teks

selamat datang di blog saya

Kamis, 16 Desember 2010

RENDEZVOUS

 Cerpen:Agus Noor

SUATU malam aku terdampar di sebuah kafe. Ah, terdampar! Aku merasa pas dengan ungkapan itu.
Aku terapung terseret arus kesunyian cahaya yang menggenangi jalanan kota. Seperti bersampan, mobil meluncur pelan dan tenang. Kulihat malam menyepuhkan kelam, dan aku menikmatinya sebagaimana kelelawar terpesona pada kegelapan yang gaib. Begitulah, seperti biasanya, aku keluar rumah dengan gairah yang meruah, untuk menikmati gemerlap cahaya yang megah. Masih bisa kucium hangat senja menguap di kaca-kaca gedung-gedung yang berubah gemerlap, dan kusaksikan kota yang perlahan merekah dipulas gairah aneka warna cahaya. Aku meluncur pelan, dan kurasakan kesunyian perlahan-lahan mulai menghisap bias cahaya yang berpendaran, hingga suasana terasa keramat. Kota seperti penderita insomnia yang pucat dan mulai sekarat.
Memang, belakangan ini, kota terasa aneh. Ada ketakutan mengeram di jantungnya yang penuh baksil.  Kecemasan berhembus bersama angin busuk dari utara. Sesekali, seperti terdengar erang panjang, mengembang dan menggenang sepanjang jalan yang berkilatan karena sisa hujan yang belum terhapuskan. Hanya kesunyian yang tampak berjaga-jaga di tiap perempatan jalan. Hanya satu dua kendaraan sesekali melintas, dan pejalan kaki yang terlihat bergegas. Sisa-sisa kerusuhan yang menghanguskan kota memang masih menyebarkan hawa panas, juga cemas.
Kukira itulah yang membuat tak banyak orang berkeliaran di jalan. Apalagi ketika banyak tempat hiburan malam berkali-kali diserbu gerombolan orang bertopeng dan berpedang. Berbondong-bondong mereka datang, berteriak-teriak penuh hujatan, memecahi kaca, menghancurkan kursi dan meja, dengan sumpah serapah mengutuki siapa pun yang dilabraknya sebagai para pendosa… “Enyahlah kalian ke neraka!!” teriak mereka berang, sambil terus menyerang. Ah, seandainya neraka memang benar ada, betapa aku ingin sesekali pakansi ke sana
Itulah, kukira, yang membuat Wawan, Anang, Eko, Agung – kawan-kawan malamku – menolak  ketika aku menelpon mereka, mengajak menghabiskan malam seperti biasa. Bagai hantu-hantu yang terkurung di rumah tua penuh kutukan, mereka memilih mendekam dalam kamar, meski resah disesah gelisah. “Yaah, sesekali jadi suami yang baik lah…” desah Wawan ketika kutelepon. Aku pura-pura batuk. Eghm.
Jadi suami yang baik? Aku tahu: itu artinya suami yang menghabiskan malam hanya di tempat tidur bersama istri. Baiklah, baiklah. Selamat jadi suami-suami munafik! Ah, tetapi, barangkali itulah enaknya punya istri; ada kawan pengusir sepi. Sementara aku sendiri dicekam sunyi seperti ini. Sendiri meluncur hanyut terseret alun sungai cahaya yang gemerlapan, tetapi menderaskan kehampaan. O, hati yang tak mau berbagi, mampus kau dikoyak-koyak sepi! 1
Aku meluncur dan mengapung, terus berpusaran timbul tenggelam dalam riam kehampaan sembari memandangi gedung-gedung yang tampak berkilauan terperciki tempias cahaya yang bergemericikaan bagai hujan. Kusaksikan betapa gedung-gedung cahaya itu bagai balok-balok es berkilatan yang perlahan-lahan mulai mencair  menggenangi jalanan kota yang menjelma menjadi sungai cahaya yang mengalir, terus mengalir, seperti air.2 Dan aku hanyut meluncur entah ke mana seumpama pengembara dengan sampan melintasi lautan kesunyian yang tampak menakjubkan ketika tertimpa cahaya bulan. Hingga menampak keretap pecahan cahaya keperakan di permukaan air, bagaikan berjuta pecahan mutiara yang berkilauan terapung-apung ringan di permukaan kesunyian. Sementara cahaya terus meruap dan meluap, menenggelamkan gedung-gedung, menenggelamkan kota…
Sedang aku terseret arus entah ke mana!
SAMPAI kemudian – sebagaimana kubilang – aku terdampar di sebuah kafe! Seperti mimpi, semuanya begitu saja terjadi. Mungkin juga karena aku terlalu lelah, setengah tertidur setengah terjaga, entahlah. Samar aku lihat semburat cahaya keemasan di ufuk langit yang keruh dan tirus bagai lakmus. Ke arah cahaya itu aku meluncur – ah, tidak! Rasanya semburat cahaya keemasan itulah yang menghisap seluruh gerak yang berpusaran di sekitarnya. Seperti magnet yang menghisap biji-biji besi. Dan aku pun terhisap meluncur ke arah cahaya yang berkilauan keemasan itu…
Ternyata, cahaya itu berasal dari sebuah rumah tua yang sudah dipugar menjadi kafe. Sungguh, tak pernah kulihat kafe ini sebelumnya. Rasanya sudah kudatangi dan kunimati seluruh kafe dan tempat hiburan di kota ini, dan aku tak pernah melihat kafe ini sebelumnya. Kafe yang tenang, dengan pencahayaan ruang temaram. Tembok dan lantai yang cenderung kusam, sewarna tanah, tapi menciptakan suasana teduh dan ramah. Membuatku seperti pengembara yang lelah dan tiba-tiba menemukan rumah. Deretan potret kota tua, serakan koin kuno, beberapa setrikaan besi  berhias kepala jago, dan biji-biji kopi di baki seakan tergeletak begitu saja di atas meja jati. Sketsa-skeksa, dengan garis dan warna yang tak terlalu jelas tetapi terasa tegas, membuatku teringat kembali pada secuil demi secuil kenangan masa kecil. Segala terasa remang-remang, seakan masa silam yang tenang dan hendak selalu dikenang.
Aku berasa betah dan nyaman. Kupesan Campari, untuk meredakan sepi yang mengilu hati. Kurindukan seorang kawan yang mau berbagi rasa sunyi. “Itulah kenapa kita memerlukan kafe, atau apalah namanya, agar kita punya kemungkinan menemukan seorang kawan…” kuingat kata-kata Wawan, “Malah, bagiku, kafe sudah menjadi rumah ibadah yang membebaskan kita dari seluruh perasaan susah. Terus terang, setiap kali aku ke kafe, aku seperti tengah melakukan pengakuan dosa! Ha-ha…”
Kafe. Bualan. Kawan-kawan yang menyenangkan. Janji dan kencan. Semua itu telah menjadi ritus yang sedikit membebaskan kesumpekan. Barangkali itu semua yang membuat kita merasa tentram karena merasa memiliki kawan. Setidaknya bagi pecinta malam sepertiku. Malam selalu mempertemukan aku dengan yang bernama kawan. Malam membuatku bisa mengenal manusia dengan seluruh kerisauan dan kepedihannya. Fantasi dan mimpi yang membuat aku menemukan firdaus yang sering disebut dalam kitab suci.  Aku sering membayangkan, betapa Tuhan pastilah menciptakan firdaus pada malam hari. Kubayangkan, nun di mula waktu, Ia sendiri di langit sana, terkantuk-kantuk dan bosan menjaga segala yang belum bernama, diam memandangi kemahaluasan kelam. Sampai kemudian Ia ingin sesuatu yang menyenangkan, sekadar hiburan untuk mengusir rasa bosan. Maka Ia pun pun mengerjap, dan kun – jadilah firdaus yang penuh cahaya di tengah kemahalusan kelam. Begitulah, selalu kubayangkan, awal mula terciptanya surga.
Itulah kenapa setiap kali orang melihat malam yang penuh gemerlap cahaya, dia akan teringat akan surga.
Tapi surga itu kini telah diobrak-abrik segerombolan orang bertopeng dan berpedang. Mereka menghujat malam penuh maksiat. Mengusir semua orang untuk pergi. Hingga kini aku sendiri, bagai Adam yang khusyuk menghayati sepi. Adam yang merindukan kawan. Adam yang merindukan manusia.
Manusia, hmm, manusia. Apakah yang masih berharga darinya? Kapan kita belajar memahami manusia sebagai kumpulan keinginan dan kesedihan? Bukan fosil atau gambar separuh badan sebagai sasaran tembakan?3 Ah,…
Kupesan Whisky Cola, seperti kupesan manusia yang mau berbagi suka duka.
AGAK ke pojok, sedikit terhalang tiang, berseberang dua meja denganku, kulihat dua perempuan duduk berdekatan. Sementara di tengah-tengah ruangan, seorang pemusik mulai memainkan piano. Aku takjub memandangi pemusik itu. Rautnya bersih, dengan mata sebening kejora. Ia memakai jubah hitam, dengan dasi kupu-kupu warna ungu yang menyala redup, dan lihatlah  – ia punya sepasang sayap di punggungnya. Sepasang sayap yang begitu indah dengan helai-hela bulu lembut putih bersih, begitu mempesona di bawah temaram cahaya kekuningan. Sepasang sayap itu sesekali bergerak pelan, dan aku merasakan sehembus angin yang sejuk mengusap kepenatanku.
Ia mulai memainkan Stranger In The Night.
Seperti tersihir oleh denting piano itu, dua perempuan itu kian saling merapat, saling dekap, kemudian berciuman pelan. Bahu keduanya saling bersentuhan, berbincang perlahan, seakan tak ingin seorang pun mendengar apa yang tengah mereka percakapkan. Denting piano yang menghanyutkan, suasana yang terasa menentramkan, lamat percakapan yang terdengar begitu pelan…
“Aku selalu memikirkanmu,” desah yang bergaun biru, sambil mengelus punggung lengan yang satu.
Kuamati mereka. Yang satu, yang bergaun biru, rambutnya ikal panjang mencapai bahu. Tatapannya sayu. Berkulit langsat, terlihat mengkilat. Ia memakai gelang perak, dan di lengan kirinya ada tato kupu-kupu. Sedangkan satunya, berambut lurus potong pendek, memperlihatkan tengkuknya yang indah dengan bulu-bulu halus yang dibiarkan tak tercukur. Memakai kaus ketat, ada bordir gambar hati di bagian dadanya – rasanya ia tak mengenakan beha – bersandar santai sambil mengisap rokok pelan-pelan dan menghembuskannya dengan bibir yang dibiarkan terbuka lama. Ah, perempuan-perempuan metropolitan. Perempuan-perempuan yang selalu muncul dalam iklan kecantikan. Adakah mereka juga merasa kesepian?
“Ayolah…”
“Hmm.”
“Kamu mulai bosan denganku?”
“Aku?”
Sejenak keduanya bertatapan.
“Kamu tak perlu memutarbalikkan persoalan macam gitu. Apa kamu kira aku nggak tahu…”
“Laki-laki itu maksudmu?” sergah yang berambut sebahu.
“Syukurlah, aku tak perlu mengatakannya…”
“Laki-laki brengsek!”
“Tapi kamu tidur dengannya?”
“Apa-apaan sih, kamu?” Diraihnya tangan perempuan yang terus saja menghembuskan asap rokoknya, seakan mengekpresikan kekesalan. Lalu, lembut disentuhnya bibir yang merekah terbuka itu. “Laki-laki? Persetan dengan laki-laki!”
Di antara denting lembut piano, percakapan itu membuatku terkenang akan seorang perempuan yang pernah bertahun-tahun menjalin hubungan denganku. Suatu kali ia menuntut ketegasan, “Apa hubungan kita akan begini-begini terus?”
Saat itu aku tertawa. “Lalu mau apa? Kawin dan beranak pinak seperti kucing? Terus terang, aku tak pernah membayangkan bisa hidup selamanya dengan hanya seorang perempuan. Itu bukan tipeku. Dan lagi, aku tidak pernah benar-benar bisa memahami perempuan…”
“Bukan perempuan yang sulit difahami, tetapi laki-laki yang terlalu angkuh untuk berbagi…,” katanya, sembari mencibir, menamparku beberapa kali, dan pergi. Bagaimana kabarnya ia kini? Apakah ia kini juga masuk barisan pembenci laki-laki?
Kulirik dua perempuan yang saling berpelukan itu. Adakah mereka berdua – pada mulanya – memang pembenci laki-laki? Mungkin tidak. Kudengar saat ini memang banyak perempuan memilih pacaran dengan perempuan. Laki-laki terlalu kolokan. Terlalu menuntut banyak pelayanan. Selalu ingin dinomorsatukan. Hidup bersama laki-laki sama saja menistakan diri menjadi abdi. Lebih baik mati menggorok leher sendiri. Sungguhkah seseorang menjadi lesbian karena benci laki-laki? Kuingat seorang kawan pernah bilang, menjadi lesbian bukanlah kelainan, tapi pilihan! Itu soal memilih jalan kebahagiaan.
Kutatap dua perempuan yang saling berpelukan itu, dan kudengar mereka saling bergumam.
“Katakanlah, kamu mencintaiku…”
Hangat, lekat, keduanya berciuman, bagai memagut sejumput kebahagiaan.
Dan kudengar piano mengalunkan Love Is A Many Splendored Thing, seakan hendak menghadirkan kemegahan cinta lebih dari yang mampu terbayangkan. Sayap di punggung pemain piano itu mengembang, begitu anggun, berkepakan pelan, mengingatkan pada burung yang yang diluapi gairah terbang melintasi langit musim semi. Ada yang tak terkatakan melebihi cinta. Bunga-bunga seakan memenuhi ruangan. Dan sepasang sayap pemain piano itu terus berkepakan, membuat dua perempuan itu bertepuk, dengan wajah yang bagai senja bersemu merah. Pemain piano itu mengangguk takzim, seakan merestui kebahagiaan yang kini tengah direguk dua perempuan itu.
Lalu, lihatlah, betapa perlahan-lahan tubuh pemain piano itu terangkat, mengambang, dan terbang melayang-layang berkitaran nyaris menyentuh lampu kristal yang tergantung di langit-langit ruangan. Sementara piano itu terus berdentingan, tutsnya turun naik, bagai ada tangan gaib yang memainkannya. Segala megah oleh cinta.
Cinta. Bahagia. Apa maknanya bagi kita? Sungguhkah dua perempuan itu benar-benar bahagia dengan saling mengucapkan cinta seperti itu? Mungkin benar. Berbahagialah mereka yang percaya pada cinta.
Dan, aku jadi terkenang pada kawanku yang lain. Seorang laki-laki yang bersih dan tampan, yang suatu hari jatuh cinta pada seorang lelaki yang menurutnya paling indah di dunia.4 Aku tak pernah bisa memahami, tetapi selalu merasa iri setiapkali menyaksikan kawanku mencurahkan perasaan cintanya pada lelaki itu. Begitu habis-habisan, mempertaruhkan seluruh kebahagiaan hidupnya hanya dengan dan demi lelaki itu. Lelaki paling indah yang pernah dijumpainya dalam hidupnya yang datar dan biasa-biasa saja. Sungguh percintaan yang dahsyat dan menggemparkan.
Akan seperti apakah kisah percintaan dua perempuan itu?!
“Berjanjilah, kamu tak akan meninggalkanku…” kudengar yang berambut pendek berkata, sambil merengkuh pundak satunya.
Dalam bias cahaya lampu bertudung, wajah dua perempuan itu terlihat sedikit memucat. Ketika keduanya saling tatap, masing-masing seperti hendak meyakinkan diri, betapa semua yang mereka percakapkan, betapa semua pelukan dan ciuman, akan abadi dalam kenangan. Mungkin, suatu hari nanti, mereka diusik keraguan. Lantas dengan baik-baik mereka memutuskan untuk berpisah, karena yang satu (atau keduanya?) memilih menikah dengan seorang laki-laki yang tak pernah bisa sungguh-sungguh mereka cintai, tapi memberi sedikit rasa aman karena bisa melindungi mereka dari gunjingan.
Kehidupan rumah tangga yang membosankan, yang membuat mereka dari hari ke hari semakin asing, sedapat mungkin mereka pertahankan, mereka jalani rutin. Mereka biarkan suami mereka keluyuran mencari hiburan setiap malam. Sementara itu, sesekali waktu, diam-diam mereka bertemu dan bercinta mereguk kenangan lama. Itulah saat-saat paling menentramkan perasaan mereka, sebelum akhirnya mereka bergegas pulang ke rumah, kembali menjalani peran istri yang setia. Mereka sabar menunggu suami-suami mereka pulang, dengan ketulusan seorang istri yang penuh pengertian…
Mungkin begitu. Mungkin juga kisah mereka berakhir bahagia. Setidaknya, tidak seperti aku. Mereka punya seseorang yang pantas dicintai sekaligus mencintai. Kuperhatikan keduanya tertawa bahagia, meski tanpa suara. Lalu kembali saling berciuman. Sementara pemain piano itu masih terbang melayang berputar-putar di atas mereka, sambil menaburkan kuntum-kuntum bunga.
Aku iri melihatnya. Kualihkan pandang ke jendela, kusimak malam bergerimis yang menggigilkan pepohonan, siluet gedung-gedung kota yang gotis. Ada yang tak kufahami di luar sana. Seperti ada yang tengah menyanyikan kesedihan dan kesepian.
DUA perempuan itu bangkit, sambil terus berpelukan, berjalan, dan keluar.
Kupanggil pelayan. Ingin kutanyakan ihwal dua perempuan itu. Entah kenapa, aku ingin sedikit tahu tentang mereka. Barangkali keduanya sering mampir ke mari. Aku ingin kenal mereka. Ingin bertanya, apakah mereka bahagia? Aku ingin belajar mencintai, juga dicintai. Tidakkah keinginanku sangat sederhana sebenarnya?
“Bisa saya bantu, Tuan?”
“Ehm, bisa kasih tahu siapa dua perempuan yang tadi duduk di pojok itu?” kataku.
Pelayan itu menatapku. Lalu, menoleh ke arah yang aku tunjuk. “Perempuan?” tanyanya heran.
“Ya, dua perempuan yang barusan pergi.”
“Ah, Tuan bercanda…”
“Bercanda?”
“Sejak tadi cuma Tuan sendiri tamu di kafe ini…”
Kurasakan entah apa. Cahaya terasa lesi. Kulihat gerimis masih saja nitis, membuat malam kian terasa miris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar