tag:blogger.com,1999:blog-64280970171627125442024-03-13T08:36:32.498-07:00kolom PenulisRencanakan apa yang akan dikerjakan dan Kerjakan apa yang telah direncanakan Seberat apapun Pekerjaan itu jika dikerjakan dengan hati yang riang akan terasa ringankolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.comBlogger235125tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-59557714821242820972011-02-12T05:38:00.000-08:002011-02-12T05:38:49.798-08:00Kemana Kucari KurniamuOleh:Dheminto<br />
<br />
Bintang gemintang tertimpa awan kelam. Membuat malam kian renta dan muram. Burung hantupun merintih, mengabarkan duka Sobirin yang dihujam gundah merobek jiwa. Gundah harus meninggalkan gubug reotnya, bila tak mampu bayar kontrakan. Gundah bagaimana dia harus berlebaran. Lebih gundah bila anak dan istrinya harus tidur berselimutkan kelaparan. Sementara angin malam yang mendesah membawa aroma busuk sisa pesta buka puasa pejabat tadi sore, menambah suasana kian mengiris-iris hati. Di beranda reot itu, Pak sobirin masih duduk diam dan membatu. Disandarkannya wajah penuh guratan duka pada bantalan keras kursi kayu. Tangan kanan memijit-mijit dahi. Beberapa kali ditariknya napas panjang, tuk sekedar mengibas segala resah. Pikirannya kembali melayang. Mengapa sudah sebulan ini dia keliling tak juga didapatkan jatah rejekinya? Dengan bermodalkan peralatan tukang seadanya, Sobirin keliling menawarkan jasa pembuatan taman. Entah sudah berapa perumahan disinggahi. Tapi tak satupun order diterimanya. Tak sepeserpun rupiah didapatinya. Sementara kebutuhan bertumpuk tumpang tindih bagai benang kusut, yang dia tak tahu bagaimana mengurainya. Kepalanya makin berdenyut. Mata nanar. Berkali-kali dinariknya napas panjang. Tak terasa butiran beningpun menetes dipipinya.<br />
<br />
“Pak.............”, sapa Bu Sobirin memecah keheningan. Pak sobirin terperanjat. Dengan cepat dihapus air mata di kedua pipinya, serta membuang jauh kegelisahan pada kegelapan malam.<br />
“Ada apa bu...?” jawab Pak Sobirin ditenang-tenangkannya.<br />
“Beras kita sudah habis! Bagaimana?” kata bu sobirin memelas.<br />
Diraihnya dompet dicelana. Dibuka. Yang ada hanya seribu perak.<br />
Dengan bergetar Pak sobirin mengulurkan lembaran lusuh itu ke pangkuan Sumirah, istrinya, “Ini bu....tinggal seribu..!”.<br />
Sumirah menerimanya dengan gemetar menahan amarah. Kegetiran terpancar jelas diwajah yang memerah. Mendungpun mengembang, dan Airmata tumpah ruah di kedua pipinya. Sumpah serapahpun berhamburan tak terbendung.<br />
“Uang segini untuk apa Pak.....!!? Ini cuman dapat garam ! Apa anak istrimu suruh makan garam tok..mikir to mikir. Otak itu untuk mikir.!!?”. Sumirah berang.<br />
“Sabar to bu........!”, kata Pak Sobirin menghibur istrinya.<br />
“Sabar..Sabar! Kurang sabar apa aku pak !! Sudah saya bela-belain buruh kesana- kemari buat nyari makan. E..... bapak malah males-malesan ! laki-laki apa itu pak??! Sudah tahu mau lebaran, ndak punya beras, Hanun ndak punya baju, kontrakan habis belum bayar, e... bapak malah santai-santai saja ! mikir dong pak, mikir!!!” teriak Sumirah dengan wajah merah padam.<br />
Pak Sobirin terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa diam, tertunduk dan kelu.<br />
“Bagaimana pak?? !!!!”,.<br />
Pak Sobirin menarik napas panjang. Matanya dipejamkan. Berusaha tegar dan sabar. Ditahannya air mata agar tak berlinang. Kemudian dipegang tangan istrinya yang berdebu, tuk coba memberi harapan ! Satu harapan. Yang tak lebih hanya fatamorgana yang bisa hilang ditelan gulitanya malam.<br />
“Bu...! Kita harus yakin akan karunia Allah. Insyaallah besok kita akan dapat yang kita butuhkan. Besok kita berusaha. Sekarang mari, kita berdoa. Kita sholat tahajud ya bu!”.<br />
“Berdoa.-berdoa!!! Memang kenyang dengan berdoa !!? Sudah lelah aku berdoa pak! Tapi mana?! Mana!!? Kita tetap kere pak! Sekarang yang penting usaha! Usaha pak! Ndak malah nglamun begitu !!”, teriak bu sobirin sambil membanting pintu sekeras-kerasnya. Pak sobirin hanya bisa diam dan mengelus dada.<br />
Tak lama diambilnya sajadah usang. Ditumpahkannya kegundahan dalam sujud tahajud yang panjang. Bagai ngarai tak terbendung, semua biang gelisah resah dipanjatkan kepada Sang penguasa malam. Dia tak ingin lepas dari sujud. Bahkan hingga sahur menjelang.<br />
Jam telah berdentang 3 kali. Pak Sobirin, Sumirah dan Hanun putri tercinta telah duduk dihamparan tikar lusuh untuk santap sahur. Hanun memandang ke tengah. Dilihatnya hanya ada nasi putih. Tak ada yang lain. Padahal kemarin Hanun telah mengajukan permintaan<br />
“ Bapak..! Hanun pingiiiin banget sahur pake ayam goreng. Sekaliiii saja !! Besok pak ya!!”<br />
“Ya.. Insyaallah”, jawabnya ketika itu.<br />
“Janji lo pak”.<br />
“Ya ! Insyaallah”.<br />
Tapi malam ini, yang tersaji hanya nasi putih dan kecap. Hanya itu.<br />
“Mak...! Lauknya mana!!?” kata Hanun<br />
“Tanya tuh Bapakmu??!”, jawab Sumirah sewot<br />
Karena tak mampu menerima tatapan memelas Hanun dan wajah garang istrinya pak Sobirinpun bangkit dan luruh dalam sujud yang berurai air mata.<br />
Airmatapun makin tak terbendung, ketika dia ingat permintaan hanun minggu yang lalu.<br />
“Bapak !! bajuku sobek...!!” kata Hanun merajuk<br />
“Pakai yang lain dulu to sayang...!” jawab pak sobirin.<br />
“Yang mana bapak...................? kan yang lainnya sudah robek-robek semua”.<br />
“Ya.. nanti dijahit dulu !!”.<br />
“Masak sobek begini dijahit !”, kata Hanun sambil menunjukkan sobek bajunya yang tak mungkin dijahit.<br />
“ Ya sudah nanti ditambal”.<br />
“Masak ditambal!!??!.... Lagian...... masak mau lebaran pake’ baju tambalan !! Kan malu......beli dong pak !!!”.<br />
“Hanun............bapak belum punya uang!”.<br />
“Bapak pasti gitu !!....nggak mau mbelikan baju Hanun kan!!....bapak jahat! Bapak jahat!!”. Katanya cemberut sambil lari masuk ke kamar. Hanunpun menangis dan marah !!!. Hingga seharian dia mengurung diri di kamar. Sementara Pak Sobirin hanya bisa mendesah. Tak tahu harus berbuat apa. Kontrakan rumahpun terlambat 3 bulan belum terbayar. Si empu rumah telah memberi tenggat, bila sampai lebaran belum terbayar maka mereka harus keluar. Keluar kemana?<br />
****<br />
Matahari tak henti mamanggang bumi yang kering dan lapuk. Debu dan pasirnya terhempas-hempas oleh angin kemarau yang panas. Siangpun makin panas menyengat. Sebagian orang akan memilih berteduh dalam rumah yang dingin dan sejuk. Tapi tidak bagi Sobirin. Meski tengah berpuasa, Dia harus tetap melangkah menantang matahari. Berkeliling dari rumah ke rumah, untuk mencari kurnia Illahi..<br />
Mentari sudah tergelincir. Ketika Sobirin melepas penat dibawah pohon beringin ujung perumahan. Disekanya keringat asin dari wajah dan leher. Dari subuh dia berkeliling, namun yang didapat hanya lelah, lapar dan dahaga yang mencekik, mendera setitik asa yang tinggal tersisa. Hati makin pilu, ketika kembali terngiang cercaan istrinya semalam. Ketika teringat kembali putrinya tercinta. Bagai anak panah, doa-doapun dilepas sampai ke atap-atap langit.<br />
“Ya Allah.......... mengapa nasib tak jua berpihak padaku? Harus kemanakah kucari karuniaMu?!.”, ratapnya.<br />
“Adakah kau dengar wahai Sang Penguasa Langit?”.<br />
“ Kalau sampai aku tidak mendapatkan apa-apa, apa yang harus kukatakan pada istriku Ya Allah? Bagaimana anakku, tempat tinggalku! Haruskah aku berlebaran diemperan toko sebagai gelandangan?”.<br />
Ditangkupkannya kedua tangan diwajah, menutupi kepedihan yang tak terbendung.<br />
Tak terasa azan dzuhurpun telah memanggil. Memecah kebekuan dan kepiluan yang membelenggu. Diseretnya langkah ke masjid terdekat, memenuhi panggilan Illahi Robbi. Sholat dzuhur ditunaikan dengan sepenuh hati. Bagai seorang diplomat ulung, dia bermunajat ke HadiratNYa. Disampaikan segala biang keresahan. Tentang hidupnya. Tentang anak dan istrinya. Tentang tempat berteduhnya. Tentang kemiskinan yang selama ini mendera. “Adakah keadilan untukku ya Robbi !! Bukankan selama ini aku hanya menyembahMu? Bukankah selama ini aku hanya mohon pertolongan ke hadiratMu? Bukankan Engkau telah berjanji akan mengabulkan doa yang dipanjatkan kehadiratmu. Kami telah melakukan itu Ya Allah. Kami sudah berusaha. Manakah janjiMu?!! Harus kemana lagi kucari karuniaMu?”<br />
Setelah luruh dalam sujut panjang dengan derai air mata. Bagai dapat suntikan darah segar, dia bangkit dan lari mengejar matahari yang masih tersisa. Dengan mantap dilangkahkan kaki ke luar. Namun baru sampai seberang masjid, langkahnya terhenti. Didepannya tergeletak dompet tebal berwarna coklat. Seolah tersenyum memanggil, untuk merengkuhnya. Pak sobirin menengok kanan kiri. Tak ada siapa-siapa. Siapakah pemilik dompet ini? Tak ada siapa-siapa. Inikah jawaban doaku?<br />
Dengan pelan dibuka. Dilihatnya lembaran-lembaran merah sebanyak 6 lembar berjajar rapi didalam dompet. Seakan memanggil untuk memungutnya. Tapi dia ragu. “ Ini bukan milikku ! Bukan !!”. Ditutup dan diletakkan kembali dompet itu.<br />
Sesaat dia duduk termangu. Dia ingat butuh beras. Ingat bayar kontrakan. Ingat beli baju hanun, istri dan juga dirinya. Dan perlu uang untuk berlebaran.<br />
“Bukankah untuk menyambung hidup aku butuh uang?. Bukankah aku kesana kemari untuk mencari uang? Bukankah ini jawaban dari doa-doa yang kupanjatkan?” kata hatinya. Kembali direngkuhnya dompet itu.<br />
“Ingat !.........itu bukan milikmu. Tidak halal bagimu!. Apakah kamu akan menafkahi keluargamu dengan rezeki yang tidak halal?” kata hatinya yang lain.<br />
“Itu barang temuan, halal bagimu. Apalagi kamu bener-bener butuh to? Ingat hanun! Ingat istrimu!” kata hatinya yang satu.<br />
Maka diambilnya uang itu. Namun ketika dilihat KTP didalamnya, kembali bimbang dan ragu menyelimuti hatinya.<br />
“Nah...itu ada KTPnya, berarti ada yang punya kan. Kamu wajib mengembalikannya! Dosa tahu!!”.<br />
“Tapi............”.<br />
“Ndak ada tapi-tapian! itu bukan milikmu. Pokoknya kamu harus mengembalikan kepada yang punya. Ingat puasamu!”.<br />
“Yah....benar! Memang aku harus mengembalikan uang ini. Harus!” katanya mantap.<br />
Tak lama sampailah dia pada rumah minimalis dengan cat abu-abu berpadu warna putih. Dengan keraguan diketuknya pintu rumah itu, keluarlah seorang laki-laki tinggi besar dengan kumis tebal<br />
“ Ada apa !” katanya garang.<br />
“Maaf pak! Apa benar ini rumah Bapak Anton?”<br />
“Saya Anton. Ada apa ?”<br />
“Maaf pak, tadi saya menemukan dompet ini di dekat masjid. Ini dompet bapak ?’<br />
“Oh... jadi kamu yang nyuri ya!!”, bentak anton.<br />
“Tidak pak! Sungguh saya hanya menemukannya didekat masjid !!” dengan gemetar Pak Sobirin menyerahkan dompet tersebut.<br />
“Hah !!..tinggal 600 ribu!! Yang lainnya mana !! Kamu ambil ya?!!”.<br />
“Tidak Pak ! sungguh!! Demi Allah”.<br />
“Anton !! kalau dia nyuri nggak mungkin dia nganter kesini!” kata seorang kakek dari balik pintu.<br />
“Tapi uang saya tadi 2 jutaan kek!!”.<br />
“Ah ..mosok? Kalau orang ngambil pasti diambil semua. Masak disisakan. 600 ribu lagi. Kamu ingat-ingat dulu deh. Jangan sembarangan nuduh orang !!!”.<br />
“Tapi kek............”.<br />
Pak sobirin bergegas meninggalkan Pak Anton yang masih termangu. Meski Pak anton memanggil-mangil, dia terus melangkahkan kakinya.<br />
“Boro-boro terimakasih !! Ee... malah dituduh mencuri. Nasib-nasib!” gerutunya.<br />
Pak Sobirin terus melangkahkan kakinya. Dia berharap ada orang yang memberikan pekerjaan. Hanya itu yang diinginkan. Rezeki dari kucuran keringatnya. Bukan dari mencuri, apalagi meminta-minta. Na’udzubillahi min dzalika.<br />
Hingga senja merah tinggal semburat di cakrawala. Sobirin tak jua menemukan rezekinya. Sementara angin gunung telah bertiup pelan mengantar burung-burung pulang. Mereka pulang dengan perut kenyang dan sedikit biji untuk anaknya disarang. Alangkah bahagianya mereka !!! Sementara Pak Sobirin hanya bisa mengelus dada. Sudah seharian dia berkeliling. Haruskan pulang dengan tangan hampa? Harus kemana lagi kucari karuniaMu?<br />
“Mengapa burung saja dapat menjemput rezekinya, pulang dengan perut kenyang dan buah tangan untuk anaknya. Sedangkan aku................?”, pak Sobirin terguguk meratapi nasibnya. Dibiarkanya airmata berlinang membasahi pipinya.<br />
“Tapi....aku harus pulang...!”.<br />
Malam menjelang Pak sobirin baru sampai dirumah. Dipandanginya sesaat rumah yang tak lebih dari gubug reot itu. Memang tak pantas disebut rumah. Itupun bukan miliknya. Hanya ada temaram sinar lampu minyak terpancar didalamnya. Tak Terdengar suara apa-apa, hanun maupun istrinya. Keraguan menggelayut di hati pak sobirin.<br />
“Haruskah aku masuk dan berkata pada istri dan anakku , Maafkan bapak ! hari ini bapak tidak mendapatkan apa-apa?.. Padahal mereka menunggu pulangku untuk memenuhi janjiku. Sudah makankah mereka? Sudah berbukakah mereka? Bagaimana dengan kontrakan? Bagaimana baju robek Hanun? Bagaimana harus berlebaran besok?”. Kembali berbagai masalah tumpang tindih menagih janji. Tak tahu dengan apa harus dipenuhi. Akhirnya pak sobirin hanya bisa terduduk kelu didepan pintu. Hatinya semakin teriris-iris ketika suara takbir memanggil-manggil dari masjid-masjid dan surau.<br />
“Allahu Akbar Allahu Akbar! Sungguh Engkau Maha Besar ! Mengapa Engkau biarkan kami yang kecil ini? Mana janjiMu?”,keluhnya pada sang Pencipta dengan berurai air mata.<br />
“Bapak !! ........ Bapak sudah pulang to ?. Kok nggak manggil hanun?! Mak..................! Bapak sudah pulang!”, kata Hanun. Melihat putri tercinta Pak sobirin bingung apa yang yang harus dikatakan padanya. Dia tambah bingung ketika tiba-tiba Sumirah muncul didepan pintu.<br />
“Alhamdulillah bapak sudah pulang? Bapak sudah buka puasa?” tanya Sumirah. Pak Sobirin menggeleng. Kemudian Sumirah menggandengnya ke Meja makan. Pak sobirin heran, mengapa istrinya begitu baik? Kok ada makanan? Bahkan ada ayam goreng kesukaan Hanun, ada sayur lodeh kesukaannya. Ada buah. Ada kolak, ini darimana?<br />
“I....i..ni darimana ?” tanya Pak sobirin tak percaya. Lebih tak percaya lagi ketika dilihat ternyata anak dan istrinya telah memakai baju yang bagus-bagus. Baju barukah?<br />
“Ba....Bajumu.. dari mana? Mimpikah aku?”<br />
“Lho...kan dari bapak to. Bapak kan yang ngirim !”, jawab Sumirah lembut, tidak seperti biasanya.<br />
“Aku yang ngirim......?”.<br />
“Bukan bapak, tapi orang suruhan bapak”.<br />
“Orang suruhanku?”, tanya Pak sobirin makin tak mengerti.<br />
Untuk sesaat mereka hanya saling berpandangan. Tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Tapi yang pasti bahwa Allah SWT tak pernah melupakan janjiNya. “Pasti!”.kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-71649214340214256952011-02-12T05:34:00.000-08:002011-02-12T05:34:54.206-08:00Usaha Perkebunan Karet yang Menjanjikandari berbagai sumber, <br />
semoga bermanfaat bagi pembaca.Amin<br />
<br />
Kalau saja kita asumsikan untuk lahan 1 ha dan satu pohonnya menghasilkan 2 ons, dan dari 650 pohon yang bisa disadap hanya 400 pohon saja, berarti: 2 ons x 400 pohon = 800 ons (80 kg) @ Rp 7.500 (harga sekarang Rp 9.000) maka hasil perhari adalah : 80 kg x Rp 7.500,- = Rp 600.000,- karena disarankan menyadapnya sehari sadap-sehari tidak, maka dalam satu bulan berarti 15 hari, jadi saya bergaji dalam satu bulan adalah; 15 hari x Rp 600.000,- = Rp 9.000.000,- wauuuu banyak bangat.. dibandingkan dengan gaji Sarjana Komputer (IT lagi) masa kerja NOL tahun, dengan jumlah jam kerja 8 jam per hari “hanya” Rp 4.000.000,- apalagi dibandingkan dengan gaji pegawai negeri GOL III masa kerja NOL tahun, tidak lebih dari Rp 2.000.000,- pada hal nyadap karet satu hectare hanya memakan waktu maksimal 3 jam.., dan lebih nikmatnya lagi tidak kena macet.<br />
<br />
Supaya kelihatan jangan terlalu tinggi menghayalnya, bagaimana kalau saya turunkan lagi hasil per pohonya dari 2 ons menjadi 1 ons, (pada hal tukang bibit menjanjikan hasilnya 3 ons per pohon lho.) Berarti dari 1 ha karet dapat menghasilkan Rp 4.500.000,-/bulan., <br />
berikut ini tahapan-tahapan memulai usaha berkebun karet<br />
A. Tanah dan iklim<br />
<br />
Tanah<br />
<br />
* Tanah harus gembur<br />
* Kedalaman antara 1-2 meter<br />
* Tidak bercadas<br />
* PH tanah 3,5 – 7,0<br />
* Ketinggian tempat anatara 0 – 400 meter, paling baik pada ketinggian 0 – 200 meter, setiap kenaikan 200 meter matang sedap terlambat 6 bulan.<br />
<br />
Iklim<br />
<br />
* Curah hujan minimum 1.500 mm pertahun, jumlah hari hujan 100 – 150 hari, curah hujan optimum 2.500 – 4.000 mm.<br />
* Hujan selain bermanfaat bagi pertumbuhan karet, ada hubungannya dengan pemungutan hasil, terutama jumlah hari hujan sering turun pada pagi hari.<br />
* Unsur angin berpengaruh terhadap kerusakan tanaman akibat angin kencang.<br />
* Kelembaban sekitar tanaman menyebabkan produksi akan berkurang.<br />
<br />
<br />
Lahan<br />
<br />
* Penebangan dan pembakaran pohon yang ada pada lahan.<br />
* Penyacaran lahan dari rumput yang ada.<br />
* Pembajakan dengan traktor atau penggarpuan/pencangkulan dilakukan 3 kali, dengan tenggang waktu 1 bula, setelah pembajakan ke 3 lahan dibiarkan 2 minggu baru digaru.<br />
<br />
<br />
Hal-Hal Yang Harus Anda Perhatikan Untuk Mencegah Erosi<br />
<br />
1. Pembuatan teras, baik teras individu maupun teras bersambung di sesuaikan dengan kemiringan lahan.<br />
2. Pembuatan parit dan rorak, parit dibuat sejajar dengan lereng,saluran drainase memotong lereng dan rorak dibuat diantara barisan.<br />
3. Pengajiran, untuk menentukan letak tanaman dan meluruskan dalam barisan dengan cara sebagai berikut :<br />
- Tentukan arah Timur-Barat (TB) atau Utara-Selatan (US).<br />
- Ukur pada TB jarak 6 meter atau 7 meter dan 3 meter dari arah US.<br />
4. Penanaman penutup tanah, kegunaaanya : melindungi tanah dari sinar matahari langsung, erosi, menekan pertumbuhan gulma, dan sebagai media hidup cacing.<br />
<br />
B. Proses Pembibitan<br />
Bibit yang berkulitas, harus benar-benar biji yang diambil dari kebun standar yang berproduksi tinggi. Artinya, direkomendasikan pusat atau Balai Pembibitan yang memiliki legalitas tentang pembibitan.<br />
Sekarang saya akan mengajak Anda menanam bibit karet. Prosesnya adalah:<br />
<br />
Persemaian Perkecambahan<br />
Langkahnya adalah:<br />
<br />
* Benih disemai di bedengan dengan lebar 1-1,2 meter.<br />
* Di atas bedengan tersebut hamparkan pasir halus setebal 5-7 cm.<br />
* Sesuda itu tebarkan Natural Glio yang sudah terlebih dulu dikembangbiakkan dalam pupuk kandang 1 mg.<br />
* Bedengan dinaungi jerami / daun-daunan setinggi 1 meter di sisi timur, dan 80 cm di sisi Barat.<br />
* Benih direndam POC NASA selama 3-6 jam (takaran 1 tutup botol POC NASA / 1 liter air).<br />
* Benih disemaikan dan langsung disiram larutan POC NASA 0,5 tutup/liter air.<br />
* Jarak tanam benih antara 1-2 cm.<br />
* Siramlah benih secara teratur, dan benih yang normal akan berkecambah pada 10-14 hss dan selanjutnya dipindahkan ke tempat persemaian bibit.<br />
<br />
<br />
Persemaian Bibit<br />
Langkahnya adalah:<br />
<br />
* Tanah dicangkul sedalam 60-75 cm, lalu dihaluskan dan diratakan.<br />
* Buat bedengan setinggi 20 cm dan parit antar bedengan sedalam 50 cm.<br />
* Benih yang berkecambah ditanam dengan jarak 40×40x60 cm untuk okulasi coklat dan 20×20x60 untuk okulasi hijau.<br />
* Penyiraman harus Anda lakukan secara teratur<br />
* Pemupukan . Gunakanlah PUPUK MAKRO : (diberikan 3 bulan sekali)<br />
@ GT 1 : 8 gr urea, 4 gr TSP, 2 gr KCl perpohon<br />
@ LCB 1320: 2,5 gr urea, 3 gr TSP, 2 gr KCl perpohon<br />
POC NASA :<br />
2-3 cc/lt air perbibit disiramkan 1-2 minggu sekali<br />
<br />
* Pembuatan Kebun Entres:- Cara penanaman dan pemeliharaan seperti menanam bibit okulasi.<br />
- Bibit yang digunakan dapat berbentuk bibit stump atau bibit polybag.<br />
- Jarak tanam 1,0 m x 1,0 m.<br />
- Pemupukan : PUPUK MAKRO : (diberikan 3 bulan sekali)<br />
@ Tahun I : 10 gr urea, 10 gr TSP, 10 gr KCl /pohon<br />
@ Tahun II : 15 gr urea, 15 gr TSP, 15 gr KCl /pohon<br />
POC NASA :<br />
2-3 cc/lt air perbibit disiramkan 1-2 minggu sekali<br />
<br />
<br />
Okulasi<br />
Teknik Okulasi :<br />
<br />
* okulasi stump mini 60 x 60 x 60 cm<br />
* okulasi stump tinggi 80 x 80 x 80 cm<br />
<br />
Langkah selanjutnya: (keduanya sama):<br />
<br />
* Buat jendela okulasi panjang 5-7 cm, lebar 1-2 cm.<br />
* Persiapkan mata okulasi<br />
* Pisahkan kayu dari kulit (perisai)<br />
* Masukkan perisai ke dalam jendela<br />
* Membalut, gunakan pita plastik / tali rafia dengan tebal 0,04 mm<br />
* Setelah 3 minggu, balutan dibuka, jika pesriasi digores sedikit masih hijau segar, maka okulasi berhasil. Proses ini diulangi 1-2 minggu kemudian.<br />
* Bila bibit akan dipindahkan, potonglah miring batang bawah + 10 cm di atas okulasi.<br />
* Bibit okulasi yang dipindahkan dapat berbentuk stum mata tidur, stum tinggi, stum mini, dan bibit polybag.<br />
<br />
Usaha peningkatan produktivitas tanaman karet harus dilaksanakan dengan menanam klon-klon unggulan terbaru pada saat okulasi. Yang dimaksud klon adalah keturunan yang diperoleh secara pembiakan vegetatif suatu tanaman. Sehingga nantinya ciri-ciri dari tanaman tersebut sama persis dengan tanaman induknya. Jenis klon yang dianjurkan untuk digunakan pada saat okulasi adalah bahan tanaman karet. Ada banyak jenis klon unggul, antara lain: IRR 112, PB325, PB260,RRIM 712, dan lain-lain. <br />
<br />
C. Media Tanam<br />
Media tanam juga sangat mempengaruhi kualitas dan hasil yang dicapai.<br />
<br />
Langkah-langkahnya antara lain:<br />
<br />
1. Tanah dibongkar dengan cangkul / traktor, dan bersihkan dari sisa akar.<br />
2. Pembuatan teras untuk tanah dengan kemiringan lebih dari 10 derajat. Lebar teras minimal 1,5 meter dengan jarak antar teras tergantung dari jarak tanam.<br />
3. Pembuatan rorak (kotak kayu panjang) pada tanah landai. Rorak berguna untuk menampung tanah yang tererosi. Jika sudah penuh, maka isi rorak dituangkan ke areal di sebelah atas rorak.<br />
4. Pembuatan saluran penguras dan saluran pinggiran jalan yang sesuai dengan kemiringan lahan dan diperkeras<br />
<br />
D. Proses Penanaman<br />
Usaha peningkatan produktivitas tanaman karet harus dilaksanakan dengan menanam klon-klon unggulan terbaru pada saat penanaman baru ataupun pada saat peremajaan. Penanaman klon yang dianjurkan untuk digunakan pada saat penanaman bibit unggul adalah bahan tanaman karet. Adapun bahan tanaman yang dianjurkan sama seperti di artikel terdahulu, yaitu jenis klon yang dipakai pada saat okulasi.<br />
<br />
Hasil pengujian menunjukkan bahwa IRR 112 secara nyata dapat disadap 6 bulan lebih, produksi lateks 15% lebih tinggi, produksi kayu 30% lebih tinggi. Klon IRR 112 tidak peka luka sadap dan tidak perlu diberi stimulan dalam penyadapan sehingga sangat sesuai untuk pengembangan karet rakyat.<br />
<br />
Ada Beberapa Hal Penting yang Harus Anda Ketahui, yaitu:<br />
<br />
1. Penentuan Pola Tanaman<br />
0-3 tahun menggunakan teknik tumpangsari dengan padi gogo, jagung, dan kedelai. Lebih dari 3 tahun menggunakan teknik tumpangsari dengan jahe atau kapulogo.<br />
<br />
2. Jarak Tanam<br />
Beberapa kerusakan terjadi akibat jarak yang lebih sempit, antara lain kerusakan mahkota tajuk yang disebabkan oleh angin. Dampak yang lebih buruk yaitu kematian pohon yang disebabkan penyakit menjadi lebih tinggi. Di samping itu tercapainya lilit batang sadap menjadi lebih lambat, dan menyebabkan hasil getahnya akan berkurang Oleh sebab itu, dalam melakukan proses penanaman, sangat tidak dianjurkan jarak antara satu pohon dengan pohon yang lainnya terlalu rapat. Saya menyarankan kerapatan pohon yang yang Anda tanam setiap hektarnya tidak lebih dari 500 pohon. Artinya, jarak tanam setiap hektar adalah 7x3 meter, 7,14x 3,33 meter atau 8x2,5 meter.<br />
<br />
3. Lubang Dibiarkan Satu Bulan atau Lebih<br />
Jenis penutup tanah; Puecaria Javanica, Colopogonium moconoides dan centrosema fubercens,penanaman dapat diatur atau ditugal setelah tanah diolah dan di bersihkan, jumlah bibit yang ditanam 15 – 20 Kg/Ha dengan perbandingan 1 : 5 : 4 antara Pueraria Javanoica : Colopoganium moconoides dan cetrosema fubercens<br />
<br />
<br />
Proses Penanaman<br />
Cara penanaman karet :<br />
<br />
* Masukkan bibit dan plastiknya dalam lubang tanah dan biarkan 2-3 minggu.<br />
* Buka kantong plastik, tebarkan NATURAL GLIO yang telah dikembangbiakkan dalam pupuk kandang + 1 minggu dan segera timbun dengan tanah galian.<br />
* Siramkan POC NASA yang telah dicampur air secara merata (1 tutup/lt air perpohon). Hasil akan lebih bagus jika menggunakan SUPER NASA. Caranya : 1 botol SUPER NASA diencerkan dalam 2 liter (2000 ml) air dijadikan larutan induk. Kemudian setiap 1 liter air diberi 10 ml larutan induk tadi untuk penyiraman setiap pohon. Bibit ditanam pada lubang tanah yang telah diberi tanda dan ditekan sehingga leher akan tetap sejajar dengan permukaan tanah, tanah sekeliling bibit diinjak-injak sampai padat sehingga bibit tidak goyang, untuk stump mata tidur mata menghadap ke sekatan atau di sesuaikan dengan arah angin.<br />
