Bagaimanakah kami mesti mengenang perempuan buta itu-yang liang
selangkangnya bengkak karena dosa dan sekujur tubuhnya bergetah nanah
kena kusta! Adakah ia sundal ataukah santa?
Rasanya belum lama lewat. Selepas hujan tengah malam, sebelum sulur
cahaya fajar mekar, seorang peronda terkesiap gemetar: di dekat kandang
kuda samping gereja, ia melihat gadis kecil menggigil, bugil, seperti
peri mungil yang usil hendak menakut-nakutinya. Segera ia tabuh
kentongan yang dibawanya. Dan puluhan warga seketika terjaga, juga
bapak pendeta. Setelah kepanikan mendengung bersahut-sahutan,
perlahan-lahan suasana jadi tenang, dan mereka pun segera mendekati
gadis kecil yang ketakutan serta kedinginan itu. Dengan lembut bapak
pendeta menyelimutkan jubahnya ke tubuh gadis itu sembari berbisik
perlahan, “Domba kecilku…” Ia terpesona oleh mata bening gadis kecil
itu.
Ketika pagi yang lembut terasa seperti
hosti, warga kota pun mulai mengerti: betapa kota mereka yang tenang
seakan-akan telah terbekati. Gadis kecil itu telah dikirim dari langit
untuk membuat hidup mereka menjadi lebih riang. Kemudian, ketika
duduk-duduk di kedai kopi, beberapa orang mulai bercerita tentang mimpi
mereka malam sebelumnya. Seseorang mengatakan, ia bermimpi melihat
gugusan bintang cemerlang menaungi kota. Seorang lagi berkata bahwa ia
bermimpi melihat kawanan bangau bersayap cahaya terbang melintasi kota
mereka. Seseorang yang lain menceritakan pijar api biru yang dilihatnya
meluncur dari langit menuju atap gereja.
Yang lain menambahi bahwa ia sesungguhnya sudah merasa sebelumnya
ketika ia melihat bunga-bunga di halaman rumahnya bermekaran begitu
indah melebihi biasanya. “Dan kau tahu…,” seseorang berkata penuh
senyuman. “Aku sudah merasakan kehadirannya ketika seluruh kudis di
tubuhku tiba-tiba mengering dan mengelupas. Saat itu aku merasakan ada
embus lembut yang berkali-kali meniup-niup kulitku. Aku yakin, itulah
napas lembut bidadari kecil itu…” Wajahnya begitu cerah, seperti
seseorang yang begitu percaya betapa Tuhan barusan mengampuni seluruh
dosa-dosanya.
Kemudian seseorang yang bermulut murung langsung menimbrung, “Ya,
saya juga merasa, ketika saya tahu anak babi saya yang baru lahir
berkaki lima!”
Kisah-kisah ajaib bermekaran, membuat percakapan di kedai kopi yang
biasanya berlangsung datar membosankan menjadi lebih bergairah. Para
pembual dan tukang cerita seperti menemukan kesempatan untuk
mengembangkan imajinasinya.
Namun, bagaimanapun, gadis kecil itu memang membuat kota kecil ini
jadi lebih menggeliat. Sudah begitu lama segalanya terasa lamban dan
membosankan karena semua hal nyaris sudah mereka percakapkan dan
rasakan. Pantai yang putih, teluk yang jernih. Juga lorong-lorong kota
yang begitu bersih. Sudah lama semua itu enggan mereka percakapkan
karena terkesan jadi seperti menyombongkan. Karena tanpa mereka
percakapkan pun semua orang sudah tahu tentang kota mereka yang kecil
dan indah, hingga banyak pelancong begitu terkesan dan kerasan.
Bangunan-bangunan tua yang terawat, di mana setiap riwayat tergurat,
seperti selalu mengisahkan kembali sejarah kota yang penuh kedamaian.
Jembatan dan kanal, gereja dan dermaga, kedai-kedai kopi sepanjang
jalan utama, apalagi yang masih perlu dipercakapkan?
Dan gadis kecil itu membuat warga kota menggeliat, seakan disadarkan
dari ketenangan dan kelambanan yang justru membuat mereka mulai merasa
penat. Ketika gadis kecil itu meloncat-loncat riang mengikuti bapak
pendeta yang berjalan keliling kota menenteng piskis, mereka jadi lebih
antusias memperhatikan, dan terpesona pada keredap cahaya Matahari yang
memantul dari tepi nampan perak itu.
Ketika gadis kecil itu bermain-main di alun-alun kota bersama
kawanan merpati, orang-orang tak hanya melihat burung-burung yang
berhamburan berebut remah roti, tetapi juga bisa melihat garis-garis
lembut bulu merpati itu, bercak kecoklatan di kaki burung-burung
merpati itu, juga pada jejak-jejak halus yang nyaris merata menutupi
permukaan tanah yang tak terlalu basah. Mereka jadi bisa merasakan bau
lembab rerumputan.
Mereka seperti kembali menemukan kegembiraan ketika memandangi
patung perempuan dari batu pualam yang mendekap jambangan. Dapat mereka
lihat serat-serat coklat di bagian leher patung itu, seperti urat di
selembar daun yang menua. Mereka juga memperhatikan air yang keluar
dari jambangan itu, mengucur menyentuh permukaan kolam dan berpercikan.
Percik-percik air itu berloncatan seperti anak belalang bertubuh
terang. Ketika mereka selesai menikmati segelas kopi, mereka pun tak
hanya melihat sisa ampas, tetapi juga liuk lekuk bekas bibir mereka di
gigir gelas. Mereka bisa melihat dengan jelas aroma kelabu yang keluar
dari mulut seseorang yang baru saja menikmati anggur. Segalanya
seakan-akan menampakkan diri lebih jelas, dengan seluruh kelembutan dan
pesona detail-detailnya. Hingga keheningan tak hanya terasa begitu
dekat, namun juga pekat.
Semuanya tumbuh bersama gadis itu yang membuat warga kota menjadi
lebih giat mendatangi gereja. Mereka begitu senang setiap kali
mendengar gadis kecil itu bernyanyi. Orang-orang bisa melihat pipi
bocah itu yang halus bersemu kemerahan. Anak-anak rambutnya bergeraian
dan beberapa, karena keringat, melemat di lehernya yang kuning
mengilat. Bulu matanya begitu lebat lentik, seakan memayungi sepasang
mata bening agar tak terkena debu-debu dosa. Bocah itu tumbuh, seperti
perasaan seorang beriman yang diberkahi kedamaian. Dan warga kota pun
selalu teringat tanda-tanda yang menyertai kemunculannya, sebagaimana
selama ini tak bosan-bosan terus-menerus mereka percakapkan: ia datang
dari gugusan bintang cemerlang dibawa kawanan bangau bersayap cahaya
kemudian menjelma pijar air biru yang meluncur menuju atap gereja
hingga bunga-bunga di halaman rumah bermekaran begitu indah melebihi
biasanya dan membuat kulit penderita kudis seketika mengering serta
anak babi bisa terlahir dengan kaki lima….
“Bagaimanapun,” kata bapak pendeta, “tanda-tanda mereka yang mulia,
antara lain, karena ia dilahirkan di kandang hewan, di sebuah
palungan….”
Dan orang-orang pun teringat, betapa gadis kecil itu ditemukan seorang peronda, meringkuk di dekat kandang kuda.
Kehidupan di kota kecil itu pun tak lagi menggeliat lambat.
Perlahan-lahan meskipun segalanya masih terasa begitu khidmat, mereka
mulai merasakan ada sesuatu yang menggeliat gawat. Mereka menyaksikan
bocah cilik itu sudah menjadi gadis yang seranum buah murbai. Tawanya
begitu berderai, dan ia melangkah amat semampai. Anak-anak muda selalu
berpakaian cerah. Ada sesuatu yang tumbuh, melebihi gairah pesta-pesta
yang kini sering kali digelar di sepanjang trotoar. Sesuatu yang
membuat anak-anak muda itu tertawa lebih keras, dan merasa tak perlu
untuk cepat-cepat menutup mulut mereka dengan tangannya. Malam lebih
panjang dengan keramaian, terompet dan nyanyian. Dan selalu, di puncak
malam, terjadi perkelahian. Karena setiap pemuda berebut ingin berdansa
dengan gadis paling jelita di kota. Karena setiap pemuda merasa paling
berhak dan ingin menjadi penguasa satu-satunya. Dan gadis-gadis lain
menangis-juga histeris-karena merasa diabaikan, terhina, dan diluapi
kebencian. Fitnah dan hujah pun membuat gatal dan resah. Setiap
gunjingan kemudian menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu, yang
malam-malam selalu terlihat berkeliar di pesisir pantai….
“Dan itu hanya dilakukan para lonte!” para perempuan mulai
bergunjing, sambil memerhatikan tingkah laku para lelaki yang
belakangan ini memang lebih suka menghabiskan waktu di tepi pantai
ketimbang duduk-duduk di kedai. Para istri mulai menajamkan mata,
mengawasi suami-suami mereka. Tentu saja, para suami yang merasa tak
dipercaya jadi gampang meluap marah. Nyaris, sepanjang hari, bila kini
engkau berkunjung ke kota kecil itu, engkau akan mendengar suara pipi
ditampar, teriak perempuan kalap mencakar-cakar, umpatan-umpatan kasar.
Tak mengherankan, apabila gadis cantik itu terlihat melintas, para perempuan buru-buru menghindar.
Melebihi usia tua yang celaka, bapak pendeta mulai gelisah ketika
dari hari ke hari kian sedikit warga kota yang berdoa bersamanya. Para
perempuan enggan datang ke gereja, bila gadis itu ada di sana. Kaum
lelaki, yang tak mau terlalu kelihatan memendam birahi, juga jadi
sungkan mengikuti ekaristi. Bau sunyi mulai membuat gereja itu terlihat
pasi setiap Minggu pagi. Bapak pendeta tak juga menemukan jalan
bijaksana, bagaimana ia mesti mengatakan ini semua, tetapi tak membuat
hati gadis itu terluka.
Saat bapak pendeta berdoa agar diberi jalan keluar, ia mendengar
kerekit pintu gereja terbuka, kemudian suara langkah kaki diseret di
atas lantai kayu yang kasap. Bulu-bulu tengkuknya seketika meremang,
saat ia merasakan ada sehembus angin halus: seakan-akan ia merasakan
kehadiran sesuatu yang kudus.
“Maafkan saya, Bapak…” terdengar suara yang begitu dikenalnya. “Saya
telah menyusahkan Bapak. Biarlah saya yang tak lagi ke gereja. Saya
akan kembali ke kandang kuda. Karena dari sanalah asal saya….”
Betapa terbelalak bapak pendeta. Gadis itu berdiri gemetar di
hadapannya matanya tak sebak air mata, tetapi darah! Gadis itu telah
mencongkel kedua biji matanya dengan jari-jarinya sendiri karena tak
mau lagi melihat dosa. Darah yang masih basah terus merembes keluar
dari liang matanya.
Kota kecil itu pun gemetar. Ketika dengan cepat kabar itu menyebar,
orang-orang menyaksikan senja yang seolah bergetar, dan jantung mereka
begitu berdebar. Mulut mereka asam dan kecut seperti mengunyah acar.
Sejak itu, mereka selalu mendengar gema doa yang mengalun dari arah
kandang kuda. Gema yang bagai menyusutkan semua suara, hingga kota
digenangi kesepian seketika. Gema yang membuat setiap warga kota
menundukkan kepala. Mereka kini lebih banyak berdiam diri ketika
duduk-duduk di kedai kopi. Mereka gampang terkejut, bahkan oleh denting
paling pelan suara sendok yang menyentuh gelas. Apalagi saat ini engkau
berada di antara mereka, engkau bisa merasakan raut cemas yang
menyelusup halus dalam senyum ramah mereka.
Apalagi ketika mereka melihat gadis itu-yang kian terlihat begitu
cepat tua-melintas di jalan, bila ia membutuhkan makanan. Orang-orang
dengan bergegas akan menghindar, warung-warung akan segera menutup
kerai dan pasar segera bubar. Karena ketika ia berjalan tidak terlihat
menyedihkan, tetapi mengerikan. Sementara gema doa bagai membungkus
tubuhnya, ia terlihat tertatih-tatih dengan sepasang tangan yang
seakan-akan selalu merabai punggung udara. Gaun etamin hitam yang
serupa jubah terjulai hingga bagian bawahnya menyapu tanah. Debu-debu
halus berleduban setiap kali perempuan itu melangkah. Wajahnya selalu
tertutup selendang usang, tetapi orang-orang tetap saja bisa memandang
sepasang liang matanya yang remang. Lebih-lebih bayangan wajahnya yang
ledang. Bahkan, orang-orang lebih ketakutan pada sepasang liang yang
tak lagi berbiji mata itu karena mereka percaya justru setelah buta,
perempuan itu mampu melihat semua yang kasatmata. Ia bisa merasakan
kebusukan yang dengan penuh kesopanan disembunyikan.
Ketika berlangsung pesta yang diadakan untuk membangkitkan kembali
kenangan-kenangan bahagia yang pernah memulas kota dengan warna-warna
keriangan-karena bagaimanapun kota ini mesti tak boleh terbenam dalam
kemurungan-mendadak perempuan itu muncul. Ia sudah berdiri di dekat
pancuran, menuding ke tangan-tangan warga yang tengah bersulang. “Yang
kalian minum bukan anggur, tetapi darah seorang pelacur….” Suaranya
bagai muncul dari bawah tanah yang seketika bergetar seperti punggung
orang yang terbatuk-batuk. Saat itu pula mereka mencium bau yang amis,
serupa miasma yang menguap dari rawa-rawa. Beberapa hari kemudian,
perempuan itu berdiri di tengah jalan menghentikan kereta wali kota.
Sementara para pengawal wali kota hanya mematung tak berdaya, bagai
tersihir, perempuan buta itu segera mendekati wali kota dan langsung
menepuk-nepuk punggungnya. Saat itulah orang-orang yang menyaksikan
puluhan ekor ular keluar dari lubang telinga wali kota. Beberapa ekor
juga keluar dari mulutnya, dari hidungnya, dari duburnya….
Perempuan buta itu mengatakan kepada beberapa gadis agar segera
membuang lintah yang memenuhi perut mereka. Kepada seorang saudagar
perempuan itu mengingatkan agar tak lagi makan belatung. Ia membuat
malu seorang guru karena dikatakan suka menggauli anak kandungnya yang
gagu. Dengan tegas ia menuding hidung seorang tentara yang dikatakannya
gemar memerkosa. Ia mengucapkan semua itu semudah orang menyemburkan
ludah. Kadang-kadang caranya berkata-kata seperti seseorang yang tengah
menyumpah. Bahkan, ia begitu kurang ajar mengatakan bapak pendeta tak
cukup beriman untuk membimbing para jemaahnya!
Itulah yang membuat orang- orang dengan gemetar menghindar. Ia
mengerikan karena telah menyerahkan jiwanya kepada setan sehingga ia
bisa melihat dalam kegelapan seperti makhluk malam. Setiap pintu rumah
orang terhormat tak akan terbuka setiap kali ia mengetuknya. Setiap
orang kemudian berdoa agar perempuan buta itu terkena lepra….
Karena tak diterima di kota, perempuan itu lebih sering terlihat
memandangi laut, seakan seorang peramal yang mencari isyarat maut.
Kadang sepanjang hari ia berdiri di tebing karang dikelilingi
burung-burung camar atau menyusuri pantai memunguti barai, kerang, atau
lengkitang. Ia menyeruput siput-siput itu langsung dari cangkangnya,
membuat jijik siapa pun yang melihat. Kecuali pelacur-pelacur miskin
yang menghuni gubuk-gubuk rumpang di sisi dermaga, yang segera meniru
kelakuannya; setidaknya perempuan itu mengajarkan kepada mereka satu
cara mengatasi kelaparan. Karena itulah, setiap sore, para pelacur itu
mengundangnya untuk bertandang ke gubuk mereka. Dengan cepat ia menjadi
dekat dengan para barua, mucikari, kecu, pencoleng, budak-budak
pelabuhan, para begundal, dan juru mudi kapal. Seolah orang perempuan
itu menjadi pelindung mereka.
Sementara senja kian muram. Di kedai-kedai kopi orang-orang lebih
banyak diam. Hanya sesekali mereka mengingat perempuan itu dengan
pedih, dengan sesal yang tak berkesudahan. Kemudian kisah lama hadir,
dengan suasana berbeda. Kenapa, dulu, tak kita buang saja gadis cilik
itu ke laut? Ia pasti keturunan putri duyung yang suka menggoda dengan
nista dan air mata, seseorang berkata. Atau dia memang anak jadah dari
rahim seorang pelacur yang sengaja membuangnya, timpal yang lainnya.
“Sejak pertama kali ia ditemukan, aku sesungguhnya sudah ingin
mengingatkan, kalau sebelumnya aku bermimpi buruk; kota kita diserbu
jutaan burung pelatuk. Aku ingin menceritakan mimpi itu, tetapi aku
takut kalian tak mempercayainya waktu itu…,” kata seseorang sembari
membuang pandang. Kemudian setiap orang mengisahkan mimpi-mimpi
lainnya, yang jauh berbeda dari yang dulu mereka katakan. “Sesungguhnya
aku berdusta soal mimpi burung bangau bersayap cahaya….”
Kota kecil di tepi teluk itu seperti wajah orang tua yang mengantuk,
sementara kekecewaan kian lama kian menumpuk. Perempuan itu membuat
kota mereka yang indah menjadi berbau tanah. Dari arah pelabuhan selalu
terdengar suara pelacur-pelacur yang terkikik. Para begundal mengerang
dihisap mulut sundal. Mereka, kaum pendosa, membuat kota ini celaka.
Karena kepada para pelacur dan pencoleng yang menjadi kaumnya,
perempuan buta itu selalu berbicara tentang surga, tetapi membiarkan
mereka saling remas kelamin di hadapannya. Terkutuklah perempuan itu!
Dia najis, karena membiarkan puting susunya yang garing diisap
pengemis-pengemis kudis. Dia iblis, karena dengan lidahnya mau
menjilati borok di selangkang pelacur yang terkena sifilis. Dia nista,
karena melayani budak dan bromocorah dengan tubuhnya. Dia sundal,
karena bersenggama dengan ratusan begundal….
Dan perempuan buta itu sungguh-sungguh tak terampunkan ketika
perutnya bengkak oleh dosa, dan ia mengaku mengandung bayi buah
cintanya dengan malaikat. Dari hari ke hari perut perempuan buta itu
kian membesar dan para pelacur sundal pencoleng begundal yang selalu
mengelilinginya menganggap perempuan itu telah menjadi santa yang
rahimnya memancarkan cahaya. Karena memang begitulah yang mereka
percaya; suatu malam mereka melihat cahaya berkilauan turun dari surga.
Itulah cahaya yang memancar dari sepasang sayap malaikat, yang segera
menghampiri perempuan buta itu. Laut seperti memejam, ombak redam,
ketika malaikat dan perempuan buta itu berciuman. Malaikat itu
menitipkan benih cinta di rahim perempuan buta.
Di puncak kemarahan, puluhan warga kota segera mendatangi bapak
pendeta. Bagaimanapun perempuan bidah itu mesti ditangkap, dirajah.
Dengan bijaksana bapak pendeta menyerahkan semuanya kepada wali kota.
Maka segeralah dikirim bala tentara, mengobrak-abrik pelabuhan,
mengusir pergi para sundal dan begundal. Dan perempuan buta itu
diseret, dilecut punggungnya sepanjang perjalanan menuju penjara.
Setiap warga melempari tubuh perempuan itu dengan batu, sambil
menghujah marah.
“Bidah!”
“Penyihir!”
“Lonte!”
Kemudian perempuan itu dilemparkan ke ruang penjara bawah tanah. Di
sel pengap sempit dengan ujung-ujung besi runcing yang saling jepit
saling kait. Sel yang penuh ular keling dan kalajengking. Berhari-hari,
berbulan-bulan, tanpa makanan.
PADA bulan ke delapan, keputusan telah dimaklumatkan. Perempuan itu
mesti mati sebelum bayi itu dilahirkan. Karena kota ini mesti
dibebaskan dari rantai kutukan. Karena dosa mesti ditumpas sebelum
sempat tumbuh lagi satu tunas. Dan seluruh warga kota yang mulia dan
terhormat sepakat, perempuan itu mesti dirajam dengan tembakan. Setiap
warga yang memiliki senapan boleh ambil bagian.
Pistol-pistol tua yang selama ini tersimpan dalam peti atau lemari
dikeluarkan dan dibersihkan. Senapan berburu yang selama ini hanya jadi
pajangan segera diturunkan. Peluru-peluru disiapkan. Yang belum punya
senapan segera membeli di pasar loak. Atau pinjam kepada kenalan.
Seluruh lelaki di kota itu telah menenteng senapan, berdiri di
sepanjang jalan. Bahkan banyak juga perempuan yang dengan gembira
mengacung-acungkan senapan. Sementara di alun-alun kota, di mana
hukuman akan dilaksanakan, beratus-ratus bala tentara sudah siap dengan
senapan di tangan yang siap ditembakkan.
Dan inilah prosesi pembantaian yang paling dinantikan…
Langit bersih, siang itu, seperti merestui. Seluruh warga kota sudah
memenuhi alun-alun ketika perempuan buta itu diseret keluar dari
penjara bawah tanah. Ia melangkah dengan kaki yang tak goyah. Pe rutnya
bertambah besar. Liang matanya terlihat kian kelam. Rambutnya dipenuhi
sindap, lengket bergempal-gempal bau apak. Tubuhnya penuh keranta,
meruapkan aroma kematian. Tetapi lihatlah, betapa ia tampak damai.
Meski sekujur tubuhnya penuh koreng. Jari-jari tangannya menggeropeng,
beberapa nyaris putung digerogoti kusta. Sikapnya seperti seorang
perempuan yang bersikeras mempertahankan martabat. Di atas panggung
hukuman, tepat di tengah alun-alun kota, ia berdiri memandangi langit
dengan sepasang matanya yang buta.
Dosa sebentar lagi dilenyapkan. Beratus-ratus lup senapan diarahkan.
Ketika segalanya kian dekat, keheningan kian terasa sempurna. Saat itu
bila engkau ada di sana menyaksikan itu semua, engkau akan bisa
mendengar suara air mata yang bergulir dari keluk kelopak mata.
Kemudian detik seketika meledak. Sementara delap menguap dari tiap
ujung senapan yang berkali-kali ditembakkan, beribu-ribu peluru
menghambur menyerbu mengepung tubuh perempuan buta itu. Beribu-ribu
peluru yang menderu, hingga engkau bisa mendengar gemuruh suaranya
ketika membelah udara yang dipenuhi percik-percik cahaya. Cahaya?
Di bawah sinar Matahari, beribu-ribu peluru itu memang terlihat
bagai biji-biji cahaya yang berlesatan, membuat terkesima siapa pun
yang melihatnya. Dan orang-orang kian terkesima; ketika senapan terus
ditembakkan hingga ribuan peluru terus berlesatan di udara, tetapi pada
saat itu juga, peluru-peluru itu saling bertubrukan dan pecah menjadi
keping-keping cahaya bening yang terbang melayang-layang seperti
kupu-kupu. Ya, kupu-kupu! Beribu-ribu peluru itu seketika menjelma
kupu-kupu sebelum menyentuh tubuh perempuan buta itu…
Terdengar suara puluhan senapan terlepas berjatuhan, sementara
setiap orang menyaksikan semuanya dengan penuh ketakjuban. Beribu-ribu
kupu-kupu dengan sayap yang membiaskan cahaya lembut aneka warna,
terbang melayang-layang, kemudian mulai hinggap di tubuh perempuan buta
itu. Menghinggapi kedua tangannya yang terentang, seakan-akan ia
disalibkan. Lalu, begitu pelan, beribu-ribu kupu-kupu itu mengangkat
tubuh perempuan itu hingga tampak seperti balon udara yang tengah
mengangkasa. Terus membubung. Berkilauan dalam kemegahan sayap-
sayapnya, kemudian gaib ditelan langit.
Kami terkesima memandanginya, tetapi kami juga merasa begitu hampa.
Ada yang tak kunjung kami pahami, hingga kini. Bagaimanakah kami mesti
mengenang perempuan buta itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar