teks

selamat datang di blog saya

Selasa, 21 Desember 2010

Emas Sebesar Kuda


Oleh : 

“Lai1), Mis?!” Sabe meneriakkan tanya sehabis menyelam ke arah Simis yang juga baru muncul. Terus mengibas-kibaskan rambut seleher seperti itik baru keluar dari air.
Simis tak peduli. Dia kembali membenamkan tubuh ke dalam Batang Sukam. Sambil mengatupkan mulut untuk menahan napas, lelaki berdegap itu menyalangkan mata, memerhatikan serpihan pasir yang masih bersisa di atas batu layah. Dengan mimik optimis, dikipas-kipasnya serpihan pasir menggunakan tangan kiri.
Sabe menggerutap menjejak tepi sungai. Menyeka telapak tangan dengan handuk lusuh, kekumuhan handuk hijau itu berbanding terbalik dengan kejernihan air Batang Sukam. Tapi dia tak peduli malah mengalihkan perhatian dengan melinting tembakau ke dalam daun enau.
Sedang Simis, tersenyum manis dalam air. Setelah serpihan pasir tersibak, matanya terbelalak melihat sebutir emas sebesar kacang hijau tergeletak indah di atas batu layah. Dengan mulut masih dikatupkan, ditekannya emas itu dengan jari tengah. Dan dikempitnya dengan ibu jari.
Sabe semakin menggerutu. Rokoknya yang baru saja dibakar terjatuh ke dalam sungai, “Kalera! Kanciang!2)” carut bungkangnya tak menghilangkan gigil. Maka sambil mengerinyitkan kening yang lebar, menyipitkan mata yang berlensa merah, serta menggeretukkan geraham berbalut rahang kekurangan daging, dia kembali menggulung tembakau ke dalam daun enau yang baru.
Sambil berdiri di pinggir kali, Sabe menyalakan korek api. Tapi Simis langsung memadamkannya dengan menyembul tiba-tiba dari Batang Sukam, yang hanya berdalam lebih kurang setengah depa.
Lalu pemuda berambut sesenti itu berseru, “Aku berhasil, Be!” terus menggigit telunjuk kanan untuk mendarahi emas yang dipegang sangat erat pada telapak tangan kiri.
“Kanciang!” maki Sabe sambil menggeser diri lebih ke darat. Dicampakkannya rokok kedua yang juga telah basah. Melinting sebatang lagi sambil mencangkung di bawah batang beringin.
Simis terkekeh, “Hei!” gigi hitamnya kelihatan mengilap dibakar Matahari. “Karena waang3) sedang takut air, sebaiknya waang alihkan kuda kita ke tempat rumput yang masih segar,” ujarnya sambil memasukkan emas sebesar kacang hijau yang sudah selesai didarahi ke dalam kantong kecil dari kain hitam. Dan menyelipkan pada saku celana sambil kembali tersenyum.
“Kenapa tak waang masukkan ke dalam botol?!” sorak Sabe masih dalam keadaan mencangkung.
“lni emas terbesar yang berhasil kutemukan dalam dua tahun ini. Makanya harus disimpan dalam kantong khusus untuk dijadikan jimat keberuntungan!”
Sabe terbatuk. Dahak hampir saja terserak dekat botol emasnya yang terletak di depan ujung kaki kiri. Dia menekur untuk meraih botol sebesar ibu jari kaki itu. Terus menimang-nimang memerhatikan beberapa miang4) emas yang seakan berenang karena botol memang sengaja diisi air jernih.
“Be!” Simis menyorakkan ejekan. “Jika waang mengalihkan kuda kita, waang akan kuhadiahi emas dalam botol ini!” diacungkannya botol kecil berair yang juga hanya berisi beberapa miang.
Sabe langsung berdiri. Menghirup rokok dalam-dalam. Baru melangkah gontai untuk memindahkan dua ekor kuda milik mereka.
“Dasar cangok!5) Kerja sedikit saja mengharapkan upah!” umpat Simis sebelum kembali menyelam.
Sabe mendongak memandang Matahari. Sang lbu Cahaya seakan mengejeknya karena terlalu suka memelihara perasaan dingin untuk menyurukkan sifat malas, dengan menusukkan keris terik. Punai dan barabah turut mencemooh dengan memperkeras kicau. Dan sepasang sipatung merah serta kupu-kupu ungu tak mau ketinggalan, mereka terbang saling berselisih di udara, sejenak melupakan bunga-bunga.
Beberapa saat kemudian, “Be!” sorak optimis Simis kembali memecah kesunyian belantara.
Sabe bergegas menambatkan kuda, “Apo!?” balasnya sambil kembali dengan berlari kecil.
Simis mengacungkan sebutir emas sebesar biji jagung. Terus berjalan dari tengah Batang Sukam, ke arah Sabe. Memberikan botol emasnya dan berujar, “Pindahkan isi botolku itu ke dalam botol waang.”
Sabe memindahkan beberapa miang emas upah mengalihkan kuda dengan kerut kening mengukir cemburu. Lalu mengembalikan botol yang sudah kosong dengan napas memburu.
Simis memasukkan emas sebesar biji jagung ke dalam botol sambil bersiul-siul. Dan, terus saja menekur memerhatikan emas dalam botol seperti kuduknya telah diganduli bisul.
Sabe beringsut ke belakang Simis. Seluruh mukanya menegang menahan cemburu. Dan…, kraak! Trinting! Tush! Botol dalam genggaman Simis terjatuh dan meletus. Pecah. Ternyata emas paduan itu mendadak menjadi semakin besar. Semakin besar. Membesar. Berbadan. Berkepala. Berkaki. Dan berlari!
Simis tentu langsung mengejar emas yang telah menjelma kuda itu ke dalam hutan belantara….
Sabe berdehem, “Begitulah cerita lengkapnya, Fuah,” ditusuknya mata Marfuah, istri Simis, dengan pandangan sungguh-sungguh.
“Kenapa Uda Abe tidak mengikuti Da Mis, mengejar emas sebesar kuda itu?” tak ada nada curiga dalam pertanyaan Marfuah. Karena memang hampir seluruh penduduk dusun terisolasi Ranah Pudak, pernah mendengar dan bahkan percaya -walau belum pernah melihat- tentang emas sebesar kuda, sebagai penjaga Batang Sukam yang mengalir di tengah hutan larangan.
Malah ada rasa bangga bersemayam di dada Marfuah. Hanya suaminya, Simis, dan suami Leli, Sabe, yang berani mencari emas ke Batang Sukam yang mengalir berkelok-liku di tengah serakan pohon-pohon besar berhantu bela-u.
“Saya sengaja pulang sebentar untuk memberi kabar,” Sabe terdehem sambil tersenyum miring. “Jika kami pulang berdua, tentu kami akan kehilangan jejak. Makanya, setelah nanti saya kembali ke dalam hutan larangan, tolong sampaikan pengejaran kami pada Leli,” diakhirinya pesan sambil memecut kuda.
“Kalian memang pantas menjadi keturunan orang bagak6),” lambai Marfuah sangat antusias.
Kuda belang tiga berlari kencang. Pikiran Sabe menggigil mengulang kembali cerita yang sebenarnya: Setelah Simis selesai memasukkan emas sebesar biji jagung ke dalam botol, Sabe langsung memukul kepala sobatnya itu dengan batu sebesar lipatan lutut orang dewasa. Simis tertelungkup pingsan. Botol berisi emas sebesar biji jagung dikantongi. Dan….
“Tapi…, bukankah masih ada sebutir emas lagi dalam saku celana panjang Simis?” gumamnya sambil menarik kekang kuda.
Kuda belang tiga meringkik. Binatang berkaki empat itu seakan tak suka perjalanannya menempuh jalan setapak beraspal tanah, menuju pasar, tiba-tiba ditunda. Sabe tak peduli. Kuda dibelokkan ke arah jalan kuda beban pengangkut kayu bakar, kembali memasuki hutan larangan.
“Mudah-mudahan tubuh Simis belum dimakan Raja Hutan,” gumamnya seakan auman harimau. Tapi dia tetap merinding, karena tiba-tiba teringat peristiwa seminggu yang lalu. Waktu itu mayat Ociak ditemukan di tengah hutan pinggir ngarai-tak jauh dari tempat Sabe dan Simis mencari emas-dalam keadaan cabik-mabik.
Namun, panggilan emas ternyata lebih buas ketimbang ngeri pada harimau. Hingga, setelah lebih dari dua jam berkuda melewati kerimbunan hutan larangan, Sabe bersorak tapi hanya berani dalam hati. Ternyata tubuh Simis masih dalam posisi seperti tadi. Badan berdegap tak berbaju itu tertelungkup dengan kepala bagian belakang penuh darah. Separuh badannya tersekat di darat dan separuh tubuhnya terendam dalam Batang Sukam.
Entah kenapa, Sabe terpaku agak lama setelah turun dari kuda. Dicobanya mendongak untuk mengalihkan perhatian pada daun-daun beringin yang sedang bercumbu dibantu angin. Pucuk hijau muda gembira melanjutkan tugas fotosintesa. Sedang daun coklat tua tak berduka gugur penyubur tanah.
Tap! Sabe tersentak. Sebatang ranting melenting dari dahan untuk menimpuk hidung peseknya, “Kanciang! Kalera!” kebiasaan carut bungkangnya kembali berkumandang. Terus dengan gegas diperiksanya saku celana panjang Simis. Mengambil kantong kecil berisi emas sebesar biji kacang hijau. Membuka kain itu, mengeluarkan emasnya. Dan memasukkan ke dalam botol sebesar ibu jari kaki dengan mimik penuh kemenangan.
“Hiy! Ya!” kuda dinaiki dan dihalau, sedang tangan kiri masih menggenggam botol.
Namun, setelah kuda berlari hanya sejarak sembilan tombak. Klotak! Ting! Botol berisi emas terjatuh. Thas! Terinjak kaki depan kuda belang tiga.
Khiik!! Kuda meringkik. Keterkejutan mengubah arah larian.
Khiik! Kuda belang tiga terus berlari tak terkendali. Terus dan terus berlari… *
Padang, Maret 2004
Bahasa Minangkabau yang perlu diterangkan:
Lai1) =Ada.
Kalera dan Kanciang2) = kata makian.
Waang3) = kau/kamu untuk lelaki.
Miang4) = ukuran paling kecil untuk emas juga sebutan untuk bulu-bulu tumbuhan yang menggatal.
Cangok5) = rakus tanpa berusaha.
Bagak6) = pemberani.

Pemintal Kegelapan


  Oleh :


Semasa kecilku Ibu selalu berkisah tentang hantu perempuan yang menghuni loteng rumah kami. Dulu aku ketakutan setengah mati sehingga kusembunyikan kepalaku di balik bantal bila malam tiba. Meski begitu, tidak ada yang lebih menggelitik fantasiku selain cerita misteri.
Aku selalu menganggap diriku detektif cilik dengan rasa ingin tahu berlebih. Malam hari yang kerap diwarnai bunyi-bunyian gaduh dari arah loteng mengundang jiwa penyelidikku. Sebenarnya bunyi itu hanyalah tikus yang berlari-larian, namun masa kecil membuka ruang imajinasi tak berujung. Aku berkhayal di sana ada harta karun tersembunyi dalam peti. Untuk membukanya kita harus terlebih dahulu melawan penjaganya, yakni seekor laba-laba raksasa yang membungkus tubuh korbannya dengan jaring sebelum menyantapnya. Ruangan itu begitu gelap, namun begitu menyalakan lilin kau akan melihat mayat-mayat manusia tergantung kaku.
Siang dan malam kucoba mengintip loteng rumahku, namun Ibu selalu menguncinya. Aku senantiasa berharap, saat kutempelkan telingaku di pintu loteng yang tertutup, aku akan mendengar teriakan seorang anak. Ia adalah putri perompak yang disekap musuh-musuh ayahnya. Jika anak itu kutemukan, ia akan menunjukkan padaku rahasia harta karun terbesar abad ini.
Rupanya daya khayalku yang terlalu tinggi membuatku tak bergairah melakukan apa pun selain memikirkan rahasia di balik pintu itu. Kalaupun kucoretkan krayon pada buku gambarku, yang kugambar adalah loteng kelam dengan harta karun bersinar-sinar di dalamnya. Di lain waktu, kugambar ular raksasa yang melingkar-lingkar dan siap menerkam mangsanya. Berbagai versi isi loteng itu telah kureka, sampai akhirnya ibuku bercerita tentang apa yang menurutnya benar ada di dalamnya.
Ia, rahasia terbesar loteng rumahku, adalah hantu perempuan berambut panjang terurai yang selalu duduk di depan alat pemintal. Wajahnya penuh guratan merah kecokelatan, seperti luka yang mengering setelah dicakar habis-habisan oleh macan. Bola matanya berwarna merah seperti kobaran api. Bila ia membuka mulutnya, kau akan melihat taring-taring yang panjang. Ia begitu khusyuk di depan pemintal itu karena ia tengah membuat selimut untuk kekasihnya. Ia telah jatuh cinta pada seorang laki-laki, manusia biasa yang suka berburu di tengah hutan.
Hantu itu mampu berubah wujud di siang hari, saat ia ingin berbaur dengan manusia. Ia bisa menjadi apa saja dari perempuan, laki-laki, anak kecil, sampai seorang tua renta. Tatkala melihat si pemburu, hantu perempuan itu mengubah wujudnya menjadi seorang gadis jelita. Lelaki itu terpesona. Mereka lantas bertemu di padang ilalang keemasan demi sekadar berbagi cerita. Lelaki itu tak tahu bahwa setiap kali si perempuan hadir, burung-burung beterbangan tak tentu arah; siput dan binatang-binatang kecil mulai gelisah. Dibandingkan manusia, indera binatang memang lebih terasah.
Suatu hari, lelaki itu pamit untuk pergi beberapa lama. Ia ingin menjelajahi hutan di seluruh pelosok negeri demi mencari singa berbulu emas. Singa itu, konon, merupakan harta tak ternilai yang menjadikan pemiliknya kaya raya. Hantu perempuan sedih tak terkira, tapi ia tahu dengan berat hati harus direlakannya sang kekasih. Sebelum si lelaki memulai petualangannya, mereka berjanji bertemu di hutan.
Sore itu cahaya matahari mirip neon yang meredup. Lelaki pemburu bersandar di bawah pohon bersama kekasihnya, bicara tentang mimpi-mimpi indah yang akan terwujud setelah pencarian singa berbulu emas itu berakhir. Mari jadi istriku dan hiduplah kita di tepi sungai. Rumah kita kecil, tapi setiap saat terdengar gemercik air dan derai tawa anak-anak. Si hantu perempuan begitu terbuai mendengarnya. Ia tidak menyadari bahwa malam mulai mengancam. Pohon-pohon kekar menghitam dipagut awan gelap. Anjing-anjing mulai melolong, menyadari adanya makhluk gaib yang menegakkan bulu kuduk. Dari peraduannya, bulan purnama merayap naik tanpa suara.
Hantu malang itu lupa kalau hanya di siang hari ia bisa berubah rupa. Malam telah menanggalkan topengnya, dan sinar bulan menyinari wajah telanjangnya. Laki-laki kekasihnya sekonyong-konyong berteriak. Perempuan cantik yang dikenalnya telah berubah menjadi makhluk buruk rupa yang begitu mengerikan. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa takut laki-laki itu. Ia lari terbirit-birit meninggalkan hantu perempuan itu sendirian.
“Untunglah laki-laki itu berhasil menyelamatkan diri!” aku berseru sambil mendekap bantalku, takut bercampur lega.
“Kau belum tahu apa yang terjadi pada hantu perempuan,” sela ibuku.
“Pentingkah?”
“Hei! Dia tokoh utama kita!”
O, ya, ya, kuanggukkan kepalaku. Kita memang sering kehilangan fokus dengan meniadakan hal-hal yang kita anggap tak penting.
Kata ibuku, hantu perempuan itu terpukul sekali. Sebelum ia sempat mengungkapkan siapa dirinya, kekasihnya sudah lari menjauh. Sungguh-sungguh ia murka. Ia terbang dari rumah ke rumah, membuat gaduh, mengganggu ketenangan manusia. Bayi menangis kala merasakan kehadirannya dan para pemuka agama sibuk berkomat-kamit mengusirnya. Tetapi, suatu hari hantu itu sadar bahwa dengan merusak ia tetap tidak mampu mematikan rasa cintanya pada si pemburu. Ia ingat, kekasihnya tidak punya pakaian yang cukup selama perjalanan panjang itu. Tak ada selimut tebal yang akan melindunginya jika ia kedinginan di hutan. Hantu perempuan itu pun memilih sebuah tempat persembunyian yang gelap untuk membuat selimut bagi kekasihnya. Ya, di loteng rumah kami lah ia bekerja dengan alat pemintal selama beribu-ribu malam.
“Dan ia masih melakukannya sekarang?”
Pekerjaan itu, kata ibuku, tak pernah selesai. Karena si hantu perempuan tidak menggunakan benang untuk selimutnya. Ia memintal kegelapan.
Aku berhenti memikirkan si Pemintal Kegelapan ketika Ibu bercerai dengan Ayah. Sejak usiaku menginjak 13 tahun, aku tinggal berdua saja dengan Ibu. Ia masih bercerita, namun entah mengapa, ceritanya mulai terasa hambar. Perkiraanku, ibuku mulai bosan mendongeng. Matanya kosong. Ceritanya tidak berenergi. Tidak seperti ketika ayahku masih tinggal bersama kami, kini Ibu terlihat kelelahan karena sering pulang larut malam.
Ibuku berupaya membuat kehidupan kami tetap seperti semula. Ia tetap mengantarku sekolah, menyiapkan sarapan, meneleponku dari kantornya di siang hari, dan mencium pipiku sebelum tidur. Ia selalu bersikap manis, tapi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ia kehilangan greget. Ketika aku beranjak remaja, aku mulai jenuh dengan sepinya suasana rumah dan lebih suka pergi bersama teman-teman sekolahku. Frekuensi pertemuanku dengan Ibu pun semakin jarang, tapi ia tetap melakukan segalanya: mengantar sekolah, menyiapkan makanan, menelepon, mencium.
Ketika usiaku 16 tahun, Ibu mulai memiliki kekasih. Seorang laki-laki tinggi besar sering datang ke rumahku. Aku memanggilnya Om Ferry. Aku menyukainya karena ia selalu bercerita tentang petualangannya di luar negeri. Namun, beberapa bulan kemudian ada laki-laki lain. Om Riza. Setelah itu, laki-laki berbeda datang silih berganti hingga aku tidak bisa mengingat nama mereka semua. Seorang tetangga sempat bertanya saat aku menyiram bunga di pekarangan, “Yang mana yang akan jadi ayah barumu?” Terlalu banyak laki-laki yang singgah di rumah, dan ini menyebabkan timbulnya gosip-gosip yang memerahkan telinga.
“Sebetulnya apa kerja ibumu?” tanya Nina, anak tetangga di depan rumahku.
Aku mengangkat bahu. Ibuku membuat sarapan pagi dan mencium pipiku di malam hari. Haruskah aku tahu lebih banyak jika itu sudah cukup bagiku?
“Ibuku bilang ada yang disembunyikan ibumu,” kata Nina, setengah berbisik. “Apa ibumu benar-benar bisa menghidupimu hanya dengan bekerja di kantor?”
Gunjingan tetangga semakin ramai. Ibu dituduh memanfaatkan pacar-pacarnya dengan menguras saku mereka. Sebagian lagi meragukan kalau Ibu benar-benar berpacaran. Ada pula yang menyebar berita bahwa Ibu menggelapkan uang kantor. Inti dari semua tudingan itu adalah bahwa ibuku memiliki posisi yang membahayakan sebagai seorang janda. Semuanya berseliweran di kepalaku, namun tak satu hal pun yang berani kutanyakan pada Ibu.
Semakin bertambah usiaku, semakin kuyakin bahwa ibuku memang menyimpan sesuatu. Kusadari bahwa sejak lama ia sering bersikap aneh. Aku ingat pernah terbangun suatu malam ketika ayah dan ibuku bertengkar dan saling melempar kata-kata kasar yang tidak seharusnya terucap. Keesokan harinya, Ibu membuatkanku roti isi selai stroberi dan susu cokelat sambil bersenandung riang. Suaranya seindah kicau burung kenari.
Di hari Minggu, aku pernah mendengar Ibu memecahkan piring sambil berteriak di dapur. Menurut Ibu, kala mencuci, tangannya terlalu licin sehingga piring itu terlepas dari genggamannya. Menurutku tidak. Aku yakin ia sengaja memecahkannya. Tapi setelah itu Ibu langsung menutup kasus dengan mengajakku nonton bioskop.
Sesekali aku juga mendengar suara ganjil dari kamarnya. Suatu ketika, malam yang lengang dikejutkan oleh teriakan bercampur tangis penuh amarah. Aku keluar dari kamarku dan bergegas menghampiri kamar Ibu. Kuketuk kamarnya. Setelah sekian lama menunggu, barulah ia membuka pintu. Katanya aku telah mengganggu tidur lelapnya. Ia menuduhku berkhayal mendengar teriakan seseorang.
“Kau hanya bermimpi buruk,” tukasnya.
Padahal, aku yakin sekali suara Ibu-lah yang kudengar.
Kekasih-kekasih ibu sekaligus gosip panas yang menyertainya menghilang bersama waktu yang terkikis. Ibuku akhirnya pensiun dan giliranku membiayai hidup kami karena aku sudah bekerja. Kami sering pergi bersama di akhir pekan, tetapi aku tahu ada misteri dalam dirinya yang tidak pernah dapat kubongkar. Ia selalu menyimpan sesuatu, termasuk tentang penyakit yang ternyata sudah lama menggerogoti tubuhnya.
Ia mengidap kanker leher rahim. Ibuku pergi ke dokter diam-diam dengan uang tabungannya. Ketika aku mulai curiga, ia katakan bahwa masalahnya hanya kista yang baru tumbuh, bukan kanker ganas. Aku tidak tahu harus marah atau sedih. Kucoba untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Aku ingin membuatnya bahagia. Entah bagaimana caranya, karena kurasa aku tak pernah benar-benar mengenal Ibu.
Suatu hari ia berkata waktunya tak akan lama lagi. Tanpa mendengar protesku, ia menggandeng tanganku, “Aku ingin menunjukkanmu sesuatu.”
Ia mengajakku ke loteng. Ya, loteng yang dulu luar biasa menarik. Aku sudah melupakannya, seperti aku lupa wajah Ibu semasa ia menjadi tukang cerita nomor satu.
Begitu pintu terbuka setelah Ibu memutar kuncinya, aku melihat pemandangan yang cukup mengecewakan. Loteng itu berbau apek, penuh debu, dan sarang laba-laba. Di dalamnya ada satu set sofa kuno yang suram dan dimakan rayap. Gelap dan sesak, tapi tak ada harta karun atau ular raksasa.
Tanpa menghiraukan wajahku yang penuh keengganan, Ibu menuntunku menuju sebuah cermin. Ia berdiri tepat di depan cermin itu, lalu menunjuk bayangan di dalamnya.
Ia berujar pasti, “Lihatlah. Itulah Pemintal Kegelapan.”
Aku melongo, sama sekali tidak mengira Ibu mengatakannya. Pemintal Kegelapan hanya percikan masa kecil yang telah kubuang jauh dan kukira telah Ibu lupakan. Namun demi menghormati Ibu, kulihat sekilas pantulan di cermin itu. Bayangan Ibu. Tentu saja.
“Ayo, lihat sekali lagi!” desak Ibu.
Kutajamkan penglihatanku. Kubawa ingatanku pada masa-masa kami masih menikmati misteri loteng itu, mengucapkan selamat datang pada imajinasi liar tanpa batas dan malam-malam meringkuk di balik selimut. Tiba-tiba kusadari aku tengah merinding. Aku memang melihat Ibu. Ya, perempuan itu. Rambutnya terurai, wajahnya penuh guratan pedih, matanya nyalang seperti bola api yang menari-nari melumatkan siapa pun yang menatap. Hantu perempuan yang memendam cinta, rindu, sakit, nafsu, amarah-memintal gairah pekat tanpa henti, tanpa selesai.
Ibu telah jujur pada akhirnya. Tak ada misteri, tak ada teka-teki.
Ibuku Pemintal Kegelapan.
Jakarta, 21 Agustus 2004

Daun-daun Waru di Samirono


Oleh : 

Matahari bersinar lembut.
Tadi malam hujan yang mendadak menyiram bumi Mataram membikin orang-orang kaget namun berlega hati. Kemarau tiba-tiba terputus sejenak walaupun mungkin akan diteruskan selama dua atau tiga bulan mendatang. Seingat Mbah Jum, para tetangganya sering menyebut September karena berarti sumberé kasèp¹. Perempuan tua itu hanya mengenal nama-nama bulan Jawa melalui hitungan cahaya malam di langit: Jumadil Akhir, Ruwah…. Dia baru menyadari bahwa poso atau puasa sudah tampak di ambang waktu. Keluarga Bu Guru yang tinggal di rumah depan mengatakan bahwa hujan itu sebagai tanda bumi Mataram berduka dengan terjadinya ontran-ontran² di Surakarta. Karena menurut dia, meskipun Kartosuro dan Mataram sudah terpisah menjadi dua kerajaan, sesungguhnya masih terjalin kental.
Bagaimanapun juga, setelah meninggalkan keramaian Pasar Ndemangan, ketika Mbah Jum tiba di tanjakan yang membelok, tubuhnya masih terasa segar karena matahari yang redup. Padahal kemarin sore, untuk ke sekian kalinya dia menerima hantaman keras di dada kirinya. Dia tidak terlalu mempersoalkan dari mana asalnya rasa ngilu tersebut. Hingga saat keluarga Bu Guru menyuruh pembantu memanggil dia supaya makan di dapur, Mbah Jum masih tergeletak di ambèn-nya. Selesai makan, dia mengerok sendiri leher, dada, dan bahunya. Merah nyaris ungu warna bilur-bilurnya. Rupanya dia memang menderita masuk angin.
Langit mendung. Tampaknya kemurungan masih akan berlanjut hari itu. Pengaruh kelakuan dan suasana batin para priyagung³ sangat besar, kata seorang dari cucu Bu Guru. Mbah Jum percaya itu. Ketika Ngerso Dalem4 yang sepuh dulu kondur5 ke alam langgeng, bersama warga kota raja, wanita itu menyaksikan sendiri bagaimana selama tiga malam, bulan berwajah cemberut di langit kelam, seluas dua depa pandangan mata dilingkari sapuan benang kabut.
Untunglah alam tidak terlalu mengubah kondisinya jika orang kecil seperti dirinya bersedih hati. Karena jika hal sebaliknya yang terjadi, betapa akan mawut6-nya suasana dunia. Sebab jumlah kawulo7 di kota raja saja jauh lebih banyak daripada kaum njeron bètèng8. Belum terhitung yang berada di tempat-tempat lain.
“Mana galahnya, Mak?” seseorang menegur, berteriak dari seberang ketika dia tiba di puncak tanjakan.
Jalan yang dulu hanya dilalui kereta kuda, becak dan sepeda itu kini bisa dimuati empat bahkan mungkin enam berjejeran dari masing-masing jenis kendaraan tersebut. Ujung selendang dia angkat ke tentangan dahi guna melindungi mata dari cahaya yang telah berubah, bersinar menyilaukan.
Sambil mengawasi dari jauh siapa yang berseru, otak perempuan itu sempat berpikir. Panggilan kepadanya dimulai dari Lik, Mak, kemudian berubah menjadi Mbah9 dari waktu ke waktu menuruti perubahan penampilan tubuh dan lebih-lebih warna rambutnya. Kali itu, sebutan Mak tentu diucapkan oleh seseorang yang sudah cukup lama mengenal dia.
Laki-laki yang duduk di bangku warung seberang jalan menggerakkan tangan kanan di tentangan kepala sebagai pemberitahuan bahwa dialah yang menegur.
Mak Jum berhenti, berdiri tepat di pinggir trotoar menghadap ke seberang. Dia berseru menjawab. Tetapi, suaranya ditelan kegaduhan mesin kendaraan roda empat maupun dua, dikacaukan oleh putaran angin yang membawa debu siluman yang terangkat dari gerakan setiap benda di sana. Setelah dua kali kerongkongannya menggembung oleh teriakan, akhirnya wanita itu terdiam. Tangannya menunjuk ke arah belokan terdekat di hadapannya.
Lelaki di seberang jalan mengangguk sambil sekali lagi mengangkat lengan kanan memberi isyarat bahwa dia sudah paham. Lalu pandangannya tertuju ke kelokan. Di pojok sedang dibangun sesuatu, tampak luas dan besar. Bagian tepi dikelilingi pagar dari seng, namun tepat di belokan muncul dahan-dahan pohon waru, berkilau dalam kehijauannya yang pekat. Setiap daun tampak segar. Nyata masing-masing merupa dalam bentuk jantung. Barangkali mereka gembira setelah mandi-mandi air hujan malam kemarin.
“Berangkat cari daun waru, Lik Jum?”
“Sudah mendapat banyak daunnya, Mbah Jum?”
“Mari saya bantu menghitung daun warunya ya Mak Jum!”
Semua orang mengenal dia. Hanya pendatang baru, misalnya anak-anak yang mondok di kos-kosan, pengontrak rumah pengganti penghuni lama yang akan bertanya: siapa Mak atau Mbah Jum itu?
Dia tidak tahu usianya yang pasti. Pak Dukuh10 memberinya tahun kelahiran yang dikira-kira saja. Waktu itu penduduk harus didata karena negara sudah teratur dan merdeka, kata Pak Bayan11.
Mbah Jum sendiri tidak begitu yakin dari mana asalnya. Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik belakang rumah Bu Guru. Hingga saat kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga kampung, dia selalu menyapu dan membersihkan pekarangan. Bila ledeng tidak mengalir, dia mengangsu12 dari sumur di tengah kampung. Di belakang kepalanya bercampur aduk selaksa kenangan yang tidak pernah jelas gambarannya. Paling menonjol adalah kata-kata mengungsi, diiringi penguburan bersama setelah Merapi meluluhkan desa-desa di lerengnya. Lalu dia dibawa Bu Guru ke kota raja. Dia hanya mampu mengikuti pelajaran hingga kelas 3 Sekolah Rakyat13. Untuk seterusnya dia turut mengasuh anak-anak Bu Guru hingga besar, hingga Bu Guru meninggal dan anak-anak bergiliran berumah-tangga. Sekarang, seorang dari cucu Bu Guru juga menjadi pengajar di salah satu sekolah tinggi. Mbah Jum sulit mengingat sebutan tepat untuk guru di sana.
Di usia KTP 78 tahun, dia menjadi nenek bagi seisi kampung. Apa pun yang dipanggilkan warga kepadanya, Mbah Jum selalu menoleh dan menanggapi.
Sejak tabrakan bus, sebelum Bu Guru meninggal, Mbah Jum tidak dapat mengerjakan apa pun yang membutuhkan kekuatan pundak, punggung, dan pinggulnya. Dia tetap menjadi bagian keluarga Bu Guru. Makanan tidak sulit, karena di mana-mana orang mengulurkan sepincuk nasi bersama lauk, segelas teh atau air. Sedangkan di dapur keluarga Bu Guru, dia mendapat sajian di atas papan rak. Nasi lengkap dengan masakan hari itu. Di dalam kardus di tentangan kepala ambèn, dia selalu mempunyai dua pakaian bersih dan cukup bagus untuk dikenakan buat réwang. Di saat-saat ada hajatan, penduduk kampung tidak melupakan bantuan Mak Jum. Karena dia masih bertenaga untuk mengupas, membersihkan atau mengiris sayur. Namun, pekerjaan tetapnya adalah mencari daun waru.
Pembuat tempe dan tahu berderet nyaris sepanjang kampung. Tetapi, yang mengerjakan tempe gembus hanya satu. Sejak dia disebut Lik sampai kini, Mbah Jum merupakan satu-satunya pemasok daun waru sebagai pembungkus tempe gembus spesial dari kampung tersebut. Daun pisang sudah lumrah digunakan. Tetapi harganya lebih mahal, karena tempe lebih bergengsi daripada ampas tahu. Apalagi jika dikemas di dalam daun pisang. Untuk mengurangi pengeluaran, seorang pedagang membungkus limbah tersebut dengan daun waru.
Beberapa tukang becak yang mangkal di kelokan jalan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah. Seorang dari mereka menarik sebatang bambu yang diselipkan di antara dahan pohon waru.
“Daunnya hari ini bersih-bersih, Mbah,” katanya sambil menyerahkan galah kepada perempuan berambut abu-abu itu.
“Nuwun, Mas, nuwun,”14 kata Mbah Jum sambil melepas selendang pengikat gendongan, lalu meletakkannya di dalam tenggok15 di tanah.
Tanpa menunggu, dia langsung menengadah, mengaitkan pisau di ujung galah ke ranting-ranting yang bisa dia gapai. Maka berjatuhanlah puluhan tangkai sarat dengan daun-daun waru. Benar, semuanya bersih. Bahkan yang terlindung dari pancaran matahari pagi masih mengandung titik-titik air bekas hujan semalam.
Dari sisi jalan belokan, Mbah Jum pindah ke sisi Jalan Colombo. Beberapa ranting tersangkut di pagar seng.
“Sebentar lagi panas terik, Mbah,” kata seorang kuli bangunan yang mengaduk pasir dan semen, “ini sedang ketigo16. Kalau yang nyangkut tidak diambil, sebentar lagi kering.”
“Biar nanti saya bantu mengambilnya, Mbah,” kata kuli yang lain.
Mbah Jum mendengar komentar itu, tetapi tidak peduli. Dia terus menengadah. Terus mengait dan ranting berdaun waru terus berjatuhan. Di sana, di dekat, tersangkut di pagar seng, lalu ada yang menimpa dirinya. Masih terus saja Mbah Jum menengadah. Untuk mendapatkan uang paling sedikit Rp 3.000, timbunan ranting harus menggunung setinggi lututnya. Selembar daun dihargai tiga puluh rupiah. Meskipun di bawah lipatan pakaian di kardus dia masih menyimpan beberapa ribu rupiah sisa upah membantu dapur kondangan lalu, tetapi dia harus menambah lagi. Lebaran mendatang dia ingin membeli kain bercorak parang yang sudah lama dia idamkan.
Dia harus memanfaatkan waktu. Pedagang tempe sekarang sudah hampir semua tidak menggunakan daun pisang lagi. Juragan tempe gembus bahkan berkata akan meniru orang-orang di lain kampung, menggunakan kantongan plastik ukuran kecil. Jika saat itu tiba, Mbah Jum akan kehilangan satu-satunya andalan pemasukan nafkahnya yang pasti.
Kadang kala semut-semut ngangrang merah menggandul dan merambat turut jatuh. Sekali-sekali Mbah Jum menebaskan tangannya ke tubuh untuk mengusir binatang-binatang itu dari pakaiannya. Kepalanya terasa basah oleh keringat. Udara panas menekan. Pelipis dan dahi dialiri peluh, menitik dan menetes masuk ke mata.
“Hari ini tidak bawa capingnya to Mbah?” kuli bangunan bersuara lagi.
Kali itu Mbah Jum menyahut,
“Sudah bolong-bolong dan jepitan pinggirannya lepas.”
“Harus beli lagi. Di Pasar Ndemangan ’kan ada!”
“Tidak, harus di Beringarjo kalau mau beli itu,” kuli lain membantah temannya.
“Ya jauh kalau dari Ndemangan,” kuli lain menggumam, seolah-olah kalimat itu ditujukan kepada dirinya sendiri.
Percakapan itu lamat-lamat sampai di telinga Mbah Jum. Mendadak terasa tusukan ribuan jarum di dada kirinya.
“Lho Mbah! Lho Mbah! Ada apa?”
Dua kuli mendekat, menggotong lalu membaringkan wanita itu di tempat yang datar.
“Di, lepaskan paculmu. Kemari!”
“Ini adukan kedua! Nanti mengering!”
“Gebyur air yang banyak. Cepat panggil tukang-tukang becak situ!”
“Ya, benar. Di antara mereka ada yang tahu rumah simbah ini, cepat, Di!”
Sayup-sayup Mbah Jum merasakan kain yang basah disentuhkan, digosokkan di leher, kemudian dikompreskan di dahinya. Dia sempat berpikir bahwa pasti itu adalah ujung selendangnya yang telah dicelup ke ember buat mengaduk semen.
Sesudah itu, dia tidak merasa apa pun. Tidak mendengar apa pun.
Sendowo September 2004
Catatan:
1. sumbernya terlambat, tidak ada hujan/air
2. kekacauan
3. bangsawan, petinggi
4. Yang Dipertuan
5. pulang
6. jungkir balik
7. rakyat biasa
8. orang-orang bangsawan
9. Lik, dari kata bulik = tante. Mbah dari kata simbah = nenek
10. Lurah, kepala kawasan
11. sekretaris kelurahan
12. menimba dan mengusung air
13. SD
14. terima kasih
15. wadah seperti keranjang bulat, terbuat dari anyaman bambu padat
16. musim kemarau

Barbie & Monik


Oleh : 
Berkedip-kedik kelopak mata Lasmi, menahan silau matahari pagi. Sekarang cabe merah di panggung kian terasa berat setelah berjalan hampir tiga kilo meter. Butir-butir keringat terus menetes di seputar wajah, membuat bedaknya luntur dan terlihatlah wajah aslinya yang justru tampak lebih ayu dan matang. Nun di kejauhan, di antara lalu lalang kendaraan, Lasmi melihat suasana pasar cukup ramai. Lasmi kian mempercepat langkah tak ingin kehilangan kesempatan menjual cabenya pada Kartopal, juragan cabe di pasar.
Hari ini Lasmi perlu uang. Puput, anak semata wayangnya yang baru masuk TK, sudah empat hari sakit, tak bisa berangkat sekolah. Lasmi sedih melihat keceriaan Puput yang baru masuk TK pudar gara-gara sakitnya tak kunjung sembuh. Sudah lama Puput merengek minta sekolah. Meski baru empat tahun, Lasmi rela menggadai kalung untuk mendaftarkan Puput di TK. Setiap pagi, sebelum pergi ke sawah Lasmi mengantar Puput ke sekolah dan tersembul rasa bangga melihat Puput berseragam TK, rambut poninya berkibar-kibar, matanya binar-binar.
Lasmi sudah berusaha membawa Puput ke Puskesmas, tapi sakit Puput justru bertambah parah. Kini Lasmi bermaksud membawa Puput ke dokter. Lasmi tahu, biaya dokter tidak murah. Terpaksa kemarin sore Lasmi memetik sebagian cabenya-dipilih yang sudah tua-tua-untuk dijual di pasar, meski harga cabe saat ini sedang turun. Tapi Lasmi perlu uang untuk membawa Puput ke dokter. Puput harus segera sembuh dan bisa kembali berangkat sekolah.
Terengah napas Lasmi sampai di depan kios Kartopal. Meletakkan sekarung cabe dari punggung, Lasmi menyeka keringat dengan ujung kain selendang. Terlihat lelah dan pucat wajah Lasmi usai menempuh perjalanan tiga setengah kilometer. Berkali-kali Lasmi menelan ludah untuk menghilangkan rasa haus. Kartopal yang melihat kedatangan Lasmi segera datang menghampiri. Senyum Kartopal mengembang.
“Kenapa hanya sedikit? Belum dipanen semua, ya?” tanya Kartopal melihat sekarung cabe yang dibawa Lasmi.
“Aku baru petik sebagian. Bukankah harga cabe sedang turun? Tapi aku perlu uang untuk Puput….”
Mendengar nama Puput, jidat Kartopal berkerut. Kartopal yang hingga kini belum dikaruniai anak senang bermain dengan Puput yang cantik dan imut. Sesekali Kartopal menggendong Puput keliling pasar. Lalu, pulangnya dibelikan jajanan. Tapi rupanya keakraban Kartopal dan Puput kurang berkenan di hati Mantosam, suami Lasmi. Sudah menjadi rahasia umum antara Lasmi dan Kartopal dulu pernah terjalin hubungan asmara meski akhirnya putus di tengah jalan.
“Ada apa dengan Puput?” tanya Kartopal jidatnya masih berkerut.
“Sudah empat hari sakit. Rencananya mau kubawa ke dokter….”
“Sakit apa?’
“Entahlah, badannya panas. Kejang….”
Kartopal mengangguk-angguk, paham. “Tunggu di sini sebentar,” berkata begitu Kartopal beringsut masuk ke dalam kios.
Lasmi ditinggal sendirian menikmati sengat matahari yang mulai merangkak naik. Lasmi mengedar pandang ke sekeliling. Tampak suasana pasar semakin ramai. Tapi tiba-tiba Lasmi gelisah, teringat Mantosam yang sudah dua malam tidak pulang. Ketika pergi Mantosam berjanji akan membelikan boneka barbie untuk Puput. Tapi hingga tadi pagi Mantosam belum pulang. Puput kerap mengingau menanyakan boneka barbienya.
Kartopal keluar dari kios menyerahkan sejumlah uang kepada Lasmi. Kini giliran dahi Lasmi berkerut menatap uang itu. Uang dari penjualan cabe tak mungkin sebanyak itu. Lasmi urung menerima uang dari Kartopal.
“Kok banyak sekali? Bukankah harga cabe turun?” Lasmi keheranan.
“Ini sekalian untuk periksa Puput ke dokter. Biaya dokter mahal. Ayo, terima saja. Aku sedih kalau dengar Puput sakit….” Kartopal terus mengangsurkan uangnya. Matanya tulus.
Lasmi menatap Kartopal sejenak. Lalu menggeleng.
“Kami tidak boleh menolak. Ini bukan untuk kamu. Tapi untuk Puput!” berkata begitu Kartopal meletakkan uangnya di atas karung cabe Lasmi.
Nanar pandangan Lasmi menatap lembar-lembar uang itu. Gemetar tangannya sewaktu meraup uang itu, diletakkan di atas kain selendang lalu diikat sedemikian rupa. Ini bukan untuk yang pertama kalinya Kartopal membantu dirinya.
Aroma alkohol mengendap dalam kamar lima kali empat meter. Puntung rokok, botol minuman, gelas, dan kartu domino berserak di sana-sini. Laki-laki itu, Mantosam, menggosok-gosok mata baru bangun tidur. Jengah, menggerak-gerakkan tubuhnya yang terasa pegal Mantosam melirik perempuan di sebelahnya. Serta-merta mata Mantosam yang kuyu menyala. Perempuan itu, Monik, selimutnya tersingkap hingga pahanya yang putih menantang Mantosam. Berkali-kali Mantosam menelan ludah, tak kuat menahan hasrat.
Mantosam buru-buru melihat uang di dompet. Tersenyum. Uangnya masih cukup untuk bersenang-senang. Mantosam segera membangunkan Monik. Tapi rupanya tidur Monik sangat lelap, mendengkur lirih. Agak jengkel Mantosam, dalam satu hentakan kuat menyibak selimut Monik. Sejenak Monik menggeliat dan tersentak kaget sewaktu menyadari apa yang dilakukan Mantosam. Monik melotot menatap Mantosam. Sumpah serapah hampir muntah dari mulut Monik jika Mantosam tidak segera mengeluarkan lembar-lembar uang dari dompet dikipas-kipaskan di depan wajah Monik. Gelagapan dan salah tingkah Monik, bibirnya tersenyum.
Di luar siang terik. Tapi di kamar itu udara remang-remang. Seperti semalam mata Mantosam menyala-nyala. Monik paham apa yang harus ia lakukan. Ia tak ingin membuat waktu percuma. Sejurus kemudian kamar yang semula sunyi itu berubah hiruk-pikuk. Bantal, guling dan sprei terbadai berhamburan di lantai. Mantosam begitu bersemangat hingga lupa di rumah anak semata wayangnya sakit keras.
LASMI pucat. Dokter menyarankan agar Puput dibawa ke rumah sakit. Tanpa kata-kata Lasmi meninggalkan ruang praktik dokter, kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri. Tak pernah terbayangkan oleh Lasmi jika suatu hari ia harus berurusan dengan rumah sakit. Berurusan dengan rumah sakit seperti berurusan dengan polisi yang pasti berbelit dan selalu berhubungan dengan duit. Hal terakhir ini yang membuat kepala Lasmi terus berdenyut nyeri.
Menggendong Puput yang semakin tak berdaya, Lasmi sampai di rumah sakit. Lasmi merasakan suhu badan Puput semakin panas, tubuhnya kejang. Tiba-tiba Lasmi teringat Mantosam yang hanya sesekali pulang ke rumah. Tapi ia berharap Mantosam bisa mengantar Puput ke dokter. Tapi ditunggu hingga siang, Mantosam tak kunjung datang. Lasmi tidak tahu ke mana Mantosam pergi. Jika sedang banyak uang, laki-laki itu memang sering tidak pulang berhari-hari.
Seorang petugas UGD menyambut Lasmi dengan senyum dingin, menunjuk loket pendaftaran pasien baru. Lasmi segera menghampiri loket dan bicara dengan seseorang yang duduk di balik kaca transparan. Seorang perempuan gemuk yang sesekali menatap Lasmi dengan tatapan ganjil.
“Ada KTP?” tanya perempuan gemuk, acuh, tanpa menatap Lasmi.
“Maaf, tadi saya buru-buru. Tidak sempat bawa KTP….”
“Kalau begitu ibu harus menyerahkan uang empat ratus ribu untuk jaminan.”
“Apa?”
“Empat ratus ribu untuk jaminan anak ibu dirawat di sini.” Perempuan gemuk kembali menegaskan, kali ini mendongak menatap Lasmi.
Lasmi terngungun tak bisa berkata. Gemetar tubuhnya seperti disambar petir, Lasmi merasakan kepalanya kian berdenyut nyeri dan berputar-putar. Cukup lama Lasmi berdiri di depan loket, berpikir keras mencari ide agar Puput bisa dirawat di rumah sakit. Tapi otaknya selalu buntu. Apalagi saat melihat perempuan gemuk di balik loket yang terus menatap ganjil.
Tertunduk lesu Lasmi akhirnya beranjak meninggalkan loket. Langkahnya berat menggendong Puput yang terus kejang. Tapi baru beberapa langkah, Lasmi mendengar seseorang memanggil namanya. Lasmi menoleh mencari arah sumber suara. Tampak di depan pintu masuk rumah sakit, Kartopal berdiri, senyumnya mengembang. Lasmi buru-buru menghampiri Kartopal. Lasmi yakin Kartopal pasti mau membantunya keluar dari kesulitan.
Mantosam kaget mendengar kabar dari tetangga sebelah bahwa Puput dirawat di rumah sakit. Saat itulah Mantosam baru ingat jika beberapa hari ini Puput sakit. Tapi Mantosam tidak menduga kalau akhirnya Puput masuk rumah sakit. Mantosam tiba-tiba merasa bersalah. Perasaan bersalah itu kian menusuk ketika ingat dalam sakitnya Puput merengek-rengek minta dibelikan boneka barbie. Tapi Mantosam lupa, belum sempat membelikan boneka barbie.
Untuk menebus kesalahannya, kini Mantosam beli boneka barbie kesukaan Puput. Sambil berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang lengang, boneka cantik itu ditimang-timang. Berkali-kali Mantosam tersenyum membayangkan kegembiraan Puput menerima boneka barbie itu. Mata Puput yang bulat pasti akan mengerjap-ngerjap. Bibir mungilnya tersenyum manis. Ah, Mantosam benar-benar sudah tak sabar ingin memberi kejutan pada Puput. Puput pasti tak menyangka jika akan mendapat boneka barbie kesukaannya. Mantosam kian mempercepat langkah. Kamar Puput tidak jauh lagi.
Berdiri di depan pintu kamar Puput, mendadak tubuh Mantosam bergetar gemetar. Berkali-kali Mantosam menggosok mata, tapi pemandangan di dalam kamar tetap tidak berubah. Tampak Kartopal sedang menyuapi Puput yang terbaring lemah di atas ranjang. Tidak jauh dari situ, Lasmi duduk kelelahan terkantuk-kantuk. Cukup lama Mantosam menyaksikan pemandangan itu, darahnya berdesir. Tapi Mantosam mencoba menahan diri, melangkah pelan masuk ke dalam kamar. Ia ingin memberikan boneka barbie pada Puput.
Kartopal yang sedang menyuapi Puput kaget melihat kedatangan Mantosam. Tapi Kartopal cepat bisa menguasai diri, tersenyum. Mantosam membalas dengan senyum yang dipaksakan. Sesaat dua laki-laki itu saling berpandangan. Tapi tiba-tiba Mantosam gugup, menunduk, sembari menyembunyikan boneka barbienya. Tampak di atas meja boneka barbie cantik ukuran besar. Mantosam tahu siapa yang membawa boneka barbie itu. Darah Mantosam kembali berdesir. Tapi selain menunduk, Mantosam nyaris tak memiliki ruang untuk melepas pandang matanya di kamar yang mulai terasa panas itu. Mantosam tiba-tiba teringat Monik, boneka barbie besarnya yang juga tak kalah cantik….
Depok, 2004

Ketika Sunyi Mengusik Sepi


Oleh : 
  

Satu dua langkah ia berjalan mondar-mandir di depan jendela. Di luar gerimis turun perlahan mengusapkan kabut ke kaca. Sesekali ia menoleh ke kartu undangan kawin yang bertaburan di atas meja dan kemudian ia duduk menghadap meja dan membolak-balik kartu-kartu undangan itu. Bermacam-macam bentuk kartu itu, ada yang berlipat dua, tiga, dan ada pula yang hanya satu halaman saja. Sampulnya aneka ragam berlukisan dua ekor burung, ada yang gambar calon pengantin, ada pula yang bermotif kain batik dan rumah adat dan pakaian adat. Menarik dan indah. Berulang-ulang ia membaca kata-kata yang tertera di dalam kartu undangan itu, di dalamnya terdapat kata-kata yang manis, kutipan dari Kitab Suci, nama yang dihiasi dengan gelar-gelar, teks yang berbahasa Inggris, Indonesia, dan daerah. Kata, kalimat, huruf, merupakan pilihan yang indah, sangat sopan, dan sarat dengan kata klise.
Telah lama ia mengimpikan kartu undangan seperti itu, impian untuk membuatnya, bukan sekadar menerima. Suatu kali ia mengeluh kepada seorang kawannya, “Ah, hidup ini tidak adil. Dalam usia setengah abad ini saya belum pernah mengedarkan undangan, hanya menerima saja. Rasanya, semakin banyak utang saya.”
Kawannya tersenyum dan berkata, “Segala sesuatu ada waktunya, sabarlah.”
“Mereka sudah besar-besar semua. Sudah ada yang tamat dari perguruan tinggi. Tetapi mengapa mereka belum menemukan jodoh?”
“Jodoh dari Tuhan,” sambung kawannya.
“Selalu begitu. Kata-kata itu selalu menggema dari waktu ke waktu. Dari setiap mulut orang. Meluncur begitu saja. Apa tidak ada kata yang lain?”
Dialog terhenti di situ. Kawannya tidak berani melanjutkan karena ia takut tersinggung. Setiap orangtua ingin anak-anaknya menikah setelah dewasa, apalagi sudah mulai berumur. Barangkali itu naluri. Naluri yang menjadi obsesi setiap keluarga.
Sekarang, ia memilih-milih undangan mana yang paling menarik, paling cantik, dan paling mengesankan. Tidak tampak seragam. Hatinya ingin sedikit berbeda dan hendak menciptakan sesuatu yang sederhana namun lain daripada yang lain. Ada bahasa daerahnya, ada bahasa Indonesia, dan tentu saja ada bahasa Inggrisnya. Bukankah pernikahan putrinya akan dilangsungkan di Los Angeles?
Sejak istrinya menunjukkan surat pendek itu kepadanya, hatinya selalu bersyukur, seperti mendapat durian runtuh. Ada sebuah tembok yang runtuh dari dalam dirinya, tembok yang memisahkannya dari masa depan. Dan ke depan, masa depan itu sudah terbuka lebar. Orang-orang tidak akan mencemoohnya lagi, kapan ia akan memberikan undangan karena putra putrinya sudah dewasa dan tamat dari berbagai perguruan tinggi. Dadanya merasa lapang seakan-akan oksigen mengalir dengan lancar, sejuk dan nyaman.
Dari balik kaca meja itu ia mengambil surat pendek dari putrinya.
“Ibu dan Bapa yang kusayangi. Kami berniat menikah tiga bulan di depan. Kami mengharapkan kehadiran Ibu dan Bapa. Tiket akan kami kirimkan dengan segera. Kami akan sangat berbahagia kalau Bapa dan Ibu merestui pernikahan kami. Salam dari ananda, putrimu.”
Pertama kali menerima surat itu ia bertanya kepada istrinya, “Anak kita mau kawin dengan siapa?”
Istrinya menjawab, “Dengan orang kita juga.”
“Marga apa?”
“Ah, pusing amat dengan segala marga. Asal jangan dengan bule saja!”
“Apa salahnya dengan bule?” tanyanya.
“Ya, hilang dong!” jawab istrinya. “Budaya saja sudah menjauhkan kita.”
“O, begitu.”
“Ah, bapa ini bagaimana. Kita harus mensyukurinya.”
Ia perhatikan istrinya sudah mulai sibuk bertanya ke sana ke mari, bagaimana cara mengadakan pesta pernikahan. Apa-apa saja yang harus disediakan.
Berulang-ulang ia membaca surat putrinya. Surat singkat yang sarat dengan harapan hidupnya selama ini. Sekalipun surat itu pendek, itu sangat membahagiakannya. Rasa sunyi selama ini berangsur meredup, bunga-bunga harapan mulai menguncup. Kerinduan untuk memomong cucu sudah lama dipendamnya. Kini harapan itu mulai berbunga-bunga. Orang yang lebih muda dari dia sudah memiliki beberapa cucu, dia belum. Tiap kali orang menanyakan kepadanya kapan akan memiliki cucu, selalu dijawabnya dengan jawaban menghindar, “Akan ada waktunya.” Padahal pertanyaan itu sebenarnya amat menggusarkan hatinya. Selama ini ia senang berkumpul dengan anak-anaknya yang lima orang. Senang melihat mereka semua sehat-sehat dan berambisi mau ini dan itu. Tetapi tiap kali ia menanyakan kepada mereka kapan membentuk keluarga sendiri, selalu dijawab, “Ah, Bapa ini rupanya sudah bosan melihat kami.” Hal ini pun membuatnya merasa sunyi dan lebih banyak berdiam diri soal itu. Lagi pula, sejak mereka belajar di perguruan tinggi dan di luar negeri, ia dan istrinya kembali ke dalam suasana sunyi dari hiruk-pikuk anak-anak. Kembali berdua sejak menikah tiga puluh tahun yang lalu. Benteng kesunyian itu semakin mendalam ketika istrinya ikut anaknya ke Amerika dan tinggal di sana beberapa tahun. Hanya untuk “menjaga” dan memberi kemungkinan “masa depan” anaknya, harus meninggalkannya, seorang diri di rumah, di Tanah Air. Adapun ketika ia menyusulnya, dan tinggal di sana setengah tahun, itu tidak membuat benteng kesunyian itu runtuh atau retak karena ia pun mengingat anak-anaknya yang lain yang tinggal di Tanah Air. Ia kembali seorang diri karena istrinya berharap putrinya tamat dan ada yang melamarnya. Ketika saat penantian itu berlalu, istrinya kembali dan tinggallah mereka berdua di rumah. Hanya ketika musim libur, anak-anak kembali ke rumah.
BAGI yang menikah, perkawinan adalah sebuah tujuan untuk mencari kebahagiaan, memenuhi kodrat sebagai manusia, yang sukar dihindari. Pikiran mereka tertuju kepada hari yang penuh kebahagiaan itu, yang harus diawali dengan upacara sakral sesuai dengan keyakinan, bahwa manusia sesungguhnya menuruti petunjuk Tuhan. Manusia mewarnai jalan menuju upacara ini dengan hal-hal yang rinci, sarat dengan emosi, dan terikat kepada norma, kaidah, dan rambu-rambu lintas budaya yang sukar dilalui. Sejumlah aturan yang sesungguhnya tidak ada kaitan dengan tujuan pernikahan itu muncul ke permukaan, lalu syarat-syarat tertentu saling melengkapi dan harus dipenuhi. Tanpa itu, jangan harapkan pernikahan akan berjalan dengan lancar. Kecuali kedua hati yang muda itu, dengan berani menempuh jalur-jalur jalan berduri dengan “kawin lari” dan yang lain-lain tidak dipedulikan, sekalipun jalan itu membuat rasa malu kepada ayah dan ibunya-karena ayah dan ibunya mengingkari utang yang selama ini mereka terima melalui undangan-undangan dari kenalan-yang tidak “terbayar” olehnya.
Seperangkat pakaian adat dan undangan tercetak dalam tiga bahasa sudah disiapkannya dan dimasukkan ke dalam koper. Ia tidak mau kehilangan momentum yang sangat ditunggu-tunggunya itu. Apa pun biaya dan risikonya, ia mau supaya perhelatan ini sukses. Sukses untuk anak pertama adalah awal yang baik untuk sukses bagi anak-anak berikutnya. Menurut calon besannya, “adat penuh” pun akan dilakukan, sekalipun itu di negeri asing. Adat baginya, adalah bayang-bayang dirinya, sekalipun ia sendiri benci bayang-bayang, yang selama ini jarang diperhatikannya karena Matahari kota membuatnya jarang berjalan di panas terik-dan selalu berada di atas kendaraan pribadi maupun umum. Adat, adalah bagaikan sebuah topi yang harus dikenakan ketika Matahari menggigit ubun-ubun. Manusia yang terlahir di dalam lingkup adat sukar melepaskan diri dari simbol-simbolnya walaupun itu harus dibayar dengan harga mahal. Perkawinan memang sangat bersifat privasi, tetapi melibatkan komunitas dari rumpun marga yang berbeda. Lalu lahirlah pelangi keluarga. Itukah kebahagiaan itu? Akhirnya ia tiba pada kesimpulan bahwa kebahagiaan harus dibayar dengan harga yang mahal!
Upacara adat yang melelahkan berlangsung di Los Angeles (LA) di rumah kerabat dekat yang merelakan tempat, waktu, dan simpati maupun empati, sesuatu yang sangat sulit diperoleh di LA. Ia harus mengorbankan kamar tidur anak-anaknya demi menampung orang-orang yang menghadiri upacara adat sebelum pesta pernikahan itu sendiri dilakukan. Betapa pun singkatnya, betapa pun mereka itu berpikir praktis, toh upacara itu melelahkan. Tapi itu baru pendahuluan. Sesudah resepsi, masih dilanjutkan dengan “adat penuh” yang membuat orang-orang asing tercengang dan geleng-geleng kepala. Mungkin bagi mereka, jenis upacara itu sebuah hal yang amat mistis dan magis. Penuh dengan simbol dan retorika yang sarat repetisi.
Protokol pada upacara pernikahan menguraikan acara pernikahan dengan bahasa Inggris yang transparan bagi kuping orang Timur. Barangkali bagi kuping penduduk pribumi alias bule yang banyak juga hadir pada upacara pernikahan, bahasa Inggris yang demikian adalah bunyi simfoni dialek karena sesekali diselingi dengan pepatah-petitih bahasa leluhur. Mereka mengangguk-angguk, mungkin tanda kagum.
Usai resepsi, upacara adat berlangsung. Kata-kata indah berhamburan dari bibir-bibir yang berbahasa ibu. Tampaknya pengucap kata itu sendiri “hanyut” dalam emosi, mungkin sekali ia rindu tanah air karena suaranya gemetar menimbulkan rasa haru. Uang-uang rupiah berbaur dengan uang dollar. Orang-orang menari dan menari. Ada band yang mengiringi dengan lagu-lagu syahdu, dalam bahasa ibu yang membuat orang-orang Amerika, Filipina, dan China larut dalam mimpi oriental yang magis dan sunyi. Lagu-lagu cinta dalam bahasa ibu dan sesekali lagu cinta dalam bahasa Inggris.
Ayah pengantin perempuan yang paling berbahagia. Ia tersenyum terus menerima salam dari hadirin. Lunaslah sudah utang-undangan-pernikahan yang selama ini selalu diterimanya. Riak-riak kegembiraan yang muncul di wajahnya menandakan sunyi hati yang selama ini terpendam, pudarlah sudah. Ia berharap, beberapa tahun mendatang seorang cucu telah dapat ditimang-timangnya.
Beberapa bulan sesudah pernikahan putrinya yang pertama, ia mendengar kejutan baru dari istrinya.
“Kudengar dari putri kita, mereka tidak ingin cepat-cepat punya anak. Mereka belum siap karena penghasilan mereka belum memadai. Lagi pula, kata mereka, biaya merawat seorang anak cukup mahal. Kalau mereka punya anak, mereka akan keluar dari apartemen ini. Apartemen ini khusus bagi penghuni yang belum punya anak.”
“Bukankah Tuhan akan mencukupkan keperluan hidup mereka? Kalau perlu, kau tinggal di sini dulu, untuk menjaga dan merawat anak mereka,” jawabnya.
“Justru mereka tidak mau merepotkan orangtua, dan tidak mau direpotkan orangtua,” katanya.
“Maksudmu?”
“Mengurus anak itu tidak gampang, Pak. Mantu kita harus bekerja siang hari, putri kita juga. Nanti kalau ada anak, mereka terpaksa harus cari pekerjaan siang dan malam, silih berganti supaya dapat menjaga anak. Untuk itu, mereka belum siap. Begitu menurut mereka.”
Ia manggut-manggut. Harapan yang sudah mulai berbunga-bunga beberapa bulan lalu mulai melayu. Belum membentuk arah pembuahan. Hanya bunga-bunga yang menguncup dan kemudian melayu dan redup, gugur ke tanah.
Berbulan-bulan tembok kesunyian mulai terbangun di dalam dirinya. Ia jarang bertemu dengan orang. Masing-masing sibuk dengan diri sendiri. Anak dan mantunya, kalau sudah pulang kerja-yang kadang-kadang larut senja karena lembur-langsung tidur dan pagi-pagi sekali sudah bangun dan berangkat ke tempat kerja. Tidak ada lagi kunjungan ke taman hiburan semisal Disneyland atau Hollywood. Hanya sesekali ke pantai LA atau pertemuan singkat ibadah di gereja. Hidup menjadi monoton antara bangun tidur, makan, nonton TV, jalan-jalan di sekitar rumah. Siklus yang sangat menjemukan.
Setelah lima bulan di LA, kejutan baru muncul dari istrinya.
“Pak, anak kita menanyakan kapan kita akan kembali.”
“Oh ya?” jawabnya. Memang pikiran itu pernah timbul di dalam benaknya. Ketika pertanyaan muncul dari bibir anaknya sendiri, maknanya menjadi lain. Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah ini karena putrinya dapat mengajuk pikirannya ataukah ungkapan atas rasa ketidaksetujuannya atas kehadiran mereka di sana? Apakah mereka menjadi beban bagi anak dan mantunya?
Ia tidak menjawab istrinya. Tidak juga timbul niat di dalam dirinya untuk bertanya kepada putrinya. Takut kalau-kalau begitulah kenyataan yang sebenarnya. Ia takut menghadapi kenyataan seperti itu. Pikiran yang muncul dalam benaknya ialah, pernikahan itu sudah berlangsung. Rumah tangga anaknya sudah terbentuk. Barangkali tugas mereka sudah selesai sampai di situ. Selebihnya, adalah kerisauan dan gangguan-gangguan hati nurani tidak pantas ditanyakan. Ia ingat burung-burung. Burung yang sudah layak terbang, ya, membentuk sarangnya sendiri. Burung itu sudah menjadi masyarakat burung, tak lagi bergantung kepada induknya. Kita tidak tahu apakah anak burung mengucapkan terima kasih kepada induknya karena telah memeliharanya. Kita juga tidak tahu apakah induknya pernah merasa kecewa.
Pada suatu tengah malam, ketika ia terbangun, ia membangunkan istrinya.
“Besok kita berangkat pulang,” katanya.
Istrinya mengusap-usap matanya dan kemudian berkata, “Apakah saya bermimpi?”
“Tidak,” jawabnya, “Kau tidak bermimpi.”
“Oh ya? Apa kaubilang tadi?”
“Besok kita pulang. Anak-anak di Tanah Air lebih memerlukan perhatian kita.”
“Begitu cepat?”
“Sudah waktunya,” katanya, “rasanya anak dan mantu kita kurang memerlukan kita di sini.”
“Kau terlalu perasa.”
“Mungkin ya, mungkin tidak. Dunia mereka berbeda dari dunia kita. Sebaiknya kita pulang saja.”
Keesokan harinya, anak dan mantunya mengantar mereka ke airport. Setelah pesawat tinggal landas, ia berkata kepada istrinya, “Nah, kau perhatikan tadi, bukan? Ketika kau mengatakan bahwa kita akan pulang, mereka segera konfirmasi pesawat dan sore ini kita berada di dalam pesawat ini? Mereka tidak mengucapkan kata basa-basi mengapa pulang mendadak. Tidak ada kata tanya. Tidak ada kata terima kasih karena kita telah menemani mereka di rumah setelah upacara pernikahan mereka…”
Istrinya mengunjurkan kaki dan menyandarkan punggungnya ke kursi yang dilengkungkan ke belakang. Sambil memejamkan matanya, acuh tak acuh ia menjawab, “Kau terlalu mudah tersinggung. Budaya penduduk negeri ini telah menjadi budaya hidup mereka. Mereka hidup di sini, dan untuk itu, mereka harus menyesuaikan diri dengan situasi. Mereka adalah pekerja keras dan kita patut menghargai mereka.”
Ia mencoba melihat ke awan-awan di luar lewat jendela kaca. Perjalanan panjang menuju Tanah Air sedang berlangsung. Rasa sunyi yang lain mengusik sepi yang mulai melekat dalam lubuk hatinya.
Entah berapa lama ia tertidur, tiba-tiba ia terbangun karena pesawat terasa seperti berjalan di atas batu-batu, seperti pedati. Pramugari memberitahukan bahwa pesawat melintasi perubahan hari-batas siang dan tengah malam yang pekat.
Dan sunyi itu, semakin dalam mengendap dalam perjalanan enam belas jam yang menjemukan.
Bandung, 14 Juli 2004

RT 03 RW 22, Jalan Belimbing atau Jalan “Asmaradana”


Oleh : 
Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami banggakan, “Lha betul to, Perumnas itu ya begini. Tinggi setidaknya empat meter supaya ruangan sejuk.” Mengenai genteng dikatakannya, “Kok dari asbes. Mereka ingin semua penghuni Perumnas kena kanker.” Mengenai dunia dikatakannya-menirukan dalang. “Jaman sudah tua, perempuan jual badan, anak lahir tanpa bapak, orang suci dibenci, orang jahat diangkat, orang jujur hancur.” Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, “Lihat orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin.” Mendengar ngoèng-ngoèng mobil pejabat, dia akan berkomentar, “Dengar itu sang menteri korup lewat.”
Lain lagi teman saya Kaelani yang memandang hidup sebagai komedi, sebuah lelucon. Dia adalah pemborong: SD Inpres, jalan aspal, talud sungai. Di mana-mana: mantenan, tirakatan 17 Agustusan, katanya sambil ketawa, “Pemborong itu harus jadi pembohong.” Gedung retak, aspal mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. “Ya, kalau rusak diproyekkan. Semua senang, DPRD, kepala dinas, dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya”. Katanya lagi, “Pemborong itu masuk sorga tanpa dihisap.” Dihisap artinya dihitung baik-buruk amalnya. Sambungnya, “Apa sebab? Karena ia suka berbohong untuk menyenangkan orang.”
Akan tetapi, keduanya sangat lain dengan kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan Belimbing (keluarga kami menyebutnya sebagai Jalan “Asmaradana”. Asmara artinya cinta, dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragi-comedy yang mengganggu karier saya sebagai Ketua RT.
Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan Pak Trono yang pindah. Tentu saja saya menolak dengan banyak alasan: sering tak di rumah, mengajar di sana-sini, pekerjaan kantor bermacam-macam, masyarakat besar membutuhkan tenaga saya. Tentu saja tidak saya katakan bahwa akan segera dipromosikan ke Jakarta.
“Bapak tidak usah repot, Ketua RT itu hanya kedudukan simbolis,” kata seorang pemondok dengan bahasa sekolahan. Dia sedang sekolah S2.
Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten, dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak.
“Jangan khawatir, urusan RT adalah urusan bersama,” kata seseorang.
“Gotong-royong kita sangat bagus.”
“Kita masih punya semangat empat-lima.”
Setelah semua mendesak, kata saya, “Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri yang mengerjakan.”
Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan universitas Kota New York. Sekali-sekali rapat bulanan RT saya pimpin, sekali-sekali istri saya.
Test-case yang pertama-apakah doktor luar negeri bisa jadi Ketua RT-ialah mengurus perkara Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal. Mereka tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3. Said berasal dari Ambon, dibiayai APBD untuk sekolah.
Pasangan Said orangnya baik. Said ikut ronda, dan istrinya ikut arisan. Dari poskamling dan arisan itulah warga tahu keluhan-keluhan mereka tentang Pak Dwiyatmo yang secara tidak sengaja dikatakan. Sebagai warga yang baik, mereka berdua datang untuk mengenalkan diri kepada Ketua RT yang baru secara formal.
“Beta orang Ambon, istri beta orang Jawa.”
“Dan anak Mas Said jadi Jambon. Itu warna pink, warna cinta.” Jadi ada Jadel, ada Jamin, ada Jambon.
“Memang kami cinta Indonesia,” katanya serius, tidak tahu kalau saya hanya berkelakar.
“Setidaknya kamu cinta perempuan Jawa.”
“Bukan setiap perempuan Jawa, Bapak, tapi Jawa yang ini.” Terlihat istrinya menyikut suami.
Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup, karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampung. Tapi bunyi malam-malam itu! Dan Said berdua yang pasangan pengantin baru perlu malam yang sepi! Entah untuk apa.
Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, “Orang Jawa itu jalma limpat, dapat menangkap isyarat.” “Ya kalau iya, kalau tidak, bagaimana?” bantah suaminya. “Tunggu saja.” Mereka menunggu, tapi tiap larut malam thok-thok itu masih terdengar, membuyarkan harapan indah mereka di tempat tidur. Maka, perseteruan diam-diam itu berjalan terus.
Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid. Sebagian orang masjid mengatakan ia tidak qana-ah, artinya tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, itu sebabnya ia protes kepada-Nya (Allahumaghfirlahu, semoga Allah mengampuninya. Semoga dipanjangkan umurnya sehingga ia sempat bertaubat). Sebagian lain mengatakan bahwa ia selalu sembahyang di sungai dekat pemakaman Tegalboyo, sudah itu membuka bungkusan dan makan. Sebagian lagi mengatakan setiap Jumat ia pergi sembahyang di masjid Ploso Kuning. Ada yang mengatakan bahwa ke masjid di Perumnas akan melukai hatinya, sebab ia selalu pergi jamaah bersama istrinya dulu. Saya tidak tahu mana yang benar.
Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan “rumah masa depan” di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak Dwiyatmo, itu HAM. Dan saya sebagai Ketua RT tak pernah punya waktu untuk menegur Pak Dwiyatmo tentang thok-thok itu. Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul, mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore.
Paling mudah ialah mendatangi Said, “Mas Said, di Jawa ini orang perlu hidup rukun. Pandai menyesuaikan diri seperti kalian berdua. Ajur-ajer”. Tampak Said tidak tahu arah pembicaraan saya. Istrinya yang menjawab.
“Orang sebelah itu pasti punya kelainan, Pak.”
“O ya, Bapak. Suara-suara itu sungguh mengganggu!” timpal suaminya.
“Ya pindah rumah, to. Kok sulit-sulit.”
“Ininya, Bapak,” katanya sambil menggosokkan ibu jari ke telunjuk.
Suatu pagi saya bersama istri jalan-jalan. Di pintu gerbang RT kami bertemu Said berdua, berdandan rapi.
“Pagi-pagi sekali, dari mana?”
“Ala Bapak ini bagaimana, Proyek Jambon, tentu”.
“Lho, kok?”
“Kami selalu ke hotel, tenang. Tapi tidak tahu sampai kapan kami tahan.”
Kami baru saja tahu apa yang dikerjakan Pak Dwiyatmo di malam hari. Pasalnya begini. Anak-anak Perumnas sedang main sembunyi-sembunyian. Kebetulan pintu rumah Pak Dwiyatmo terbuka, dia tertidur di kamar karena kelelahan mencangkul itu. Beberapa anak laki-laki masuk rumah dan bersembunyi di dalam meja-mejaan Pak Dwiyatmo yang ditutup dengan kayu. Aman.
“Di mana kalian? Kami kalah.”
Mereka membuka tutup meja-mejaan, “Sini!” Lalu menutupnya kembali.
“Di mana?”
“Sini!”
Berulang-ulang.
Tiba-tiba seorang mengerti arah suara itu. Lalu lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit. Anak-anak dalam meja-mejaan itu keluar dan ikut lari dan menjerit-jerit. Orang-orang di gang itu pun keluar. Mereka pergi ke rumah Pak Dwiyatmo. Masya Allah! Keranda! Keranda! Suami-istri Said ikut keluar. Keranda! Sejak itu keluarga Said menghilang.
Beberapa hari kemudian Ketua RT dapat panggilan dari Pengadilan Negeri. Saya berhalangan, yang datang Bu RT alias istri saya. Di kantor pengadilan istri saya menunjukkan surat panggilan itu.
“Panggilan itu untuk Ketua RT. Tidak bisa diwakilkan begitu saja.”
“Saya penggantinya. Ini Surat Kuasa.”
“Kalau begitu, tunggu.” Ia masuk ruangan.
Ketua Pengadilan atau yang mewakili keluar.
“Begini, Bu. Ini ada gugatan untuk Pak Dwiyatmo karena ia mengganggu ketertiban. Tolong diselesaikan dengan damai, tanpa melalui pengadilan.”
Melihat keranda itu rupanya Said atau istrinya jadi betul-betul tidak tahan. Pantas mereka kabur dan menggugat lewat pengadilan. Mereka berpikir bahwa paling-paling Ketua RT menyarankan agar mereka menyesuaikan diri, karena saya tidak juga menegur Pak Dwiyatmo. Saya merasa bersalah. Sungguh mati, saya tidak tahu kalau Pak Dwiyatmo sedang membuat keranda.
Saya sedang mencari waktu luang untuk bertemu Pak Dwiyatmo, ketika tiba-tiba ada perubahan besar. Masalah keranda yang sudah diketahui umum itu membuatnya berhenti bekerja sama sekali. Dia tidak lagi thok-thok di waktu malam, tidak lagi memanggul pacul di siang hari. Pekerjaannya ialah menyapu-nyapu halaman, lalu leyeh-leyeh di lincak di depan rumahnya.
Saya menghubungi Pascasarjana UGM dan mendapat alamat Said. Saya menghubungi Said, mengatakan bahwa tidak ada lagi gangguan ketertiban. Dengan malu-malu Said jadi warga RT kembali. Ketika minta maaf kepada saya karena telah merepotkan, dia membawa sebotol minyak kayu putih.
Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya.
“Kok menyapu sendiri, Pak?”
“He-eh, tidak ada yang disuruh.”
Lain hari perempuan itu lewat lagi.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.”
“He-eh, habis bagaimana lagi.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?”
“Ya tidak ada.”
Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu.
“Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?”
“Mau saja.”
Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.
Damailah RT, damailah Indonesia! Seminggu kemudian Pak Dwiyatmo berdua pulang. Tapi, apa yang terjadi? Petugas Siskamling yang menjemput jimpitan beras mengatakan bahwa mereka mendengar suara “aneh” di rumah (tepatnya di kamar) Pak Dwiyatmo. Siang hari Pak Dwiyatmo menggergaji keranda itu dan menjadikannya meja-kursi. Ini saya tahu karena saya datang untuk mengunjungi mereka yang temanten baru. Saya juga tahu yang lain. Istri baru itu sedang memotong-motong kain putih calon kain kafan Pak Dwiyatmo. “Ya, itulah yang terjadi,” kata Pak Dwiyatmo membenarkan pikiran saya. Lho! Saya sembunyikan keheranan bahwa dia tahu pikiran saya.
Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!
Saya mencoba menyarankan Said untuk melapisi dinding-dinding dengan gipsum yang kedap suara. “Ala, Bapak ini bagaimana. Kalau beta kaya pasti sudah menyewa rumah di luar Perumnas”. Istrinya menyambung, “Maaf, kalau kata-kata suami saya menyinggung Bapak.” Saya usul, “Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tamu diubah jadi tempat tidur?” Katanya, “Ya, besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman.” Lagi istrinya memintakan maaf suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat. “Tolong beri tahu beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.”
Lain dari biasanya, pagi-pagi saya dapat pergi berjamaah ke masjid. Di sana saya bertemu Pak Dwiyatmo. Subhanallah! Saya terkejut. Ia menoleh dan berkata, “Betul saya Dwiyatmo.” Katanya lagi, “Saya berdosa, saya khilaf, saya bertaubat.” Ia melanjutkan sambil sama-sama jalan pulang, “Orang hidup ini harus seperti iklan. Ia berenang-renang di laut, tapi tak pernah jadi asin.” Saya sedang berpikir mungkin sudah waktu untuk mencari Said dan minta dia kembali ke Jalan “Asmaradana”, ketika orang-orang Siskamling mengatakan bahwa suara-suara “aneh” itu berjalan terus. Itukah “berenang-renang”? Wallahualam. Saya mau menegur Pak Dwiyatmo, tetapi rasanya tidak pas. Menyuruh keduanya berunding untuk menyelesaikan perseteruan diam-diam itu, jangan-jangan malah jadi perseteruan terbuka. Jadi saya hanya bagaimana-bagaimana sendiri.
Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu. Leiriza, Luhulima, Tuhuleley, Patirajawane, Raja Hitu, sepertinya semua berwajah Said Tuasikal.
Saya juga gagal memahami Pak Dwiyatmo. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar, riset, seminar, dan mengajar. Tetapi, bahkan tentang tetangga saya, Pak Dwiyatmo, saya tidak tahu apa-apa. Pak Dwiyatmo, Pak Dwiyatmo. Manusia itu misteri bagi orang lain.
Tiba-tiba saya merasa bodoh, sangat bodoh. *
Yogyakarta, 23 Februari 2004

Warna Ungu


 
Siang yang paling berkeringat. Semua keluarga besar Hendrawan tertidur. Semalam, sampai larut malam, mereka menemani calon pengantin untuk melewati malam widhodharenan. Nanti tepat pukul 14.30 WIB, pengantin akan melaksanakan ijab kabulnya. Setelah itu mereka akan pergi ke tempat resepsi di sebuah gedung dengan dominasi warna ungu. (Tempat resepsi pernikahan yang paling bergengsi di Kota Malang). Mereka akan memakai adat Malangan secara lengkap. (pengantin perempuan yang sangat menyukai warna ungu) akan menikah dengan Indra teman kuliahnya di Fakultas Teknik UB. Perjodohan mereka dianggap sangat wajar, Indra dan Luke punya status sosial yang sangat sejajar. Indra adalah anak usahawan yang berada di Jakarta. Konon, bapak Indra seperti dongengnya Cinderella, melihat Indra yang belum juga pacaran, mengadakan pesta ulang tahun anaknya dan mengundang beberapa gadis pilihan untuk menjadi pacar Indra.
Luke menjadi calon mantu yang paling favorit bagi keluarga Indra.
Penduduk kota ini menganggap mereka akan menjadi pasangan yang serasi! Umur mereka sudahlah pantas untuk menjadi pasangan muda yang bahagia. Teman-teman dekat Luke maupun Indra tidak melihat cela yang akan terjadi di antara hubungan mereka. Menurut teman dekat Indra maupun Luke, Luke dan Indra pasangan yang sangat senang anak-anak. Luke mengisi waktu luangnya dengan menjadi guru play group. Oleh karena itu, sering mereka melihat Indra dan Luke bersama anak didiknya bermain-main dengan gembira.
Mereka jarang bertengkar, terlampau banyak kesamaan antara Indra dan Luke, mulai dari selera makan sampai mengisi waktu luang. Kalau toh ada pertengkaran rasanya tidak akan pernah saling melukai. Sesungguhnya, sebelum acara pernikahannya, pada teman-temannya Luke berkata, “Aku tidak menikahi seorang pangeran. Aku menikahi Indra dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Pada usiaku yang kedua puluh satu nanti, aku kepingin menjadi ibu dari anak- anakku. Kurasa umur yang pantas untukku. Aku tidak terlampau ingin sibuk dengan karier sehingga lupa punya anak. Anak-anak bagiku adalah masa depanku juga masa depan bangsa ini. Aku bersyukur dokter mengatakan aku cukup sehat untuk punya anak. Aku sebetulnya sudah menanti seorang anak sejak usiaku yang kedelapan belas. Indralah yang dengan serius menanggapi cita-citaku. Banyak pasangan muda takut kalau mereka segera punya anak, mereka tidak punya kesempatan lagi untuk bersenang-senang berdua. Tapi aku tidak! Sejak usiaku yang kedelapan belas, aku sudah menyiapkan diri untuk tidak terlampau larut dengan dunia anak muda. Sering aku membeli buku bagaimana mendidik anak-anak. Dan walaupun aku tidak menyukai lagu klasik, ketika ketemu simfoni Mozart, aku langsung membelinya! Karena, aku membaca di satu artikel bahwa lagu klasik bisa merangsang kepandaian anak. Harusnya digarisbawahi, aku tidak kepingin mendidik anak-anakku seperti Mama mendidikku.
Papa dan Mama sangat sibuk dengan usahanya sehingga waktu kecil ketika seorang pembantu sering mencubiti diriku, aku tidak berani mengatakan pada orangtuaku. Kalau aku menceritakan penyiksaan itu, Mama pasti tidak mempercayaiku. Di muka orangtuaku, dia bisa bersikap sangat manis. Mamaku merasa bebannya dengan anak-anaknya bisa terkurangi, apalagi pembantuku itu tidak mencubiti adikku. Mama selalu menganggap aku terlampau nakal, lain dari adikku yang masih bayi itu.
Aku tidak tahu sampai hari ini mengapa kebencian terhadap pembantuku itu selalu berada di ruang hati dan seluruh sudut rumah ini. Tadi siang, dia datang dengan cucunya, (aku tidak menyukai anak itu). Aku menjadi cemas karena setiap orang bilang aku adalah kekasih anak-anak. Rupanya, aku bisa tidak menyukai anak kecil ini. Di matanya, aku melihat mata pembantu yang mencubitiku dulu. Anak itu mengerti perasaanku, dia meminta segera keluar dari kamarku. Aku mengiyakan dengan cepat dan mendorong keduanya keluar dari kamar ini.
Mestinya aku bisa memilah-milah persoalan. Aku hari ini sedikit depresi, aku sering sekali pusing dan mimpi buruk yang terputus-putus sejak seminggu ini. Seharusnya aku kelewat bahagia karena akan menikah dengan calon bapak dari anak-anak. Sungguh, aku merasa pusing lagi, aku tertidur. Mimpiku, anak kecil itu memukul-mukul kendang persis di sebelah telingaku. Aku terbangun dan kepingin muntah, padahal hari ini aku harus kelihatan bugar dan cantik.
Sungguh, sebelum aku menjadi pengantinnya Indra aku sudah membicarakan hal ini berulang-ulang kepadanya. Kalau kita punya anak, sebaiknya ada orang yang bisa kita percayai untuk mengurus anak-anak. Oleh karena itu, pernikahan bagiku adalah sebuah langkah yang sangat serius. Aku tidak lagi mengulang kesalahan-kesalahan Mamaku, yang lebih menikmati dunianya sendiri. Tentu saja, aku tidak berani bilang, “Mamaku seorang egois.” Kehidupanku dengan dua adik laki-lakiku sangat tercukupi. Aku masih ingat ketika usiaku yang ketujuh, aku meminta sepatu roda yang pada waktu itu jarang dijual di Kota Malang. Dengan mudah Mama mendapatkan sepatu itu. Aku masih ingat bagaimana teman-teman SD-ku (yang menurutku orangtuanya lebih kaya) membelalakkan matanya ketika aku meluncur dengan sepatu roda itu.
Mama sering bilang, “Dia adalah perempuan yang bahagia.” Papa tidak pernah memukul seperti suami adiknya atau pelit seperti suami kakaknya. Masih menurut Mama, tidak ada yang bisa disalahkan dari saudara-saudara perempuannya. Seorang laki-laki baru ketahuan jeleknya kalau sudah jadi suami. Jadi, pernikahan dengan suami yang baik, seperti mendapat undian. Aku merasa sudah melihat kekurangan Indra, rasanya aku masih bisa mentolerir kekurangannya. Aku percaya tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena aku sendiri bukan perempuan yang sempurna. Tetapi kadang-kadang omongan Mama tentang perempuan yang mendapat suami yang salah, menghantui diriku. Sahabat Rita, akhir-akhir ini mengeluhkan suaminya yang sering memukul. Aku khawatir, dia tidak bisa keluar dari lingkaran setan itu. Aku takut sekali melihat memar-memar bekas pukulan suaminya. Tentu saja aku akan bertindak tegas jika Indra memperlakukan diriku seperti Rita. Tapi Mama bilang, “Kalau kita sudah menikah, masalahnya tidak sesederhana itu.” Rita mungkin sudah lama ingin keluar dari pernikahannya, tapi tidak bisa! Aku bilang, “Kalau aku jadi Rita, aku sudah lama menceraikan suamiku.”
Mama mengangkat bahu, seolah-olah tidak yakin aku bisa setegas itu.
Sesungguhnya perayaan pernikahan ini sudah dibicarakan oleh penduduk Kota Malang, karena yang bakal mantu adalah usahawan sukses di mana akan banyak sekali memakai adat Malangan, yang sudah lama tidak lagi dipakai oleh masyarakat Malang. Ini merupakan tontonan yang menarik. Pak Hendrawan sudah membeli dokar untuk kirab kedua pengantin dari rumah sampai ke gedung resepsi. Penduduk Kota Malang sudah sering melihat dokar berwarna ungu, yang sekarang begitu cantik, berada di halaman rumah Pak Hendrawan.
Mereka akan memakai seragam ungu, pada resepsi pernikahan dan gedung resepsi pernikahan akan ditata dengan serba warna ungu, mulai dari tempat duduk pengantin, karpet, dan bunga-bunga hiasan. (Pak Hendrawan sudah mengorder berpuluh-puluh bunga anggrek bulan ungu untuk hiasan di gedung pengantin). Mereka memilih warna ungu, warna favorit dari keluarga Pak Hendrawan. Sebagian ruangan rumah Pak Hendrawan, khususnya kamar pengantin, sudah dicat dengan warna ungu. Seprei pengantin dan semua hiasan berwarna ungu di kamar itu. Hanya pada saat ijab kabul, kedua pengantin memakai baju brokat putih, tapi kerudung untuk mereka berdua tetap dengan warna ungu. Konon baju tidur mereka berdua juga berwarna ungu.
Tak pernah seorang pun di Kota Malang melihat persiapan yang begitu ribet dengan biaya yang rasanya sulit dilaksanakan oleh sebagian besar penduduk di Kota Malang.
Adalah Mbok Pah, yang ingin memberikan jamu, yang pertama kali merasa kehilangan Luke. Sementara yang lainnya masih tidur dengan kelelapan yang luar biasa. Mbok Pah mencari di setiap sudut rumah ini. Akhirnya dengan cemas membangunkan ibu Luke.
“Saya tidak menemukan Jeng Luke, Bu.”
Mama Luke yang kelihatan mengantuk tiba-tiba terbangun. “Cari dia sampai dapat, sebentar lagi acara akad nikah segera dimulai.”
Akhirnya, setelah sekian lama Mbok Pah mencari, seluruh keluarga besar terbangun dan menjadi gagap, “Luke memang tidak ada di tempat!”
Sekarang setiap kerabat, sahabat, mencari Luke ke seluruh penjuru Kota Malang. Tidak diketemukan calon pengantin perempuan.
Kepanikan semakin lama semakin lebar ketika pengantin pria dan seluruh keluarga besarnya sudah datang untuk menikahkan putra-putrinya. Semua keluarga besar Hendrawan hampir tidak bisa berbuat apa pun ketika yang satu mulai menangis dan yang lainnya ikut- ikutan.
Pakde dari Luke, atas desakan keluarga besar calon mantu melapor ke polisi atas kehilangan keponakannya.
Polisi mencatat semua data-data Luke dan berulang-ulang bertanya, “Apakah mereka akan dinikahkan secara paksa?”
“Tidak, mereka pacaran. Tolong kami, karena acara resepsi di gedung tinggal beberapa jam lagi dan kalau si pengantin tidak diketemukan, besok semua koran lokal dan nasional akan memuat berita ini. Indra anak pengusaha sukses di Jakarta. Ini akan memalukan seluruh keluarga besar kami,” kata Pakde Luke, telak.
Polisi cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ini kasus yang pertama ditemui oleh pihak kepolisian. Padahal bapak polisi sangat akrab dengan pengusaha yang sangat sukses itu. Polisi mengerahkan anak buahnya untuk mencari Luke.
Luke tidak diketemukan sampai waktu resepsi. Para undangan saling berbisik dan sebagian orang ikut prihatin atas hilangnya pengantin perempuan. Padahal, menurut Indra, sejam sebelum hilangnya Luke mereka masih SMS-an. Luke cuma bilang, dia lebih sering berkeringat dan pusing sehingga perias pengantinnya sering membubuhi bedak (satu hal yang tidak disukai Luke). Sebelum rencana pernikahan ini dikukuhkan oleh para orangtua mereka, Indra bercerita di depan polisi, “Kami berdua sangat sepakat untuk segera menikah, agar lebih cepat memiliki anak di masa muda.”
Mereka berdua sepakat tidak akan pernah meniru tante Luke yang masih hidup sendiri di usianya yang hampir 35 tahun. Masih menurut Indra, Luke sering bercerita tentang tantenya itu, “Tanteku kariernya bagus, tapi dia tidak sempat menikah! Saya tidak ingin seperti dia, tanteku tidak bisa memahami bagaimana mencari susu bayi, mengantarkan ke taman kanak-kanak atau ke dokter.”
Namun, dua bulan sebelum pernikahan Luke, tantenya dengan bangga mengatakan, “Aku baru saja melahirkan seorang anak.” Tante tidak pernah menyebut-nyebut siapa bapak dari bayi itu. Luke melihat hal itu sangat luar biasa dan ini sering diceritakan pada Indra. Tetapi Luke dan Indra tetap sepakat akan menikah secara normatif dan kemudian punya anak.
Jadi, tidak mungkin Luke pergi tanpa alasan yang jelas. Indra takut ini ada tangan-tangan kotor dari pesaing bisnis papanya atau Pak Hendrawan dalam pernikahan mereka. Lantas, dia mendesak polisi dan seluruh kerabat Hendrawan untuk mencari Luke agar tidak mempermalukan dirinya dan mencari akar masalah dari musibah ini. Apakah ini ada hubungannya dengan pesaing bisnis papanya dan pesaing bisnis papa Luke?
Di depan polisi Indra berulang-ulang berkata, “Pak, di antara pelaku bisnis itu selalu muncul iri hati satu sama lain dan mungkin kedengkian inilah yang menjudi akar masalahnya. Oleh karena itu, berapa pun akan saya bayar untuk mencari Luke hari ini juga! Saya tidak yakin Luke pergi dari rumah, tidak dengan alasan yang jelas. Yang saya banggakan darinya sikapnya yang rasional dan kemauan yang keras. Kalau tidak pacaran dengannya, saya mungkin belum berani menikah.”
Luke memang tidak ditemui di penjuru kota ini.
Luke setelah tiga hari pulang ke rumah dan Luke bercerita, “Waktu itu saya merasa gerah, seorang anak kecil membimbing saya untuk keluar dari rumah ini. Saya berpikir untuk menghibur anak ini. Saya kira dia salah satu anak dari keluarga besar kami. Untuk menghiburnya, kami menaiki becak yang parkir di depan rumah, dengan harapan saya akan kembali pukul 14.00 WIB sebelum menikah. Ini sensasi yang luar biasa, saya dan anak kecil itu merasa bahagia. Kami ke sebuah taman anak- anak minum es krim dan saling memakai ayunan. Kemudian setelah hampir pukul 16.00 WIB saya sadar sudah terlambat untuk pulang ke rumah dan anak itu sudah pergi entah ke mana, sehingga saya panik mencarinya.”
“Jadi, saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun, saya mencari anak itu yang tadinya cuma pamit sebentar. Saya pikir orangtuanya pasti akan kehilangan anak itu, kalau tidak saya temukan dirinya. Saya tentu bersalah! Walaupun saya tahu saya harus pulang untuk menikah dengan Indra. Ya, seharusnya anak itu tidak pergi dari sisi saya, sehingga saya dengan dia bisa pulang ke rumah dan kemudian jadi pengantinnya Indra, dengan kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh seluruh keluarga besar saya.”
“Anak itu tetap tidak diketemukan, saya menangis. Saya cemaskan anak itu. Kalau tidak bisa diketemukan malam ini, saya sangat berdosa. Pasti orangtuanya sedang panik mencarinya. Seharusnya, saya melaporkan kehilangan anak ini pada keluarga dan polisi. Tapi, saya merasa ketakutan dan berharap setiap saat anak itu akan muncul lagi dan kita bersama akan melewati hari-hari yang lebih bahagia.”
Semua orang tidak mempercayai omongannya. Kedua orangtuanya merasa dipermalukan. Sementara itu, pacar Luke menyatakan mereka sekeluarga merasa dipermalukan dan tidak bisa lagi meneruskan hubungan ini.
Luke berulang-ulang bilang, “Kalau pernikahan itu tidak jadi, saya tidak bisa disalahkan. Waktu itu saya dan anak kecil tersebut begitu bahagia dan saya begitu panik karena tiba-tiba anak itu tidak berada di sisi saya. Seharusnya, Indra menganalisa masalah ini dahulu, dengan lebih tenang, sebelum memutuskan hubungan kita. Kami masih saling mencintai.”
Penduduk kota kami membicarakan gagalnya pernikahan itu berhari-hari. Sebagian orang menganggap keluarga Hendrawan kurang melengkapi sesajennya, ketika akan menikahkan dengan adat Malangan, sehingga penghuni halus jadi marah-marah. Seharusnya keluarga Hendrawan bikin selamatan untuk menyucikan tempat pernikahan itu terlebih dahulu. Penduduk kota kami percaya untuk memakai adat Malangan yang lengkap harus memakai sesajen, untuk melewati proses demi proses dari mulai widhodharen, temu, sampai selesainya pernikahan tersebut.
Sementara itu, beberapa teman Luke maupun Indra merasa heran, mengapa pengantin minggat, padahal mereka saling mencintai? Dan mereka berdua begitu mantap untuk menikah, sekalipun kuliah mereka berdua belum selesai.
Kita membicarakan itu selama berhari-hari sehingga tak tahu lagi bagaimana kabar Luke sebenarnya, yang menurut beberapa orang, tidak ketahuan ke mana perginya.
Kemudian, kalau kita melewati rumah Luke, tampak pagar dan dokar yang berwarna ungu. *
Malang, 2004