Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan
sabar duri-duri ikan di piringku, suaranya ketika melantunkan doa,
wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah, ia selalu seperti itu.
Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah
tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut,
seperti tengah membungkam suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa,
jawabnya, “Keduanya sama, jangan tergesa-gesa supaya tidak ada yang
terluka.”
Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri
pakaiannya, ia juga sering memasak makanan untuk kami: dirinya, aku,
dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku, ia tidak pernah marah
dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan
membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku
tanya mengapa, jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada
istrinya.”
Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan,
ketika kami berdua baru melangsungkan pernikahan yang sederhana, waktu
itu aku sedang haid. Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas
perempuan itu, ia menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan
minum air putih. Hingga tiba saat kami melakukan hubungan saresmi, laku
seksual suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala, berdoa. Ketika
aku sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia
melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri
lahir. Hampir sembilan bulan ia melakukannya. Saat aku tanya mengapa,
jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai seorang calon bapak.”
Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku
menginginkan ikan kali hasil pancingannya. Waktu itu, malam menjelang
pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter, golok, dan garan
pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur memasak ikan
hasil pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana biasa,
menyisihkan duri-duri ikan di piringku agar aku tidak kesulitan
memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, ia sering mengusap
kandunganku sambil nembang lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika aku
tanya mengapa, jawabnya, “Ia sudah bernyawa dan bisa merasa.”
Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu
kandunganku sudah sangat tua. Soekarno datang ke daerah kami untuk
kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku dan suamiku yang
merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga. Sebagai seorang
aktivis politik yang disegani di wilayahku, seharusnya suamiku ada di
jajaran kursi depan. Tapi ia menolak. Kalau tidak karena aku hamil tua,
tentu ia sudah memilih untuk berdiri di tanah lapang bersama ribuan
orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi deretan belakang. Ketika
acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang, seseorang menghampiri
suamiku, ia bertanya mengapa aku dan suamiku tidak meminta nama untuk
calon bayiku pada Bung Karno? Dengan pandangan mata berbinar ke arahku,
suamiku menjawab, “Istriku yang lebih berhak memberi nama anak kami. Ia
yang merasakan penderitaan orang mengandung.”
Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku melahirkan,
dalam impitan pedih, dalam samar-samar wajah suamiku yang mencoba ikut
menguatkanku, aku mencium bau wangi. Sangat wangi.
Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di akhir
tahun. Suamiku, dengan linang air mata, memeluk erat. Ia tidak mampu
mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil tubuhnya dan kabar-kabar di
luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam kepergian suamiku.
Dengan masih membopong Ratri aku menutup pintu. Hujan turun menderas di
dadaku. Tapi tidak di mataku. Tidak akan kubiarkan air mataku jatuh di
wajah bayiku. Aku tidak ingin menularkan kecengengan pada kuncup
kehidupan.
Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh
waswas dan ketakutan. Di mana-mana aku mendengar kabar dan desas-desus
yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar, penculikan, pembunuhan
yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan pergi pulang ke
rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya mereda. Semakin banyak
orang yang mati dan semakin banyak kudengar nama-nama orang yang
kukenal mati. Aku masih menahan semuanya, dan berharap tidak mendengar
nama suamiku disebut dalam kabar-kabar buruk itu.
Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh bapakku. Dengan
segera kubopong Ratri menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun toh aku
harus mati, aku ingin mati di depan bayiku. Kalaupun toh aku harus
’diambil’, aku ingin anakku bisa menyaksikan dengan mata timurnya, aku,
ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata.
Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang
datang adalah Pono, teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan
orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan pesan suamiku. Melalui
Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku berpesan
supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku bisa
menyelamatkan hidupku dan hidup anakku. Suamiku bahkan menyarankan agar
aku menikah kembali dengan seorang sahabatnya untuk bertahan dari
situasi yang sangat sulit. Sebelum Pono pergi, aku masih sempat
menghentikan langkahnya di depan pintu, aku menanyakan kejujurannya
tentang nasib suamiku, apakah ia tidak akan selamat? Pono menggeleng
kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku merasa hidupku ambruk saat
itu, tapi air mataku tidak jatuh.
Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat
itu dibakar oleh semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya
seorang guru yang sederhana dan dikenal baik oleh masyarakat. Ia
berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan berbeda
pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat pertemuan baik
untuk kepentingan organisasi yang diikuti oleh suamiku, maupun untuk
pertemuan dengan teman-temannya yang lain. Di rumah kami yang
sederhana, sering datang seorang mantri suntik yang sangat baik dan
seorang seniman yang juga sangat baik serta halus budi bahasanya.
Mereka berdua adalah orang-orang yang satu organisasi dengan suamiku.
Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar mati dibakar massa di
rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk menolong orang sakit tanpa
pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang pintar menari, yang wajahnya
sangat ayu dengan kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa
kepala di sebuah parit tidak jauh dari rumah kami dulu.
Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi pembunuhan.
Ketakutan ada di mana-mana. Semua orang seperti punya taring, semua
udara seperti bertelinga. Banyak orang hilang tanpa sebab. Desas-desus
terus membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai
mendengar desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku mulai
mendengar banyak perempuan yang diambil menyusul suaminya.
Cerita-cerita itu, duh….juga dilengkapi dengan perlakuan-perlakuan
keji. Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya setelah ’digilir’
para petugas. Seminggu kemudian suaminya mati karena kelaparan dan
siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk ’membayar’
agar suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari kemudian, ia
baru tahu suaminya sudah lenyap dari penjara itu.
Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di
masa-masa seperti itu, nyawa begitu tidak berguna. Kehidupan sudah
bukan lagi sesuatu yang patut dihormati dan dihayati. Setiap orang bisa
hilang dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya karena pernah datang di
suatu rapat. Ia bisa mati hanya karena pernah bergaul dengan orang yang
dianggap berbahaya. Ia bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara dan
telunjuk yang secara ngawur diarahkan padanya, entah dari sudut gelap
yang mana. Berbulan-bulan aku menanggungnya. Pada malam-malam itu aku
selalu menunggu dan berharap semoga malam itu bukan malam terakhirku.
Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah
dan masygul. Rahmat adalah sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka
bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin persahabatan dengan
baik. Rahmat anak seorang kiai yang cukup ternama di kecamatan lain.
Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan teman baik bapakku.
Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat. Dengan suara
pelan, Rahmat menceritakan pertemuannya dengan Pono beberapa bulan yang
lalu. Pono membawa amanat dari mendiang suamiku agar Rahmat bersedia
menikahiku. “Saya tidak tahu harus bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun
keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan aku melihat air mata Rahmat
menggenangi kedua matanya. Mata sahabat suamiku yang santun dan saleh.
Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya. Mencoba
memikirkan dengan jernih. Situasi tidak kunjung membaik. Aku hidup
tanpa suami dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Aku butuh suatu
pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan
nasib yang tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri.
Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai
sesuatu yang sangat sulit. Duh, Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu
landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh kehidupanku. “Wuk
Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup yang tidak bisa kita pahami.
Hidup ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan masalah
senang dan tidak senang. Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini adalah
sebuah keputusan. Juga mungkin yang berhubungan dengan katresnan. Kamu
tidak sedang berhadapan dengan kehidupan yang sewajarnya. Kamu
berhadapan dengan dunia binatang.” Bapakku dengan suara groyok, seperti
menahan tangis, mencoba memberi saran.
Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.
Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun yang
paling sulit kupahami. Semua serba canggung, di antara segala pernik
kehidupan sehari-hari, dan kesedihan yang sering menyelinap
berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu kuanggap biasa tiba-tiba
menjadi penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti membuka kotak
ingatanku. Langkah kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu,
terutama jika hujan turun.
Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris
hanya karena ada ikan kali di meja makan. Rahmat bertindak dengan
bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah makan ikan kali.
Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang keluar dari
mulut Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa menggaungkan
banyak kalimat yang diucapkan oleh bekas suamiku. Dan bertahun-tahun
itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk melakukan hubungan
suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan mungkin jauh di
perasaannya, aku tetap istri sahabat yang dihormatinya.
Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa
sebab aku merasa sedang tidak berbuat adil. Tapi ia tetap dengan
kesabarannya yang khas, merasa sangat mengerti apa yang aku rasakan.
Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha melupakan semua itu. Aku
harus menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-kenangan yang
sulit dilupakan. Sebab tanpa itu semua, aku tidak pernah sampai pada
kehidupanku yang sekarang ini. Aku tumbuh bersama seluruh peristiwa dan
kenangan. Semua itu sah sebagai bagian dalam hidupku.
Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari bahwa
semua itu pernah kulalui, dan itu penting dalam hidupku. Aku mulai
menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada lagi. Aku harus
menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak hendak membuang seluruh
peristiwa bersama mendiang suamiku dari kenanganku. Tapi tentu aku
tidak akan melupakan mengapa peristiwa sedih itu menimpaku. Aku tidak
tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak tahu dosa dan kesalahan mendiang
suamiku. Seluruh peristiwa yang membuatnya pergi dariku tidak akan
kulupakan dan tidak akan kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku
hanya tidak memaafkan.
Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang sederhana?
Bukankah ia bermasyarakat dengan baik? Ia tidak pernah melakukan
kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir di seluruh hidupnya
bahkan digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain. Apa yang
salah dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi, dan Sunardi?
Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berusaha
menenangkanku. Ia mencoba menuntunku untuk berdamai dengan masa lalu.
“Percaya saja hukuman itu akan datang, entah kapan dan datang dari
mana. Tapi kalau kamu tidak mencoba berdamai dengan masa lalumu, kamu
akan rugi. Semua itu hanya akan membuat mereka terus berteriak
menyoraki kehidupanmu. Untuk yang seperti itu, aku tidak akan
merelakannya.” Sambil berkata seperti itu, Rahmat menatap tajam pada
mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat. Sangat erat.
Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang
mendiang suamiku. Tapi aku menerima Rahmat sebagai seseorang yang
kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah sebuah keputusan:
diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari
itu semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena
sebuah keputusan, maka berbagai pertimbangan sah menjadi landasannya.
Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak hal yang lain: tidak turun
dari langit yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan dan dikerjakan.
Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya Laila. Ia juga
lahir di malam hari. Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan jalan
hidup yang kutempuh. Kini ada semakin banyak anak-anak harapan yang
bisa kukerjakan. Kami bahagia.
Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang
aneh dengan diriku. Aku sering merasa tiba-tiba ada yang mengagetkanku.
Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di dekatku. Aku merasa
tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu tanpa kesadaran.
Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja
pulang dari sekolah sore, memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku
bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati apa-apa. Laila juga
bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku
kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja makan
dengan perasaan tidak menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur untuk
mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi. Dengan cepat aku keluar.
Kali ini, aku benar-benar kaget.
Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak
menatapku, lalu menundukkan kepala. Aku segera menggandengnya untuk
masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi perasaanku semakin
tidak karuan. Sehabis mempersilakannya minum, pandangku kembali
terhenti di depan sosok yang sudah belasan tahun tidak hadir dalam
hidupku. Ia jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tapi aku memakluminya.
Hidup yang kejam tentu telah dilaluinya. Ia lebih banyak diam. Setiap
kali aku bertanya tentang kabarnya, ia hanya menjawab singkat dengan
kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba memakluminya. Hidup yang
kejam membuatnya tidak gampang mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak
melihat ruang tamu, perkakas yang ada di sana, potret-potret di
dinding. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu, aku menangkapnya sebagai
pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak keduaku dengan Rahmat. Namanya
Laila. Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan suamiku ke rumah
neneknya. Tapi ia pasti pulang malam ini. Kamu harus menunggu mereka.”
Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku harus cepat pulang.”
Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang
hendak dikatakan padaku. Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang
suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang di sisi Gusti Allah.
Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya
bisa mengantarnya sampai pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono
kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian
tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika sampai
di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke arahku.
Benar. Aku sangat yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Agak lama
ia terdiam. Dan ia benar-benar melangkah pergi. Senja membuatnya
menjadi bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.
Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum meninggal
dunia! Dalam ragu, dan rasa tak tentu, aku melangkah keluar pintu
rumah. Sampai di pelataran rumah, aku terhenti. Ada sesuatu yang
membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu
perbatasan. Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di
pelataran. Aku terguncang. Tangisku pecah di pelataran. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar