teks

selamat datang di blog saya

Selasa, 07 Desember 2010

Cintaku Kandas di Genteng Kali


NAMANYA Bambang. Suka iseng orangnya. Konco-konconya di Gunung Sahari sering manggil dia Bagong. Nomor HP-nya banyak banget. Kalau lagi nyetir pas lalu-lintas macet, hatinya ndak ngrasani Cak Bambang D.H., wali kota Suroboyo. Wong mau wali kotanya siapa Surabaya tetep macet kok. Kota-kota lain juga macet kok. Ndak mau macet pindah zaman Majapahit saja.
Senengane Mas Bagong sambil nunggu lampu merah ya SMS orang. Nomornya sak karep-karep dia mencet angka. Kadang malah nggak sambil lihat HP. Ngawur saja. Isinya kalau nggak Darling, I love uuuu…”, paling ya ”Haiii…miss u so much.”
Suatu hari Mas Bagong kena batunya. Ia dilabrak. ”Situ siapa?” damprat perempuan di ujung telepon.
”Dapat nomor saya dari siapa? Memangnya saya perempuan gatel opo? Awas ya, meski suami saya bukan Susno Duadji, tapi suami saya juga polisi. Dan masih jantan. Masih bisa kasih nafkah lahir batin. Jangan main-main. Suami saya bisa lacak HP ini HP siapa. Ipar saya orang KPK. Calon mantu saya orang kejaksaan! Semua bisa lacak HP wong lanang kurang ajuuuar kayak kamu…!!! Kamu kira semuanya sibuk nglanjutno kasus Century sampai nggak kober buat nglacak HP-mu sak rai-raimu!!!?”
Kapok. Mas Bagong kapok. Eh, setahun setelah itu isengnya kumat lagi. Pas macet Jumat kemarin nduk Basuki Rachmat, ia iseng SMS dengan nomor ngawur lagi. ”Haiii…I love you...,” tulisnya. Ndak nyana ternyata segera ada reply.
Me tooooo…”
Wuuuah, Mas Bagong seneng sambil mukul-mukul stir. SMS-an berlanjut. Hingga suatu hari si cewek minta didongengi soal Century, pansus, dan SBY.
”Wah soal itu aku wis ndak mood, Adinda. Yok opo nek Kang Masmu ini cerita tentang wayang, tapi intinya sama dengan soal pansus dan Pak SBY, yaitu tentang orang-orang yang mungkin kemauannya tidak selalu kesampaian…”
Perempuannya pasrah bongkokan. Berikut adalah cuplikan SMS-SMS Mas Bagong yang telah sambung-menyambung menjadi satu. Itulah kisah cinta.
***
Apa namamu Dewi Irawati? Ada perempuan namanya Dewi Irawati. Erawati podo wae. Istri Komjen Polisi Susno Duadji, Herawati, juga sama. Di wayang, Irawati itu wah tergolong perempuan cerdas.
Tanpa main facebook yang bikin gara-gara banyak kasus culik-culikan, ujuk-ujuk putri sulung Prabu Salya dari Kerajaan Mandaraka ini diculik oleh Kartopiyoga. Dia putra mahkota kerajaan Tirtakandasan, pengin kawin culik. Mungkin dia wis bosen ama kawin siri dan kawin lari. Sampai di Tirtakandasan, pas hampir dinikahi, eh Mbak Ira kasih dua opsi syarat, yaitu opsi A dan opsi C.
Opsi A yang didukung Ruhut Sitompul keok. Langsung ke opsi C. Yaitu, Mbak Ira oka-oke saja. Asal dia dimadu sekaligus tiga bersama perempuan lain. Cak Karto kaget. Bukannya dia tidak mau poligami. Toh pemuda ini salah seorang pemimpin partai besar PKT, Partai Keadilan Tirtakandasan. Cuaca partai itu tidak bikin tabu multi-istri.
Cak ”Karto” yang ndak pakai ”lo” ini ndak masalah bojo tiga, meski di lagu-lagu campursari paling banter cuma ada judul Bojo Loro alias Ganda Istri. Istri tiga ndak masalah. Tapi berarti Cak Karto akan punya tiga pasang mertua. Itulah masalahnya. Padahal dari pengalaman senior-seniornya, punya sepasang mertua saja sudah pusing. Ini tiga pasang!
Ndak gitu Caaaak. Mertua Cak Karto tetap sepasang saja, yaitu ebesku dewe Prabu Salya dan ibuku Dewi Setyawati!” tandas Mbak Ira. Cak Karto bingung. ”Dua perempuan calon maduku itu bukan orang lain. Please Mas Karto nikahi juga adikku, Dewi Surtikanti, dan adiknya lagi, Dewi Banuwati.”
Wah, tepa’ iki,” Cak Karto menepuk tangannya.
”Goblok!!!” damprat Prabu Kurandageni, ayah Cak Karto, setelah dapat laporan sudah dua hari Kartopiyoga balik ke Mandaraka menculik dua putri lainnya.
”Di mana-mana orang kalau habis kemalingan, kena teror, pasti penjagaannya ketat. Lihat saja tiga hari sampai seminggu kalau habis ada teror bom, pemeriksaan dan penjagaan superketat. Di Bandara Juanda. Di mal-mal. Kenapa anakku tidak sabar menunggu seminggu lagi, sampai orang-orang Mandaraka itu lupa terorisme, lupa penculikan, sampai penjagaan tidak ketat lagi? Wong perkoro Century saja tiga bulan lagi, hayo taruhan, orang bakal lupa semua.”
***
Kandiwrahatnala, nama lain Arjuna, sudah berada di Keputren Mandaraka. Prabu Salya, sang raja, tahu bahwa putri-putrinya menyukai Arjuna. Maka, setelah Arjuna diundang di Pendapa Agung untuk rapat koordinasi penjagaan siaga I paska penculikan Irawati, Salya langsung menggandeng Arjuna ke keputren. Ketika Banuwati muncul, Salya pelan-pelan meninggalkan Arjuna.
Sepergi Banuwati, Surtikanti, sang kakak, ganti menghampiri Arjuna. Seperti biasa kalau menghadapi perempuan baru, Arjuna malu-malu. Tunduk. Bicaranya lirih. Cenderung datar. Kalimatnya pendek-pendek. Bikin Surtikanti dan setiap perempuan mana pun makin terkiul-kiul, gemes dan ndak omes kepadanya.
”Sudah dapat titik terang siapa ya kira-kira yang murang toto berani-beraninya menculik Mbakyu Irawati?” tanya Surtikanti semangat.
”Belum.”
”Lho, adikku Banuwati ke mana? Tadi saya lihat dari jauh kalian mepet-mepet di sini kok?” Surtikanti heran.
”Pulang. Katanya menyiapkan makan.”
”Wah, pasti menyiapkan makanan buat kamu ya, Arjuna. Eh, Arjuna, ayo to Dimas mampir di patunggonku…Aku juga kepingin makan, kembul dahar dengan Dimas…”
”Saya agak kesusu. Maaf. Pamit.”
Seketika Dewi Surtikanti marah-marah. ”O, Permadi, kebangeten kamu sudah menampik asih ingsun. Aku doakan semoga kamu nandang kulupan, kelaparan, di tengah jalan nanti-nantinya.”
Lalu Banuwati muncul. ”Ada apa Dimas Arjuna, kok kelihatannya murung, sedih, seperti ada beban berat sekali.”
”Ah, ndak.”
”Ah, jangan pura-pura to Dimas. Wong aku tadi denger sendiri. Kan aku nguping dari balik pohon sawo itu…”
”Sudah tahu kok nanya…”
”Ya ndak papa to. Ah, yo wis, ayo mampir pinarak di patunggonku…sudah aku tatakan daharan, buah, minum …ngiras pantes ngleremake saliro disik…”
Nuwun sewu. Saya kesusu. Sudah ditunggu Ponokawan. Kasihan. Mereka itu sudah…”
Belum selesai Arjuna ngomong, tangannya sudah digamit oleh Banuwati ke arah patunggon-nya.
”Ya sudah. Monggo…Kang Mbok Banuwati…”
Lha kan gitu. Masa’ Permadi takut-takut. Di tempatku nggak ada orang kok…sepi…”
***
Subadra alias Bratajaya. Ini perempuan yang lain lagi. Orangnya agak ngalem dan susah tersenyum. Dia juga tidak pernah kenal istilah politik, ekonomi dan lain-lain. Dia sedang menemani kakaknya, Prabu Baladewa, yang sedang bertapa di pinggiran hutan.
Datanglah tiga orang pengamen. ”Saya Petruk, ini Gareng, itu Bagong,” Petruk memperkenalkan diri. ”Kami ngamen dengan kata-kata. Satu kata kami ucapkan dijamin Ndoro Ayu ketawa minimal tersenyum. Kami ngamen bukan cari duit. Kami cari makanan. Juragan saya sekarang aneh, seperti kena kutukan, tiba-tiba kelaparan luar biasa di tengah hutan.”
Gareng langsung mengawali, ”Century…!” Subadra langsung cekikikan dan kasih kode emban-embannya mengeluarkan makanan. ”Pansus…!” kata Petruk kemudian. Wah, Subadra terpingkal-pingkal. Para emban kontan mengeluarkan lagi makanan-makanan lain. Terakhir Bagong. Katanya, ”SB…”
Kata-kata Bagong belum selesai, Subadra sudah terbahak-bahak pol sampai pingsan. Ponokawan panik. Seluruh makanan dari rawon, pecel, rujak cingur, kupang, sate…cepat-cepat diraup, dibungkus jadi satu. Mereka segera terbirit-birit lari ke tengah hutan.
Arjuna tersinggung. Katanya, ”Siapa perempuan sombong berani ngasih makan Arjuna campur aduk seperti makanan anjing begini? Mati dening aku!!” Arjuna bablas menuju perempuan yang dianggapnya majenun itu sambil menghunus keris.
Begitu bertatap mata dengan perempuan yang sudah didampingi Prabu Baladewa itu, Arjuna malah jatuh cinta. Kelak Subadralah yang jadi istri Arjuna. Cita-cita Irawati, Surtikanti, dan Banuwati untuk jadi istri Arjuna malah tidak tercapai. Irawati menjadi istri Baladewa, setelah raja Mandura ini membantu Arjuna membunuh Cak Karto. Banuwati hanya puas menjadi kekasih gelap Arjuna.
***
”Aih, tak semua keinginan mereka tercapai, ya Mas Budiono,” begitu bunyi SMS terhadap Mas Bagong. Keduanya janjian ketemu pertama kali di Pendapa Cak Durasim, Jalan Genteng Kali. ”Aku pakai baju merah, Kang Mas. Rambutku diiket,” kata perempuan yang ngakunya bernama Mulyani itu.
Jadwal pertemuan sudah dekat. Tiba-tiba, dari balik pagar jalanan, setelah melihat Pendapa Cak Durasim, Mas Bagong yang ngaku bernama Budiono itu balik kanan dan malu ati. Cewek baju merah itu, perempuan yang mungkin juga punya beberapa nomor HP itu, ternyata adalah istrinya sendiri. ***
*) Sujiwo Tejo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar