teks

selamat datang di blog saya

Senin, 29 November 2010

Eksekusi

cerpen:Waluyo Basuki

Sudah tiga hari Boneng ditempatkan di ruang isolasi. Artinya, hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya akan segera dilaksanakan setelah semua upaya hukum yang ditempuh tak membuahkan hasil. Hukuman mati memang layak dijatuhkan karena sudah terlalu banyak kejahatan yang dilakukan. Mulai dari sekadar memalak pedagang pinggir jalan, para pengemudi angkot, sampai mencuri, menodong, merampas, merampok, dan bahkan membunuh sudah pernah dilakoninya. Hanya satu kejahatan yang tidak pernah dilakoninya, memerkosa perempuan!
Tetapi, sejagoan-jagoannya, sejahat-jahatnya, Boneng adalah manusia juga, yang punya nurani dan pada akhirnya punya rasa takut juga, termasuk takut mati.
Pada masa jayanya, ia biasa menyatakan tidak takut mati untuk menunjukkan kejagoannya. Dulu ia merasa dan beranggapan dengan kejagoan dan ’ilmu’ yang dimiliki dapat mengelak dari kematian. Bahkan sebaliknya, dapat dengan mudah menyebabkan kematian orang lain. Dan itu sudah dibuktikan. Berkali-kali ia lolos dari ancaman kematian dan entah sudah berapa nyawa dihabisi dengan tangan kosongnya. Ia pernah dikeroyok beberapa teman sesama preman bersenjata, tetapi bukan dia yang mati, melainkan dua orang pengeroyok mati di tangannya, sebagian babak belur dan sebagian lagi kabur! Ia juga pernah dikejar-kejar petugas keamanan dan diberondong peluru, tetapi berhasil meloloskan diri tanpa luka sedikit pun!
Sekali waktu karena kelalaiannya melanggar salah satu pantangan, Boneng tertangkap petugas yang telah lama memburunya. Akibatnya, tubuhnya babak belur menjadi sasaran pelampiasan kejengkelan para petugas yang telah sekian lama terpendam. Tetapi, setelah berada dalam sel, ketika para petugas meninggalkan begitu saja tubuhnya yang sudah hilang bentuk dan nyaris sekarat, ia segera mengambil posisi duduk bersila di pojok sel sembari membaca mantra. Setelah itu, meskipun bekas-bekas memar dan lukanya masih ada, rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya sudah sama sekali hilang. Ketika digebuki, ia memang sengaja tidak menggunakan ilmu kebalnya untuk mengelabui petugas. Jadi, pantaslah ia tidak pernah merasa takut mati. Juga ketika vonis mati dijatuhkan, ia tidak terlalu merasa takut karena yakin masih ada peluang untuk menghindarinya melalui upaya hukum atau kalau perlu melarikan diri.
Tetapi sekarang, ketika kematian sudah berada di depan hidungnya, tak urung hatinya tergetar juga. Siang tadi petugas kesehatan dan rohaniwan lapas (lembaga pemasyarakatan, sebutan terhormat untuk penjara) sudah melakukan pemeriksaan kesehatannya. Dan dinyatakan sehat baik secara fisik maupun mental!
”Ya… saya sudah siap menjalani hukuman ini…,” ujarnya kepada rohaniwan yang datang memberikan bimbingan.
”Ikhlas?” tanya rohaniwan ingin meyakinkan.
”Insya Allah ikhlas…,” jawab Boneng mantap meski dengan nada gemetar.
”Ya… kamu harus ikhlas dan harus yakin bahwa ini adalah bagian dari takdir yang telah digariskan oleh Allah subhana wa taala.”
”Insya Allah, Pak Haji….”
”Jangan lupa, perbanyaklah zikir dan istigfar untuk memohon ampun kepada Allah subhana wa taala. Dengan demikian, mudah-mudahan kamu diberi kekuatan dalam menghadapi eksekusi yang tinggal beberapa jam lagi. Dan mudah-mudahan kamu dapat mengakhiri hidup dalam keadaan husnulkhatimah!”
”Amiiin….”
”Ingatlah, sesungguhnya kematian itu sudah ditentukan waktu dan tempatnya oleh Allah subhana wa taala yang tidak ada satu kekuatan yang dapat menghambat atau mempercepat walau hanya sedetik pun.”
”Tetapi, bukankah kematian saya sepertinya sudah ditentukan oleh pejabat negara yang adalah manusia akan terjadi pada pukul kosong-kosong malam nanti?”
”Ya, secara lahirnya seolah manusia yang menentukan, tetapi hakikatnya Allah juga yang menentukan. Sebab, kalau Allah menghendaki lain, meskipun sudah ditentukan secara hukum, siapa yang bisa menghalangi?”
”Maksud Pak Haji, bisa saja eksekusinya ditunda atau dibatalkan?”
”Ya… kalau memang belum takdir Allah, selalu akan ada alasan untuk menundanya. Tetapi, bisa juga sebaliknya, bisa saja terjadi sebelum waktu yang ditentukan! Yaah… siapa yang berani menjamin bahwa semua akan berlangsung sesuai rencana? Intinya, kapan pun kematian itu bisa datang dan jangan sekali-kali kamu lengah. Jemputlah maut itu dengan penuh keyakinan.”
”Baik… Pak Haji….”
Dalam dunia kriminal, nama Boneng cukup dikenal. Semula hanya preman pasar tukang palak pedagang kecil sekadar untuk memenuhi kebutuhan jajan sehari-hari dan merokok. Namun, berkat kejagoannya ia mampu mengalahkan beberapa preman yang lebih senior dan kemudian menjadi penguasa wilayah di sekitar pasar. Sejak itu ia tidak perlu lagi mendatangi pedagang satu per satu, melainkan tinggal menunggu setoran anak buahnya.
Nama Boneng semakin berkibar dan seiring dengan itu semakin sering pula berurusan dengan petugas keamanan dan beberapa kali meringkuk di lapas. Melalui proses pembelajaran yang sangat intensif di lapas inilah, kualitas dan kuantitas kriminalnya semakin meningkat.
Terakhir, setelah malang melintang di dunia kriminal dan entah berapa kali meringkuk di sel lapas—beberapa di antaranya sempat kabur—Boneng sebenarnya sudah mulai tobat. Meskipun dengan perasaan berat dan agak malu, ia mulai pekerjaan baru pada sebuah proyek bangunan sebagai kenek tukang batu dengan gaji yang sangat minim. Namun, berbekal kesadaran keimanannya yang mulai terbangun, ia berusaha ikhlas menerima keadaan itu.
Sekali waktu, ia merasa gaji yang diterima kurang dari biasa tanpa ada penjelasan dari mandornya. Semula ia berusaha menerima dengan ikhlas, tetapi setelah terjadi beberapa kali dan tahu bahwa bukan ia sendiri yang mengalami, ia tidak dapat menahan amarahnya.
”Bang… saya mau nanya, memang ada penurunan gaji ya?” tanyanya kepada mandor Udin.
”Memang kenapa?” mandor Udin balas tanya dengan sikap angkuh dan nada ketus.
”Yaa… nggak kenapa-napa, cuma pengin tahu saja, berapa kali ini gaji saya kok tidak seperti biasanya?”
”Kalau turun memang kenapa?”
”Ya harus ada penjelasan, kenapa turun.”
”Itu urusan gue, bukan urusan lu. Lu kan cuma kuli! Masih bagus lu gue terima kerja di sini?”
”Ya nggak bisa begitu Baang…,” Boneng mulai meradang, tetapi masih berusaha menahan diri.
”Jadi… lu mau apa? Lu anak baru di sini… jangan belagu….”
”Saya kan cuma nanyain hak saya dan teman-teman Bang….”
”Sudah… jangan banyak bacot lu,” ujar mandor Udin sambil melayangkan tinju ke wajah Boneng.
Dengan cekatan, Boneng mengelak dan pukulan Mandor Udin hanya mengenai angin.
”Ooo… rupanya lu jago juga ya, bisa ngindar dari pukulan gue…,” sergah mandor Udin sambil kembali melayangkan tinjunya.
”Tahan Bang!” ujar Boneng kali ini langsung menangkap tangan mandor Udin. ”Saya cuma mau nanya hak saya, bukan mau ngajak ribut.”
”Waaah… hebat juga ya lu, berani ngladenin permainan gue…,” ujar mandor Udin sambil melepaskan cekalan. ”Rupanya lu belum tahu siapa gue ya…,” sambungnya sambil langsung mencabut pisau belati yang terselip di pinggang dan langsung mengacungkan ke arah Boneng.
”Sabar Baang… sabar… kita nggak perlu ribut-ribut begini…,” Boneng berusaha mencegah.
”Nggak bisa… ini soal harga diri! Lu sudah bikin malu gue di depan anak buah…,” teriak mandor Udin sambil langsung menyerang. Beberapa kali serangannya tidak mengenai sasaran membuat mandor Udin kalap dan terus menyerang dengan semakin membabi buta.
Semula Boneng berusaha menahan diri dengan terus menghindar dan menghindar. Namun, tatkala rasa harga dirinya mulai berbicara, jiwa premannya pun bangkit kembali. Setelah beberapa kali menghindar, dengan cekatan ditangkapnya tangan mandor Udin dan langsung ditelikung, kemudian dengan sekuat tenaga didorong ke depan. Mandor Udin yang sama sekali tidak menyangka akan menghadapi lawan yang tangguh langsung tersungkur dan kepalanya membentur dinding tembok beton dan kemudian jatuh terkapar dengan kepala bersimbah darah.
Boneng tertegun menyaksikan lawannya terkapar tak bernyawa. Dulu kalau menyaksikan lawannya tersungkur dan tak berkutik seperti ini hatinya merasa bangga, tetapi kali ini ia justru menyesalinya. Apalagi manakala disadarinya masih menjalani masa pembebasan bersyarat. Artinya, kalau kejadian ini sampai diketahui oleh aparat hukum, ia harus langsung menjalani masa hukumannya yang lama ditambah tindakan yang baru saja dilakukan! Maka, vonis mati memang layak dijatuhkan kepadanya.
Boneng duduk bersila di pojok ruangan sambil terus melafaskan zikir dan istigfar yang sudah dilakukan sejak seusai shalat isya. Namun, tatkala saat-saat eksekusi semakin mendekat perasaannya mulai dilanda kegelisahan. Tiba-tiba air mata membasah di pipinya dan untuk pertama kali menangis sesenggukan manakala terbayang wajah istri dan anak yang akan ditinggalkan selamanya. Zikir dan istigfar yang terus-menerus dilafaskan seolah tak terasa lagi pengaruhnya. Jantungnya terus berdegup seiring detak-detak waktu yang terus bergulir dan keringat dingin mulai membasah di sekujur tubuhnya. Ia berusaha mengatasi kegelisahan dengan sedikit mengeraskan lafas zikirnya yang mulai terbata-bata.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Boneng menghentikan zikirnya, kemudian bangkit dari sila, merapikan sajadah yang tadi diduduki dan meluruskan arah kiblat dengan niat untuk melaksanakan shalat taubat. Seperti biasa, pada rakaat terakhir ia sengaja melamakan waktu sujudnya untuk berdoa mohon pengampunan atas segala dosa yang telah dilakukan selama hidupnya. Pada saat-saat seperti itulah ia merasa semakin dekat dan dapat berdialog langsung dengan sang Khalik.
Sekitar pukul sebelas, petugas eksekutor bersama dokter dan rohaniwan datang ke sel isolasi untuk menjemput tereksekusi. Diiringi oleh penjaga sel, mereka masuk ke dalam ruangan dan mendapati Boneng sedang bersujud. Mereka pun menahan langkahnya menunggu Boneng selesai shalat. Satu menit, dua menit, tiga menit, sampai lima menit ditunggu tetapi tidak terlihat ada satu gerakan pun. Namun, mereka tidak berani mengganggu orang yang sedang shalat dan meminta kepada rohaniwan membangunkannya karena eksekusi tidak boleh ditunda.
Petugas rohaniwan bergerak mendekati Boneng yang masih tetap saja bersujud.
”Neeng… Boneeng…,” ujarnya sambil mencolek pinggulnya dan tiba-tiba tubuh Boneng terguling dalam posisi tubuh meringkuk seperti orang sujud. Dengan sangat hati-hati dirabanya tubuh Boneng dan dicoba menarik tangannya, kemudian kakinya. Semuanya kaku!
”Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun…,” ujar petugas rohaniwan sambil membalikkan tubuh ke arah para petugas dari atuan Brimob. Sejenak mereka saling berpandangan seolah tidak percaya. Dokter yang ikut dalam rombongan melakukan pemeriksaan untuk memastikan kematian itu secara medis. Boneng memang sudah mati! Dan kemudian dibuatkan berita acaranya.
Mereka menatap tubuh tak bernyawa itu dengan pandangan penuh haru. Beberapa di antaranya ada yang menitikkan air mata.

Janji

cerpen: R. Yulia
Ini sepenggal cerita yang kupunya, dari serpih-serpih masa silam yang tersisa. Cerita tentang seorang lelaki bermata surya. Penuh dengan muatan energi. Juga, nyalang dan kejam.Lelaki yang dengannya aku pernah menghabiskan sepersepuluh dari usia yang telah dijatahkan Tuhan untukku. Dan sepersepuluh waktu itu adalah impian tentang sarang lebah yang menggantung ringkih di pohon tua, dengan kubangan hitam pekat di sekeliling bawahnya.
Lelaki bermata surya itu bukanlah seorang pria tampan bak pangeran. Toh, tak juga terlalu buruk rupa. Ia juga bukan belia pengobral kata. Hanya seorang lelaki yang tak lagi muda, dengan beberapa gurat keriput di wajahnya. Bibir tipis yang nyaris terkatup sepanjang hari. Sehingga suaranya pun aku lupa seperti apa persisnya.
Yang bersemayam dalam ruang ingatanku hanya cengkeraman tangannya. Cengkeraman yang kukuh, liar dan menyakitkan. Cengkeraman yang begitu intim dengan lenganku dan menyisakan beberapa lekukan, jejak hunjam kuku hitamnya. Serta beberapa birat, yang dulunya mengalirkan darah segar. Darah yang kuperoleh dengan susah payah dari sisa makanan yang disedekahkan tetangga.
Baiklah, kumulai saja ceritanya. Sebelum temaram yang menggantung di mataku semakin pekat. Kisah hidupku dengan lelaki itu dimulai saat ibu membawa pulang seseorang di suatu pagi yang cemerlang. Dan bayangan yang menghalangi masuknya sinar matahari dari pintu itu ternyata milik seorang lelaki yang dikenalkan ibu sebagai ayah.
Aku tak mengenalnya sama sekali. Aku asing dengan wajahnya, tubuhnya, tatapannya bahkan untuk menyapanya, Ayah! Aku tak mengerti dan sedikit tak mau tahu, apakah ia benar-benar ayahku atau seseorang yang dipungut ibu entah dari rimba mana, untuk menjadi ayahku. Yang aku tahu, setelah kehadirannya, aku memiliki seorang ayah. Satu figur yang tak pernah kupunya, bahkan sejak saat pertama aku berkenalan dengan aroma dunia.
Sejak kehadiran ’ayah’ di rumah, ibu semakin tak punya waktu untukku. Ia bahkan tak pernah lagi memandikanku. Menggosok tengkukku—tempat di mana daki begitu cepat menutupi putih kulit asli—apalagi memijat kulit kepalaku dengan minyak kemiri. Tak! Yang ada, ibu sibuk mengurusi ayah. Makan ayah, pakaian ayah, air hangat untuk mandi ayah, serta menempeli ayah sepanjang waktu ia berada di rumah.
Ibu juga tak peduli padaku, meski ia tahu ada yang berubah pada tampilan fisikku. Aku mulai berlekuk. Sama seperti ibu! Aku juga mulai ketiban ’tamu bulanan’. Yang pertama kali kutemukan saat mengganti pakaian dalam sepulang sekolah. Yang kutatap dengan nanar dan ketakutan, lalu menyurukkannya pada kolong lemari usang di sudut kamar. Cemas dan panik yang memeluk seluruh benak, membuatku menarik selendang usang yang tersampir di balik pintu. Punya ibu. Aku melipatnya tanpa pola. Mengganti celana dalam lalu menyelipkan lipatan selendang di antara selangkangan. Berbagai praduga mengisi benak. Menebak-nebak, benda apa yang tadi mencederai organ keperempuananku?
Meski tanya itu tak pernah terjawab, meski ibu tak pernah menyadari kehilangan beberapa selendangnya, meski darah terus mengalir selama enam hari berturut-turut, toh setelah semuanya kembali normal tanyaku juga hilang begitu saja. Dan bulan-bulan selanjutnya aku menjadi terbiasa. Terbiasa mengambil kain apa saja, untuk mencegah darah mengalir. Setelah terkumpul banyak, memberanikan diri untuk mencucinya di sungai kecil beberapa kilometer di belakang rumah. Meski dengan gumpalan rasa jijik, toh aku merasa terhibur dengan aliran darah yang mengalir dari kain-kain basah, lalu menghilang dalam lumatan riak-riak sungai.
Tapi itu tak lama. Karena yang terjadi sesudahnya, tiga bulan kemudian, jauh dari gapai duga yang kupunya. Tak terlintas sedikit pun. Ibu pergi. Pergi di suatu pagi. Pergi meninggalkan banyak luka. Luka di tubuhnya dan luka di hatiku. Ia juga meninggalkan banyak darah dan tanya. Darah yang menciprat tak hanya di sekujur tubuh, juga di pematang sawah, di baju ayah, di tangan dan tubuhku yang memeluk tubuh kakunya. Banyak tanya yang tersisa. Namun diam ayah memenjarakan tanya itu di palung hatiku.
Kami mengubur ibu di belakang rumah. Tak ada yang mengetahui kematian ibu, selain kami, angin dan helai daun padi yang berayun di sekitar jasad ibu. Aku kerap membeo kalimat ayah bila ada yang bertanya tentang ibu. ”Ibu ke Malaysia, jadi TKW.” Dan dari sudut mata kulihat ia tersenyum samar, puas dengan jawabanku. Lalu semua tanya menguap begitu saja, raib bersama waktu yang berlari.
Setahun berlalu seperti angin. Ayah menghabiskan waktunya di rumah dan sawah. Hanya itu. Ia tak pernah mampir di warung, berbincang seperti kebanyakan lelaki penghuni kampung. Ia selalu pulang di jam yang sama. Dan aku, penunggu rumah yang setia. Jauh melampaui anjing tetangga, yang terkadang berlari kesana-kemari.
Sepeninggal ibu, kami lebih miskin dari sebelumnya. Makan hanya sekadarnya. Lauk pauk adalah barang mewah yang bersemayam di ranah impian. Tak terjangkau. Paling jauh, sepotong kecil ikan asin yang disuguhkan tetangga bersama sepiring nasi hangat. Hadiah untukku yang membantu menjaga balita mereka. Ayah memang menghabiskan waktunya di sawah. Tapi setengah dari waktu itu dihabiskannya dengan duduk merenung di pinggir pematang. Memandang kosong ke tempat di mana dulu ibu terkapar bermandi darah!
Ayah sepertinya memang akrab dengan darah. Beberapa kali dalam sebulan, Ayah selalu pulang dalam keadaan berdarah-darah. Kulitnya berbarut-barut, seperti tergores senjata tajam. Toh, aku tak yakin ia baru berkelahi dengan seseorang. Dan aku tak berani bertanya. Seperti biasa. Aku hanya mencuci pakaiannya yang bernoda ke sungai kecil di belakang rumah. Dan menikmati darah yang mengalir dari baju basah, beringsut mencumbu beningnya air sungai yang mengalir. Entah kenapa aku menikmatinya. Begitu seterusnya.
Dan neraka itu mulai menunjukkan aromanya, beberapa bulan setelah fenomena baju berdarah. Ayah kerap marah tanpa alasan. Ia kerap mencengkeram lengan dan mendorong tubuh kurusku ke sudut ruang. Tatap nyalangnya memerintahkanku untuk tetap di situ berjam-jam lamanya. Menghitung detik dalam gelap, yang rasanya lebih panjang dari empat purnama. Dan itu merupakan awal!
Ayah bukan lagi figur asing yang pertama kukenal. Ayah berubah menjadi sosok tak terjamah kewarasan. Kehadirannya bukan saja mimpi buruk tapi sebuah reinkarnasi makhluk tak berperadaban. Aku tak mengenalinya. Sama sekali. Tak.
Aku ingat malam ketiga dalam hukuman, ketika bayangnya hadir di celah sinar yang menyeruak kegelapan. Membawa pisau berkilau dan secangkir minuman. Hatiku bergetar. Tubuhku menggeletar. Jiwaku tersirap memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan pisau di tangan. Akankah aku bernasib sama dengan ibu? Akankah aku mati sebelum menikmati cinta pertama, surga dunia masa remaja yang kucuri dengar dari pembicaraan gadis-gadis di sungai belakang rumah?
Namun, sepertinya ketakutanku terlalu hitam. Lelaki itu menyodorkan cangkir di tangannya. Tanpa bicara. Hanya dagunya bergerak sekadarnya, menyuruhku minum. Meski ragu, dahaga lebih dulu mengambil keputusan. Mengalahkan bayang-bayang menyeramkan. Begitu gelas kosong kuletakkan di lantai, ia bergerak membantuku berdiri. Memapah ke ruang tengah. Meja kayu tua satu-satunya yang ada di ruangan itu telah dipenuhi dengan sepiring nasi berteman telur mata sapi yang kuningnya tak bulat lagi. Hmm.., jadi ini bau yang tadi menggugah lelap gelisahku di ruang gelap.
”Makanlah. Hanya ini yang ada..” ujarnya seraya mendekatkan tubuhku ke meja dan meninggalkanku begitu saja. Ia menghilang di balik pintu kamar.
Dengan ragu dan berkali-kali menoleh ke pintu kamar yang tertutup sepertiga, aku mengulurkan tangan. Mencoba menjamah nasi yang telah tiga hari tak kunikmati. Tersendat-sendat suap demi suap mengalir di kerongkongan, memenuhi organ pencernaan.
”Sudah?” Aku nyaris terjengkang dari duduk ketika mendengar suara hangat di belakangku. Astaga?! Aku mengangguk gentar.
”Kalau begitu, tolong pijat sebentar, ya? Ayah lelah.” Aku kembali mengangguk. Tak punya pilihan. Aku mengekori langkahnya menuju kamar depan, ruang yang penuh debu, sarang laba-laba dan seperangkat perabot usang.
Aku mulai memijat kakinya. Naik ke punggung dan akhirnya kepala. Aku melihat lelaki itu memejamkan mata. Hmm, mungkin ia telah terbang ke alam mimpi, pikirku. Sayangnya tak demikian setelah beberapa saat aku menikmati keras lekuk wajahnya. Mencoba mengenalinya dari jarak yang nyaris tak pernah ada. Ia membuka mata. Tepat menghunjam ke wajahku. Ia menatapku dalam diam, tajam dan menyulut dingin ke sekujur tubuhku. Aku bergidik samar.
”Kau tahu? Kau bukan anakku.” Aku mengangguk.
”Kau tahu? Kau bukan apa-apaku?” Lagi-lagi aku mengangguk.
”Kau tahu? Kenapa aku tetap bersamamu?” Kali ini aku menggeleng, bimbang sesaat.
”Karena ibumu telah menitipkanmu di ambang ajalnya. Dan ia pun telah menitipkan sebuah janji untukku.” Aku terdiam.
”Setahun aku menunggu. Dan kau tahu apa artinya? Itu lebih dari siksa neraka! Lebih dari kiamat! Tapi aku sudah berjanji. Dan sekarang, saatnya aku menepati janjiku pada ibumu.” Aku menatapnya tak mengerti. Namun, sebuah jejak samar dari gerak tubuhnya kemudian menyadarkanku. Membalutku dalam dingin dan geletar tak berkesudahan. Meski sepasang tangan dan sebidang kehangatan mengungkungku dalam kecepatan dan keliaran. Merobek segalanya. Harapan, tangis dan masa depan. Dan dalam erang dan kesakitan aku menghapus nama Tuhan dalam ruang ingatan!
Waktu tak sekadar berlalu bagai angin namun waktu juga tak meninggalkan bekas pada kehadiranku. Aku hanya mampu mencerna darah berbeda yang kucuci di sungai belakang rumah. Aku hanya mampu membelai hunjam kuku yang menghitam di lenganku. Dan aku hanya mampu menekuri bayang ibu yang tersisa dalam kubangan dangkal di pematang sawah. Selebihnya, tak!
Kau tahu apa artinya darah bagi seorang anak perempuan? Khususnya darah yang mengalir dari organ kewanitaan selama tujuh hari berturut? Itulah pertanda tapak kedewasaan yang tengah diretasnya. Kedewasaan menyikapi hidup dan sekitar. Termasuk kedewasaan menyimak makna darah itu sendiri. Dan kubungkus itu semua di palung hati terdalam. Tersembunyi dalam kegelapan.
Purnama. Dan berahi menemukan tambatannya. Aku lunglai di bingkai jendela. Membiarkan lelaki di belakangku mengemasi pakaiannya dan beringsut meninggalkan kamar. Aku terus mengulum amarah, melumatnya perlahan-lahan. Mengendapkannya pada jejalan catatan buram di sudut ruang.
Aku menghitung detik. Menunggu pintu berderit dan langkah-langkah menjauh dari jangkauan pendengaran. Rasanya sangat menyiksa. Jauh melampaui malam-malam penuh erang kesakitan. Sekejap sepi mengurungku. Tak ada suara apa-apa, kecuali teriakan tokek yang sesekali memecah hening. Aku beranjak keluar dan berdiri tepat di ambang pintu, mencoba melihat dalam gelap samar-samar. Kuhirup udara dalam-dalam dan memenuhi rongga yang ada di sekujur tubuh. Perlahan mulai mengeja, seiring lambat langkah menembus hitamnya malam yang berpendar secercah cahaya purnama.
Pagi terang-benderang. Tapi itu justru menyulitkan untukku melihat dan bernapas. Kepalaku masih terasa sakit. Juga tubuh. Kupegangi kepala yang terasa lembab. Sedikit memicing untuk memastikan cairan apa yang telah mengeramasi kepala. Merah. Aku menangkap warna itu dengan hati menggigil. Hidungku membaui amis. Darah. Hei.., dimana aku? Kepalaku benar-benar sakit. Bahkan untuk mengangkat tubuh pun sudah tak mampu.
Mataku mengerjap-ngerjap, mencoba mengenali sekitar. Sejauh mata memandang hanya batang padi yang kulihat, dengan bulir-bulir buahnya yang tertimpa surya bagai keping emas. Menyilaukan. Tempatku terkapar menyerupai ceruk dangkal.
Aku mencoba mengingat. Apa yang terjadi? Namun sepertinya itu menjadi pe-er yang rumit. Karena aku tak bisa mengingat apa yang membuatku berada di tempat ini. Tempat di mana aku pernah memeluk ibu dalam kubangan darah. Susah payah kucoba untuk duduk. Tak mudah. Karena sakit di sekujur tubuh telah menghunjam tulang dan urat kesadaran. Namun itu tak seberapa. Karena pemandangan seorang lelaki yang tertelungkup di sawah membuatku tersengat. Sebilah belati menghunjam punggungnya, tempat dimana darah mengucur. Deras dan tak terbendung. Mengalir hingga ke genangan air di sawah. Namun tak seperti di sungai belakang rumah, darah itu menggenang lama di sana. Dan tak berganti warna.
Aku menggumam perlahan, Ibu, aku telah menepati janji. Janji saat memelukmu terakhir, di sini.. Dan kulepas senyum terakhir untuk pagi. Pagi yang telah lama tak kunikmati..

