun mesti diterima oleh seekor kecoa. dan saya memang tak lebih seekor kecoa. Kecoa. Kecoa. tetapi semakin ia meyakinkan diri seperti itu, ia justru semakin menyadari kalau dirinya bukanlah kecoa. Ada gelegak yang menolak: membayangkan diri kecoa, berarti bukan kecoa. Seekor kecoa tak pernah membayangkan dirinya kecoa. Tidak! — ia mengeram, dalam. ia hendak berteriak, “Saya bukan kecoa!” Tapi tak bisa. Lidahnya seperti ditetak.
“Ngaku tidak!”
Karena Otok tak juga buka suara, serta-merta kepalanya dibenturkan ke tembok sampai terdengar bunyi kraakk. Otok menjerit.
“Ngaku tidak!”
Kemaluannya disundut rokok.
“Ngaku tidak!”
Jempol kakinya dicucuk paku.
“Ngaku tidak!”
Payah, Otok hendak menjawab, tetapi mulutnya telah disumpal bangkai tikus got.
“Ugghhttt…. Ugghhttt…”
“Ngaku tidak!”
“Ugghhttt…. Ugghhttt…”
“Ngaku tidak!”
Otok tergeletak. Rasanya, lebih baik memang mengaku saja. Tetapi bagaimana mau mengaku, kalau ia benar-benar tak tahu?
***
SEHABIS maghrib itu, ia memang makan bakso di warung Cak Brodin. Memang, ia juga menghabiskan dua mangkok — sebagaimana ditulis dalam berkas. Tetapi ia jajan bakso tidak dengan Rojali, namun bareng Deni. Apalagi disebut dengan Kusnedi. Apa ia laki-laki gondrong yang duduk di sebelahnya? Sungguh, ia tak kenal. Ia memang beberapa kali menanggapi omongan laki-laki berambut gondrong itu. Tapi ia tak begitu peduli ketika dia mulai bicara soal politik, dan beberapakali mengatakan bahwa “kita mesti bergerak”., bahwa “kita tak bisa terus berdiam diri”. Ia tak perduli. bahkan ia cepat-cepat pergi. Sendiri, membiarkan Deni yang rupanya tertarik omongan orang gondrong itu. Kok bisa-bisanya disebut ia pergi ke rumah Surkam bersama laki-laki berambut gondrong, untuk mematangkan rencana membakar bengkel haji Basir, sebagai awal mula kerusuhan?
Sementara Rajali — siapa pula ini?! — menuju kerumunan anak muda yang nongkrong di pangkalan ojeg, mulai menghasut. Sementara ia dan laki-laki berambut gondrong segera membeli bensin, dan kemudian menghubungi beberapa teman, menegaskan bahwa rencana sudah matang. Demi Tuhan! Sehabis jajan bakso, ia langsung pulang, mandi, tidur, sebelum akhirnya tergeragap bangun menjelang tengah malam, lalu pergi ke rumah Ong, iseng main kartu bersama Indra, Totok dan Joko. Lho, kok ditulis berjudi setelah dapat bayaran dari seseorang yang mendalangi pembakaran itu. Bahkan ketika di rumah Ong itulah ia baru tahu, kalau telah terjadi kerusuhan. Lantas kenapa ia disebut memperkosa Nurlela anak haji Basir segala?! Gila! Ini benar-benar gila!.
“Ngaku tidak!” Bangkai tikus itu terus disodokkan ke mulutnya.
“Ugghhtt…”
“Kamu tinggal tanda tangani saja, semua akan selesai! Semua teman-temanmu sudah mengaku!” Bentakan-bentakan itu timbul-tenggelam dalam telinganya yang berdenging. “Tak ada gunanya kamu mungkir!”
Tubuh Otok sudah lemah dan payah ketika didudukkan di kursi. Lengannya lunglai ketika menerima bolpoin. Berkas itu kembali di sodorkan padanya. Berkas yang telah ia ketahui isinya, namun tak ia mengerti bagaimana mungkin semua itu bisa terjadi dan menyangkut dirinya. Ia masih berharap bahwa semua ini hanya salah sangka. Mungkin yang dimaksud Otok yang lain, bukan dirinya. Kebetulan saja namanya sama. Tetapi ia juga merasa: tak ada gunanya mengelak. Mungkin ia memang tak melakukan, tetapi apa mungkin ia menolak semua tuduhan itu meski ia sungguh-sungguh tak melakukan semua itu. Bahwa ia tak melakukan pembakaran itu, tak pernah memperkosa, tak pernah memicu kerusuhan. Tak pernah….
***
 cerpen:Agus Noor

KUSODORKAN cerita itu pada Ida, pacarku. Dengannya, aku memang terbiasa mendiskusikan terlebih dahulu cerita-cerita yang aku tulis. Ia segera membaca. Bibirnya sedikit terlipat, kebiasaannya kalau suntuk menikmati sesuatu.
“Bagaimana?” tanyaku, setelah ia selesai membaca.
“Hmm,” ia menatapku sejenak, “Aku kok tidak begitu suka.”
“Kenapa? Karena bahasanya jelek?”
“Bukan.”
“Lantas kenapa?”
“Sepertinya, kamu terlalu melebih-lebihkan, terlalu mengada-ada. Apa mungkin peristiwa itu terjadi di negri ini? Apa pernah terjadi peristiwa semacam itu di sini? Lagi pula, aparat tak pernah menyiksa begitu rupa…”
Aku ingin menyanggah. Ingin kutegaskan, bahwa cerita macam itu pernah ada. Bahkan yang lebih dari itu. Tetapi entah kenapa, aku diam saja. Mungkin karena aku mendadak ingat, ayah Ida seorang tentara….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar