teks

selamat datang di blog saya

Sabtu, 18 Desember 2010

Kali Ini, di Sajakku Ada Ular

oleh: Hasan Aspahani


akulah telah belajar pada marah ular
melapis mengelupas lapar ngejar liar

rahangku perangkap, rahang gelap ular
kata kulahap, akh! maki kutuk kutebar

di darahku mengalir racun seribu ular
di setiap lukaku tumbuh taring ular

kuburu Entah pada semak paling belukar
kutemu Engkau pada mangsa menggelapar 
 

Pecahkan Kaca, Lukakan Kata

luka kata dan darah kita dan pecahan kaca, biar kubiar
kutebar di seluruh tubuhku: rumahku, biar terperangkap
pekik terlirih dunia, biar terjebak jerit tersakit manusia

debu mimpi pasti tak ramah padamu, yang datang ke: rumahku
dan badai mendung ini, wahai! jangan usir ia lalu berlalu saja
aku ingin terus punya alasan untuk mengabadikan duka, Saudara!

SAUDAGAR, BANDAR, BERAS SETAKAR

perahu.
saudagar.
berlayar. dari bandar ke bandar. rumah pecah. beribu
kamar. di tengahnya menganga. laut sejarah. luka
berdarah. keduanya tak bisa lagi ditawar. tak bisa
lagi diputar tukar.
perahu.
bandar.
bertolak. berlayar. mencari jangkar. saudagar tak sempat
lagi menghitung dinar. menghitung ringgit. menukar dolar.
berapa beras setakar? kami punya gambir dan rempah.
istana batu di tengah bandar. ke sana datang perahu
saudagar. mana jangkar? mana jangkar? di laut sejarah
bernanah. luka ditukar jadi amarah.

rumah.
pecah.
beribu kamar. kau mengucap salam. aku mengetuk pagar.
berapa harga beras setakar? layar perahu. lapar perahu. tak
sempat disebut di depan pintu. ada jangkar di dinding kamar.
ada tetes air laut menggenang di lantai kamar. ada uap garam
menyesak kamar. menyedak nafas saudagar. sejarah. terbaring
di buncu kamar. ditalak tiga oleh waktu. waktu yang tak bisa
ditawar. tak bisa ditukar. tak lagi pernah terbayar.

saudagar.
laut. layar.
perahu tak bermata angin. laut cuma debur. cuma debar. di paha-
paha pantai. sejarah ditulis jadi kabar. di dada-dada bandar. sejarah
dihapus jadi samar. di pundi-pundi saudagar sejarah diniagakan.
ditukar jadi dolar. jadi ringgit. jadi dinar. berapa harga beras setakar?

jangkar. bertaut di tali kusut. mengapung di laut. pasang tak surut tak.
tak paut ke bandar. di perahu. tolak tak sandar tak. kita bukan saudagar.
melambai siapa di bandar. berapa harga beras setakar? sejarah tak
sampai lagi. setelah diniagakan. istana runtuh di tengah bandar. rubuh. luluh.
perahu belah tenggelam. bersandar di dasar laut. jangkar mengapung di
permukaan. ombak. terombang-ambing. ada bendera berkibar. di bandar.
di bandar.

bendera bergambar dinar. ringgit. dan dolar. kita bukan lagi saudagar.
kita terbungkuk-bungkuk menghormat. di bawah bendera berkibar-kibar.
kita tak punya nilai tukar. tak paut ke jangkar. pun tak punya bandar. tak
punya bendera dikibar. perahu tersuruk di laut paling dasar. ke surut
paling susut. angin kehilangan layar.
berapa harga beras setakar?
berapa.
harga.
beras.
setakar?

RUMUS KIMIA PUISI SEDERHANA

HUJAN dalam puisi yang sederhana, boleh
kau tuliskan dari gemericik titik rintiknya, atau
dari jerit payung yang kuncup tersandar di
balik pintu depan rumah yang ingin sekali mekar
dan mengembang dan kau berjalan tergesa
memegangi gagangnya. Tapi, saat itu, saat hujan
rimbun itu, kau tak ingin bepergian kemana-mana,
karena ingin menyalin hujan itu ke dalam puisi
yang sederhana. Demikianlah....

YANG KAU PUNGUT & YANG JADI
Asep S Sambodja

kau pungut mawar, jadi damba,
kau pungut duri, jadi hamba,
kau pungut wangi, jadi luka
kau pungut layu, jadi siksa
kau pungut aku, jadi nista,

aku pungut kau jadi mawar
wangi
berduri
di rimba
sepi.

ROMANSA yang Cengeng

SUDAHKAH kuceritakan padamu tentang sebuah malam,
di ujungnya ada tangis dan rindu bertemu di tatap mata
di liuk rintih biola, di peluk letih hari tak bernama.

PERNAHKAH kupaparkan padamu perihal sebuah rencana,
tentang sebuah malam yang kita rancang amat sempurna
penantianmu dan pencarianku akhirnya bersatu di sana.


PUISI yang BERTANYA kepadaku

APAKAH yang dibisikkan matahari dan pagi
kepada bunga pukul delapan itu, sehingga
kelopaknya tersipu dan tiba-tiba memekar
senyum segarnya?

APAKAH yang dipesankan embun kepada
rumput yang dikunjunginya sejak tengah malam
tadi, lalu daun hijaunya mengangguk-angguk
seolah telah mengerti sesuatu?

APAKAH yang dijanjikan oleh gerimis
kepada pelangi, sehingga warna-warni
itu ikhlas membentang lalu perlahan
menghilang tanpa gugat gerutu?

APAKAH yang diucapkan oleh senja
kepada cakrawala, ketika elang telah
lelah dan terbang pulang, lalu
langit diramaikan kepak kelelawar?

demam yang sentimentil

39 derajat celcius pada termometer
radang pada tenggorokan
sekantong puyer antibiotik
sirup penurun panas, 15 mililiter sebotol kecil
beri dulu bubur encer
dongeng televisi:
obat bermerek yang khasiatnya sakti

INI demam yang sentimentil

MANDI air rendaman lalambai
sepanjang siang dilapai salawat,
daun raja bangun
demam ditamba, ditawar air kelapa muda
telur rebus ayam dara
susu encer cap bendera
di luar hujan kesepian tak ada kawan
belibis di rawa, sejinak udara
terbiar tempia terbuka jendela
dongeng hantu barbiaban di pohon kariwaya


TENTANG SEORANG TUKANG POS TUA


TINGGAL sepucuk surat. Setelah kantong terpal
     tebal itu kosong dijemput alamat alamat.
     Tukang pos tua terus saja mengayuh pedal
     sepeda, sampai seseorang membubuhkan
     tanda tangan pada tanda terima. Ini surat
     tercatat. Seperti berabad lama. Tukang pos
     itu tak ingin merasa tua. Umurnya tak dicatat.

TINGGAL sepucuk surat. Dengan nama dan
     alamat yang seperti sangat dikenalnya. Dia
     sedang menuju kesana. Mengantarkan surat
     satu-satunya yang masih tersisa. Pasti si
     peneriman surat ini sedang menunggu di sana -
     begitulah selalu ada kalimat itu. Menyemangatinya.
     Meskipun kadang-kadang ada yang tak kurang
     bertata krama memaki makinya karena kiriman
     yang terlambat tiba. Kok belum diantar? Ini kan
     surat sangat kilat? Kok paketnya rusak? Bapak
     yang membukanya ya? Kok prangkonya dicopot?
     Ah begitu banyak kok yang membuatnya semakin tua.
     Siksa usia yang terus dilawannya.

TINGGAL sepucuk surat. Begitu ingin dia membukanya.
     Tapi itu tentus aja tidak akan pernah diperbuatnya.
     Melanggar kode etik profesinya. Melanggar sumpah.
     Hingga dia tua, dia sangat mencintai pekerjaan itu.
     Pengantar surat adalah pekerjaan sangat mulia.
     Dia muliakan dirinya dengan menjadi pengantar
     surat terbaik di kota ini. Ia bekejra 24 jam sehari
     semalam. Ia mengantar surat ke alamat alamat
     yang paling sulit dicapai pelayanan pos negeri ini.
     Tanpa tropi tanpa medali tanpa sertifikat penghargaan.
     Ia baktikan seluruh hidupnya sampai tua usianya.

TINGGAL sepucuk surat. Dan dia tiba-tiba teringat
     satu-satunya surat yang pernah ia terima. Surat
     panggilan kerja dari jawatan pos. Satu-satunya
     surat yang masih terlipat rapi di dompetnya. Tersimpan
     bersama kartu pengenal pegawai pos yang sangat
     dibanggakannya.

TINGGAL satu-satunya surat. Dengan nama dan alamat
     yang sangat dikenalnya. Sepertinya. Sepertinya. Dia sangat
     mengenal selok belok pelosok gang pojok kota ini. Seperti
     pernah diantarnya sepucuk surat ke alamat ini dulu. Tapi
     dia tak lagi percaya pada ingatannya yang tua. Tapi dia tak
     ingin menodai bertahun-tahun pengabdiannya dengan
     kesalahan karena tak berhasil mengantar satu-satunya
     yang saat itu tersisa.


SESURAT SURAT

Sajak Amy Lowell

Kata-kata kejang mengambur acak di gurat
     kertas surat
Seperti coret kacau sayap kaki lalat,
Ada nyala bulan mengelak di sela daun oak,
Apa cerita bisa kau kuak?
Juga pada tingkapku bimbang, pada lantaiku
     yang kosong lapang

direnjisi cahaya bulan?
Lagak dan kelaku pandirmu tak ada
     pada yang di sana:
yang bersemi bunga berduri,
Dan di genggam tanganku, kertas ini pun pucat,
     kering dan lencir, bagai perawan manja,
muda, lagi menggoda.

Aku letih, duh kasih, letih tersebab hati
     yang melawan
engkau yang diinginkan;
Letih tersebab memeras kertas hingga menetes tinta,
Lalu mengirimkannya.
Dan aku terbakar lepuh sendiri, di sini, di bawah api
bulan, yang mahabulan.

ADA TELEPON DI RUANG TAMU

ada pesawat telepon yang merasa terjebak di ruang tamu
     jam sudah sangat larut dering terakhir mengucap,
     "selamat tidur, Malam Minggu..."

ada pesawat telepon yang bosan menunggu, dan ingin
     sekali menekan sederet angka yang sudah lama
     dihafalkannya, lalu bercakap-cakap tentang bohong
     dan omong kosong yang tiap hari diterimanya.

ada pesawat telepon yang rindu pada kata yang pernah didengarnya,
     yang dulu diucapkan Alexander Graham Bell,
     ketika percakapan pertama terhubungkan. "Halo, kau masih disana?"


MENUNGGU PUISI


masih ada
seujung sendok nescafe
cukup untuk segelas kopi
buat menunggu puisi.

di luar: gerimis deras
dingin tempias,
ah, betapa sapardi.

lalu datang bayang
kukira dialah puisi
ranum, samar senyum
mengulur jemari

: kenalkan, namaku prosa....
katanya, namanya prosa?

Pada ruang kosong , pada padang lengang

Pada ruang kosong sajakku, kau akan mendengar
gema-gema suara-Nya. Kau tidak akan tahu kapan
sebenarnya gaung itu ada sebelum terpisah dari
suaramu. "Aku hanya ingat, waktu itu aku penat
berteriak, memanggil-manggil nama-Mu," katamu.

Pada padang lengang sajakku, kau akan bertemu
bayang-bayang sendiri. Kau pasti amat mengenal
: siluet yang tak pernah menyahut seramah
apapun kau menyapa. "Kami juga tak pernah sepakat,
siapa menuntun siapa, berpantomim seperti ini," katamu.


Inilah aku yang mencintaimu.
sajak Pablo Neruda

Inilah aku yang mencintaimu.
Pada pinus hitam angin mengurai kekusutan.
Bulan berpendar seperti fosfor di air tak berhulu-muara.
Hari demi hari, sama saja, saling memburu-mengejar.

Salju tak tergulung dari sosok-sosok berdansa.
Camar berbulu perak tergelincir terbang dari barat.
Sesekali tampak sebuah layar. Tinggi, bintang yang jauh.

O ada silang hitam sebuah kapal.
Bersendiri.
Sesekali aku terbangun diri hari, dan jiwaku basah.
Di kejauhan laut bergemuruh disahut gemuruh.
Inilah pelabuhan itu.
Inilah aku yang mencintaimu.

Inilah aku, ketika cakrawala sia-sia menyembunyikanmu
Aku mencintaimu walau segala membeku mengepung.
Sesekali kecupanku berlayar bersama kapal besar
menyeberangi laut menuju yang tak tersampai.

Aku merasa dicampakkan bagai jangkar tua.
Pelabuhan makin murung ketika petang tertambat di sana.
Hidupku jatuh kian letih, lapar tanpa ada sebabnya.
Aku mencintai apa yang tak bisa kupunyai. Engkau begitu jauh.

Kebencianku tak terebut oleh senja yang lamban.
Tapi malam tiba jua, dan mulai bernyanyi bagiku.
Bulan membalikkan arah jarum jam mimpinya.

Bintang terbesar menatapku dengan matamu.
Dan seperti aku mencintaimu, pinus dan angin
daun yang berjalin ingin melagukan namamu.




ku ingin jadi keheningan untukmu
Sajak Pablo Neruda

Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
dan kau dengar aku dari jauh, tapi suaraku tak menyentuhmu.
Seperti matamu yang mengalur hingga jauh
seperti ada sebuah kecupan yang mengunci mulutmu.

Seperti segalanya terpenuhi dengan jiwaku
Kau menjelma dari segalanya, memenuhi jiwaku.
Engkau seperti jiwaku, kupu-kupu mimpi,
dan engkau seperti kata Melakoli.

Aku ingin jadi keheningan untukmu: dan kau berjauh jarak.
Suara itu seperti engkau meratap, seperti merpati suara kupu-kupu.
Kau mendengarku dari jauh, suaraku tak mencapaimu:
Biarkan aku datang padamu menjadi hening dalam sunyimu.

Dan biarkan aku bicara denganmu, dengan kesunyianmu
terang seperti lampu, seadanya bagai seutas cincin.
Engkau seperti malam, menyimpan keheningan dan konstelasi.
Sunyimu adalah bintang, memencil jauh dan bersembunyi.

Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
jauh jarak itu penuh nestapa itu seakan kau telah mati.
Lalu hanya satu kata, satu senyuman, cukup sudah.
Dan aku bahagia, bahagia karena segala menyaru palsu.

Agar kelak kau simak aku
Sajak Pablo Neruda

Agar kelak kau simak aku
kata-kataku
kadang tumbuh menerawang
seperti jejak-jejak camar di sepanjang pantai.

Kalung, lonceng kerasukan
untuk tanganmu halus, selembut buah anggur.

Dan kusaksikan kata-kataku
Kata-kata yang lebih punyamu daripada milikku.
Kata-kata yang memanjati nestapa lama bagai liana.

Ia juga merambati dinding-dinding kabut.
Kau menanggung kutuk untuk pertarungan kejam ini.
Kata-kata melarikan diri dari jerumun gelapku.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.

Sebelum engkau, mereka menghuni kesunyian yang kau
tinggali, mereka lebih berguna bagi dukaku daripada kau.

Sekarang aku ingin mereka berkata apa yang ingin kukatakan
padamu, membuat kau mendengar apa yang kuinginkan
kau mendengarnya.

Angin penderitaan masih terkandung seperti biasa.
Sesekali mimpi puting beliung mengetuk juga.
Kau dengar, suara lain di dalam suara nestapaku.

Keluh mulut yang dahulu, darah permohonan dahulu jua.
Cintai aku, kawan. Jangan abaikan. Ikuti aku. Ikuti aku,
kawan, di ombang-ambing gelombang penderitaan ini.

Tapi kata-kataku jandi ternoda oleh cintamu.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.

Lalu kubuat kata-kataku menjadi kalung tak berujung
untuk tanganmu putih, halus selembut buah anggur.

Jiwa yang tercekau
Sajak Pablo Neruda

Bahkan kita pun tersesat di senja kala ini.
Tak ada yang melihat kita berpegang tangan malam ini
malam yang meluruhkan birunya ke dunia.

Aku melihat dari jendela yang terbuka
matahari berpesta, tenggelam di kejauhan puncak gunung.

Sesekali tampak sepotong matahari
terbakar seperti keping uang di antar dua tanganku.

Aku terkenang engkau, hati tercekau
dalam duka itu, dukaku itu, engkau tahu.

Lalu engkau, dimanakah?
Lalu di sana itu, siapakah?
Lalu yang disebutnya, apakah?
Kenapa saat segenap cinta tiba tiba-tiba
saat itu duka meraja dan kurasa engkau jauh disana?

Buku tersia senantiasa tak terbuka saat senja tiba
dan sweater biruku teronggok: simpuh anjing luka.

Selalu, selalu saja engkau menyusut melintasi malam
melewati senja, gelap yang menelan patung-patung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar