teks

selamat datang di blog saya

Sabtu, 29 Januari 2011

Perhitungan (dari beberapa kumpulan sajak Sitor Situmorang)

Perhitungan
Buat Rivai Apin

Sudah lama tidak ada puncak dan lembah
Masa lempang-diam menyerah
dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian

Aku belum juga rela berkemas
Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan
dada?
Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong

Keyakinan dulu manusia bisa
hidup dan dicintai habis-habisan
Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali
kuburan sendiri

Rebutlah dunia sendiri
dan pisahkan segala yamg melekat lemah
Kita akan membubung ke langit menjadi bintang
jernih sonder debu



Dia dan Aku
Sitor Situmorang

Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta?
- Bukankah udara penuh hampa ingin harga? -
Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini
Tapi jangan sampai terbakar sekali

Akankah kita utamakan percakapan begini?
- Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? -
Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati
Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi

Bukankah dada hamparkan warna
Di pelaminan musim silih berganti
Padamu jua kelupaan dan janji

Akan kepermainan rahasia
Permainan cumbu-dendam silih berganti
Kemasygulan tangkap dan lari



Matahari Minggu


Di hari Minggu di hari iseng
Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota

Di hari Minggu di hari iseng
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas

Di hari panas tak berwarna
Seluruh damba dibawa jalan

Di hari Minggu di hari iseng
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima

Surat Kertas Hijau
Sitor Situmorang

Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh

Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
mengimbau dari seberang benua

Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan

Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan

Kebun Binatang

Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang, boneka dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Si anak ini punya ketakutan

Hari-hari kemarin
Punya keinginan
Berumah ufuk, ombak menggulung

Hari-hari kandungan
Tolak keisengan
Ramai-ramai di kebun binatang

Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan

Hari-hari datang
Hari kembang di kebun binatang
Hari bersenang
Pecah dalam balonan

Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan


Amoy-Aimee
Sitor Situmorang

Terbakar lumat-lumat
Menggapai juga lidah ingin
Api di pediangan

Terkapar sonder surat
Mati juga malam dingin
Lahirnya hari keisengan

Mari, cabikkan malam Amoy
Jika terlalu – ingin malam ini
Besok ada mentari sonder hati

Belum apa-apa hampa begini
Jauh dalam terowongan nadi
Berperang bumi dan sepi

Lereng Merapi
Sitor Situmorang

Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini
Aku Akan rindu balik pada semua ini
Sunyi yang kutakuti sekarang
Rona lereng gunung menguap
Pada cerita cemara berdesir
Sedu cinta penyair
Rindu pada elusan mimpi
Pencipta candi Prambanan
Mengalun kemari dari dataran ….
Dan sekarang aku mengerti
Juga di sunyi gunung
Jauh dari ombak menggulung
Dalam hati manusia sendiri
Ombak lautan rindu
Semakin nyaring menderu ….

Kaliurang (Tengah Hari)
Sitor Situmorang

Kembali kita berhadapan
Dalam relung sepi ini
Dari seberang lembah mati
Bibirmu berkata lagi
Napasmu mengelus jiwaku
Tersingkap kabut Dataran
Dan kutahu di tepi selatan
Laut ‘manggil aku berlayar dari sini

Tungguhlah aku akan datang
Biar kelam datang kembali
Dengan angin malam aku bertolak
Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang
Mati, berarti kita akan bersatu lagi.

TAMASYA BATU-BATU KARANG LEMBAH
(Upacara)


untuk Atun di usia 75 (Atun - nama kecil Ramadhan KH)

ini aku datang lagi ziarah
tertegun menatap dari lereng lembah
melayangkan pandang khayal batu-batu karang
melayangkan pandang khayal batu-batu karang
aral melintang sekujur dasarnya membentang

tamasya jagadraya (masih wacana)
lukisan citra sang arsitek borobudur yang baka
lantuman lagu panen abadi
yang memadukan hidup dan mati

sambil sadar-aku ke jakarta akan kembali
(lagi pula) rindu Paris bisa bangkit lagi
sambil terangkat hanyut irama tarian puak
saat tubuhku seluruh mengirup serempak

baubauan panen semesta
menuju jagadraya

Minggu, 23 Januari 2011

Racun kritikus

oleh :Patrick Suskind

PADA pameran perdananya, seorang gadis dari Stuttgart yang menggambar sketsa dengan indah mendapat komentar dari seorang kritikus yang sesungguhnya tak bermaksud buruk, bahkan berniat menyemangatinya. Kritikus itu berkata, "Yang Anda lakukan menarik dan Anda memang berbakat, tapi karya Anda belum menunjukkan kedalaman."

Perempuan muda itu tak paham apa yang dimaksud oleh sang kritikus dan segera melupakan perkataannya itu. Namun, dua hari kemudian tulisan tentang pameran itu muncul di koran, ditulis oleh kritikus tersebut. Di dalamnya dia menyatakan, "Seniman muda itu berbakat dan pada sekali pandang karyanya tampak menyenangkan. Namun, sayangnya dia tak memiliki kedalaman."

Si perempuan muda kini mulai memikirkan soal itu. Dia menatap sketsa-sketsanya yang baru dipamerkan dan memeriksa karya-karya lamanya. Dia melihat seluruh karyanya, termasuk yang sedang dia kerjakan. Lalu, dia mengencangkan tutup botol tintanya, mencuci penanya, dan pergi berjalan-jalan.

Pada malam itu dia diundang menghadiri sebuah acara. Orang-orang di acara itu seakan-akan telah membaca tulisan di koran tentang karyanya dan berulang-ulang mengatakan bahwa sketsanya mampu membangkitkan rasa senang dalam sekali pandang, juga bahwa dia memang berbakat. Namun, dari gumaman di belakang dan dari mereka yang memunggunginya, perempuan muda itu dapat mendengar bisik-bisik, "Tak ada kedalaman. Itulah. Dia tidak jelek, tapi sayangnya dia tak memiliki kedalaman."

Sepanjang minggu itu sang seniman muda tak menggambar apa pun. Dia duduk diam di flatnya, merenung, dengan hanya satu pertanyaan di benaknya yang merengkuhnya seperti gurita dan melahap segala sisa isi kepalanya, "Mengapa aku tak memiliki kedalaman?"

Pada minggu kedua dia mencoba menggambar kembali, tapi hanya mampu menghasilkan coretan-coretan kacau. Terkadang dia bahkan tak mampu membuat satu titik pun. Akhirnya, dia begitu gemetar sehingga dia bahkan tak mampu mencelupkan ujung penanya ke dalam botol tinta. Lalu, dia terisak dan menangis, "Ya, memang benar, aku tak memiliki kedalaman!"

Pada minggu ketiga dia mulai membuka-buka buku-buku seni rupa untuk mempelajari karya-karya para seniman lain. Dia juga mulai menjelajahi galeri-galeri dan museum-museum seni. Dia membacai buku-buku tentang teori seni rupa. Dia pergi ke toko buku dan meminta pramuniaga membawakannya buku paling dalam tentang seni rupa yang ada di toko itu. Dia diberi sebuah buku karya Tuan Wittgenstein yang terkenal. Namun, seniman kita tak mampu memahaminya.

Di sebuah pameran di Museum Kota ("500 Tahun Sketsa Eropa"), dia menggabungkan diri dengan serombongan anak sekolah yang tengah dipandu berkeliling museum oleh guru seni rupa mereka. Tiba-tiba, di depan satu etsa karya Leonardo da Vinci, dia maju selangkah dan bertanya, "Maaf, apakah menurut Anda karya ini memiliki kedalaman?" Guru seni rupa itu tersenyum kepadanya dan menjawab, "Nak, jika kau ingin mengujiku, kau harus melakukannya lebih baik daripada itu!"--dan seisi rombongan pun meledak tertawa. Perempuan muda itu pulang dengan berurai air mata.

Seniman muda itu jadi semakin muram. Dia makin jarang meninggalkan studionya. Namun, dia juga tak mampu berkarya. Dia minum obat pencegah tidur, tapi dia tak tahu mengapa dia harus tetap terjaga. Ketika dia merasa lelah, dia tertidur di kursinya, seakan ia takut tidur terlalu pulas jika pindah ke ranjang. Dia juga mulai minum minuman keras dan terus merokok sepanjang malam. Dia tak lagi menggambar.

Ketika seorang pedagang barang seni dari Berlin meneleponnya untuk meminta beberapa sketsanya, dia berteriak ke gagang telepon, "Jangan ganggu aku! Atau tak punya kedalaman!"

Sesekali dia bermain lilin mainan, tapi tak pernah membuat sesuatu yang khusus dengannya. Dia hanya mengubur ujung-ujung jemarinya di dalamnya atau membuat pangsit-pangsit mungil dengan benda mainan itu. Dia mengabaikan diri sendiri. Dia tak lagi menjaga penampilannya dan membiarkan flat yang ditinggalinya berantakan.

Kawan-kawannya cemas. Mereka bilang, "Kita harus menolongnya. Dia sedang menderita depresi. Mungkin dia tengah mengalami krisis kepribadian atau sedang menghadapi masalah artistik. Atau mungkin dia sedang tak punya uang. Jika itu krisis kepribadian, tak ada yang bisa kita lakukan. Jika itu masalah seni, dia harus bisa mengatasinya sendiri. Jika masalahnya uang, kita bisa mengumpulkan uang untuknya, tapi jangan sampai dia merasa malu."

Jadi, mereka memutuskan untuk mengundang perempuan seniman itu untuk makan malam dan menghadiri pesta. Namun, dia selalu menolak, beralasan sedang sibuk berkarya. Padahal, dia tak pernah berkarya lagi. Alih-alih, dia duduk mematung di kamarnya, menatap lurus ke depan seraya meremas-remas lilin mainan.

Suatu kali, dia bersedia menerima undangan kawan-kawannya. Setelah acara, seorang lelaki muda yang tertarik kepadanya ingin mengajaknya pulang dan tidur bersamanya. Perempuan itu bilang kepada lelaki yang menaksirnya bahwa ajakannya itu sangat menarik karena dia juga sebenarnya tertarik kepada lelaki itu. Namun, si perempuan meminta lelaki itu menyiapkan diri secara total terhadap satu kenyataan bahwa dia tidak dalam. Begitu mendengar hal ini, si lelaki segera meninggalkannya.

Perempuan muda yang dulu menggambar sketsa dengan begitu indah itu kini sungguh tampak kacau balau. Dia tak lagi pergi keluar rumah dan berhenti berhubungan seks. Dia jadi gemuk karena tak pernah berolahraga. Sementara, alkohol dan obat-obatan membuatnya tampak menua sebelum waktunya. Flat tempat tinggalnya makin berantakan dan tubuhnya mulai menebarkan bau busuk.

Dia mewarisi harta sejumlah 30.000 mark setelah kematian orangtuanya. Dia hidup bergantung pada uang ini selama tiga tahun. Suatu kali pada masa ini dia bepergian ke Napoli--tak seorang pun tahu untuk apa itu. Siapa pun yang mencoba berbicara dengannya hanya menerima gumaman tak terpahami sebagai jawaban.

Ketika dia telah menghabiskan seluruh uang warisan itu, dia merobek-robek dan melubangi seluruh sketsa yang pernah dibuatnya, memanjat puncak menara pemancar sebuah stasiun televisi setinggi 139 meter, dan melompat. Namun, karena angin bertiup sangat kencang pada hari itu, dia tak jatuh membentur lapangan tanah liat di bawah menara. Alih-alih, dia terbawa angin melintasi sebuah padang gandum dan terdampar di tepi hutan setelah membentur pohon-pohon besar. Dia tewas seketika.

Tabloid-tabloid picisan menyambut peristiwa ini dengan penuh syukur. Kasus bunuh diri ini, rute terbawa angin yang tak biasa, fakta bahwa ini terjadi pada seorang perempuan seniman muda yang pernah amat menjanjikan--semua itu membuatnya menjadi berita menggemparkan dan laku.

Saat flatnya diperiksa, kondisinya amat kacau. Ribuan botol kosong berserakan; tanda-tanda keruntuhan tampak di mana-mana; sketsa-sketsa terkoyak; gumpalan lilin mainan menodai dinding; bahkan ada bekas tinja menumpuk di sudut-sudut ruangan!

Koran-koran bukan hanya meliputnya di berita utama halaman satu, tapi juga menjadi kepala berita halaman dua dan tambahan reportase di halaman tiga!

Di rubrik ulasan sebuah koran, sang kritikus yang tadi sempat kita sebut menulis satu paragraf singkat yang merenungkan mengapa perempuan muda itu mengalami akhir yang menyedihkan. Dia menulis, "Sekali lagi kita menyaksikan--setelah terjadinya sebuah sebuah peristiwa mengejutkan--seorang muda yang berbakat tak mampu memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri di panggung kehidupan. Tidak cukup bila seorang seniman memiliki dukungan publik dan inisiatif pribadi, tapi hanya sedikit pemahaman atas atmosfer seni. Pastilah benih dari akhir yang tragis ini telah ditanam sejak lama. Tidakkah itu bisa dicerna dari karya-karya awalnya yang naif? Itu mencerminkan agresi monomaniak yang melanda diri sendiri dan dorongan introspektif yang berkubang menjemukan serupa spiral di dalam batin--dua-duanya sungguh emosional dan tak berguna, sekaligus mencerminkan pemberontakan terhadap takdir. Saya menyebutnya kehendak-memiliki-kedalaman yang berakhir secara fatal."

Patrick Suskind adalah penulis Jerman. Novelnya, Das Parfum, telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Cerita di atas dialihbahasakan oleh Anton Kurnia dari terjemahan Inggris, Peter Howarth.

Sabtu, 15 Januari 2011

Warung Mak Tun

Oleh :Rangga Agnibaya

Sore itu, warung Mak Tuniah –atau biasa dipanggil Mak Tun, masih tampak lengang. Sudah biasa memang, orang ramai-ramai mendatangi warung Mak Tun pada malam hari, selepas magrib.
Warung Mak Tun jauh dari kesan negatif. Di situ yang ada hanya kopi pahit dan minuman hangat. Ada juga aneka gorengan dan makanan ringan lainnya. Suasana di warung Mak Tun sangat gayeng sekali. Setiap orang bebas berbicara tentang apa saja yang ingin dibicarakan, mulai dari omongan masalah politik sampai omongan yang paling cabul pun ada.

Berbicara mengenai warung Mak Tun, orang pertama kali akan mengingat Pak Dullah. Pak Dullah adalah suami Mak Tun yang mempunyai sejarah kelam di kampung ini. Dulu Pak Dullah adalah seorang pemimpin gembong pencoleng yang terkenal meresahkan warga. Setiap hari ada saja warga yang melapor telah menjadi korban dari gembong Pak Dullah itu. Aktivitas Pak Dullah meresahkan warga itu telah dijadikan profesi olehnya untuk menanggung beban keluarga. Tapi sekarang jamannya telah berganti.

“Mak, kopi satu.” dengan mulut penuh pisang goreng Soleh berkata pada Mak Tun.
“Jangan terlalu pahit ya Mak.” Belum habis pisang goreng yang ada di mulutnya, Soleh mengambil satu pisang goreng lagi dari nampan yang penuh dengan aneka gorengan. Mak Tun tidak menjawab, hanya tersenyum paham.

“Masih sibuk demo Leh?” kata Mak Tun seraya mengangsurkan kopi panas pada Soleh.
“Masih Mak, sebab yang didemo tetap nggak mau nurut.” Soleh menuang kopi panasnya pada lepek.
“Nurut sama siapa Leh? terus yang didemo siapa sih Leh?” Mak Tun berkata sambil terus berada di depan penggorengan. Namun sesekali dia bergerak ke meja di sampingnya, untuk menyiapkan adonan berikutnya.
“Ya nurut sama tuntutan kami Mak. Tempat hiburan malam yang kami demo itu, menurut desas-desus memang sudah kelewatan. Ada penari telanjanglah, narkoba, seks bebas, pokoknya macam-macam deh Mak,”
“Kan ada polisi Leh. Kenapa tidak diserahkan saja pada polisi?”
“Aah, polisi lambat Mak, tidak bisa diandalkan.”
Mak Tun tidak segera menanggapi penjelasan Soleh. Ada yang bergejolak dalam hatinya, tapi tak dapat disampaikan.
“Mak, Mak, Mak”. Soleh membuyarkan lamunan Mak Tun.
“I..iya…ada apa Leh?”
“Kok bengong sih Mak”
“Ah enggak kok Leh.” Mak Tun mengangkat gorengan yang telah matang dari atas penggorengan. Mak Tun masih terus berpikir, mudah-mudahan apa yang diperjuangkan oleh Soleh itu memang untuk kebaikan bersama, dan mewakili semua orang.
“Bagaimana kabar Pak Dullah, Mak?”
“Allhamdulillah Leh, sudah dua minggu ini bekerja”
“Syukur, kerja di mana Mak?”
“Yang Mak tahu sih jadi pesuruh, yang penting nggak seperti dulu lagi. Ya, mudah-mudahan benar Leh.”
“Ya, mudah-mudahan Mak. Memang di jaman seperti ini, kerja apa saja tidak jadi masalah yang penting halal. Negara kita ini lagi busuk, kayak pejabatnya.”

Malam semakin larut, semakin banyak saja orang yang datang ke warung Mak Tun. Seperti biasa, minum teh atau kopi, makan gorengan, sambil melepaskan segala unek-unek, pendapat, dan cerita dengan sesama pengunjung warung. Dan sesekali derai tawa mereka membangunkan malam yang tengah terlelap.

***

Matahari telah lepas landas sejauh sepenggala tangan dari garis cakrawala. Sinarnya yang tadi terasa hangat di kulit, perlahan mulai terasa menyengat. Tapi angin masih terus berderai, membuat kawanan pohon bambu bergoyang syahdu. Orang-orang hilir mudik di depan warung Mak Tun yang masih tutup. Sapaan hangat penuh basa-basi antar warga telah menjadi pemandangan biasa di negara yang penuh kepura-puraan ini.

Pak Dullah duduk termenung di balai-balai yang ada di samping warung, ditemani segelas kopi panas dan satu bungkus rokok. Asap terus mengepul dari mulutnya yang berhias kumis yang lebat. Kumis dari mulut tua itu telah didominasi oleh warna putih keperakan. Garis wajahnya tak lagi menampakkan kesangaran, yang dulu membuat warga kampung ini selalu bergidik jika berpapasan dengannya. Yang ada kini hanya seorang tua yang telah sadar, bahwa hidup itu seperti bermain teater, harus bisa memainkan beberapa lakon, baik susah, senang, jahat, atau baik, tergantung Sang Sutradara Yang Maha Agung.

Mata Pak Dullah memandang lurus ke depan, tapi kosong tak punya fokus. Ada yang berkecamuk dalam hatinya. Di dalam otaknya jelas terbayang masa-masa di kala dia masih menjadi sosok yang disegani di kampung ini. Menjadi pimpinan pencoleng merupakan suatu hal yang tidak pernah disesali oleh Pak Dullah. Sebab bagi Pak Dullah, bukan dirinya yang memilih jalan yang dikutuk itu, jangankan pilihan, malahan Pak Dullah merasa tidak punya pilihan. Keadaan yang telah mengutuk Pak Dullah menjadi bajingan. Keadaan susah, tertekan, ekonomi yang sulit, dan yang paling berjasa besar menjadikan Pak Dullah seorang bajingan adalah keadaan negara yang tengah busuk, sebab dikerat habis-habisan oleh para kutu busuk, sehingga semuanya menjadi sulit.

Hanya karena kematian anak satu-satunya, Pak Dullah berhenti dari dunia hitam itu. Sebab orang-orang berkata bahwa kematian anaknya merupakan karma dari apa yang selama ini dia perbuat.
Seperti biasa, selepas magrib warung Mak Tun kembali ramai. Suara canda dan gelak tawa sesekali mewarnai suasana yang benar-benar gayeng itu.
“Mak, seperti biasa”
“Kopi, tapi tidak terlalu pahit.” Jawab Mak Tun tanpa memandang Soleh.
“Siiip….oh ya Mak, tadi pagi saya lihat Pak Dullah sedang melamun di samping warung, apa tidak bekerja?”
“Saya tidak tahu Leh, dia bilang tempatnya bekerja sudah tidak membutuhkan tenaganya lagi. Tapi kepastian dia bekerja lagi atau tidak, baru ditentukan besok. Dan kalau benar dia tidak bekerja lagi, kami akan balik ke desa saja jadi petani.”
“Loh, Mak, itu tidak bisa didiamkan saja. Kita rakyat kecil jangan mau diperlakukan seenaknya saja. Habis manis sepah dibuang. Bilang sama Pak Dullah, itu bisa diperjuangkan, selama kita mau. Kalau perlu kita ganyang habis-habisan pihak-pihak yang membuat hidup kita jadi susah.”
“Saya tidak tahu Leh masalah seperti itu. Biar saja orang-orang yang membuat hidup kami jadi susah itu mendapat balasannya kelak.”
Beberapa saat suasana antara mereka menjadi hening. Sedang Orang-orang masih ramai dengan obrolan mereka masing-masing.
“Demomu bagaimana Leh?” Mak Tun memecah keheningan.
“Belum ada perkembangan, Mak.” Kata Soleh, enggan.

***

Teriknya matahari benar-benar membakar kulit. Bahkan angin yang berhembus pun terasa hangat di tubuh. Tapi semua itu tak membuat semangat puluhan orang yang sedang berdemo menjadi kendur. Mereka terus berteriak dengan lantang menyampaikan aspirasinya, tak peduli dengan debu-debu yang membuat kerongkongan mereka menjadi tersekat. Barisan pendemo itu terus merangsek maju mendekati gedung. Sosok Soleh tampak di tengah-tengah puluhan pendemo itu. Dengan ikat kepala dan berbagai aksesoris yang menunjukkan identitas golongannya, dia berteriak keras seperti yang dilakukan oleh pendemo yang lain. Lalu tiba-tiba terdengar sebuah komando yang cukup lantang dari salah satu pendemo.
“Maju terus, hancurkan kekuatan Kafir.”
Masa akhirnya semakin tidak terkendali. Menghancurkan segala sesuatu yang mereka temui di depan gedung itu.
“Serbu…….” Dan terjadilah perang dunia ketiga dengan dalih menegakkan kebenaran. Batu-batu berterbangan menghujani kaca-kaca gedung. Hingga hancurlah bagian depan gedung tersebut.
***
Malam menjelang, tapi hanya sedikit bintang-bintang yang sudi menemani bulan malam itu. Burung malam bernyanyi gelisah, dan warna pekat pada malam terasa lebih pekat dengan celoteh gagak yang terdengar jarang-jarang dari kejauhan. Jangkrik berkerik ramai, entah sedang berpesta atau sedang berdoa. Hanya suara radio yang berasal dari pos kamling dekat kuburan, terdengar sebagai nada sumbang dalam orkestrasi alam itu.Malam itu warung Mak Tun tutup, sehingga banyak orang yang akan ngwarung di warung Mak Tun kecele dan kembali pulang. Mak Tun sendiri berada di rumah bersama suaminya, Pak Dullah. Mereka tengah mengemasi pakaian dan barang-barang mereka untuk dibawa pulang ke desa besok pagi.

“Pak, apa tidak bisa diperjuangkan dulu.” Kata Mak Tun sambil terus mengemasi barang-barang.
“Apanya yang diperjuangkan toh bune, wong memang tempat bapak bekerja sudah tidak memerlukan tenaga bapak lagi kok. Mau gimana lagi? memang seperti inilah keadaannya.”
“Tapi kata Soleh, kita jangan mau diperlakukan seenaknya saja. Habis manis sepah dibuang”
“Soleh siapa toh bune?’
“Itu loh pak, Soleh anaknya Pak Diman”
“Oo”
“Atau kita ganyang saja tempat bapak bekerja, sebab sudah sewenang-wenang kepada kita. Kita minta bantuan sama Soleh saja.”

Mak Tun berhenti mengemasi barang. Raut wajahnya jadi sangat serius. Dia berdiri dengan gelisah, lalu duduk tepat di sebelah suaminya itu.
“Bune, bune kamu itu ngomong apa toh.” Pak Dullah menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. “Aku kasih tahu ya bune, kita tidak perlu repot-repot mengganyang tempat bapak bekerja, sebab perusahaan itu sudah diganyang dulu sama orang-orang yang menganggap tempat bapak bekerja kafir, malah sudah diporak-porandakan gedungnya. Dan karena itulah bapak kehilangan pekerjaan, tempat bapak bekerka tidak memerlukan pegawai lagi, sebab dipaksa tutup. Jadi bukan karena mereka sewenang-wenang. Jangankan bapak yang pegawai rendahan bune, wong pegawai atasan saja kehilangan pekerjaan kok.” Mak Tun terperangah mendengarkan penjelasan suaminya itu. Untuk beberapa saat tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Ooalaaah…tega benar orang-orang itu. Gara-gara mereka, banyak orang yang jadi susah.” Mak Tun membatin dalam hati. Malam semakin pekat dan sunyi, nyanyian burung malam terdengar merdu di telinga Mak Tun yang sedang gundah gulana.

***
Sudah tiga hari Soleh mendapati warung Mak Tun tutup, dia sendiri tahu kalau Mak Tun telah pulang ke desa, sebab Pak Dullah telah kehilangan pekerjaannya. Begitu juga orang-orang lainnya, mereka merasa kehilangan tempat favorit mereka untuk bersantai selepas bekerja seharian.
“Kasihan Mak Tun dan Pak Dullah, mereka menjadi korban dari kepentingan orang lain. Terkutuklah orang-orang yang membuat hidup mereka menjadi susah itu.” Soleh membatin dalam hati ketika melewati warung Mak Tun yang sunyi. Dan sekali lagi terdengar suara ribuan jangkrik yang ramai berkerik, entah sedang berpesta, berdoa, atau mungkin mencibir.

Kang Soleh Naik Becak Menuju Syurga

Oleh : Rudi Setiawan

Pada hari penghisaban (penghitunngan atas amal perbuatan manusia) sedang mengantre empat orang manusia dengan berlainan profesi sewaktu masih hidup di dunia.

Manusia pertama bernama Alim, yang konon sewaktu masih hidup di dunia adalah seorang kyai yang sangat terkenal keluasan ilmunya dan kesalehan ibadahnya serta mempunyai ribuan santri.

Manusia kedua bernama Somad, yang mana sewaktu masih hidup di dunia berprofesi sebagai Kepala Desa yang sangat disayangi oleh warganya karena kejujuran dan keadilannya.

Manusia ketiga bernama Badri, dimana sewaktu hidupnya merupaka seorang juragan yang sangat kaya raya serta terkenal pula kedermawanannya dan kemurahan hatinya dalam menolong dan membantu orang-orang yang kesusahan.

Manusia keempat bernama Soleh, yaitu ketika hidupnya adalah merupakan seorang tukang becak yang biasa mangkal di terminal.

Keempatnya sewaktu didunia tinggal di desa yang sama, meskipun bukan tetangga yang saling berdekatan rumahnya.

Dan kebetulan pula kematian merekapun hampir bersamaan waktunya, meskipun dari sebab yang berbeda-beda.

Kyai Alim, meninggal dunia karena sakit sepuh (tua) karena beliau memang ditakdirkan Allah SWT berusia lanjut, hingga kira-kira 95 tahun.

Lurah Somad, meninggal karena terbunuh oleh seorang pesaing politiknya yang iri dengki melihat pengaruh Lurah Somad yang demikian kuat pada semua warganya. Pesaingnya ini merasa dendam akibat dikalahkan sewaktu PILKADES, padahal dia sudah mengelurakan uang demikian banyak untuk menyuap dan membayar penduduk supaya memilihnya.

Haji Badri (demikian biasanya orang menyebutnya), meninggal akibat sakit komplikasi yang membuatnya harus menginap selama sebulan di sebuah rumah sakit ternama di sebuah kota besar ibukota provinsi.

Kang Soleh, meninggal dunia disebabkan karena kecelakaan di jalan raya, dimana sewaktu kang Soleh pulang dari mangkalnya di terminal, ditengah perjalanan sebuah truk tronton dengan kecepatan tinggi menabraknya dari belakang yang mengakibatkan dia tewas seketika di jalan itu.

Selasa, 11 Januari 2011

Sebuah Luka Bagi Sang Demonstran

Inilah representasi rakyat kecil yang aku bela, secuil kehidupan di sederet gerbong kereta api kelas ekonomi. Pertama kali kuinjakkan kaki di lantai kereta ini, aku telah mencium bau rakyat. Hawa yang panas dan suasana kumuh mempertegasnya. Aliran deras pedagang asongan dan teriakan teriakannya yang cerewet, lucu bahkan cabul, memberikan kepusingan tersendiri.

“Koran, koran, koran, koran… Koran Oom?”

“Cel, pecel. Pecelnya bu? Pak… Pecel, pecel…”

“Kacang ibu rambutan, kacang ibu rambutan, telor bapak rambutan…”

“Akua, akua… Teh kotak, kolonyet, pe pe o…”

Kuperhatikan, sepanjang aku berjalan mencari tempat duduk, kaca kaca yang menjadi dinding kereta ini tak satupun yang bersih. Semuanya kotor dan berdebu. Juga jok jok bangku dan meja kecil dengan warna karatnya. Cermin kesehatan rakyat.

“Bang, bang, korannya bang!” untuk tidak jatuh terbengong bengong saja aku mencoba membeli koran.

“Ini, Mas. Seratus rupiah saja!”

“Seratus rupiah?!” tanyaku.

“Ini koran lama, Mas. Buat tikar duduk.” jawab si tukang koran acuh tak acuh.

“Yang baru?”

“Wah, saya nggak jual.” sembari jawab si tukang koran ngeloyor pergi, seolah olah tahu betul bahwa aku tak lagi berminat pada koran korannya.

Kampung demi kampung berlari bagai gambar pemandangan yang panjang sedang digulungkan dari arah timur yang entah di mana persisnya. Sawah sawah yang kekeringan air, bukit bukit kecil yang tandus, genangan lumpur di lobang lobang tanah yang bergerenjul batu batu serta suara suara binatang di sepinya makam makam menawarkan selera abadi bagi perjalanan ini.

Di dalam kereta aku telah bermandi keringat. Orang orang lain juga. Ada percakapan dalam bahasa Jawa, Sunda dan lebih sedikit lagi dalam bahasa Indonesia. Dengan fokus yang bermacam macam pula, dari lingkup yang remeh sekali semacam pembicaraan kerumahtanggaan sampai ke hal hal yang menjurus politik(?).

“Toh rakyat tidak sebodoh yang diperkirakan banyak ‘orang pintar’,” benakku berkata. “Mereka punya bergudang gudang permasalahan yang mereka coba jawab sendiri. Apa itu bukan suatu kecerdasan?”

Dari pikiran itu berkembang nostalgia nostalgia petualanganku sebagai salah seorang yang sering disebut oleh banyak pihak sebagai demonstran. Berawal dari persiapan persiapan patriotik yang kulalui bersama kawan kawan sesama mahasiswa, mengetik naskah naskah yang kontroversial, mengecat spanduk serta mencorat coret kertas karton dengan kata kata advokatif bahkan terkadang radikal, sampai meneriakkan yel yel pembelaan dan gelar demonstrasinya itu sendiri.

Lalu kubandingkan jerih payah itu dengan keadaan rakyat yang sebenarnya, yang terpampang kini di depan mata kepalaku sendiri. Ada rasa tak percuma. “Ya, perjuangan perjuanganku mempunyai akar yang kuat, yakni kesengsaraan rakyat dan ketertindasannya dalam perikehidupan yang lebih besar. Lebih penting lagi, adalah ketulusan dan kejujurannya.” Lihatlah, mereka mempunyai wajah yang pasrah, penuh sabar dan jauh sekali dari bayangan bayangan pamrih. Tetapi struktur yang diciptakan bagi keseharian mereka, penuh lorong yang bengis dan jahat. “Apakah, bila Anda seorang manusia dengan hati yang orisinal manusia, melihat hal itu semua hati Anda tidak tergerak sedikitpun untuk membela? Atau tidakkah merasa bersyukur dan berbangga bahwa Anda, dalam satu ruang waktu tertentu pernah melakukan hal hal yang bisa membela keadaan mereka?” Berat juga ternyata mempunyai pikiran pikiran besar seperti itu. Karena beratnya untuk beberapa menit aku pun tertidur.

+++

Setelah mendengar derit kereta yang sepertinya berhenti secara tiba tiba, aku membuka mata. Menggeliat sebentar, lalu melihat ke luar jendela. Sebuah stasiun bangunan tua ramai dengan hilir mudik manusia. Bangku di depanku persis sudah kosong dari orang yang mendudukinya tadi. Disamping kiriku, nenek kurus yang mulutnya kembung oleh susur, sebentar menoleh kepadaku. Kemudian tanpa menawarkan kesan apa apa kembali melihat ke luar jendela, melihat hiruk pikuk yang mungkin pernah dilalui dalam bagian tertentu usianya.

Tiba tiba bahu kananku ada yang menepuk. Halus tetapi memberat pada akhirnya. Aku menoleh. Seorang lelaki kurus dengan muka senyumnya, nyengir. Di bahu kirinya tergantung tas kumal yang berbau anyir.

“Depan kosong ya, Mas ya?” mukanya masih nyengir.

“Kayaknya kosong,” jawabku.

“Jo, sini kosong, Jo!” ia menarik lengan lelaki yang berada di belakangnya. Lelaki yang dipanggil “Jo” itu menoleh, berusaha menyegarkan tampangnya yang agak kaget.

Dua orang lelaki kini duduk di depanku.

+++

Kini kereta berjalan dengan agak lambat, sengaja mungkin untuk menepatkan waktu tiba di stasiun yang bakal dilalui di depan. Kereta api kelas ekonomi memang harus selalu mengalah terhadap aturan cepat lambatnya kereta api kelas kelas lain. Tidak ada aturan yang pasti dan tersendiri bagi kelas ekonomi.

Bosan dengan segala pikiran yang muncul di otakku, kucoba mengobrol dengan lelaki kurus bermuka senyum itu. Dia menempati bangku persis berhadapan denganku. Pas di lutut celananya terdapat robek yang dengan jelas memperlihatkan luka yang masih baru. Ada darah segar di luka itu, sedangkan di sisi sisi robekan celananya bercak bercak darah mengental hitam.

“Kena apa itu Pak, lututnya?” tanyaku membuka percakapan.

“Wah, ketabrak nih,” jawabnya sambil dengan cepat melihat ke arah lukanya. “Tadi pas saya berangkat ke stasiun.”

“Ooo…” sahutku.

“Saya, dari rumah jalan kaki. Lumayan jauh, Mas. Ada mungkin lima kiloan dari rumah saya ke stasiun,” ia melanjutkan bercerita. Dalam hatiku muncul rasa simpati yang makin besar terhadap nasib rakyat kecil seperti bapak ini. Coba bayangkan, untuk bepergian mereka masih harus berjalan kaki sekian jauhnya, padahal banyak kendaraan yang berlalu lalang hanya berpenumpang satu dua orang. Kemubadziran yang sungguh sungguh.

“Ee, di perempatan jalan, kira kira setengah kiloan lagi sampai di stasiun, tiba tiba ada sedan be em we menyerempet dari belakang. Saya terjatuh. Lutut saya agak terseret di aspal butut. Masih untung tidak banyak yang kena.”

“Terus be em we nya lari?” tanyaku.

“Untungnya nggak.” lelaki itu tersenyum.

“Sekarang ini sudah terlalu biasa, orang nabrak terus lari. Jaman sudah biadab!” umpatku.

“Terus sopirnya bagaimana?” tanyaku lagi.

“Sopirnya keluar dari mobil. Yang menumpang mobil itu sebetulnya dua orang. Sepertinya suami istri. Tapi yang keluar hanya yang laki laki. Wuih, pakaiannya bagus. Pakai jam tangan emas, ada cincin batu yang… wah, gagah pokoknya. Saya yang masih terduduk di aspal jalan, sambil mengaduh aduh diangkatnya. Saya terus saja mengaduh,” dia menceritakan itu dengan gerak tangan dan mimik yang lucu. Sepertinya tidak ada beban dengan kejadian sial yang menimpanya. Ya, begitulah rakyat kecil adanya, tidak pernah menuntut macam macam dan bertele tele. Segala sesuatunya bisa menjadi gampang bila berhubungan dengan rakyat kecil, seperti lelaki kurus ini.

Kemudian dia menoleh kepada kawannya yang dari tadi diam saja. Di mataku tampak kawannya itu adalah orang yang baru kali ini naik kereta, naik ke keramaian yang tak teratur. Dari wajah dan gaya duduknya tidak salah lagi, ia adalah orang yang mudah sekali menjadi bingung.

“Jo! Kamu mau makan ya, Jo. Sudah lapar kan?” tanya dia kepada kawannya.

Jauh dari dugaanku, ternyata kawannya itu bisu. Ia hanya membalas pertanyaan lelaki itu dengan aa uu dan gerak tangan yang tidak jelas.

“Oh, sudah lapar juga toh kamu,” kesimpulan lelaki itu dari aa uu kawannya. Dari tas kumalnya ia keluarkan sebungkus nasi. Lalu diserahkannya pada si bisu.

Ia memandangku lagi sambil menepukkan kedua tangan ke pahanya. “Hheah…” hembus nafasnya.

“Terus yang punya be em we itu ngasih apa apa sama Bapak?” tanyaku mencegat lirikan kanan kiri matanya.

“Sebetulnya sopir itu mau memberi saya…” ia berhenti sejenak, lalu menggelengkan kepala sedikit dan mulutnya berbunyi ‘ck’.

“Tapi saya dengan cepat menolaknya. Kebetulan si Sarjo ini menarik saya untuk dipapahnya berjalan.” matanya melihat ke si bisu, yang ternyata bernama Sarjo itu. Sarjo sedang lahap menyuapkan nasi bungkus yang berwarna kuning oleh zat pewarna dengan lauk ikan asin ke mulutnya.

“Jadi Bapak tidak menerima apa apa dari be em, eh… dari yang punya be em we itu?” selidikku.

“Yaah…” jawabnya sambil tersenyum dan membuka tangannya. Bisa dipastikan, bagaimana makin meningkatnya rasa simpatiku padanya, pada seluruh rakyat kecil yang dalam niat, pikiran pikiran, ucap, teriakan, yel yel dan demo demo yang kulakukan aku bela. Kata yaah nya, senyum kecil dan gerak membuka tangannya hanya bermakna satu dalam otakku, ia tak menerima sesuatu. Tepatnya ia tidak berpamrih pada hal hal yang dirasa bukan haknya. Sebegitu besar ia menghargai kenyataan kenyataan, sehingga kecelakaan, ya hanya sebuah kecelakaan, tidak berusaha diruwet dan dilebih lebihkan. Sungguh jarang aku mendengar kenyataan seperti yang kudengar barusan, dimana orang orang lain selalu memanfaatkan peluang sekecil apapun demi mendapatkan uang, ini malah samasekali menolak apa yang sesungguhnya bisa menjadi selayaknya diterima.

Kulihat lagi ia, rakyat kecilku. Tersenyum dengan sinar matanya yang polos. Kubalas ia dengan senyumku yang paling tulus.

“Yaah…,” ia mengulang keikhlasannya. Lalu berkata melanjutkan, “Saya, mm saya harus cepat cepat meninggalkan yang punya mobil itu. Untung si Sarjo ini tindakannya tepat. Coba bayangkan kalau tidak! Wah, pasti ketahuan saya…”

“Ketahuan apa? Seharusnya Bapak mendapatkan sejumlah uang untuk mengobati luka lutut Bapak,” potongku, tidak sabar untuk membuatnya mengerti sedikit tentang hak hak yang seharusnya diperolehnya.

“Soalnya, ketika ia berusaha mengangkat saya, tanpa diketahuinya saya curi dompet di saku belakang celananya. Dan waaah sukses sekali saya hari ini,” kembali ia menggeleng gelengkan kepalanya sambil tangan kanannya menepuk nepuk saku depan celananya. “Bayangkan kalau ketahuan…”

Dan kemudian, terdengar di telingaku suara setengah empuk dari saku celana lelaki itu. Terlihat di mataku senyuman yang amat licik dan kurang ajar. Terasa di bawah tulang paruku sebelah kiri sakit yang mendadak.

Aku tak punya hasrat lagi berbicara…

(Feri Umar Farouk)

Terompet Ayah

Ayah adalah seorang manusia yang cerdas. Jarang sekali orang seperti ayah ini. Bekas pejuang yang tidak menyia nyiakan segala fasilitas yang ditawarkan kehidupan setelah negeri ini mencapai kemerdekaannya. Beliau adalah konglomerat. Termasuk tujuh besar di Asia Tenggara. Beratus perusahaannya di dalam maupun di luar negeri telah jadi benteng yang sangat kuat bagi kedudukannya. Bahkan saking banyaknya perusahaannya itu, ayah sendiri sering lupa apakah ia punya perusahaan tertentu di kota anu. Memang dalam hal ini ayah sering kebingungan. Sehingga saya merasa heran, bagaimana orang yang bingung seperti ayah bisa terus meningkat kehidupannya, bahkan mungkin kalau mau diperbandingkan beliau tidak akan masuk hitungan tingkatan tingkatan kehidupan yang ada di negeri ini. Beliau adalah seorang yang telah keluar dari grafik. Kalau terpaksa mau disertakan dituliskan, nama ayah mungkin ada berkilo kilo meter di luar halaman kertas.

Dan saya? Saya adalah anak keempat, tepat berada ditengah tengah dari tujuh anaknya. Jadi saya punya tiga kakak dan tiga adik. Nama saya Teguh. Entah aspirasi apa yang membuat ayah memberi nama Teguh kepada saya. Saya sendiri bingung, apalagi setelah memikirkan banyak kejadian dalam hidup saya akhir akhir ini. Nama ini telah membentuk karakter, satu bakat atau satu semangat. Tapi sebetulnya kalau ingin sempurna, nama Teguh belum sepenuhnya mewadahi keseluruhan saya, terutama dalam hubungannya dengan ayah. Nama saya seharusnya Pemberontak, Pembangkang atau nama lain semacam itu.