Rabu, 24 November 2010

Sebutir Kepala Menclok di Jendela


cerpen:Yudhsitira ANM Massardi 

Joko Parepare melotot. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya: sebutir kepala! Bukan kelapa, itu sungguh-sungguh kepala manusia. Kepala berambut gondrong tanpa tubuh. Ia melayang di udara, lalu menclok di jendela ruang kerjanya, di sebuah gedung perkantoran, lantai 5.
Kepala itu melekat di kaca jendela, dengan keningnya yang mengeluarkan cairan perekat. Kedua kelopak matanya berkedip-kedip. Ujung hidungnya melebar, tertekan pada kaca. Bibirnya, eh, gila, dia tersenyum! Joko Parepare bergidik.
Apalagi ketika ia melihat bagian lehernya yang bersulur-sulur seperti singkong yang baru dicabut dari tanah, dan meneteskan darah.
“Mau apa, kamu?!” Joko Parepare menghardik, dengan perasaan tak keruan. Ia buru-buru merekam pekerjaannya di komputer. “Kamu teroris? Kamu barusan meledakkan bom bunuh diri?”
Eh, gila, dia tersenyum lagi!
Joko Parepare senewen.
“Cepat bilang, siapa kamu? Mau apa menclok di situ? Memangnya enggak ada kerjaan lain?”
Gila, dia cuma tersenyum!
“Jangan cengengesan terus! Nggak lucu! Kalau kamu enggak mau bicara, aku juga enggak mau bicara lagi. Nggak ada waktu! Time is money!” Joko Parepare segera mematikan komputernya, memakai sepatu, mengunci laci meja, menekan kunci jendelanya dalam-dalam untuk memastikan agar kepala tak diundang itu tak bisa membuka jendela lalu melompat ke dalam kamar dan menduduki kursi kerjanya. Ia pun bersiap-siap untuk segera kabur dari situ.
“Bagi rokoknya, dong. Kecut nih, dari tadi belum ngisep…!” Gila, dia bisa bicara! Joko Parepare jadi belingsatan. “Nyalakan sekalian…,” kata si kepala lagi, “aku sudah enggak punya tangan, ketinggalan di mobil…”
“Kamu goblok, sih!” Joko Parepare mengumpat begitu saja, sambil dengan panik segera mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di atas meja kerja. Ia lalu menyalakannya. Setelah itu, ia baru tersadar, bagaimana caranya memberikan rokok itu kepadanya?
“Jangan bodoh. Buka jendelanya, dong!” kata si kepala, seakan tahu apa yang dipikirkan Joko Parepare.
Dengan bodoh, Joko Parepare lalu membuka jendelanya, dan mengulurkan tangannya yang memegang rokok ke luar jendela, pelan-pelan, gemetaran. Hap! Kepala itu langsung melompat dan mencaplok rokoknya. Jempol dan jari telunjuk Joko Parepare sempat masuk ke dalam mulutnya dan merasakan ketajaman gigi-giginya. Joko Parepare secepat kilat menarik kembali tangannya dan buru-buru mengunci jendelanya. Kedua jari tangannya yang tercaplok tadi berlumur darah.
“Sialan, kamu!” Joko Parepare mengutuk sambil segera mencabut segepok tisu dari tempatnya di meja, dan membersihkan jari-jarinya. “Sudah, enyah kamu dari sini! Jangan ganggu aku lagi!”
“Galak banget jadi orang….”
“Biarin! Daripada kamu, sudah jadi bekas orang, masih gentayangan!”
“Aku kan cuma mau minta rokok….”
“Ya, sudah. Rokok sudah dikasih. Pergi sana!”
“Numpang duduk di dalam, boleh enggak…?”
“Enggak! Seribu kali, tidak boleh! Enak aja, lu!”
“Sebentar saja, numpang ngadem AC. Gerah nih.…”
“Gerah pale lu!”
“Pale gue emang gerah, bos…! Di luar sini panas sekali.…”
Joko Parepare jadi pusing. Kalau permintaan si kepala itu dituruti, pasti dia akan minta yang lain-lain lagi. Dan, sekali dia diperbolehkan masuk ke dalam kamarnya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tidak akan terjadi aneka huru-hara. Termasuk, kalau rekan-rekan sekantornya melihat di kamarnya ada sebutir kepala penuh darah. Bisa gawat. Bisa jadi urusan polisi, dan ujung-ujungnya ia bisa dituduh jadi pembunuh dan meringkuk belasan tahun dalam penjara. Gila! Tidak!
“Enggak! Enggak bisa! Kamu di situ saja, atau pergi ke tempat lain!” Joko Parepare menjawab dengan tegas. “Kalau kamu mengancam atau memaksa, aku lapor polisi!”
“Jangan, bos! Biar nanti aku sendiri yang melaporkan kamu ke polisi,” kata si kepala sambil mengembuskan asap rokok dan menyeringai, mempertontonkan giginya yang berselaput cairan kental berwarna merah.
“Apa?” Joko Parepare terkesiap. “Kamu akan melaporkan aku? Dalam perkara apa? Aku enggak ada urusan sama kamu!”
“Lho, barusan kamu kan ngasih rokok…?”
“So what? Itu kan karena kamu meminta?”
“Kamu bisa dianggap pelakunya. Sidik jari kamu ada di rokok ini, lho?” kata si kepala sambil mematikan rokok di kaca, dan menunjukkan puntungnya yang tinggal separuh.
“Aku? Pelakunya? Pelaku apa? Pelaku pengeboman? Nonsens!”
“Bukan, bukan pengeboman, bos, tapi pemenggalan kepalaku…He-he-he.”
“Sialan! Mana mungkin? Mana mungkin polisi percaya? Kenal kamu saja, tidak!”
“Kalau begitu, kita kenalan dulu.…”
“Tidak! Tidak! Kamu mau menjebak aku…?!”
“Namaku Al-Gizi, asal Kampung Senayan, pernah ikut konvensi pemilihan calon presiden partai…”
“Cukup! Seratus persen tidak lucu! Aku enggak mau dengar, dan dengan ini menyatakan sumpah bahwa aku tidak pernah mendengar apa pun yang kamu katakan barusan…!”
“Jangan main-main dengan sumpah. Dulu, aku juga banyak bersumpah, tapi tak ada satu sumpah pun yang aku…”
“Itu urusanmu, bukan urusanku! Sudah, aku mau pergi!”
“Aku ikut…!”
“Gila, kamu!”
“Aku bisa ikuti kamu. Mobil kamu kan Carens warna biru muda yang diparkir di samping gedung?”
“Kamu sok tahu!”
“Aku memang tahu tentang kamu. Aku kan sudah lama mengamat-amati kamu dari atas pohon kersen….”
Joko Parepare bergidik dan marah sekali.
“Monyet! Apa maksud kamu memata-matai aku?!”
“Biar aku tahu, orang macam apa yang akan jadi mediatorku dan menuliskan segala sesuatu mengenai aku…”
“Enak saja! Memangnya kamu siapa, bisa-bisanya menentukan aku jadi mediator kamu, dan harus menuliskan segala sesuatu mengenai kamu?! Jin botak saja tidak akan aku layani! Apalagi kamu, segelundung kepala gondrong tak tahu malu!” Joko Parepare merasa sangat terhina.
Si Kepala Gondrong tertawa terkekeh-kekeh.
“Makanya, kamu harus kenalan dulu sama aku…”
“Tidak! Tidak! Sekali aku bilang tidak, tidak!”
“Kalau kamu tetap keras kepala, nanti malam, sewaktu kamu tidur, aku akan menukar kepalamu dengan kepalaku. Ha-ha-ha! Sampai jumpa! Have a nice dream…!”
Si Kepala Gondrong terbang entah ke mana. Joko Parepare terenyak di kursi kerjanya sambil memegangi kepalanya erat-erat.
Eh, si kepala gila itu tiba-tiba menclok lagi di jendela. “Kalau kamu keberatan bertukar kepala denganku, bagaimana kalau aku bertukar kepala dengan presiden terpilih 2004?” katanya.
Joko Parepare tak mau mendengar. Ia buru-buru menutup mata dan telinganya. Soal presiden 2004, “Itu urusan lu!” katanya dalam hati. Tapi, ia bersumpah tidak akan tidur tanpa mengikat kepalanya dengan sabuk pengaman. Sekurang-kurangnya, selama 40 hari 40 malam.

Mimpi-mimpi

cerpen:Jakob Sumardjo

Inilah pengakuan dosa paling aneh yang dialami Romo Wijoyo selama hidupnya.
Pada Suatu hari Sabtu sore, seperti biasa, Romo Wijoyo telah menunggu para pengaku dosa pengakuan. Di depan masih sepi. Baru ada sekitar sepuluh orang yang duduk atau berlutut di bangku-bangku gereja. Suasana gereja amat sunyi. Tidak lama kemudian pintu kamar pengakuan dibuka orang, dan seorang lelaki muda masuk ruangan < itu.
“Romo, telah lama saya tidak mengakukan dosa-dosa saya. Kurang lebih sudah sepuluh tahun ini. Pengakuan dosa saya yang terakhir sepuluh tahun yang lalu,” kata orang itu dari balik dinding kasa yang memisahkan kamar pengakuan dengan kamar Romo. Lama orang itu tidak menyambung kata-katanya. Romo Wijoyo melirik orang itu. Seorang lelaki muda yang tegap, ganteng, berkulit agak hitam. Ia menunduk sambil berlutut di bangku pengakuan.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Romo…. Romo, saya bermimpi.”
“Mimpi bukan dosa.”
“Mimpi ini terus-menerus, Romo. Mimpi-mimpi itu menghantui diri saya bulan-bulan ini. Maka saya datang kemari.”
“Ceritakan.”
“Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi banyak perempuan.”
“Kamu sudah menikah?”
“Sudah Romo.”
“Lanjutkan.”
“Saya guru SMA. Mula-mula saya bermimpi menyetubuhi salah satu murid saya. Saya mengajar sekolah susteran. Lain hari saya bersetubuh dengan rekan guru. Bahkan terakhir saya bersetubuh dengan suster kepala. Mimpi-mimpi itu nyata sekali, Romo. Saya sangat bergairah. Meskipun masuk, tetapi tidak mau keluar juga Romo….”
“Sudah, sudah, saya mengerti. Tetapi itu kan hanya mimpi. Waktu kamu akil balig kan juga pernah mimpi semacam itu.”
“Betul Romo. Tetapi yang dulu sampai keluar.”
“Jadi sekarang ini kamu juga menginginkan yang begitu?”
“Ah, Romo. Kecewa saja. Mungkin inilah dosa saya. Berzina dengan pikiran. Bukankah doa kita mengajarkan bahwa kita dapat berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian?”
Romo Wijoyo diam saja.
“Saya merasa telah berdosa dengan pikiran.”
“Baiklah, kalau kamu merasa tidak tenang, saya akan memberikan absolus.”
“Romo. Ada mimpi-mimpi lain lagi.”
“Hah?”
“Saya mimpi membunuh berkali-kali. Banyak yang saya bunuh. Mula-mula saya membunuh salah satu murid saya yang diam-diam sinis terhadap materi pengajaran saya. Murid ini banyak membaca. Ayahnya profesor sejarah. Ia memang tidak pernah membantah ajaran saya, tetapi saya tahu ia tidak mau mendengarkan yang saya ajarkan. Acuh saja selama pelajaran berlangsung. Tetapi nilai ulangannya selalu bagus. Ia saya tusuk berkali-kali tepat di dadanya. Kemudian saya bunuh ibu mertua saya. Habis, Romo, tidak ada hari tanpa meremehkan diri saya. Saya dinilai sebagai lelaki yang tidak becus cari duit. Di mata ibu saya ini, nilai manusia ditentukan oleh tebalnya kantong. Saya sudah lama menjadi pasien tidak berharga dalam keluarga. Ia saya cincang habis-habisan di dapur atau entah di mana, rasanya di dapur, tetapi bukan dapur rumah saya. Namun, sepertinya saya menganggap itu dapur rumah saya. Saya merajangnya seperti mau bikin bistik,” suara di balik kawat kasa itu terengah-engah dengan nada emosi tinggi.
Romo Wijoyo diam saja, terus mendengarkan.
“Yang terakhir saya bunuh teman kencan istri saya. Saya belum pernah memergoki mereka berselingkuh. Tetapi teman-teman dan tetangga sering melihat mereka berdua bersama anak saya yang berumur dua tahun jalan-jalan di mal, taman kota, dan restoran. Lelaki ini sengaja disodorkan oleh ibu mertua saya dan membiarkan bertamu ke rumah, sementara saya pergi mengajar. Lelaki ini memang kaya. Selalu bermobil ke rumah. Ibu mertua saya dihujani banyak hadiah olehnya. Dialah lelaki idaman ibu mertua saya. Saya pukuli lelaki ini dengan pipa ledeng sehingga remuk kepalanya. Saya puas, tetapi saya menyesal telah membunuhnya.”
“Ya, itu kan hanya mimpi. Mereka kan masih hidup?”
“Masih Romo. Tetapi saya malu telah melakukannya dalam mimpi.”
“Apa kamu malu juga dengan perempuan-perempuan dalam mimpimu?”
“Malu sekali Romo. Mereka saya lihat telanjang bulat. Suster Marie juga telanjang bulat. Bahkan dalam keadaan sadar saya tak berani membayangkannya. Ini kan pikiran kotor saya Romo. Saya telah berdosa dengan pikiran.”
“Apa kamu memang pernah punya pikiran semacam itu kepada korban-korbanmu?”
“Tidak pernah Romo. Mimpi itu datang begitu saja tanpa saya minta. Saya menyetubuhi mereka dan membunuh mereka dengan amat nyata. Begitu bangun saya terengah-engah. Untung juga cuma mimpi. Tetapi itu berulang kali. Yang terakhir saya mimpi menguras uang sekolah di laci Suster Marie, lalu saya bagikan kepada istri dan ibu mertua saya.”
“Tetapi uangnya kan masih ada?”
“Tidak ada Romo. Paginya sekolah ribut karena Suster kehilangan uang dua puluh juta lebih di lacinya.”
“Hah? Kan itu hanya mimpi.”
“Benar saya yang mimpi. Tetapi uang sekolah itu benar- benar lenyap.”
“Ke mana?”
“Tidak tahu Romo. Saya tidak mencurinya. Anehnya peristiwa itu terjadi di malam mimpi saya. Tidak ada orang yang tahu saya mimpi mencuri uang sekolah. Dan saya tidak menceritakannya kepada siapa pun, termasuk istri saya. Uang itu nyatanya benar-benar dicuri.”
Romo Wijoyo memandangi lelaki di balik kawat kasa itu. Ia menunduk dan nampak agak menggigil.
“Baiklah. Mari kita berdoa kepada Allah memohon pengampunan-Nya. Kalau kamu merasa telah berdosa dengan pikiranmu, mohonlah ampunan. Mari berdoa agar hatimu tenang.”
Keluar dari kamar pengakuan dosa, lelaki itu melihat deretan panjang orang-orang yang mau mengaku. Satu per satu mereka melirik padanya. Itulah pengakuan dosa terpanjang di paroki itu.
Romo Wijoyo, sebagai pastor paroki, dengan sendirinya hanya menyimpan peristiwa itu dalam hatinya. Namun, pengakuan dosa yang aneh itu tetap menjadi pertanyaan baginya. Bagaimana uang dapat hilang dalam peristiwa mimpi.
Kira-kira satu bulan kemudian, di suatu sore, koster memberi tahu kepada Romo Wijoyo bahwa ada seorang ibu ingin menemui Romo. Di ruang tamu, Romo Wijoyo melihat seorang perempuan muda yang bertanda memar biru di bagian mata kirinya.
“Maaf mengganggu Romo. Saya Ibu Lukas. Istri Pak Lukas guru sejarah di susteran. Begini persoalannya Romo.”
Romo Wijoyo ingat kembali pengakuan dosa yang aneh itu.
“Tadi siang saya membereskan kamar kerja suami saya. Banyak tumpukan kertas ulangan dan tugas-tugas kliping dari murid-murid. Di tengah-tengah tumpukan kertas-kertas itu, tiba-tiba saya temukan bungkusan koran ini. Dan ternyata isinya uang ratusan ribu. Saya hitung jumlahnya ada dua puluh juta lima ratus ribu rupiah. Saya amat takut. Saya ke sini tanpa memberitahukan suami saya. Inilah uang-uang itu Romo.”
Romo Wijoyo amat kaget.
“Sekitar satu setengah bulan yang lalu, sekolah tempat suami mengajar kehilangan uang sekitar jumlah ini. Saya tidak menduga bahwa suami saya yang mencurinya. Saya takut Romo. Saya minta tolong agar Romo dapat mengembalikan uang ini ke suster. Dan saya mohon agar Romo dapat berunding dengan suster kepala agar tidak mempermasalahkan hal ini. Saya minta tolong sekali pada Romo.”
Romo Wijoyo masih tertegun. Belum sempat menata pikirannya.
“Saya tidak mau suami saya kehilangan pekerjaan. Mudah- mudahan jumlah uang ini belum berkurang. Nampaknya memang demikian karena bungkusan koran ini telah berdebu bersama kertas-kertas pekerjaan murid-murid. Tolong Romo.”
Romo Wijoyo menerima bungkusan uang itu dan berjanji akan menyampaikannya kepada suster kepala.
“Ibu jatuh atau bagaimana, kok…,” tanya Romo Wijoyo sambil memperhatikan memar di mata kiri Ibu Lukas.
Ibu Lukas tersipu malu.
“Bukan jatuh Romo.”
“O, ya?”
Ibu Lukas diam menunduk. Nampak ragu akan apa yang akan dilakukannya.
“Begini Romo. Sudah satu bulan ini suami saya, ketika kami tidur, tiba-tiba ia memukuli kepala saya sambil menggeram. Bahkan pernah ia mencekik leher saya Romo. Ia sering bermimpi dan memukuli kepala saya. Suami saya… selalu menuduh saya selingkuh. Tetapi saya tidak selingkuh Romo. Lelaki itu dulu memang senang pada saya. Ia jauh lebih tua dari saya. Dari dulu ia baik pada saya. Juga setelah saya menikah dengan suami saya ini. Memang tidak pantas. Tetapi ia sering memaksa saya dan anak saya untuk diajak belanja. Dan ibu saya membolehkannya.”
Dua hari kemudian Romo Wijoyo menemui Suster Marie dan menyerahkan bungkusan uang itu. Suster Marie tidak percaya bahwa uang itu dicuri oleh Pak Lukas.
“Tidak mungkin dia Romo. Tetapi mengherankan juga mengapa uang ini ada di kamarnya. Pak Lukas ini orangnya amat baik. Ia juga disayangi anak-anak. Maklum anak-anak remaja Romo. Banyak yang mengidolakan dia. Namun ia tetap menjaga jarak dengan anak-anak, dan amat sopan. Pak Lukas memang agak pendiam, namun ia amat ramah kepada siapa pun. Saya tidak percaya ia dapat melakukan hal ini.”
“Sebaiknya suster agak punya perhatian khusus padanya.”
Sesampainya di pastoran, Romo Wijoyo menelepon bagian perpustakaan fakultas filsafat, apakah di perpustakaan ada buku The Interpretation of Dream karangan Sigmund Freud.
Dari seberang sana ada jawaban, bahwa ada dua buku itu di perpustakaan, satu hardcover dan satu lagi paperback.

Surat Keramik


 cerpen:Herlino Soleman

“Aku bosan menerima suratmu yang cuma bercerita tentang kerinduan, dambaan, dan kegersangan jiwamu di negeri perantauan!” tulis Isti, kekasihku, dalam surat yang terakhir kuterima. Ia lalu mengajukan permintaan agar aku menuliskan hal lain yang menarik untuk direnungkan. “Bahwa kau merindukanku, merindukan orangtua dan kerabat serta kampung halaman, itu hal yang pasti kau rasakan! Kalau mau kuungkapkan rinduku kepadamu, tak cukup satu-dua buku untuk menuliskannya. Aku menginginkan cerita lain yang tidak klise dan terhindar dari derai-derai kata yang mendambakan pertemuan. Jika saatnya tiba, toh kebersamaan kita pasti akan terjadi. Kau juga tak perlu berulang-ulang mengungkapkan kekhawatiranmu tentang perilaku Si Gendon, jagoan kampung yang meresahkan penduduk dan selalu menggangguku itu. Ia sudah dimassa. Tubuhnya hangus dibakar penduduk dan mereka merasa plong atas kematiannya, termasuk ibunya yang sudah renta.”
Kulipat lagi surat yang telah berulang kali kubaca itu. Dan sebagaimana biasa, dalam kesendirian aku larut dalam kenangan dan harapan yang selalu kudamba tapi tak kunjung tiba. Kukira kata-kata Isti dalam surat benar. Wajar bila ia lalu menginginkan cerita yang lain dari biasanya. Hanya saja, aku bukan pencerita yang baik. Selama ini, setiap kali menulis surat untuknya, aku harus memberikan pengorbanan yang besar untuk dapat merangkai-rangkaikan kalimat supaya mudah dimengerti. Ichiro, kawan sekerjaku, mengatakan bahwa bahasaku selalu minim. “Tanganmu lebih cekatan saat bekerja ketimbang gerak mulutmu saat bicara. Tapi itu lebih baik,” katanya. Meskipun demikian, dengan susah payah telah kutulis serangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Aku berharap surat ini bisa memenuhi harapan Isti. Lembar-lembar surat yang belum beramplop ini masih berserakan di atas tatami. Siapa pun yang melihat bisa membacanya.
Suatu malam, waktu itu aku tengah menikmati libur osyogatsu selama seminggu, setelah memenuhi undangan Nagayama, aku keluar dan hendak kembali ke apaato-ku dalam lingkungan pabrik. Malam hampir memasuki dini hari. Gerimis salju mulai turun. Tak ada suara-suara serangga. Sunyi. Aku berpikir, saat musim dingin seperti ini, ke manakah serangga-serangga yang pada musim panas dan musim gugur begitu ramai? Ah, mengapa aku tiba-tiba berpikir tentang serangga? Kau mungkin menduga bahwa hal ini karena aku tengah digelibat kenangan tentang kampung kita yang pada malam hari tak pernah sepi suara serangga. Kau benar, Is, tapi bukan karena itu saja. Saat itu, tiba-tiba aku tak ingin segera kembali ke apaato-ku. Dalam hujan salju yang semakin lebat aku ingin menyusuri malam. Salju yang melayang-layang ringan di sekitar lampu jalanan tampak seperti kupu-kupu kecil beterbangan. Suara geripisnya pada dedaun pohon jyooryokujyu terdengar begitu puitis.
Waktu aku keluar dari rumahnya, Nagayama yang mabuk berat tertidur begitu saja di atas tatami beralaskan karpet elektrik yang hangat. Beberapa botol sake telah ditenggak habis bersama Ichiro yang juga tergeletak di atas karpet hangat itu dalam keadaan mabuk. Jika besok pagi terbangun, pikirku waktu itu, pasti Nagayama akan menggerutu karena aku dianggapnya telah berbuat kejam dengan meninggalkannya dalam keadaan mabuk. Akan tetapi, hal itu bukan hal yang perlu kukhawatirkan benar. Jika libur osyogatsu habis dan kami bertemu di pabrik, ia akan sudah melupakannya. Satu-satunya yang diingatnya di pabrik hanyalah kerja. Hal ini telah menciptakan fenomena yang berlawanan: Nagayama yang ramah di rumah dan Nagayama yang pembisu di pabrik. Selama ini aku menyadari benar sikapnya yang demikian. Orang boleh mengatakan bahwa bagi duda tanpa anak seperti Nagayama, wajar jika memiliki sikap seperti itu. Hanya saja, aku sendiri memahaminya sebagai sikap menghargai orang dan pekerjaan secara sungguh-sungguh.
Menurut Ichiro, Nagayama telah bersikap demikian jauh sejak sebelum istrinya meninggal karena kecelakaan pesawat. Perbedaan yang terjadi hanyalah karena Nagayama jadi sering mengundang mereka ke rumahnya yang berbentuk ikkodate itu. Tentu saja aku mempercayai kata-kata Ichiro karena sejak bekerja padanya, bersama Ichiro dan marhum Hiroshi, aku pun sering mendapat undangannya. Meskipun demikian, ketimbang menebak-nebak sikap lelaki yang hampir memasuki usia tujuh puluh itu, jika berada di rumahnya aku lebih tertarik memperhatikan kesan sederhana tetapi terasa indah dan nyaman. Tentang hal ini aku merasa selalu gagal menerjemahkannya secara tepat. Jika aku mempertanyakannya, Nagayama tak pernah memberikan jawaban yang pasti. Ia lebih banyak tertawa haha…heheh ketimbang menjawab pertanyaanku. Karenanya, untuk mengobati rasa penasaranku aku sering berkata kepada diri sendiri bahwa keindahan dan kenyamanan rumah yang tercipta dari kesederhanaan merupakan hal yang sulit terjadi tanpa pemahaman seni yang benar; tanpa ketelatenan dan keseriusan perawatan pemiliknya secara terus-menerus.
Salju kian menderas. Suara jatuhnya yang sama sekali tak terdengar terasa menyentuh perasaan; sesuatu yang lembut jatuh ke sesuatu yang sama lembutnya yang tak menimbulkan getaran, tapi jika terlihat seolah mampu mengusik pendengaran. Jalanan yang kulalui mulai memutih. Di mana-mana bumi mulai memutih. Menurut prakiraan cuaca di televisi, salju akan turun dan mengendap sampai lima belas sentimeter. Hawa dingin terasa semakin membeku. Tapi aku tak berniat langsung pulang. Malam ini aku ingin berlama-lama berada dalam salju.
Memasuki pelataran kuil Burung Besar yang anggun, kembali aku teringat pada maksud Nagayama mengundang aku dan Ichiro. Katanya, ia mengundang kami bukan untuk menyatakan kegembiraannya karena telah terbebas dari tuntutan hukum atas tuduhan bahwa dirinya adalah penyebab utama yang mendorong Hiroshi nekat bunuh diri, melainkan justru untuk mengenang marhum Hiroshi yang sebenarnya sangat disayanginya, dan tentunya sambil merayakan osyogatsu. Bebasnya Nagayama dari tuntutan hukum terutama karena Janda Murata, ibu Hiroshi, tidak melakukan tuntutan apa pun. Dalam sidang pengadilan ia justru berkata dengan lantang bahwa ia merelakan kematian anak satu-satunya itu. Jelas ia berusaha membela Nagayama. “Biarlah anakku merasakan akibat dari kebodohan dan kemalasannya. Lagipula, jika saya bunuh diri dan meninggalkan surat wasiat bahwa yang menyebabkan saya bunuh diri adalah kaisar, apakah Bapak Hakim akan menghukum kaisar?” Kata Janda Murata yang diceritakan Nagayama kepadaku dan Ichiro.
Baiklah kini aku berterus terang kepadamu, Is, bahwa kini aku bukan trainie lagi sebab sudah lari dari majikan karena aku tak mau menjadi sapi perahan. Sejak itu aku menjadi penduduk gelap karena pasporku dipegang majikan lama. Aku lalu bekerja di pabrik keramik milik Nagayama yang tak mempermasalahkan status kependudukanku. Kerjaku hanya menjaga api saat membakar keramik perangkat minum sake bikinan Nagayama yang kualitas dan keindahannya sangat terkenal di negeri perantauanku.
Semula Nagayama membuat sendiri semua produknya. Meskipun secara kuantitas produknya kalah jauh dengan produk sejenis yang dibuat secara mekanis, ia tak merasa khawatir. Nagayama malah merasa bangga karena secara kualitas produknya jauh lebih unggul. “Orang yang mengerti dan menghargai kualitas tak pernah berkurang. Dan mereka mau membayar mahal untuk pengertian dan penghargaannya itu!” katanya selalu. Akan tetapi, Nagayama yang merasa perlu menambah jam istirahat karena usia tua, mulai mempersiapkan dua orang penerusnya, Hiroshi dan Ichiro. Usaha menyiapkan penerus sambil sedikit memperbanyak produk inilah yang membawa permasalahan bagi Nagayama hingga ia dibawa ke pengadilan, meskipun kemudian ia dibebaskan dari segala tuntutan.
Waktu aku menghadiri undangan itu, sebelum mabuk Nagayama mengatakan bahwa sepeninggal Hiroshi ia tak akan mengubah sikap, pola, dan sistem kerja pabriknya. “Aku telah merintisnya bertahun-tahun dan aku bisa hidup darinya. Aku tetap menomorsatukan seni dan kualitas! Kalian harus tahu itu!” Karena aku diam saja, sementara Ichiro mengangguk-angguk menyatakan persetujuan, dengan serius Nagayama menanyakan sikap diamku. Aku menjawab bahwa sikap diamku adalah sebagai tanda mengerti.
Waktu kemudian aku mengatakan bahwa kemengertianku hampir tak berarti karena kerjaku hanya sebagai penjaga api, Nagayama membantah dengan keras. “Semua pekerjaan menentukan kualitas akhir sebuah produk!” Katanya dengan wajah serius.
“Kenapa kau tak pernah mau minum sake?” Tanya Nagayama setelah menenggak sakenya. Karena aku menjawab dengan sungguh-sungguh bahwa setiap kali minum sake selalu terserang mencret, Nagayama tertawa terbahak-bahak dalam mabuknya. “Ya, itu akan mengganggu kerjamu he…he… he…!” Kata Nagayama di sela tertawanya. Ichiro yang sudah mulai mabuk itu pun ikut tertawa.
Menyusuri gang di belakang kuil Burung Besar, tiba-tiba aku teringat bahwa di salah satu pohon pada gerumbul di belakang kuil itulah Hiroshi menggantung diri. Aku jarang merasa takut oleh hal semacam ini, tetapi kali ini bulu kudukku sedikit merinding. Mungkin karena hubunganku dengan Hiroshi sangat baik sehingga kenangannya begitu lekat. Mungkin pula karena syalku terbuka hingga hawa dingin menerobos ke kudukku. Maka, setelah merapikan syal, kembali aku berjalan dalam salju. Meskipun demikian, saat tiba di bawah gerumbul yang jadi pucat karena pantulan sinar lampu pada hamparan salju, aku berhenti. Seolah terhipnotis oleh pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri, atau sekadar terbayang pada tubuh yang tergantung dan lalu diturunkan, pikiranku melayang ke peristiwa itu.
“Pyarrrr…! Ayo, tatap barang rongsokan yang kalian bikin ini jadi pecah berantakan!” kata Nagayama dengan marah sambil terus membantingi cangkir dan guci keramik bikinan Hiroshi dan Ichiro. Wajahnya semerah saat ia mabuk berat. Maka terjadilah peristiwa yang selama delapan kali sebelumnya terjadi. Cangkir dan guci keramik hasil percobaan Hiroshi dan Ichiro delapan kali sebelumnya selalu dianggap gagal. Pada setiap pemeriksaan, satu-satu cangkir dan guci keramik itu dibanting Nagayama dengan keharusan bahwa Hiroshi dan Ichiro menatap setiap bantingan yang dilakukannya, tak terkecuali hasil percobaan yang kesembilan karena masih dianggap belum memenuhi harapannya. Suara pecahnya keramik-keramik yang dibanting Nagayama terus berkerompyangan membentur lantai, membuat perasaan kami jadi giris; seolah yang pecah adalah hati dan perasaan kami sendiri.
“Jangan palingkan tatapan kalian pada hal lain. Tatap saat barang pasar itu pecah berantakan supaya kalian tahu bahwa tak ada artinya pekerjaan yang dilakukan tanpa memadukan segala aspek pada diri kalian secara total dan sungguh-sungguh!” katanya sambil terus mengambil cangkir atau guci sekenanya, lalu membantingkannya kuat-kuat ke lantai.
Telah berulang kali Nagayama mengatakan bahwa membuat keramik perangkat minum sake yang berkualitas prima dan memiliki keindahan yang memesona, tak cukup hanya mengandalkan teknik dan keterampilan, melainkan harus juga memadukan kreativitas seni secara total. Hal itu memerlukan ketekunan, keahlian, dan pengerahan kreativitas pikir dan seni secara sungguh-sungguh dan terus-menerus. Berulang kali pula Nagayama mengatakan bahwa tangan mungil wanita dan tangan kukuh pria yang memegangnya saat menuang dan minum sake, tak boleh memudarkan unsur keindahan guci dan cangkir sake. Keindahan itu justru harus berpadu dengan tangan-tangan yang menyentuhnya.
“Keindahan Gunung Fuji tak pernah pudar oleh perubahan cuaca maupun waktu. Saat mendung, hujan, maupun cerah; waktu pagi, siang, maupun malam, paduan keindahannya tak pernah memudar. Akan tetapi, kalian hanya menghasilkan cangkir dan guci sake dengan kualitas dan keindahan jauh dari yang kuharapkan! Kukira bukan karena kalian tak mampu! Kalian belum berbuat maksimal! Belum juga kalian sadari bahwa untuk memperoleh kualitas dan keindahan yang kuharapkan, kerja harus benar-benar total!” katanya dengan suara keras.
Waktu membantingi cangkir dan guci keramik hasil percobaan Ichiro dan Hiroshi yang kesembilan, Nagayama mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia merasa prihatin karena semangat Nippon mulai luntur. “Anak-anak seperti kalian terlalu dininabobokan situasi enak akibat berhasilnya teknologi. Apa kalian tidak mengerti bahwa teknologi canggih yang kita miliki sekarang ini dulunya amatlah sederhana dan terbatas? Kecanggihan yang kita nikmati sekarang adalah hasil usaha yang terus-menerus dan akan terus pula ditingkatkan. Kehidupan tak pernah mandek. Adalah kehancuran yang akan didapat jika justru kita yang mandek, berhenti berpikir atau bahkan hanya setengah-setengah sekalipun. Sudah berulang kali kukatakan, berhentinya pikiran seseorang berarti berhenti pula kehidupannya. Banyak penduduk di banyak negeri yang tak menyadari hal ini dan akhirnya mereka selalu mundur dan kisruh melulu. Setiap hari umurku bertambah, tubuhku menjadi renta, tapi kalian tak pernah berpikir untuk membuatku segera bisa banyak istirahat! Sekarang juga kalian buat lagi percobaan kesepuluh! Tunjukkan kepadaku bahwa hasil karya kalian bisa lebih baik ketimbang hasil karyaku supaya aku bisa melihat adanya kemajuan! Ingat, kalian bukan lagi anak sekolah yang harus dipuji dan disemangati dengan kelembutan dan kebohongan!” kata Nagayama panjang lebar.
Begitulah, malamnya Hiroshi menghilang. Aku dan Ichiro saling mempertanyakan tetapi sama-sama tak mencarinya. Barulah kami menyesal setelah paginya beberapa pendeta kuil dan polisi sibuk menurunkan mayat Hiroshi dalam rinai salju. Dari sakunya ditemukan surat wasiat untuk ibunya yang di antaranya menyebutkan bahwa semua itu terjadi karena perlakuan Nagayama. Di antara kerumunan orang, Janda Murata berdiri kaku dan membisu. Wajahnya menampakkan gambaran kekosongan bercampur dengan warna-warna kusam.
Kukibas-kibaskan salju yang menempel pada topi dan overcoat-ku. Saat membungkuk untuk mengibaskan salju di celanaku, segera kusadari bahwa aku sudah terlalu lama berdiri di bawah pohon kusuno yang mirip pohon mahoni itu. Sepatu saljuku bahkan sudah dalam terbenam dalam salju yang terus menumpuk. Ada rasa nikmat yang sulit kuungkapkan. Tak jelas kumengerti rasa nikmat macam apa. Hanya saja aku pernah berharap bahwa suatu saat bisa menyaksikan fajar menguak pagi bersamaan dengan turunnya salju. Ingin kusaksikan perubahan antara kelamnya malam yang pucat berganti pagi yang kusam oleh mendung dan rinai salju. Aku sangsi apakah warna suasana keduanya bisa kuperbandingkan sebagai warna getah karet campur sedikit tepung arang dengan warna susu yang putih keruh? Yang jelas, pada kedua warna ini, warna-warna kontras masih bisa dilihat. Karena itu, sesosok tubuh yang mengenakan overcoat hitam dan berjalan ke arahku bisa kulihat dengan jelas. Bahkan aku bisa mengatakan bahwa sosok tubuh yang berjalan dalam salju itu adalah Janda Murata. Kenyataan ini tentu saja membuatku kaget bukan main.
Segera aku berlindung di balik pohon Kumashidi yang tak jauh dari pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri. Sebagaimana kuduga, Janda Murata menuju ke arah pohon bekas anaknya menggantung diri. Begitu tiba, segera diletakkannya kembang setaman dan guci air, lalu ia melakukan sembahyang. Kepalanya menunduk takzim. Kedua telapak tangannya dirapatkan di dada dalam posisi menyembah. Tak lama kemudian samar-samar kulihat pundaknya berguncang-guncang. Lalu kudengar isak tangisnya. Di antara isak tangisnya lamat-lamat kudengar ia menyebut-nyebut nama anaknya. “Hiroshi…! Hiroshi…!”
Dalam dadaku ada suara menggemuruh. Aku yakin di antaranya adalah suara haru dan iba yang muncul dari bayangan kesendirian hidup Janda Murata yang kukhayalkan. Ingin aku mendekatinya, tapi segera kutepiskan. Yang terbaik baginya saat ini adalah membiarkannya dalam kesendirian. Dan bersama pagi yang telah penuh terkuak, cairan warna susu keruh mulai mengendap, segera kusadari bahwa sesungguhnya Janda Murata tengah memikul beban yang demikian berat. Meskipun demikian, kesadaran ini dikacaukan oleh kenyataan bahwa Janda Murata telah merelakan kematian Hiroshi. Aku jadi bertanya, sesungguhnya benarkah ada orang yang bisa merelakan kematian seorang yang begitu dekat dengan dirinya? Juga, benarkah Nyai Sukarti, ibu Si Gendon, merelakan kematian anaknya itu? Benarkah ia merasa plong setelah penduduk kampung kita berhasil membakar Si Gendon sampai mati?
Ah, banyak nilai yang harus kupertimbangkan untuk memahami keduanya. Hanya saja aku jadi merasa malu dengan diri sendiri. Apa yang bakal dikatakan Janda Murata jika membaca penutup suratmu tentang kerelaan ibu Si Gendon atas kematian anaknya itu? Aku berpikir, antara Janda Murata dan ibu Si Gendon yang sama-sama merelakan kematian anaknya yang tak wajar, sesungguhnya memiliki perbedaan yang begitu jauh. Ada rentang nilai yang menganga lebar antara perilaku Hiroshi dan Gendon, meski keduanya sama-sama terjadi dalam ruas negatif. Andaikan Janda Murata membaca penutup suratmu yang terakhir kuterima, mungkin ia akan mencibirkan bibir. “Ah, andaikan benar, mengapa di negeri kita orang bisa merelakan kematian seseorang hanya setelah seseorang terlanjur menjadi seperti Si Gendon yang entah berapa rumah yang telah dirampoknya, berapa tubuh yang telah dicluritnya, berapa perawan dan nyonya-nyonya muda yang telah diperkosanya, dan berapa kampung serta berapa kota yang telah dibuat resah oleh ulahnya?”
Aku tak bisa membayangkan bahwa suatu saat harus merelakan kematian tak wajar anggota keluargaku atau siapa pun, Is. Saat ini aku tak ingin mengatakan bahwa Janda Murata dan ibu Si Gendon adalah orang-orang hebat atau jahat. Tak sampai hatiku berpikir semacam itu. Pernah kudengar orang mengatakan bahwa hidup memang teramat berharga untuk hanya diisi dengan impian kosong, kesia-siaan, apalagi oleh perilaku barbar. Sekian saja suratku!
Tokyo, Oktober 2002

Catatan:
1. apaato: apartemen sederhana
2. ikkodate: rumah yang berdiri sendiri
3. jyooryokujyu: pohon segala musim
4. osyogatsu: tahun baru
5. taiso : gerak badan
6. tatami: tikarala Jepang

Bunga Jepun


cerpen: Putu Fajar Arcana

Sebulan sesudah bom meledak di Legian, Luh Manik belum memutuskan apa-apa. Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dan kebun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari. Dulu, di sekitar petak sawah terakhir, di dekat sebuah pura kecil, Luh Manik senantiasa memetik bunga jepun. Ia tak perlu naik karena di batang pohon jepun entah oleh siapa, telah tersedia sebatang bambu lengkap dengan kait untuk menggaet bunga. Lalu, bunga-bunga jepun berwarna putih itu, setelah digaet memutar seperti baling-baling helikopter sebelum menyentuh tanah.
Luh Manik membayangkan dirinya tengah berada di dalam sebuah pesawat yang melaju ke luar negeri. “Aku mestinya sudah menari di luar negeri,” selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Bergegas kemudian dipungutnya bunga-bunga yang berjatuhan menerpa belukar liar.
Waktu itu, Luh Manik sungguh menikmati hari-hari yang riang. Petang hari, setelah memetik bunga-bunga, biasanya bersama rombongan yang telah menunggunya di los dari bambu, ia berangkat menuju Nusa Dua. Ia selalu diberikan tempat di samping sopir dengan seorang penari lainnya. Sementara para penabuh berjejalan di bak truk bercampur dengan perangkat gamelan. Dalam cuaca hujan, mereka tak pernah takut. Cukup dengan menarik terpal untuk kemudian memfungsikannya seperti atap rumah, dan mereka akan terlindung dari guyuran air hujan sederas apa pun. Perjalanan dari Desa Poh menuju Nusa Dua biasa ditempuh dalam dua setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti para penabuh menembangkan lagu-lagu pop Bali yang sedang digemari. Sembari memukul kendang, mereka menyanyikan lagu-lagu karangan Widi Widiana, penyanyi pop Bali yang lagi populer itu.
Meski hanya diberi honor antara Rp 7.000 sampai Rp 10.000, Luh Manik bersama kelompok joged bungbung Teruna Mekar menjalani petang dengan riang selama hampir tiga tahun terakhir. Setidaknya kehidupan rata-rata warga Desa Poh yang hanya menggantungkan harapan pada kebun pisang dan sawah tadah hujan, agak tertolong dengan kontrak menari di beberapa hotel di kawasan wisata Nusa Dua. Selalu sebagian warga mendahului duduk-duduk di los sembari menunggu jemputan. Duduk-duduk di los seperti menunggu rezeki mengalir ke Desa Poh. Kedatangan truk pun lama kelamaan seperti kedatangan dewa penyelamat yang mengangkat mereka dari keterpurukan ekonomi.
Petang ini jalanan licin. Di bulan November, desa-desa di Bali sedang memasuki musim gerimis. Ini pertanda tak lama lagi musim hujan akan tiba. Semak belukar yang meranggas selama kemarau belum tumbuh sepenuhnya. Tanah yang kehitaman berkilau-kilau diterangi kilat dari langit di barat desa. Di dekat pohon jepun, Luh Manik berhenti sejenak, menelusuri batang, dahan, serta ranting yang bulat bergerigi sampai ke pucuk. Bunga jepun yang putih seperti malas mekar. Batang bambu yang dulu selalu digunakan untuk mengait kuntum-kuntum bunga sudah tidak ada lagi.
“Ah…,” gadis belasan tahun ini melenguh. Ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Saban petang, setelah bom meledak di Legian, Luh Manik nekad memanjat batang pohon jepun untuk menemukan kuntum bunga. Batang pohon yang lembut itu seperti merasakan gesekan kulit Luh Manik yang halus. Mereka seperti dua kekasih yang lama terpisah. Dan hari ini, di petang yang dingin keduanya saling memeluk untuk melepas rindu. Daun-daun jepun yang bergoyang karena terpaan angin mengusap-usap rambut Luh Manik. Keduanya saling berbisik mengenangkan hari-hari menyenangkan.
“Aku masih ingat waktu kau petik berpuluh-puluh bungaku,” ujar pohon.
“Aku juga masih ingat saat kau menjatuhkan bunga, melayang seperti baling-baling pesawat…” jawab Luh Manik.
“Lalu…. lalu kau selalu merasa sedang menari di sebuah negeri yang jauh dari desa ini dengan merangkai bungaku di rambutmu.”
“Aku selalu mengidamkan menari di luar negeri, seperti para penari dari kota.”
“Bukankah menari di hotel juga untuk para bule itu?”
“Tetapi… aku ingin menikmati kepakkan baling-baling yang menebarkan wangi, hingga mengantarkan aku ke negeri bersalju.”
“Bukankah dari mulut para bule yang menciummu seusai menari senantiasa meluncurkan aroma harum anggur? Lalu, kau suntingkan bungaku di telinga mereka?”
“Sekarang tidak lagi. Kita hanya bunga belukar yang selalu mengidam-idamkan pergi ke luar negeri bersama-sama.”
Luh Manik memetik sekuntum bunga untuk kemudian diikatkan pada rambutnya yang panjang. Sambil berlari-lari kecil di atas pematang, ia memasuki setapak di bawah rimbunan kebun pisang.
Di dalam los selalu sudah ada beberapa lelaki yang dengan lesu memukul bilah-bilah bambu gamelan. Suaranya terdengar terseok-seok dari celah-celah batang pisang, di mana Luh Manik sedang berjalan. Dari jarak dua puluh lima meter, lapangan di depan los yang biasa digunakan Luh Manik berlatih menari, sudah ditumbuhi rerumputan. Batang bambu yang digunakan menggantung petromak di tengah-tengah lapangan, juga sudah tampak miring. Bahkan, kalau saja tidak ada batu yang mengganjalnya, mungkin batang bambu itu sudah lama roboh.
Luh Manik menerawang ke ambang petang. Langit di barat masih berkabut. Gerimis baru saja berhenti. Asap bergulung-gulung meluncur dari atap daun kelapa rumah beberapa warga. Petang begini mereka baru memutuskan untuk merebus pisang muda. Sejak kontrak menari di hotel-hotel diputus, sebagian besar warga seperti kehilangan pegangan. Mereka terlanjur menggantungkan diri pada kegiatan Teruna Mekar.
“Kudengar kamu akan kerja di Jakarta, Luh?” tanya lelaki setengah baya yang biasa menjadi pemukul kendang di Teruna Mekar. Luh Manik yang disambut dengan pertanyaan sewaktu memasuki los tercekat. Ia berpikir, begitu cepatnya kabar menyebar. Padahal, rencana itu baru ia kemukakan kepada Kadek Sukasti, temannya sesama penari.
“Kami sangat mengerti kemauanmu itu,” kata lelaki yang lain lagi.
“Hidup di sini sudah hampir tak ada harapan. Kami juga sedang memikirkan untuk menjual saja gamelan ini,” ujar lelaki pemukul bilah-bilah bambu dengan nada putus asa.
“Tetapi keputusanmu itu, menurutku sangat egois. Kemarin, baru kudengar kamu ingin terus tinggal di desa apa pun yang terjadi. Kedua orang tuamu sudah tidak ada, Luh. Mengapa mesti nekat hidup di kota keras seperti Jakarta?” berkata lelaki muda dengan sangat emosional.
“Kemarin, sewaktu aku melewati pohon jepun di pinggiran sawah, aku memutuskan untuk pergi saja,” jawab Luh Manik tegas. Meski baru berumur belasan tahun, tetapi Luh Manik jauh tampak lebih dewasa dalam berbicara. Mungkin karena ia terbiasa hidup mandiri. Ia tak pernah merasa rikuh ngomong bersama sekumpulan lelaki yang jauh lebih tua dari dirinya.
“Aku dengar pula kamu mulai bicara-bicara sambil memeluk pohon jepun di pinggiran sawah itu. Sebaiknya, Luh, kamu di sini saja tenangkan diri dahulu, sembari memikirkan langkah nanti…” kali ini berkata seorang kakek yang dianggap sebagai tetua kelompok Teruna Mekar.
Luh Manik terdiam. Ia merasa sedang diadili. Lelaki, pikirnya, seringkali terlalu egois dengan mengatasnamakan kelompok. Padahal, sesungguhnya mereka sendiri takut kehilangan pegangan, takut kehilangan perempuan seperti dirinya yang selama ini menjadi primadona Teruna Mekar. Mereka juga takut kehilangan sandaran hidup, hingga semuanya mesti dihadapi bersama-sama.
Baginya pohon jepun itulah sampai kini yang paling mengerti akan kesusahan warga Desa Poh. Selama bertahun-tahun, pohon jepun telah merelakan bunganya untuk dipetik, dirangkai, dan menjadi penarik para wisatawan. Bentuknya yang berbilah-bilah bisa menjadi aksen yang menarik jika disematkan pada rambut atau disuntingkan di telinga. Sebagai penari joged bungbung Luh Manik sadar benar, ia tidak akan bisa menari dengan baik tanpa bunga jepun.
“Luh, semua kita sekarang sedang stress. Tapi, kami minta tenang dulu, jangan pergi dalam keadaan pikiran masih kacau ya…” tambah lelaki tua tadi.
“Terima kasih, Kek,” Luh Manik selalu memanggil lelaki tua itu dengan sebutan “kakek”. “Aku hanya sedang mencoba mencari kemungkinan baru dari hidup ini. Hidup mesti terus berjalan, kendati kita hampir-hampir kehilangan sandaran untuk berdiri.”
“Jadi, kamu tetap ingin pergi ke Jakarta, tanpa memikirkan nasib kami?” kata lelaki emosional lagi.
“Nasib kita tergantung di tangan masing-masing, dan bukan pada bilah-bilah bambu gamelan itu. Ia hanya benda dan alat untuk memperbaiki nasib…” kata Luh Manik. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari bibir perempuan berambut sepinggang ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Bahkan, di ujung perkataannya, Luh Manik seringkali kaget, mengapa ia berkata-kata sebegitu lancar dan bijak, bahkan jauh melebihi lelaki tua itu.
Percakapan itu akhirnya berakhir karena gerimis telah mengalirkan gelap sampai ke dalam los. Luh Manik bergegas kembali ke rumahnya. Malam terlelap dalam gemerisik suara jangkrik yang sesekali ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup menyusup di sela pepohonan. Desa Poh yang ringkih seperti lelaki tua yang terseok berjalan dalam hitam malam.
Pagi-pagi sekali Kakek mendatangi rumah Luh Manik. Dari celah pohon jambu tampak pula Kadek Sukasti bersungut-sungut di belakangnya. Sekelompok ayam yang sedang mengais makanan di halaman meloncat berhamburan. Tetapi, setelah Kakek dan Kadek Sukasti lewat, ayam-ayam itu kembali berkumpul saling berebut makanan dari singkong kering yang ditaburkan Luh Manik.
Setelah melewati deretan semak di jalan setapak sebelah barat rumah Luh Manik, makin jelas terlihat wajah keduanya sangat tegang. Bahkan, kepala Kakek tampak terguncangguncang karena ia memaksakan diri untuk berlari-lari kecil. Buntalan kainnya tak keruan, hampir-hampir saja melorot dari pinggangnya yang ceking.
Dengan bibir bergetar, Kakek berkata, “Luh… kali ini harapan kita satu-satunya habis sudah. Mereka sudah memutuskan untuk menjual gamelan. Warga menolak untuk memberitahu kamu. Dan tadi malam, seorang lelaki dari kota telah mengangkutnya. Semua, sampai alat pemukulnya. Katanya untuk koleksi….begitu.”
“….Kalau memang itu satu-satunya jalan meneruskan hidup, mengapa tidak?” jawab Luh Manik enteng. Pembicaraan mereka berlangsung di halaman, tepat ketika matahari berkilauan menembusi pucuk pohon kelapa tua di timur rumah.
“Luh…!” Kakek mengucapkan nama Luh Manik dengan mata membelalak penuh ketidakpercayaan. “Bukankah dulu kamu dan ayahmu yang bersikeras membangun kembali kelompok joged ini? Dan, kamu bersedia menjadi joged pada saat kita sulit menemukan penari. Bahkan, kamu rela berhenti dari sekolah untuk serius menekuni tari. Mengapa sekarang kamu seperti menyerah saja ketika kita menghadapi kesulitan…”
“Kek, apalah yang bisa saya perbuat lagi, kalau itu sudah menjadi keputusan mereka. Dan menurutku, desa ini tak memberi pilihan lain agar kita tetap hidup.”
“Bukan itu persoalannya. Kakek sendiri tidak tahu pasti entah siapa dulu yang menciptakan perangkat gamelan joged itu. Kakek pun hanya tahu bahwa gamelan itu sudah tersimpan di los, hingga kita tak berhak menjualnya, Luh…”
Meski kaget, Luh Manik berusaha bersikap wajar. Ia ingin berpikir realistis… “Mungkin maksud Kakek gamelan ini warisan dari leluhur?”
“Mungkin begitu.”
“Kek, cobalah beri mereka pilihan untuk melanjutkan hidup. Bukan warisan itu yang penting benar sekarang, kan? Kita semua terlanjur tergantung pada kontrak itu, hingga lupa mengurus ladang.”
“Berarti, kamu telah memangkas pohon kehidupan di desa ini sampai ke akarnya. Justru gamelan itulah gantungan hidup kita, siapa tahu situasi di Nusa Dua cepat pulih…. dan kontrak-kontrak dilanjutkan lagi.”
“Itu perkara nanti, Kek. Keadaan sekarang terus mendesak. Mereka perlu makan hari ini!”
Dengan wajah kesal, kecewa, dan marah, tanpa mengucap kata sepatah pun Kakek menggamit ujung kainnya dan berlalu dari hadapan Luh Manik. Sebelum lenyap di balik rerimbunan pohon, masih terdengar ia menggerutu. “Dasar anak kecil…! Entengkan soal berat.”
Sementara Kadek Sukasti, memilih tetap tinggal dan duduk di beranda menemani Luh Manik. Ia juga sedang berpikir turut serta mencari kerja ke Jakarta. Kebetulan, menurut ayahnya, seorang saudara jauh yang dulu tinggal di Denpasar, sudah dua tahun ini pindah tugas di Jakarta. Bisa saja ia tinggal di sana, sementara menunggu pekerjaan.
Luh Manik menerawang seakan tak percaya pada apa yang barusan ia ungkapkan. Ketika Kadek Sukasti menyentuh tangannya, mata Luh Manik berkaca-kaca. Sekarang, ia malah berbalik tak yakin kalau menjual gamelan menjadi satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup di sini. Benar kata Kakek, bahwa ia telah memotong pohon sampai ke akarnya, hingga tak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran warga desa.
Selama bertahun-tahun, warga telah meninggalkan kebiasaan mengolah tanah. Mereka percaya benar joged lebih banyak mendatangkan hasil. Selain uangnya bisa dinikmati langsung, setidaknya suara gamelan dan lenggak-lenggok Luh Manik dan Kadek Sukasti di saat menari, menjadi pelipur kemelaratan. Tingkah polah para bule yang turut menari bersama Luh Manik selalu membuat mereka terbahak. Bahkan, seringkali perawakan rata-rata lelaki bule yang tinggi besar diolok-olok sebagai Rahwana yang sedang mengintai Dewi Sinta. Tertawa berderai kemudian terdengar dari bak truk ketika mereka kembali ke desa.
Setelah sebentar masuk ke kamarnya, Luh Manik menggamit tangan Kadek Sukasti, “Ayo kita jalan-jalan…” ajaknya. Kadek Sukasti tak menolak. Ia mengikuti langkah Luh Manik menyusuri setapak sebelum akhirnya lenyap di balik rimbun bambu.
Tubuh dua perempuan muda itu tampak kecil dan ringkih dipandang dari perbukitan di selatan persawahan. Mereka sesekali saling pegang untuk menghindari jalan menurun yang licin. Rambut Luh Manik yang panjang, ia lilitkan begitu saja di lehernya.
Di petak sawah terakhir, keduanya duduk sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon jepun. Sekuntum bunga jepun yang lepas dari ranting berputar-putar seperti baling-baling helikopter sebelum akhirnya menyentuh pangkuan Luh Manik.
“Apa rencanamu Luh?” tanya Kadek Sukasti memecah kebisuan. Luh Manik tak segera menyahut. Ia masih memperhatikan bilah-bilah bunga jepun yang layu di pangkuannya.
“Kamu jadi ke Jakarta, Luh?”
“Seperti yang sudah aku katakan, aku akan ikut saudaranya Nyonya Lin yang punya toko di Negara. Saudaranya itu juga punya toko onderdil sepeda motor di Jakarta. Mungkin aku akan kerja di sana…”
“Jadi pembantu?”
“Jadi pelayan toko.”
Tangan Luh Manik meremas bunga jepun, yang tadi melayang, berputar-putar, bagai pesawat yang dulu sering membawa ia bermimpi tentang negeri-negeri bersalju. Ia bermimpi menari di depan ratusan orang asing dengan pakaian gemerlap, lalu mendapatkan tepuk tangan dan ciuman beraroma harum anggur…