Kenapa saya Pemberontak? Begini ceritanya. Saya memilih citra tersendiri bagi diri saya. Saya tidak pernah mau disetir siapapun, termasuk oleh ayah yang konglomerat besar itu. Anakmu bukan milikmu, itulah alasan yang sering saya lontarkan apabila ayah sudah kelihatan memaksa. Saya memilih baju dengan gaya dan warna tersendiri. Masuk fakultas yang saya pilih sendiri. Meminati hobi yang lain dari yang ayah tawarkan. Pokoknya segalanya lain dari selera kompak ayah, ibu, kakak dan adik saya. Bagi saya gaya dan selera hidup mereka rendah. Materialis. Serakah. Hedonis. Glamour. Hidup yang bermoduskan being is having, menurut buku Erich Fromm yang saya baca. Dan yang terutama membuat saya nekad menyendiri, memilih kubu yang berbalik seratus delapan puluh derajat dengan mereka adalah karena ─ini mungkin akibat saya terlalu terpengaruh kegenitan koran koran dan tulisan lainnya yang saya baca serta omongan beberapa teman di kampus─ konsekuensi konsekuensi menindas dan menyengsarakan dari kegemaran dan rencana rencana besar ayah untuk lebih memakmurkan kami. Ayah, ibu, kakak dan adik adik saya picik. Daya jangkau penglihatan dan pendengarannya sebatas kemakmuran dan kenikmatan keluarga. Menumpuk dan pamer benda benda. Tidak ada urusan dengan kehidupan, kecuali berpusat pada kepuasan dirinya. Kalau saya, berpikir dengan hati dan otak seorang warga dunia, dimana hidup adalah berkorban demi kebahagiaan bersama. Orang orang miskin dan terlantar mendapat tempat yang sungguh layak dalam pikiran saya. Berlebihan? Tidak. Bagi saya, itulah adanya saya.

Ketika masuk fakultas filsafat tiga tahun lalu, ayah menegur saya. “Kamu ini aneh! Masuk ke tempat yang orang orang meninggalkannya.”

Seperti biasa apabila enggan berlama lama berdebat, dengan cuek tingkat tinggi saya menjawab. “Anakmu bukan milikmu!” Beliau seperti biasanya pula tidak pernah marah mendengar jawaban jawaban saya. Mungkin menurut perasaannya, itulah satu satunya kebahagiaan besar yang bisa diberikan kepada saya. Silent is gold for Teguh. Padahal kalau diingat ingat, setiap percakapan, ajakan, teguran dan sapaan dari ayah, dengan semangat yang tak pernah padam pasti saya bantah. Sampai sampai seorang teman merasa khawatir melihat hal ini.

“Ada apa dengan kamu? Lidahmu fasih sekali bila berkata TIDAK!” Untung saja teman saya itu tidak menebak saya lebih jauh. Kalau iya, pasti ketahuan bahwa saya pemberontak.

Lama kelamaan tumbuh perasaan aneh dalam diri saya. Saya merasa membantah ayah adalah kewajiban bagi saya. Seperti wahyu yang diberikan Tuhan kepada para nabi, mungkin membantah ayah semacam amanat yang diberikan Tuhan kepada saya. Bedanya, saya yakin sekali wahyu membawa kebaikan kepada umat manusia. Memperbandingkannya dengan hal itu, saya dihinggapi perasaan khawatir. “Kebaikan apa yang ada dalam amanat perbantahan saya ini?” Apalagi bila kepercayaan akan amanat ini bergelut dengan perasaan lain, yaitu durhaka kepada ayah. Tetapi mengingat ayah tidak pernah marah menanggapi perbantahan saya, perasaan mendurhakai itu bisa saya tepiskan.

Sekarang. Ini cerita menjelang tahun baru yang baru lalu. Ibu, kakak dan adik adik sibuk berkeliling mencari terompet yang paling baik. Kalau saya, tidak pernah punya minat sedikitpun untuk meniup terompet, meski di malam tahun baru. Buku buku di perpustakaan pribadi saya telah cukup menjadi terompet sepanjang tahun bagi saya.

Sebelum pergi, ibu yang selalu jengkel dengan ketidakkompakkan saya, mengejek. “Kamu tidak mau terompet kan? Nanti ibu belikan sempritan saja ya? Kamu kan maunya jadi wasit melulu.”

Saya tidak begitu pasti ejekan ibu mengarah ke apa atau ke mana. “Buat apa terompet. Bikin pegel mulut saja!” saya menjawab ibu dengan ketus.

“Buat apa jadi wasit! Tidak pernah menikmati kemenangan.” ibu menimpali dengan senyum yang asing bagi penglihatan saya.

Dan ayah? Dari bangun jam delapan pagi sibuk membuat terompet sendiri. “Masak pejuang yang mampu mengusir penjajah seperti ayah, membuat satu terompet saja tidak becus.” jawab ayah sambil membusungkan dada ketika ibu dan adik adik mengomentari kesibukannya.

+++

Setelah selesai membuat terompet, ayah mendatangi saya yang suntuk membaca buku. Sambil menunjukkan terompetnya yang besar, ayah mengajak. “Teguh. Karena di rumah tidak ada siapa siapa, maka kaulah satu satunya manusia selain ayah yang bakal menyaksikan tiupan pertama terompet ayah. Tiupan dahsyat yang mungkin bisa membuat manusia berpikir berulang ulang tentang segala yang berhubungan dengan kehidupannya. Yok, ikut ayah ke taman depan! Sekalian kamu menguji ketahananmu sebagai anak ayah yang lain daripada yang lain.”

Bulu kuduk saya berdiri mendengar omongan ayah. Ngeri. Apa hubungan terompet ayah dengan kehidupan? Tetapi muncul dugaan lain dengan tiba tiba di benak saya. Ayah pasti berusaha melucu untuk menghilangkan rasa penat akibat jongkok berdiri hilir mudik kesana kemari menyelesaikan terompetnya tadi.

“Buat apa dengerin terompet? Bikin budek saja!” jawab saya dan meneruskan membaca.

“Teguh. Hargailah perjuangan Ayah. Jangan membantah saja!” Mendengar kata kata itu saya menjadi iba. Juga timbul rasa penasaran di benak saya. “Apa hubungan terompet ayah dengan kehidupan?” Saya pun mengikuti ayah berjalan menuju taman.

Di tengah rumput yang hijau menghampar kami berhenti. Ayah bersiap siap menirukan gaya pemain saxophone di band band jazz. Berdiri dengan badan yang ditegakkan dan memandang lekat lekat pada terompetnya. Dengan begitu ayah kelihatan semakin kokoh saja walaupun ditumpuk usia. Ayah laksana Tembok Cina, batin saya. Saya berdiri tiga meteran di samping kanan ayah. Ayah pun mengambil nafas panjang. Seluruh tumbuhan yang ada di hadapan ayah menjadi doyong ke arahnya. Saya terkesima melihatnya. Ternyata ayah punya paru paru yang dahsyat. Paru paru yang bisa menampung seluruh dunia kalau ayah ingin. Kemudian ditiupnyalah terompet besarnya sekuat kuatnya. Tak ada suara. Tak ada bunyi preeet sedikitpun. Yang keluar malah gumpalan gumpalan kental merah seperti darah. Saya membayangkannya seperti episod dilahirkannya anak anak Kurawa dalam kisah pewayangan Mahabharata.

Mendung menyelubungi langit yang barusan cerah. Ada kilatan cahaya menggurat berulang ulang. Guruh mengguntur keras. Gumpalan gumpalan kental itu pecah menciprat ke seluruh bagian taman. Berubah menjadi cairan cairan merah membiru. Lalu cairan cairan itu bergolak. Bumi di sekitar rumah bergetar. Cairan itu tambah bergolak. Lama lama membesar lalu menjelma anjing anjing ajag. Anjing anjing itu serentak mengeluarkan lolongan panjang. Saya menjerit. Ayah malah tertawa terbahak bahak. Kemudian meniup terompetnya sekali lagi. Lagi. Lagi. Lagi. Muncrat cairan merah lagi. Bergolak menjelma anjing anjing ajag. Kini tampak kenyataan yang semakin menyeramkan. Anjing anjing itu dengan rakus memakan segala yang ada. Tanah. Rumput. Pepohonan. Pagar. Tembok. Tong sampah. Bunga bunga. Pasir. Batu batu. Kran air…

“Ayah. Hentikan membuat anjing anjing itu!”

“Ayah tidak membikin anjing. Ayah hanya meniup terompet. Lihatlah! Ayah hanya meniup terompet kan?”

“Tapi terompet Ayah mengeluarkan anjing anjing!”

“Ah, siapa peduli! Ayah tidak membikin anjing. Dan pula tidak punya maksud membikin anjing. Ayah hanya meniup terompet.”
Saya kehabisan kata kata. Saya lari ke kamar dan mengambil bedil. Kembali ke taman untuk menembak anjing anjing yang keluar dari terompet ayah. Begitu melihat saya memegang bedil, anjing anjing itu berloncatan ke luar pagar. Menyebar ke segala penjuru. Saya blingsatan. Saya mencoba membidik. Dor! Satu anjing kena. Tubuhnya muncrat menjadi darah dan menyebar kemana mana. Darah itu bergolak seperti cairan yang berasal dari terompet ayah tadi. Menjadi anjing anjing baru. Saya jadi merasa serba salah. Menembak anjing anjing itu malah melipatgandakan jumlahnya. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Karena kehabisan akal saya memohon kepada ayah.

“Ayah. Tolonglah hentikan meniup terompet!”

“Apa? Tolonglah? Tumben kamu mengeluarkan kata itu.” ayah malah mengejek.

“Kalau tidak, coba Ayah kendalikan anjing anjing itu! Cuma Ayah mungkin yang mereka turuti perintahnya.”

“Tidak bisa! Anjingku bukan milikku!” ayah tambah kenikmatan mengejekku.

Saya kehilangan kesabaran. Saya todongkan bedil ke arah jantung ayah. Melihat kelakuan saya, ayah makin keras tertawa. Pikiran saya berputar putar. Tidak juga menemukan kepastian yang bisa saya jadikan keputusan. Mungkin hanya dengan menembak ayahlah memusnahkan anjing anjing yang menakutkan itu. Tetapi apa tidak berdosa seorang anak menembak ayah kandungnya sendiri? Antara patriotisme dan pembangkangan, antara heroisme dan kedurhakaan memang hanya dipisahkan selapis tipis perbedaan.

“Tembaklah Ayah Anakku tercinta. Ayo!” ayah menantang todongan saya sambil membusungkan dada. Meraih moncong bedil yang saya pegang dan menariknya, sehingga saya dipaksa beringsut ke depannya. Moncong bedil itu sekarang menempel di tengah tengah dada ayah.

“Ayo, tembaklah! Tembakkan bedil itu!”

“Saya tidak tega, Ayah!” Bersamaan dengan keluarnya kata kata itu dari mulut saya, seluruh kekuatan yang tadi menguasai saya luruh dan menguap entah kemana. Tubuh saya pun berkeringat deras. Saya dibanjiri kebingungan dan kecemasan. Ayah adalah kekuatan yang ternyata tidak mudah dikalahkan.

Di depan mata saya terbayang satu kenyataan pahit, saya bersimpuh di depan ayah dan meratap sejadi jadinya menyesali semua keyakinan yang dulu saya pegang. Sia sia semuanya. Segala daya upaya saya adalah hal hal yang ternyata percuma. Perbantahan saya terhadap gaya dan selera ayah adalah kebodohan yang sesungguhnya. Saya putar berurutan keinginan saya bagaikan mengangsur biji biji tasbih yang dikeluarkan dari talinya. Satu persatu keinginan itu lepas menggelinding dalam tatapan saya. Keraguan menteror. Siapakah saya yang berdiri mematung bagai seorang pandir ini? Seorang filsuf? Intelektual? Seniman? Sufi? Biarawan? Manusia dengan jiwa luhur? Agung? Ataukah masih seorang pemberontak? Persetan semuanya. Ayah adalah bagian diri saya yang sulit dimusnahkan begitu saja.

(Feri Umar Farouk)

Epitaf

"Apakah aku harus menuliskan sesuatu untuk mengatakan sebab-sebab mengapa aku melakukan ini?" dalam duduk di pinggir dipan reot, batinku bertanya-tanya. "Ah, kurasa tak perlu! Seluruh pengalaman dalam hidupku sampai keputusanku melakukan ini telah menggambarkan dengan sempurna kegagalanku. Apalagi yang mesti kutulis?"

***

Di malam itu udara dingin menyiksa dadaku. Beberapa kali aku terbatuk dan meludahkan dahak dari tenggorokan. Kugenjot becak sekuat-kuatnya, dengan harapan dapat cepat sampai ke tempat Retno berdinas, tapi udara dingin rasanya telah menghisap seluruh kekuatan ototku dan rasa kantuk yang sangat membuat mataku dipenuhi kabut. Becakku hanya bergerak dengan perlahan.

Setelah menghabiskan waktu yang lebih dari biasanya, sampai juga becakku di kedai minum yang merangkap tempat praktek mesum itu. Retno tidak tampak di kursi bambu luar di mana ia biasa menungguku pada jam-jam seperti itu.

Aku turun dari becak.

"Man, mana Retno?" tanyaku kepada Sarman, centeng kedai minum itu.

"Di kamar! Masih ada tamu!" jawabnya sambil mengunyah kacang goreng. Aku duduk di kursi dalam. Mak Sumi, pemilik kedai yang sedang duduk memperhatikan pembantu-pembantunya melayani pembeli menoleh ke arahku.

"Minum, No?" tawarnya kemudian. Aku menggelengkan kepala, terus menarik nafas panjang mencoba mengakrabi suasana hatiku yang sedang kesal.

Pengunjung kedai itu tinggal beberapa orang saja. Mereka sibuk berbincang-bincang dan tertawa-tawa sambil minum bir dan makan kacang goreng. Semua obrolan mereka hanya sayup terdengar. Aku tidak peduli untuk mengupingnya dengan baik-baik.

"Ah, sesungguhnya mereka tidak benar-benar berbicara kepada orang lain. Mereka hanya ingin menumpahkan kata-kata saja, karena kekesalan, kejenuhan, kesepian dan perasaan-perasaan semacamnya yang melanda mereka." benakku memperteguh diriku untuk berdiam seorang diri saja.

Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan dari bagian dalam kedai yang merupakan kamar-kamar tempat mesum itu. Tawa perempuannya kukenal, Retno.

Kudengar langkah-langkah kaki, lalu dari balik gorden yang menutup bagian dalam dengan bagian luar kedai, muncul dua sosok manusia, laki-laki dan perempuan. Aku terkejut melihat siapa laki-laki itu. Darahku berdesir cepat memenuhi bagian kepala. Belum sempat kuredakan kegalauan itu, laki-laki yang ternyata Gimin, teman baruku bersenda di pangkalan, menyapaku dengan senyuman.

"Marno! Haa, ketahuan! Sering ke sini, ya?"

Aku tidak kuasa menjawabnya. Lidahku kelu. Rasanya ada batu besar yang mengganjal di tenggorokan. Aku hanya membalas sapaan Gimin dengan senyum yang dipaksakan.

Retno berdiri mematung melihat keherananku. Ia mungkin tidak menyangka kalau aku sudah datang menunggunya.

"Mau make Atun?" tanya Gimin kemudian, sambil menunjuk ke arah Retno, "Awas, lho bisa ketagihan!"

Aku tetap diam. Dengan manjanya Gimin mencubit hidung Retno di depanku. Lalu ia pamit.

"Tun, abang pulang dulu, ya! Kapan-kapan abang mampir lagi!"

Ia berjalan perlahan. Pundakku ditepuknya, "Heh, No! Langsung aja! Kok, malah bengong!"

Ingin rasanya kutarik lengan Gimin dan membantingnya jauh-jauh. Tetapi saat itu aku betul-betul tak punya tenaga.

Retno berjalan menuju Mak Sumi. Mereka bercakap sebentar. Aku hanya diam menonton sampai Retno kembali ke arahku dan mengajakku pulang, "Yok, Mas!"

***

Di perjalanan pulang aku bertengkar dengan Retno. Aku tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi di kedai tadi. "Istriku melayani temanku?" batinku menggemakan kalimat itu terus menerus.

"Kau sudah kelewatan, Retno!" bentakku, "Kau layani juga temanku, Gimin!"

"Aku tidak tahu laki-laki itu temanmu!" Retno balas membentak, "Apa aku harus bertanya kepada setiap lelaki yang datang, apakah dia itu temanmu?"

Pembelaan diri Retno masuk akal. Namun setepat apapun alasannya tidak mampu merubah perasaanku mengalami kenyataan perih dan memalukan itu. "Istriku melayani temanku,"

Kurasakan seluruh daging di tubuhku mengelupas. Aku bukan lagi makhluk hidup. Aku bukan lagi manusia. Aku sudah jadi bangkai busuk. Tak berharga samasekali.

"Apa ada manusia sepertiku? Di depan teman pun aku sudah tidak punya martabat. Musnah," pikiranku menggugat.

"Kenapa tidak sekalian saja ke tempat mangkalku. Di sana temanku ada semua. Lalu kau jajakan dirimu di sana!" aku tetap bertahan dengan kemarahanku.

"Sudah kukatakan, aku tidak tahu laki-laki itu temanmu!" Retno mulai menangis. Aku tidak tahu untuk apa ia menangis. Untuk menyesali dirinya atau menentramkan hatiku. Biasanya ketika aku dan Retno betrtengkar, kemudian Retno menangis menyesali dirinya, aku menjadi tentram oleh tangisan itu. Tetapi sekarang. Aku tidak bisa menentramkan hatiku, walau tangisan Retno dengan lirihnya menusuk-nusuk gendang telingaku.

"Sudahlah, tak perlu menangis! Aku tidak marah kepadamu. Aku marah kepada diriku sendiri," aku mencoba menghibur.

***

Sampai dirumah Retno masih terisak-isak menangis. Ia langsung turun dan masuk ke dalam. Aku memarkirkan becak ke pinggir rumah. Kemudian dengan handuk kecil kuusap keringat di muka. Sebetulnya ingin juga kuusap seluruh kekesalan yang tampak mengerutkan wajahku. Namun sia-sia, kekesalan itu terasa kekal.

Kupandang bulan yang bersinar pucat keemasan. Tiba-tiba entah dari mana membisik suara ke telingaku, "Kau seperti bulan pucat itu. Membisu, tua dan kesepian," Terkejut mendapat bisikan itu, dengan tergesa aku masuk ke dalam rumah.

"Ha-ha-ha, kau takut bulan pucat itu menterjemahkanmu selengkap-lengkapnya. Meterjemahkan penderitaanmu selengkap-lengkapnya," kembali suara itu meneriakkan ejekan-ejekan ke dua telingaku bergantian. Aku blingsatan. Kalap. Tanpa berpikir panjang, lari ke dapur mengambil seember air. Kucelupkan kepalaku di sana.

***

Setelah panas di kepalaku menyejuk, aku bangkit dari duduk dan berjalan perlahan menuju kamar. Di atas kasur yang lembab-apak kulihat Retno tidur telentang. Seperti seekor ikan asin yang terbujur pasrah di atas tampah. Aku duduk di kursi memperhatikannya. Kususuri seluruh bagian tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut di ubun-ubun.

"Bidadari yang malang, bidadari terbuang,"

Pikiranku melayang jauh ke hari-hari yang telah berlalu. Ke hari-hari yang buruk.

***

Retno adalah kembang desa di mana aku tinggal menghabiskan masa kanak-kanak dan remajaku. Sejak duduk di sekolah menengah pertama ia telah menjadi pusat perhatian. Bagiku sendiri waktu itu, ia menjadi lambang keberhasilan di masa depan. Kalau orang mendapatkan Retno, berbahagialah ia. Paling kayalah ia. Laki-laki beruntung. Paling segalanya.

Tetapi sayang. Impian remajaku kandas ketika selesai SMP aku terpaksa meninggalkan desa menuju kota yang asing. Aku harus bekerja membantu menghidupi keluarga bapakku yang waktu itu ditimpa kebangkrutan.

Sebetulnya dulu bapakku seorang pengusaha batik yang cukup maju. Sayang, keberhasilan menjebaknya menjadi seorang penjudi, pemabuk dan tukang main perempuan. Oleh tingkah yang bermanja-manja dengan dunia itulah lambat-laun keluarga kami dihantarkannya menuju kiamat.

Terakhir, habislah segalanya ketika bapak terlibat hutang di sana-sini dan perusahaan batik yang sudah kacau-balau pengelolaannya itu disita. Yang tertinggal dalam diriku hanyalah kemauan untuk tidak berputus-asa. Bapak sendiri dulunya adalah pemuda miskin, yang maju karena sikap berpetualangnya yang selalu menggebu-gebu. Aku dengan tekad buta seorang yang belum dewasa berpikir, teriming-imingi oleh cerita petualangan bapakku, walaupun pada akhirnya petualangannya mencampakkannya kembali dalam kemelaratan.

Aku sudah mempunyai tekad dan keyakinan kuat yang kuanggap benar dan mudah waktu itu. Bertualang dan bertualang, tetapi tidak untuk berlebihan, sehingga kembali ke nol. Aku harus berhenti pada titik tertentu. Titik di mana aku kaya.

Tetapi seperti kenyataannya, inilah yang terjadi. Dari mulai aku mewujudkan tekad itu, aku hanyalah seorang yang kecil sepanjang hidup. Tidak ada hal-hal dan pekerjaan-pekerjaan besar yang mampu menghantarkan aku ke dunia yang kuimpikan, ke titik yang kuidamkan. Aku hanyalah kuli bangunan, satpam bioskop, pelayan restorasi, tukang parkir, tukang becak dan terus berputar sekitar itu. Bahkan pernah juga menjadi gelandangan.

Tetapi ada satu hal yang menghiburku sepanjang hidup ini. Retno, pujaan masa remajaku, dengan tak disangka-sangka menjadi istriku juga, walaupun kenyataan yang mempertemukan kami bukanlah sesuatu yang romantis seperti dibayangkan dulu. Keromantisan sudah tidak menjadi ukuran bagiku. Aku hanya menginginkan api kenangan remajaku menyala kembali. Itu saja. Dan Retnolah satu-satunya yang mampu memantik api itu dihatiku.

***

Aku bertemu kembali dengan Retno ketika ia telah menjadi pelacur. Sungguh mengharukan juga kisah bagaimana ia bisa sampai terjun ke pelacuran. Ia dipaksa kawin dengan bandot tua sewaktu masih kelas dua SMA. Perkawinan itu tidak membawa apa-apa kecuali kesengsaraan yang sangat baginya. Ia membalas perkawinan sial itu dengan berbuat serong, menjalin hubungan dengan kuli bandot tua itu. Aku pikir tepat juga ia melakukan itu, bandot tua sudah semestinya diperlakukan begitu.

Retno diusir. Dan mungkin karena ingin membalas dendam kepada orang-tuanya, yang telah membuat hidupnya laksana neraka, nekadlah Retno. Ia menjadi pelacur.

Sebetulnya dengan kenekadannya itu ia ingin membuktikan kepada orang-tuanya, bahwa ia seorang anak yang patuh. Seorang anak yang dititipkan di neraka dan berusaha betah dalam neraka. Tidak ada bedanya bagi Retno menjadi salah satu istri bandot tua atau menjadi seorang pelacur. Keduanya adalah neraka.

Secara berkelakar ia pernah mengatakan, "Itulah satu-satunya kepatuhan yang mampu kutunaikan bagi orang-tuaku!"

***

Setahun kami menikah, Retno tidak lagi melacur. Waktu itu dengan bersemangat aku mengerjakan apa saja untuk mencukupi kebutuhan. Namun setelah lewat satu tahun, aku sering sakit-sakitan. Menurut pemeriksaan dokter, aku terserang tuberkulosa. Dalam seminggu akhirnya aku hanya bisa bekerja menarik becak beberapa kali saja. Sedangkan kebutuhan yang terus mendesak, menyesakkan hidup kami.

Maka dengan proses yang cukup panjang, setelah kenyataan penyakitku yang tetap tidak membaik, Retno kembali menjadi pelacur. Istriku pelacur.

Tukang becak yang sakit-sakitan dan seorang pelacur. Suatu perpaduan yang sempurna untuk menggambarkan kebrengsekan dan kesengsaraan hidup. Dan itulah kami, aku dan Retno. Nasib memang bukan hal yang bisa dipilih oleh orang-orang seperti kami. Kamilah yang dipilih oleh nasib, bahkan dengan semena-mena.

Sejak itu aku sering berpikir, "Bagaimanakah Tuhan bisa membuat kami menjadi orang-orang terkutuk seperti ini?"

Kami pun bersepakat untuk tidak mempunyai anak. Anak tidak pantas dititipkan kepada orang-orang terkutuk. Dengan keyakinan itu kami cukup merasa berbahagia. Kami tidak menambah deretan orang-orang brengsek di dunia.

***

Tiba-tiba muncul wajah Gimin. Membayang jelas di mata. Bernyanyi-nyanyi, kemudian menatapku dengan rasa iba yang mengejek. Di belakangnya bergerombol orang-orang mengumpatku tak habis-habisnya. Gimin bernyanyi kembali. orang-orang yang bergerombol mengikutinya. Lalu berhenti dan menatapku, terus mengumpat-umpat.

Aku tak tahan. Kugeleng-gelengkan kepala agar bayangan itu kabur. Rambutku yang basah membuat Retno terbangun karena terciprat. Ia menatapku dengan perasaan yang tak dapat diterka.

"Tidurlah, Mas! Nanti sakitmu kambuh lagi, "

***

Benar juga. Pagi-pagi aku terbangun oleh rasa sesak yang sangat di dada. Batuk-batuk tebeseku kembali keluar, seolah-olah ingin mengeluarkan seluruh darah di paru-paruku.

Retno mengompres keningku dan memijat pergelangan tanganku. "Nanti siang ke puskesmas ya, Mas!"

Aku menjawabnya dengan suara batuk. Rasa mual membuatku masam berkata-kata.

"Minggu ini Mas istirahat saja, tidak usah narik!"

Mungkin Retno tidak tahu, istirahat adalah siksaan bagi seorang laki-laki, apabila kata itu keluar dari mulut istrinya. Aku pun merasa dicambuk dengan kata-katanya itu. "Lelaki lemah, tak berdaya!"

***

"Apakah aku harus menuliskan sesuatu untuk mengatakan sebab-sebab mengapa aku melakukan ini?" dalam duduk di pinggir dipan reot, batinku bertanya-tanya. "Ah, rasanya tak perlu! Seluruh pengalaman dalam hidupku sampai keputusanku melakukan ini telah menggambarkan dengan sempurna kegagalanku. Apalagi yang mesti kutulis?"

Kuangkat kursi dan kuletakkan tepat di bawah tali yang telah kugantungkan. Lalu kembali aku duduk di pinggir dipan. Kutatap lekat-lekat tali yang telah menggantung itu. Lewat udara yang berhembus menggerakkannya kudengar bisikannya menggodaku. "Satu kali dalam hidup, manusia harus merasakan bagaimana mempunyai keinginan dan mampu memenuhinya. Sekarang keinginanmu adalah mati. Ayolah, aku ingin membantumu memenuhinya!"

Angin dingin di malam itu menembus bilik bambu di mana aku berkutat dengan pikiran kalutku. Suara cengkerik mengalun patah-patah. Sesekali terdengar teriakan tukang nasi goreng dan bakmi menawarkan dagangannya di luar.

Tiba-tiba suara nyamuk yang berkelebat menyadarkan kediamanku. Aku pun naik ke atas kursi. Kupasangkan tali ke leherku. Lalu berbisik perlahan kepada malam yang semakin sunyi mencekam. "Maafkan aku, Retno! Ternyata ketabahanku berbatas kejadian kemarin malam. Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Gimin akan tahu kau istriku, dan itulah penderitaan yang tak mungkin dapat kutanggung. Penghinaan yang tak menyisakan sedikitpun martabat. Oh, istriku! Kau melayani temanku,"

Aneh. Tidak setetes pun air mata mengiringi kepedihan ini. Seluruh tubuh dan jiwaku telah kering. Aku pun dihinggapi kesangsian, "Benarkah kepedihan dan penderitaan selalu memerlukan air mata?"

Aku bisa menangis tanpa mengeluarkan setetes pun air mata. Tangisan yang gersang. Kemarau.

Kusingkirkan kursi dari kaki. Leherku sesak oleh jeratan tali yang makin lama makin mengetat. Ajal berlari mendekatiku. Aku menjemputnya. Memeluknya dengan erat. Tetapi betapa dinginnya. Betapa gelap dan sunyi.

Sebelum segalanya hilang, kudengar sebuah bisikan. "Inikah kematianmu yang indah? Dimana saat, tempat dan cara engkau sendiri yang memilihnya."

Euaahhhhh…

(Peri Umar Farouk)

Pralina

Aku tidak pernah menyangka bahwa mayat yang tergeletak di pinggir jalan depan kuburan umum ini adalah Birin. Birin yang dua minggu lewat, setelah bertahun-tahun tidak pernah kembali ke kampung ini, datang dengan segala kediaman dan kesahajaannya. Ya, pagi ini tetangga-tetangga meributkan adanya sesosok mayat tergeletak begitu saja dengan bercak-bercak darah yang masih kental, dan itu adalah Birin.

"Duh, kasihan betul Bang Birin ini. Siapa yang tega-teganya membunuh dan membiarkannya tergeletak begitu saja, ya?" seorang pemuda kampung ini berkata, entah kepada siapa.

"Mati kok kayak begini," sahut seseorang lain.

"Ya, itulah kalau orang dulunya suka bergagah-gagah. Angkuh!"

Orang-orang yang berkerumun menonton para petugas polsek mengurus mayat tersebut, bertanya-tanya dengan pikiran-pikirannya sendiri, dan menjawab dengan pikiran-pikirannya sendiri pula. Memang jarang sekali peristiwa-peristiwa di dunia ini, semisal soal kematian terjelaskan dengan cukup sempurna, apalagi kematian yang mengenaskan seperti ini.

Melihat wajah kematiannya, aku teringat beberapa kenangan bersama Birin. Entah manis entah pahit, yang jelas itu pernah hadir dalam kehidupanku.

"Kamu suka coklat, Mim?" jelas sekali kejenakaan Birin tergambar dalam tawarannya. Ia bocah yang tak setampan kawan-kawan lain sekolahku. Berhidung pesek dengan rambut agak keritingnya, ia tampak seperti wajah-wajah jahat Amerika Latin yang kini kerap dimunculkan film-film Hollywood. Tetapi itu tidak mencegahku, terutama apabila dipandang bahwa aku sebagai anak perempuan, untuk ternyata menjadi sangat akrab dengannya.

Keakraban itu mungkin terpagut karena di kelas, kami adalah orang-orang yang tak disenangi banyak orang, bahkan oleh guru sekalipun. Alasannya adalah bahwa kami, katanya, merupakan bocah-bocah nakal yang sulit sekali diatur, kurang ajar dan bodoh. Menjadi kambing hitam dalam setiap keributan dan kesalahan adalah nasib kami berdua di kelas yang menjemukan itu. Birin sebagai kambing hitam jantan. Dan aku sebagai kambing hitam betina. Sejak itulah kurasakan dan mungkin juga Birin, bahwa kami akrab.

"Kamu suka coklat kan, Mim?" ulangnya. Waktu itu aku giliran main di tali loncat. Birin biasa mengajakku untuk mencuri jajanan ketika aku sedang asyik-asyiknya bermain bersama teman-teman perempuan kelasku. Dan seperti biasa aku tak pernah tidak tergiur oleh ajakannya. Mencuri bersama Birin sepertinya memberiku kepuasaan yang entah ke bagian mana dari diriku, sehingga aku merasa ketagihan. Ya, dibanding suntuk bermain tali loncat yang tak ada hasilnya.

"Saya sudahan, ah!" kataku pada teman-teman yang menunggu loncatanku. Sedangkan kepada Birin aku hanya tersenyum mengiyakan.

Korban kejahilan kami adalah mak Ruwi, warung jajanan yang ada di timur jalan sekolahan kami. Kalau dihitung-hitung sudah berapa puluh ribu mungkin dagangannya yang kami curi dari mulai kacang-kacangan, permen, buah-buahan sampai mainan-mainan kecil. Tetapi, hal yang seringkali aku syukuri, sepertinya mak Ruwi tidak pernah menangkap sedikitpun niat jahat kami mengambil secara sembunyi-sembunyi dagangannya. Kami pun selalu merasa leluasa ketika melaksanakan kriminalitas kecil kami.

"Sekarang kamu yang bagian beli dan mengajaknya ngobrol." Birin mulai mengatur siasat untuk aksi siang itu. "Aku yang mengambil, ya!"

Aku selalu mengikuti apa yang disiasatkan Birin. Dari beberapa pengalaman yang sudah-sudah aku merasa terjamin Birin selalu tepat mengatur segala situasinya. Kini tinggal mengatur agar jantungku tidak berdegup secara tak teratur. Kutenangkan rasa deg-degan hebat dengan mengatur nafas. Mencoba menghilangkan hirup hembus yang panas menggentarkan.

Beberapa menit kemudian sukses yang sangat mengasyikkan. Jajanan mak Ruwi digelar di satu meja besar yang cukup panjang. Di situ segala macam yang disukai anak kecil terhampar. Mak Ruwi seperti biasa duduk di pinggir sebelah kiri menghadap ke barat. Aku berjalan ke depan meja dagangan itu, sengaja mengambil posisi berhadapan dengan mak Ruwi. Dan Birin mengambil arah yang berjauhan, ke sebelah kanannya. Lalu aku mulai memilih dan menanya hal-hal yang kukira bisa ada sangkut pautnya dengan kedatanganku ke warung mak Ruwi.

"Ini makanan baru ya, Mak?"

"He-eh, enak! Itu dibuat dari buah jengkol. Kerupuk jengkol!"

Kulihat mata mak Ruwi masih tetap memperhatikanku. Syukur, akan kujaga terus agar mata itu tidak melirik kanan kiri.

"Si Emi sudah jajan belum, Mak?"

"Pasti jajan ke si Ijah. Pasti! Padahal masih punya utang sama mak." Mak Ijah adalah warung saingan mak Ruwi di sekolah. Warung mak Ijah berada di sebelah barat. Sudah pasti apabila di sebut nama mak Ijah, emosi mak Ruwi agak naik, soalnya mereka berdua bersaing berat mendapatkan pelanggan bagi warungnya. Untung dari keadaan emosi itu bagiku dan Birin adalah perhatian mak Ruwi yang menjadi tertumpah untuk membicarakan hal-hal jelek menyangkut mak Ijah. Dan karena begitu khusyuknya ia jarang peduli memperhatikan yang lain-lainnya. Ia akan suntuk bicara bersungut-sungut.

Beberapa menit berlalu. Dari sekian banyak pertanyaan, tawar-menawar dan cerita-cerita, aku hanya membeli satu buah apel kecil. Kulihat Birin sudah tidak ada.

"Ini saja, Mak!" kataku sambil menyodorkan receh seratusan.

"Kok cuma beli itu!" sungut mak Ruwi.

"Tidak punya uang." jawabku.

"Ngutang juga boleh, tapi harus dibayar besok."

"Takut! Kata ibu saya, menghutang itu membuat malu."

"Yaaa, sudah kalau tidak mau."

Di satu tempat di belakang sekolah kutemui Birin. Tempat itu memang khusus diperjanjikan bila kami selesai melakukan pencurian. Hari itu sungguh banyak dan bermacam-macam sekali jajanan yang bisa diambil Birin. Kami dengan riangnya berbagi-bagi.

Kuingat-ingat ternyata dalam seminggu hari sekolah aku dan Birin bisa sampai tiga kalinya menggasak dagangan mak Ruwi, belum lagi pengalaman-pengalaman pencurian kepada milik orang lain. Ke mak Ijah juga, tukang bakso, tukang es dorong dan tukang mainan yang memakai sepeda.

Selepas sekolah dasar, walaupun tidak satu sekolah lanjutan pertama, aku tetap akrab dengan Birin. Entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu aku sudah menjadi pacarnya. Birin bersekolah di ST, sedangkan aku di SMP. Dan kami tetaplah merupakan orang-orang yang nakal, bengal. Birin terkenal jago di sekolahnya, bahkan sampai menakutkan orang-orang satu kabupaten. Lebih sialnya lagi Birin waktu itu terkenal sebagai pemabuk juga dan suka memeras anak-anak sebayanya. Aku, terkenal sebagai remaja putri yang genit, perempuan gampangan. Aku kerap mendengar sebutan-sebutan buruk bagi tingkah lakuku. Akupun jadi suka minum minuman keras bersama Birin.

Menjelang selesai sekolah lanjutan pertama, musibah menimpa kami. Dalam satu keadaam mabuk, kami betul-betul berada dalam kekhilafan. Kami dua remaja melakukan apa yang sebetulnya tidak boleh kami lakukan.

Akupun hamil!

Ketika orang-orang mulai tahu perbuatan yang telah kami lakukan, Birin menjadi panik. Sedangkan aku agak tenang, karena ayah ibuku hanya memintaku untuk segera menggugurkan kandungan. Sejak itulah sampai bertahun-tahun lamanya aku tidak lagi bertemu Birin, Birin lari dari kampung.

Dan aku tidak lebih dari dua bulan mengandung. Setelah itu menjadi perempuan yang bebas kembali. Tetapi anehnya, apabila aku mencoba merenungi hubunganku dengan Birin, walau ia sempat membuatku hamil dan ternyata ia lari tak bertanggung jawab, aku tak pernah merasa bahwa itu adalah hal yang lebih daripada sebuah kelucuan. Aku bahkan sering tersenyum dengan kenakalan-kenakalanku bersama Birin.

Rasa sedikit tidak enak hanya sekali muncul ketika aku akan dikawinkan dengan suamiku kini. Tetapi aku berusaha sepasrah mungkin, apapun nasib yang nanti akan dilalui. Kalau ia suka dengan segala apa adanya aku, syukur, kalau tidak, silakan. Dan untung calon suamiku itu adalah orang baik, atau entah lelaki bodoh.

Tahun demi tahun berlalu. Kabar tentang Birin kudengar dari orang-orang kampung ini bahwa ia kini sebagai buruh pabrik semen di kota anu. Bahwa ia kini sebagai penjahat kecil di terminal anu. Kemudian meningkat sedikit sebagai pencoleng dan bajing loncat. Lalu sebagai perampok kelas kakap yang kerap buron. Pernah juga ia diberitakan sebagai pembunuh bayaran.

***

Tiba-tiba ia datang. Banyak orang di kampung kami menjadi resah dengan kedatangannya. Takut kalau-kalau ia melakukan kejahatan di kampung ini. Para perawan kerap bergunjing dan menjadi takut diapa-apakan oleh Birin. Pemuda-pemuda yang sok jago menjadi takut kena getah yang lebih pekat dan dianggap menantangnya. Tetapi kulihat, berdasarkan tangkapan perasaanku, bahwa Birin yang kini datang di kampung ini bukanlah Birin yang dulu, juga bukan Birin yang sering dikabarkan soal-soal buruk dan jahatnya. Ia seorang Birin yang lain. Mungkin saja sebenarnya Birin yang menghilang kemudian datang tiba-tiba itu adalah Birin yang memang baik dan shaleh, yang kini amat merindukan neneknya. Birin yang semenjak kanak-kanak merupakan yatim piatu yang sadar bahwa ada bagian-bagian kehidupannya di kampung ini yang patut diperbaikinya. Tetapi aku tidak pernah menceritakan dugaan-dugaan itu kepada orang lain. Sebagai orang yang pernah begitu dekat dengan kehidupannya aku hanya mencoba mengerti dengan alasan-alasan yang kurasakan sendiri.

Sekarang Birin mempunyai kulit yang agak putih dibanding dahulu ketika ia remaja. Tetapi kumis dan janggutnya ia biarkan tumbuh lebat. Kesehariannya di kampung ini entah melakukan apa. Orang-orang hanya melihat Birin di luar rumah, setiap subuh ketika ia berjalan-jalan dengan pakaian serba hitamnya. Tanpa alas kaki. Mungkin maksudnya ia berolah raga.

Aku kadang-kadang bersengaja bertemu dengannya untuk mengobati rasa penasaranku melihat bagaimana ia akan bersikap bila kami berjumpa. Tetapi ia tidak pernah lebih dari memberikan tatapan kosong dan senyumnya yang terasa asing. Kenangan-kenanganku bersamanya selalu menghantuiku untuk lebih mengenal dirinya kini. Tetapi ia tidak pernah memberi apa yang bisa kuanggap kesempatan. Ia kini hidup di dunianya sendiri yang aneh, bila kuukur dari usia dan kesempatan-kesempatan yang masih bisa diraihnya. Ditambah kesadaranku kini akan kewajiban kerumahtanggaanku, aku pun akhirnya menjadi tak ambil peduli dengan segala yang menyangkut hidup dan keseharian Birin.

Kini, kusaksikan tubuh Birin diangkat ke sebuah dipan kayu yang dialasi tikar. Bagian-bagian tubuhnya membiru legam seperti dipukuli benda tumpul. Ada lingkaran jerat di lehernya. Dan dari mulutnya mengucur darah.

Tidak bisa tidak akupun menangis. Rasa pusing menuntunku pulang. Di kamar mandi aku muntah beberapa kali.

Besoknya terdapat berita di koran-koran, "Seorang Debt Collector Mati."

Aku muntah beberapa kali lagi.

(Peri Umar Farouk, YK)

Setiti

Setiti bukan lagi kehidupan. Ia hanyalah sesuatu yang bernyawa. Kini Setiti adalah…

“Sundal! Dasar sundal tengik!” mak Giwuk pagi pagi sudah uring uringan. Dalam muka tembemnya yang subur, mulutnya yang berbibir tebal itu bergerak menyemprotkan kata kata penuh kesal. “Apa sih maumu itu? Orang antri mau kelon kok kamu malah diam saja. Apa kamu lagi kesurupan? Hah!”

Setiti yang telanjang diam saja.

“Titi! Ayo sana mandi. Pakai baju yang bersih. Lalu keluar ke ruang tamu!” mak Giwuk tetap ngotot. Di hari Minggu itu, dimana ia sedang sibuk sibuknya mempersiapkan makan pagi bagi ‘anak anak asuhnya’, ada beberapa tamu yang datang.

“Apa maumu, hah! Pagi pagi manja! Orang antri mau kelon kok ini malah diam saja. Apa kamu kesurupan? Hah! Apa kamu kesurupan?” ulang mak Giwuk dengan perhatian yang tak terarah.

Setiti, dalam simpuhan duduknya malah tersenyum kecil. Lalu seperti tidak hendak menanggapi ocehan mak Giwuk, induk semangnya, ia pun bernyanyi nyanyi lirih. Entah melagukan apa. Mak Giwuk mengokohkan tolak pinggangnya di depan Setiti. Menggeleng gelengkan kepala berulang ulang seolah makhluk yang berada di depannya itu adalah sesuatu yang aneh, yang sulit dimengerti. “Titi! Coba pandang emakmu ini. Coba pandang!” Setiti mendongakkan kepalanya melihat ke wajah mak Giwuk. Sebentar kemudian menunduk kembali. Bernyanyi nyanyi.

“Ala Gustiii! Sampeyan iki ngopo, nduk? Ngopo?”

Yang diherani tetap saja lirih bernyanyi nyanyi. Kemudian mencoret coretkan tangan di lantai di mana ia duduk, lantai yang sudah pasti berdebu. Hasilnya: beberapa buah, entah huruf entah gambar, yang tak berarti. Atau mungkin tepatnya sesuatu dengan arti arti yang khusus, yang hanya dimengerti oleh Setiti.

Mak Giwuk tidak berusaha menanggapi lebih lanjut kediaman Setiti. Ia keluar dari kamar Setiti, namun tanpa melepaskan ocehan ocehannya. Dalam benaknya ia yakin bahwa sebentar kemudian Setiti akan mandi, berpakaian dan ikut ke ruang depan menemani tamu yang menghendakinya.

+++

Setiti bukan lagi manusia. Ia hanyalah tubuh yang telanjang. Setiti adalah…

“Gadis manis,” ucap seorang lelaki yang baru dikenalnya jam tujuh tadi, “Marilah mendekat ke sini!”

Setiti memperkirakan bahwa saat itu malam samasekali belum menjadi gelap. Paling paling baru jam setengah delapan lebih sedikit. Jadi untuk bermanja manja kepada lelaki ini bukanlah hal yang berlebihan. Dalam ketelanjangannya, ia mencoba untuk tetap berdiri. Memamerkan seluruh lekuk liku daging yang mengurungnya menjadi seorang wanita. Rasa penasarannya membuat ia, sekali sekali, ingin melihat air liur lelaki mengalir deras dari mulutnya karena tergiur kemontokannya. Ia sadar, ia mempunyai tubuh yang dapat membuat gila setiap lelaki. Apalagi seperti saat ini, dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun. Mungkin akan mati mendadaklah apabila lelaki, seperti lelaki ini, secara tiba tiba ditinggalkannya.

“Ayolah gadis manis. Sini! Cepatlah naik ke tempat tidur! Nanti Abang beri mimpi yang belum pernah kau mimpikan…” Rayuan lelaki itu persis seperti sajak sajak penyair murahan.

Setiti, dalam berdirinya yang binal malah tersenyum kecil. Didihan jantung sang penyair itu dibuatnya makin menggelegak. Lalu tanpa belas kasih disandarkanlah punggungnya ke tembok, matanya memandang langit langit kamar. Mengecap rasa syukur atas kemenangan yang paling ultim dari setiap awal percumbuannya.

Lelaki penyair itupun berubah seketika menjadi lelaki tanpa rasa sabar. Ia memburu. Memburu nafsunya sendiri. Ia dekati Setiti. Lalu seperti sebuah karung besar ia tutupkan seluruh dirinya atas diri Setiti. Setiti, manusia lain selain dirinya, lenyap dalam hatinya. Yang tertinggal adalah syahwatnya yang menyala nyala, memberangus, memberangus. Menerbangkan setiap kesadaran yang mencoba muncul. Lihatlah, pada suatu waktu ternyata kesadaran bisa berarti bukan apa apa. Bukan sesuatu yang bisa mencegah atau menghentikan kesalahan dan dosa dosa. Kesadaran hanyalah sobekan sobekan kertas kecil yang terbakar, terbang dengan sisa semangatnya yang paling rapuh, paling redup.

Kini, semuanya tinggallah pertanyaan pertanyaan yang mungkin tak pernah dapat dijawab. Lelaki itu, juga Setiti, siapakah mereka? Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Bergumul? Bergumul dengan siapa? Siapa menggumuli siapa? Bergumul dengan apa? Hanya erangan dan tawa tawa cabul yang terdengar. Nikmat, kesangsian dan menyesal…

Setelah itu seperti malam malam yang telah berlalu, tinggal sebuah transaksi tanpa jiwa. Setiti yang telanjang, dalam baring malasnya di atas kasur dengan seprei awut awutan, menunggu sang pangerannya berpakaian. Pakaian lengkap, tinggal menunggu sisiran dan sekedar merapikan yang dirasa belum pas benar. Kemudian tunggu barang semenit dua menit, lelaki itu merogoh saku belakang celananya. Menyimpan beberapa lembar uang di meja, atau melemparkan uang itu ke atas tubuhnya. Ia pun menanti kata kata pamit: “Setiti, saya pamit dulu, ya!”

Pintu yang tertutup melepaskan bunyi yang di telinga Setiti terdengar selalu saja panjang, keheningan, kenyataan yang sungguh sungguh kosong. Semuanya ternyata adalah keheningan. Awal dan akhir adalah keheningan. Bahkan semuanya, setiap saat, adalah keheningan.

+++

Kembali mak Giwuk mengoceh di kamar Setiti.

“Ti! Titi! Ayo nduk, di luar ada yang menunggu,” katanya dengan tekanan yang makin halus. “Kalau kamu kepingin apa, mbok ngomong whae. Ra’ usah koyok ngene! Ayolah nduk,”

Hal yang mengejutkan secara tiba tiba menyergap perasaan mak Giwuk. Ia, sebagai orang yang sudah memakan usia, tidak dapat sepenuhnya luput menangkap keadaan yang sungguh sungguh serius akan diri Setiti. Tidak biasanya Setiti ngadat seperti ini. Ia yakin manusia ini bukanlah Setitinya. Setiti orangnya gampangan, tak pernah sengaja membuat susah.

“Oalah, Gusti! Kamu bener bener terasuk setan, tho’?” mak Giwuk mendongakkan wajah Setiti dengan mengangkat dagunya. Melihat sebentar ke sinar mata Setiti. Tatapan yang hampa. Lalu punggung tangan yang satunya lagi ditempelkannya di dahi Setiti.

“Oalah, Gusti! Benooo…! Benooo…” teriaknya kemudian. “Golekke pakdhe Bejo, Noo…”

Setiti mengoyang goyangkan kepalanya kanan kiri. Masih terus lirih bernyanyi nyanyi. Tertawa kecil sendiri. Seperti merintih, sendiri. Dan telunjuknya yang sudah coklat oleh debu ditekan tekankannya pada sisi bibirnya sebelah kanan.

“…na…na…na, na…na…na…”

+++

Dulu Setiti, meskipun hanya seorang anak tambal ban dan penjual bensin dua tax, adalah gadis periang. Sekolahnya lumayan lebih tinggi dibanding kawan kawan sebaya dan sepermainannya di kampung kumuh di atas kali Code itu. Sekolah Menengah Pertama pernah diecapnya selama dua tahun lebih. Walau tidak sampai menyelesaikan kelas tiganya, itu cukup lumayan bagi Setiti. Tidak seperti kawan kawannya yang bahkan Sekolah Dasar pun banyak pula yang tidak tamat.

Cita cita masa remajanya sederhana saja, ia hanya ingin menjadi perawat. Alasannya pun sederhana, ia ingin agar setiap harinya bisa berpakaian yang bersih. Putih. Tidak seperti kesehariannya yang kumal. Baju dan rok roknya, walau di lingkungannya jarang sekali pohon pohonan, seperti bergetah getah. Atau lebih mirip lagi coklat coklat seperti kena olie.

Tetapi segalanya kandas menjadi nasib yang lebih sial, ketika suatu saat ayahnya, pak Somon, yang ternyata adalah ayah tirinya, memperkosanya. Ibunya menjelang siang Minggu itu tengah bersiap siap membereskan kios dorong bensinnya untuk dibuka. Dan pak Somon masih ada di rumah, karena memang tiap hari Minggu ia akan berangkat menunggu kios, setelah semuanya dibereskan istrinya.

Keriangan Setiti punah dalam sesaat. Cita cita tinggal menjadi ingatan yang mungkin saja bisa menyiksa. Sayang sungguh sayang, Setiti…

Kemudian, ketika Setiti memberitahu ibunya perihal perbuatan pak Somon terhadap dirinya, yang didapat bukanlah jalan keluar yang bisa memberi penjagaan atau sesuatu yang dapat menghibur dirinya. Yang diterimanya malah kata kata kasar, sumpah serapah, jambak dan usiran ibunya.

“Bajingan! Setan! Asu! Anak binal…, pergiii!” jeritan itu berakhir dengan tangis yang histeris.

Kepala Setiti berdenyut panas. Rambut yang kena jambak ibunya dirasakan lepas bersama kulit kepalanya. Ia tidak sepenuhnya mengerti kemarahan ibunya berawal dan mungkin akan berakhir di mana. Dan seperti tak berjejak di atas bumi Setiti melangkah dengan segala apa adanya ia saat itu. Hanya kesialan, kesedihan, ketakmengertian dan tanpa harapan apa apa yang mengiringinya, menuju ke entah…

Entah itu ternyata berujud sebuah kehidupan yang baru. Bersama perempuan tua bernama mak Giwuk, bersama perempuan perempuan yang kurang lebih sebaya dalam sebuah rumah yang lebih bagus dari gubuk ibunya. Bersama cerita cerita perkosaan yang lebih membungkam, yang menantangnya setiap saat untuk percaya bahwa itu adalah kehidupan yang biasa. “Tak ada satupun yang baru terjadi,” kerap Setiti berbisik untuk kehidupan barunya. “Tak ada satupun yang baru terjadi dengan diriku …”

Manusia yang sanggup dan mau berpikir meski sedikit tentang keberadaannya, pasti takkan punah samasekali dari mengharap. Setiti patut disyukuri berhubungan dengan hal ini. Ia masih punya kemampuan berharap untuk setiap detik yang akan dilaluinya. Setelah ia lepas terusir dari kehidupan dengan ibu dan ayahnya, Pak Somon, ia masih tertampung dalam kehidupan mak Giwuk bersama teman teman perempuan centilnya kini. Tetapi kenyataan itu memberinya kesadaran tentang hidup yang lebih layak, baik, bersih dan terhormat, tentang usia yang dirasakannya berjalan terlalu cepat, dan kematian. Ya, kematian amat mengerikannya, jika ia ternyata tamat dalam lingkungan yang makin lama makin dirasa absurd ini.

Kesimpulan kecil dari kekhawatiran kekhawatiran ini, menurut keyakinan Setiti adalah ia mesti mempunyai suami. Ya, seorang lelaki yang tetap hidup bersamanya baik dalam suka dan duka. Yang menjaga mata, bibir, tangan dan segala yang ada padanya dari bersentuh dengan sembarang laki laki. Yang mengembangkan semakin besar harapan harapannya dalam keseharian. Dan yang mendoakannya nanti ketika ia tiada. Kesimpulan kecil itupun lama lama menguat menjadi harapan, menjadi obsesi dan menunggu untuk dinyatakan. Tetapi kadang kadang ada juga ketidakyakinan, bahwa segalanya ini hanyalah satu gejolak dari kebosanan terhadap kesundalan nasib hidupnya.

Dan dalam sebulan terakhir, doa yang tak pernah diucapkan Setiti sepertinya hendak mewujudkan diri. Ada lelaki dengan janjinya yang mengarah untuk berumah tangga dengannya. Setiti menjadi seriang Setiti yang dulu, Setiti yang bersekolah dan mempunyai cita cita kecil menjadi perawat. Lelaki itu bukan lelaki yang luar biasa, namun cukup untuk menghargai harapan harapan Setiti. Ia seorang sopir taxi dengan kegemaran melacur juga.

“Kau mau kan menjadi istriku, Ti!” tanyanya di sela sela kemesraan kencan suatu waktu. Setiti tidak tahu harus mengucap apa. Sebagai sundal, apa dapat mewakilkan keinginan dan pengertian pengertiannya lewat kata kata? Kata kata kan untuk manusia manusia yang punya keleluasaan memilih, bukan yang hanya bisa pasrah bersetuju. Setiti tersenyum dengan kegenitan yang agak beda, kegenitan calon istri untuk lakinya.

“Aku telah berkencan dengan banyak perempuan. Tetapi tak ada yang sepertimu. Bisa membangkitkan ketagihan. Mungkin bagiku itulah yang kata orang orang pinter disebut cinta,” lanjut lelaki itu dengan rayuan kumuhnya. “Ketagihan, cinta, ketagihan, cinta. Ya, cinta adalah ketagihan!” Sambil menggitik gitik Setiti, lelaki itu berkata diselingi tawanya yang kumuh pula.

Tak ada pengertian lain bagi Setiti untuk terlaksananya niat berumah tangga, apalagi tambahan model ‘cinta’ segala. Model model begitu terlalu jauh dari jangkauan kesempatannya. Ia hanya ingin terbebas dari kesundalannya, menjadi selain Setiti yang kini…

Tetapi nasib buruk tega teganya datang menjenguk Setiti, di klimaks pengharapannya. Lelaki dengan janji rumah tangga itu bukanlah lelaki untuk jalan keluar. Ia lelaki dengan sejuta beban yang ingin ditumpahkannya. Sorga dari harapan telah berubah, kembali menjadi utopia.

“Mas, kapan kita menikah?” Setiti tampak ragu dengan pertanyaannya.

“Bisa besok pagi, bisa kapan saja,” jawab lelaki itu.

“Bagaimana kalau sebulan lagi kita menikah?” Setiti berbinar bola matanya. “Aku sudah ingin mengakhiri…”

“Maksudmu, kau ingin berhenti berkencan dengan lelaki lain?” potong lelaki itu. Ada perasaan gembira Setiti mendengar lelaki itu menyebutkan kalimat yang hendak diutarakannya.

“Ya, mas. Aku untukmu sepenuhnya. Kapan saja,” canggung juga Setiti melontarkan isi hatinya. Sudah biasa memang Setiti tidak melatih memberikan pelayanan yang luar biasa dengan kata katanya. Hanya ketelanjangan, wajah tanpa dosa dan gerak tubuhnya yang ia tugaskan memabukkan laki laki.

“Tidak Setiti! Tidak! Kau, kalaupun menikah denganku tidak perlu berhenti dari satu satunya cara yang bisa memberikan uang kepadamu. Kau harus tetap menerima tamu, dan aku yang nanti menjagamu. Aku punya banyak kenalan yang bisa royal asal mendapatkan kencan dengan perempuan semanismu. Tidak, jangan salah paham dengan pernikahan kita. Kita akan…” Lelaki itu ngomong berpanjang lebar sembari senyum senyum. Untuk selanjutnya ia kelihatan begitu licik. Tampak ia seperti orang jahat yang ketahuan sepenuh belangnya.

Sampai batas tertentu Setiti menjadi tuli, tak mendengar dan tak ingin mendengar apa apa lagi. Titik titik air deras keluar dari matanya, menguras sinar serta memelompongkan isi dan nuansa yang ditampungnya. Otaknya menjadi kabur dari segala pengertian.

Pada ruang waktu sebelum segalanya menjadi lain, ia merasakan selimut yang dipakainya ditarik dengan bernafsu. Ada tindihan yang terasa makin berat. Ada dengus yang tak menghormatinya sebagai manusia. Ada jeritan kecil dari kepuasan yang naif. Ada keringat yang bukan keringatnya. Setiti pun kemudian tertidur, entah pingsan.

Di hari Minggu, besoknya, ia turun dari kasurnya. Bersimpuh di lantai dengan membiarkan dirinya dalam keadaan telanjang.

Setiti bukan lagi kehidupan. Ia hanyalah sesuatu yang bernyawa. Kini Setiti adalah…

Sebuah Luka Bagi Sang Demonstran

Inilah representasi rakyat kecil yang aku bela, secuil kehidupan di sederet gerbong kereta api kelas ekonomi. Pertama kali kuinjakkan kaki di lantai kereta ini, aku telah mencium bau rakyat. Hawa yang panas dan suasana kumuh mempertegasnya. Aliran deras pedagang asongan dan teriakan teriakannya yang cerewet, lucu bahkan cabul, memberikan kepusingan tersendiri.

“Koran, koran, koran, koran… Koran Oom?”

“Cel, pecel. Pecelnya bu? Pak… Pecel, pecel…”

“Kacang ibu rambutan, kacang ibu rambutan, telor bapak rambutan…”

“Akua, akua… Teh kotak, kolonyet, pe pe o…”

Kuperhatikan, sepanjang aku berjalan mencari tempat duduk, kaca kaca yang menjadi dinding kereta ini tak satupun yang bersih. Semuanya kotor dan berdebu. Juga jok jok bangku dan meja kecil dengan warna karatnya. Cermin kesehatan rakyat.

“Bang, bang, korannya bang!” untuk tidak jatuh terbengong bengong saja aku mencoba membeli koran.

“Ini, Mas. Seratus rupiah saja!”

“Seratus rupiah?!” tanyaku.

“Ini koran lama, Mas. Buat tikar duduk.” jawab si tukang koran acuh tak acuh.

“Yang baru?”

“Wah, saya nggak jual.” sembari jawab si tukang koran ngeloyor pergi, seolah olah tahu betul bahwa aku tak lagi berminat pada koran korannya.

Kampung demi kampung berlari bagai gambar pemandangan yang panjang sedang digulungkan dari arah timur yang entah di mana persisnya. Sawah sawah yang kekeringan air, bukit bukit kecil yang tandus, genangan lumpur di lobang lobang tanah yang bergerenjul batu batu serta suara suara binatang di sepinya makam makam menawarkan selera abadi bagi perjalanan ini.

Di dalam kereta aku telah bermandi keringat. Orang orang lain juga. Ada percakapan dalam bahasa Jawa, Sunda dan lebih sedikit lagi dalam bahasa Indonesia. Dengan fokus yang bermacam macam pula, dari lingkup yang remeh sekali semacam pembicaraan kerumahtanggaan sampai ke hal hal yang menjurus politik(?).

“Toh rakyat tidak sebodoh yang diperkirakan banyak ‘orang pintar’,” benakku berkata. “Mereka punya bergudang gudang permasalahan yang mereka coba jawab sendiri. Apa itu bukan suatu kecerdasan?”

Dari pikiran itu berkembang nostalgia nostalgia petualanganku sebagai salah seorang yang sering disebut oleh banyak pihak sebagai demonstran. Berawal dari persiapan persiapan patriotik yang kulalui bersama kawan kawan sesama mahasiswa, mengetik naskah naskah yang kontroversial, mengecat spanduk serta mencorat coret kertas karton dengan kata kata advokatif bahkan terkadang radikal, sampai meneriakkan yel yel pembelaan dan gelar demonstrasinya itu sendiri.

Lalu kubandingkan jerih payah itu dengan keadaan rakyat yang sebenarnya, yang terpampang kini di depan mata kepalaku sendiri. Ada rasa tak percuma. “Ya, perjuangan perjuanganku mempunyai akar yang kuat, yakni kesengsaraan rakyat dan ketertindasannya dalam perikehidupan yang lebih besar. Lebih penting lagi, adalah ketulusan dan kejujurannya.” Lihatlah, mereka mempunyai wajah yang pasrah, penuh sabar dan jauh sekali dari bayangan bayangan pamrih. Tetapi struktur yang diciptakan bagi keseharian mereka, penuh lorong yang bengis dan jahat. “Apakah, bila Anda seorang manusia dengan hati yang orisinal manusia, melihat hal itu semua hati Anda tidak tergerak sedikitpun untuk membela? Atau tidakkah merasa bersyukur dan berbangga bahwa Anda, dalam satu ruang waktu tertentu pernah melakukan hal hal yang bisa membela keadaan mereka?” Berat juga ternyata mempunyai pikiran pikiran besar seperti itu. Karena beratnya untuk beberapa menit aku pun tertidur.

+++

Setelah mendengar derit kereta yang sepertinya berhenti secara tiba tiba, aku membuka mata. Menggeliat sebentar, lalu melihat ke luar jendela. Sebuah stasiun bangunan tua ramai dengan hilir mudik manusia. Bangku di depanku persis sudah kosong dari orang yang mendudukinya tadi. Disamping kiriku, nenek kurus yang mulutnya kembung oleh susur, sebentar menoleh kepadaku. Kemudian tanpa menawarkan kesan apa apa kembali melihat ke luar jendela, melihat hiruk pikuk yang mungkin pernah dilalui dalam bagian tertentu usianya.

Tiba tiba bahu kananku ada yang menepuk. Halus tetapi memberat pada akhirnya. Aku menoleh. Seorang lelaki kurus dengan muka senyumnya, nyengir. Di bahu kirinya tergantung tas kumal yang berbau anyir.

“Depan kosong ya, Mas ya?” mukanya masih nyengir.

“Kayaknya kosong,” jawabku.

“Jo, sini kosong, Jo!” ia menarik lengan lelaki yang berada di belakangnya. Lelaki yang dipanggil “Jo” itu menoleh, berusaha menyegarkan tampangnya yang agak kaget.

Dua orang lelaki kini duduk di depanku.

+++

Kini kereta berjalan dengan agak lambat, sengaja mungkin untuk menepatkan waktu tiba di stasiun yang bakal dilalui di depan. Kereta api kelas ekonomi memang harus selalu mengalah terhadap aturan cepat lambatnya kereta api kelas kelas lain. Tidak ada aturan yang pasti dan tersendiri bagi kelas ekonomi.

Bosan dengan segala pikiran yang muncul di otakku, kucoba mengobrol dengan lelaki kurus bermuka senyum itu. Dia menempati bangku persis berhadapan denganku. Pas di lutut celananya terdapat robek yang dengan jelas memperlihatkan luka yang masih baru. Ada darah segar di luka itu, sedangkan di sisi sisi robekan celananya bercak bercak darah mengental hitam.

“Kena apa itu Pak, lututnya?” tanyaku membuka percakapan.

“Wah, ketabrak nih,” jawabnya sambil dengan cepat melihat ke arah lukanya. “Tadi pas saya berangkat ke stasiun.”

“Ooo…” sahutku.

“Saya, dari rumah jalan kaki. Lumayan jauh, Mas. Ada mungkin lima kiloan dari rumah saya ke stasiun,” ia melanjutkan bercerita. Dalam hatiku muncul rasa simpati yang makin besar terhadap nasib rakyat kecil seperti bapak ini. Coba bayangkan, untuk bepergian mereka masih harus berjalan kaki sekian jauhnya, padahal banyak kendaraan yang berlalu lalang hanya berpenumpang satu dua orang. Kemubadziran yang sungguh sungguh.

“Ee, di perempatan jalan, kira kira setengah kiloan lagi sampai di stasiun, tiba tiba ada sedan be em we menyerempet dari belakang. Saya terjatuh. Lutut saya agak terseret di aspal butut. Masih untung tidak banyak yang kena.”

“Terus be em we nya lari?” tanyaku.

“Untungnya nggak.” lelaki itu tersenyum.

“Sekarang ini sudah terlalu biasa, orang nabrak terus lari. Jaman sudah biadab!” umpatku.

“Terus sopirnya bagaimana?” tanyaku lagi.

“Sopirnya keluar dari mobil. Yang menumpang mobil itu sebetulnya dua orang. Sepertinya suami istri. Tapi yang keluar hanya yang laki laki. Wuih, pakaiannya bagus. Pakai jam tangan emas, ada cincin batu yang… wah, gagah pokoknya. Saya yang masih terduduk di aspal jalan, sambil mengaduh aduh diangkatnya. Saya terus saja mengaduh,” dia menceritakan itu dengan gerak tangan dan mimik yang lucu. Sepertinya tidak ada beban dengan kejadian sial yang menimpanya. Ya, begitulah rakyat kecil adanya, tidak pernah menuntut macam macam dan bertele tele. Segala sesuatunya bisa menjadi gampang bila berhubungan dengan rakyat kecil, seperti lelaki kurus ini.

Kemudian dia menoleh kepada kawannya yang dari tadi diam saja. Di mataku tampak kawannya itu adalah orang yang baru kali ini naik kereta, naik ke keramaian yang tak teratur. Dari wajah dan gaya duduknya tidak salah lagi, ia adalah orang yang mudah sekali menjadi bingung.

“Jo! Kamu mau makan ya, Jo. Sudah lapar kan?” tanya dia kepada kawannya.

Jauh dari dugaanku, ternyata kawannya itu bisu. Ia hanya membalas pertanyaan lelaki itu dengan aa uu dan gerak tangan yang tidak jelas.

“Oh, sudah lapar juga toh kamu,” kesimpulan lelaki itu dari aa uu kawannya. Dari tas kumalnya ia keluarkan sebungkus nasi. Lalu diserahkannya pada si bisu.

Ia memandangku lagi sambil menepukkan kedua tangan ke pahanya. “Hheah…” hembus nafasnya.

“Terus yang punya be em we itu ngasih apa apa sama Bapak?” tanyaku mencegat lirikan kanan kiri matanya.

“Sebetulnya sopir itu mau memberi saya…” ia berhenti sejenak, lalu menggelengkan kepala sedikit dan mulutnya berbunyi ‘ck’.

“Tapi saya dengan cepat menolaknya. Kebetulan si Sarjo ini menarik saya untuk dipapahnya berjalan.” matanya melihat ke si bisu, yang ternyata bernama Sarjo itu. Sarjo sedang lahap menyuapkan nasi bungkus yang berwarna kuning oleh zat pewarna dengan lauk ikan asin ke mulutnya.

“Jadi Bapak tidak menerima apa apa dari be em, eh… dari yang punya be em we itu?” selidikku.

“Yaah…” jawabnya sambil tersenyum dan membuka tangannya. Bisa dipastikan, bagaimana makin meningkatnya rasa simpatiku padanya, pada seluruh rakyat kecil yang dalam niat, pikiran pikiran, ucap, teriakan, yel yel dan demo demo yang kulakukan aku bela. Kata yaah nya, senyum kecil dan gerak membuka tangannya hanya bermakna satu dalam otakku, ia tak menerima sesuatu. Tepatnya ia tidak berpamrih pada hal hal yang dirasa bukan haknya. Sebegitu besar ia menghargai kenyataan kenyataan, sehingga kecelakaan, ya hanya sebuah kecelakaan, tidak berusaha diruwet dan dilebih lebihkan. Sungguh jarang aku mendengar kenyataan seperti yang kudengar barusan, dimana orang orang lain selalu memanfaatkan peluang sekecil apapun demi mendapatkan uang, ini malah samasekali menolak apa yang sesungguhnya bisa menjadi selayaknya diterima.

Kulihat lagi ia, rakyat kecilku. Tersenyum dengan sinar matanya yang polos. Kubalas ia dengan senyumku yang paling tulus.

“Yaah…,” ia mengulang keikhlasannya. Lalu berkata melanjutkan, “Saya, mm saya harus cepat cepat meninggalkan yang punya mobil itu. Untung si Sarjo ini tindakannya tepat. Coba bayangkan kalau tidak! Wah, pasti ketahuan saya…”

“Ketahuan apa? Seharusnya Bapak mendapatkan sejumlah uang untuk mengobati luka lutut Bapak,” potongku, tidak sabar untuk membuatnya mengerti sedikit tentang hak hak yang seharusnya diperolehnya.

“Soalnya, ketika ia berusaha mengangkat saya, tanpa diketahuinya saya curi dompet di saku belakang celananya. Dan waaah sukses sekali saya hari ini,” kembali ia menggeleng gelengkan kepalanya sambil tangan kanannya menepuk nepuk saku depan celananya. “Bayangkan kalau ketahuan…”

Dan kemudian, terdengar di telingaku suara setengah empuk dari saku celana lelaki itu. Terlihat di mataku senyuman yang amat licik dan kurang ajar. Terasa di bawah tulang paruku sebelah kiri sakit yang mendadak.

Aku tak punya hasrat lagi berbicara…