Laki-laki yang Menusuk Bola Matanya


cerpen:Yanusa Nugroho

Heran, sejak beberapa hari ini mataku sudah tak bisa melihat dengan benar. Kemarin aku yakin sekali melihat seekor kerbau di depan pintu kantor. Tentu saja semua orang tak percaya, termasuk logika pikiranku sendiri. Karenanya, aku tak marah dengan cerca dan gelak tawa mereka yang kuberi tahu bahwa di depan pintu kantor ada seekor kerbau besar dengan tanduk melintang bagai sepasang parang.
Ah lagi, kadang-kadang tanpa kusadari, tiba-tiba mataku pulih seperti sediakala. Entah apa penyebabnya, aku tak benar-benar tahu.
“Halusinasi itu sering terjadi,” begitu ungkap Mas Badri, dokter pribadiku. Dia tahu pekerjaanku yang mengharuskanku mengerahkan segenap tenaga untuk membuat skrip ini “…dan kadang-kadang kita tak menyadari sepenuhnya apakah kita ini sedang berhalusinasi atau tidak.”
“Jadi kamu percaya bahwa ini semua cuma kelelahan otakku? Gitu?”
“Ya, mbuh, Mas. Aku sendiri kadang-kadang bingung. Zaman sekarang ini sudah dikutuk sama Ki Ageng Ranggawarsita… zaman edan! Termasuk cara berpikir kita juga sudah edan.” Kata-kata Mas Badri seperti ditujukan pada sesuatu.
“Wong dokter kok, enggak optimis.”
“Biar dokter, wong aku juga manusia… kaya’ kamu.” Timpalnya sambil mengembuskan rokok kreteknya. Aku cuma menimpalinya dengan gelak tawa. Sumpah mati, rasanya dia dokter paling jujur di dunia ini, setelah dokter Doo Little-yang mewarisi ilmunya Nabi Sulaeman itu.
Karena itu pulalah kadang- kadang aku juga membenarkan pendapat kawan-kawan lain bahwa aku sedang berhalusinasi. Tapi terus terang, aku sendiri tak paham benar apa yang disebut halusinasi itu. Pokoknya, apa yang dilihat oleh mataku dan disampaikan ke otakku belum tentu sama dengan yang diterima otak manusia yang lain di sekelilingku. Itu inti persoalannya. Aku tidak tahu, apakah lensa mataku yang aneh, syaraf-syaraf ini yang mengadakan makar dan menciptakan usulan gambar aneh yang sebaiknya diterima otakku-atau apa? Atau memang otakku yang aneh; yang seharusnya menerima gambar apa adanya, malah dikarang-karang sendiri-entah apa maksudnya.
Seperti tiga hari lalu, misalnya. Waktu itu aku akan ke kamar kecil. Kebetulan karena struktur kantorku yang memang demikian-kamar kecil yang seharusnya ada di belakang, malah ada di depan-aku berpapasan dengan seorang pria bule, berdasi dan berpakaian perlente. Namun, nah… ini lagi… kepalanya ternyata babi!
Terus terang aku terkejut setengah mati. Kebetulan pula malah si bule itu satu tujuan denganku-ke kamar kecil. Yang tadinya aku ingin kencing, akhirnya tak jadi, cuma cuci muka dan mengaca. Masih saja kusaksikan pria berkepala babi itu mengaca dan menyisir rambutnya yang tipis. Mungkin karena aku memperhatikannya dengan pandangan aneh, dia agak tak suka dan akhirnya buru-buru keluar kamar kecil.
Aku masih saja belum memahami benar apa yang sebenarnya terjadi dengan mataku ini, sampai ketika kusaksikan si kepala babi itu ikut berkeliling kantorku-dan belakangan baru kuketahui bahwa dia adalah salah satu manajer perusahaan yang menjadi calon klien kantorku. Tentu saja si kepala babi menatapku dengan pandangan tak suka, ketika oleh bosku aku diperkenalkan kepadanya.
Ketika rombongan itu berlalu, beberapa teman mengomentari betapa kerennya si bule itu. Aku memperhatikan kedua cewek yang berkomentar itu dengan pandangan aneh. Mereka malah mengatakan dengan nada meledek bahwa pasti aku menyangka si bule itu wajahnya seperti babi. “Ya, kan, Mas… dia mirip babi, kan?” ucap si Vita sambil nyengir manja.
“Memang babi, kok.” Jawabku serius.
“Tuh, apa gua bilang, Mas Kris pasti ngatain bule itu seperti babi…” komentar yang satu lagi dengan nada melecehkan. “Orang kok sirik terus sama penampilan orang lain…” tambahnya enteng saja.
“Siapa yang…” aku tak melanjutkan ucapanku, percuma saja, mereka tak melihat apa yang kusaksikan.
Itulah keanehan yang tiba-tiba terjadi pada mataku. Karenanya aku juga tak bisa lagi benar-benar mempercayai lagi apa yang kulihat dan mengatakannya pada orang lain.
“Kita ke dokter mata, yuk.” Ajak istriku setelah mendengar keluhanku tentang keganjilan yang terjadi beberapa hari ini pada diriku.
“Memangnya kamu pikir aku ini minus, apa?”
“Ya, enggak, tapi… paling tidak, kita kan jadi tahu… kenapa sih, mata kamu enggak klop dengan orang lain?” ucap istriku jengkel.
Aku tahu, dia jengkel dengan laporanku. Mungkin, dia pikir ini adalah alasanku saja untuk keluar dari kantor dan berhenti kerja. Entahlah, mungkin saja dia punya pikiran begitu, karena memang aku sudah berkali-kali mengutarakan keinginanku untuk berhenti kerja. Aku ingin jadi penjual tape uli saja yang enggak banyak pikiran. Masalahnya, selain kondisi mataku yang makin seenaknya sendiri ini, pikiranku pun akhirnya ikut-ikutan enggak beres. Di sinilah aku akhirnya menyadari bahwa pertimbangan otakku nyaris ditentukan oleh apa yang dilihat oleh mataku ini. Sebelumnya, aku tak pernah punya pikiran demikian.
“Mas, kok, nglamun lagi, sih?” tiba-tiba suara Dik Tony membuyarkan lamunanku.
Aku menjawabnya dengan tersenyum saja.
“Sulit, ya, brief-nya?” tanyanya lagi. Aku memang sedang mempelajari strategi komunikasi iklan yang diberikan Dik Tony kepadaku.
“Oh, enggak. Enggak sulit, kok, cuma akunya yang lagi enggak mood.” Kilahku sambil menyalakan rokok.
Brief iklan yang sedang kubaca ini tentang sebuah produk pengharum mulut berbentuk semprot. Dalam hati aku tertawa, berapa banyak sih orang Indonesia yang mau pakai produk semacam ini? Ketika kegelianku itu kulontarkan pada orang lain, ada saja jawaban yang mengatakan bahwa aku ini terlalu skeptis memandang sesuatu. Terus terang, aku tak tahu apa maksud jawabannya itu.
Account director-ku malah marah ketika aku berkomentar demikian. “Pokoknya kerjakan sajalah, jangan sok jadi kritikus sosial. Ini kan dagang, dan tugas kita untuk melariskan produk klien kita. Titik!”
“Titik dua, atau titik-koma?” tangkisku sekenanya.
“Dasar copywriter!”
Aku cuma mengepulkan asap rokokku saja menanggapi kemarahannya yang enggak jelas itu.
Duduk di tempatku, aku mulai orat-oret sesuatu di selembar kertas. Tiba-tiba terlintas di otakku sebuah ruang kantor yang bagus. Namun, pada awal film kuperlihatkan ada seorang laki-laki muda perlente yang tampaknya akan melakukan transaksi bisnis di sebuah kantor. Dia datang dengan segala perlengkapannya, termasuk telepon genggam sebagai status simbol orang muda kota yang sibuk dan sukses.
Adegan kemudian dilanjutkan dengan si pria muda menunggu di ruang tunggu. Dia melihat-lihat potret-potret, patung-patung kecil yang menghias kantor tersebut. Lalu cut. Ada suara wanita yang merdu seksi merayu, menyapa si pemuda: “Hhhai… sudah lama, ya?” Lantas cut lagi. Kamera memperlihatkan sepasang sepatu wanita, terus naik, sepasang betis indah dan cut lagi. Wajah si pria muda yang terkejut, lalu buru-buru menutup hidungnya seakan dia mencium bau bangkai.
Ketika kamera mengambil seluruh adegan, tampaklah si lelaki muda tadi berdiri berhadapan dengan seorang wanita berkepala naga! Lalu cut dan muncul produk semprot mulut yang menyemprot sendiri. Lalu tulisan slogannya muncul berbunyi. “Zems. Selamat tinggal bau naga!”
Tepuk tangan riuh di ruangan meeting itu meledak. Aku bingung. Ideku yang baru saja kutuliskan dan hanya kutuangkan dalam bentuk sketsa besar, tentu saja aku minta seorang visualizer untuk menggambarnya, diterima dengan aklamasi. Anjing kurap!
Bukan hanya itu yang membuatku bingung. Bosku dan semua rekan kerjaku yang ada di ruangan itu, semua berkepala naga! Aku tak tahan melihat apa yang kusaksikan. Keringat dingin mengucur deras. Dalam hati kecilku, aku berteriak bahwa aku sudah gila. Bagaimana mungkin ini semua bisa kualami.
Tanpa kusadari, aku berlari keluar dari ruangan. Tanpa kusengaja, tentu saja, aku bertabrakan dengan Miske-sekretaris bosku, dan… aku nyaris saja berteriak ketakutan karena yang kulihat bukanlah wajah Miske, melainkan naga. Tampaknya dia sengaja “memasang” dirinya agar kutabrak dan supaya tanganku seolah tak sengaja menyentuh dadanya… tapi, ah… seekor naga?
Entah sudah di mana aku saat ini, aku tak sepenuhnya mengetahuinya. Yang kurasakan bahwa diriku jauh dari manusia berkepala naga. Aku terduduk di suatu tempat yang terasa tak asing, namun tidak benar-benar kukenali. Seolah-olah aku pernah berada di sini, entah kapan.
Hanya seraut wajah yang akhirnya kukenali dan membuatku percaya bahwa aku masih berada di dunia normal, ketika istriku muncul. Dengan wajahnya yang penuh duka-cita dia mendekatiku. Kemudian dengan belaian lembutnya dia mengusap-usap kepalaku.
Kuperhatikan sepasang bola matanya yang kelihatan cantik itu. Dia menangis.
“Kenapa?”
“Tidak. Tidak apa-apa. Apakah kau melihat naga?”
Aku mengangguk.
“Aku baru pinjam VCD dari Enggar… nonton yuk.”
“Film apa?”
“Dragon Heart.”
Aku terdiam. Apa maksudnya?
“Yang ini, naganya bisa ngomong… suaranya Sean Connery… keren, lho…”
Aku tertawa. Dia tersenyum. Aku tahu, dia telah menganggapku gila karena trauma terhadap naga, dan dengan mengajaknya menonton film tentang naga, dia berharap agar aku bisa melihat bahwa naga hanyalah sebuah film.
“Aku mau nonton,” kataku lembut, “…tapi, kamu harus percaya padaku….”
“Apa?”
“Aku memang melihat manusia berkepala naga….”
Dia menatapku dalam-dalam. Linangan air matanya membeku.
“Aku percaya, kok… Karenanya, aku ingin mengajakmu cuti, atau malah berhenti kerja, lalu kita pindah ke Salatiga… kata orang di sana tenang sekali….”
“Mungkin tak akan ada manusia berkepala naga….”
“Mungkin malah ada manusia berkepala kerbau, atau celeng….” tambahnya riang. Dia memeluk pinggangku, persis ketika kami pacaran dulu.
Aku merasakan tusukan itu kini mengenai jantung kami berdua.