<br />
E. Proses Pemeliharaan<br />
Proses pemeliharan tanaman karet harus diperhatikan dengan ketat agar hasil yang dicapai maksimal, antara lain:<br />
<br />
Penyulaman<br />
<br />
* Bibit yang baru ditanam selama tiga bulan pertama setelah tanam diamati terus menerus.<br />
* Tanaman yang mati segera diganti.<br />
* Klon tanaman untuk penyulaman harus sama.<br />
* Penyulaman dilakukan sampai unsur 2 tahun.<br />
* Penyulaman setelah itu dapat berkurang atau terlambat pertumbuhannya.<br />
<br />
<br />
Pemotongan Tunas Palsu<br />
Tunas palsu dibuang selama 2 bulan pertama dengan rotasi 1 kali 2 minggu, sedangkan tunas liar dibuang sampai tanaman mencapai ketinggian 1,80 meter.<br />
<br />
<br />
Merangsang Percabangan.<br />
Bila tanaman 2 – 3 tahun dengan tinggi 3,5 meter belum mempunyai cabang perlu diadakan perangsangan dengan cara :<br />
<br />
* Pengeringan batang (ring out)<br />
* Pembungkusan pucuk daun (leaf felding)<br />
* Penanggalan (tapping)<br />
<br />
<br />
Pemupukan<br />
Pemupukan dilakukan 2 kali setahun yaitu menjelang musim hujan dan akhir musim kemarau, sebelumnya tanaman dibersihkan dulu dari rerumputan dibuat larikan melingkar selama – 10 Cm. Pemupukan pertama kurang lebih 10 Cm dari pohon dan semakin besar disesuaikan dengan lingkaran tajuk.<br />
<br />
Merawat dengan baik merawat artinya memupuk dengan dosis anjuran. Dan hati hati dalam melakukan penyadapan. banyak petani hanya karena ingin memacu produksi menyadapnya terlalu dalam sehingga merusak bidang sadap. akibatnya besuk2 lagi getah karet tak mau keluar. Produksi normal rata rata per Ha 2000kg per tahun.<br />
<br />
Selanjutnya lebih baik saya langsung tunjukkan kepada Ande detail tentang proses pemupukan tanaman karet.<br />
<br />
Syarat Pemupukan:<br />
<br />
* Tes tanah sebelum pemupukan untuk mengukur pH dan diketahui kebutuhan unsur hara. Tanah harusnya memiliki derajat keasaman (pH) antara 5-6. Ukur derajat keasaman (pH) tiap dua tahun atau lebih awal. Jika pH dibawah 5, pengapuran dilakukan dengan dosis 2-3 ton/ha sebelum dilakukan pemupukan. Pemberian kapur tidak harus dilakukan setiap kali tanam, tetapi 3-4 tahun sekali.<br />
* Tanah disekitar pohon kelapa sawit yaitu pada lingkaran berdiameter 1-2 m harus bersih dari gulma. Pemberantasan gulma dilakukan secara mekanis (dicabut, dikored) dan/atau disemprot herbisida.<br />
* Penyemprotan sebaiknya dilakukan sebelum jam 9 pagi atau setelah jam 4 sore. Kalau memakai “Root Feeder” atau disuntik langsung ke perakaran penyemprotan bisa dilakukan kapan saja.<br />
* Untuk lahan yang menggunakan pupuk anorganik, Puja.168 dapat diaplikasikan bersamaan dengan pupuk anorganik. Tetapi tidak bisa diaplikasikan bersamaan dengan pestisida, herbisida atau fungisida. Pengaplikasian Puja.168 dilakukan maksimal 2 minggu setelah pengaplikasian pupuk anorganik, akan lebih baik bila diaplikasikan pupuk Urea ( untuk lahan yang mengaplikasikan pupuk anorganik dengan pupuk berimbang ).<br />
* Pemberian pupuk pertama sebaiknya pada awal musim hujan dan kedua kalinya di akhir musim hujan.<br />
<br />
Pemupukan bisa dilakukan setiap 3 atu 4 bulan tergantung kebutuhan tanaman atau hasil di perkebunan. Tetapi, untuk pertama kalinya pemupukan dengan Puja.168 bisa dilakukan kapan saja.<br />
<br />
Prosedur Pemupukan adalah sebagai berikut:<br />
<br />
* Dosis pupuk secara umum untuk pengaplikasian dilahan yang menggunakan pupuk an organik dapat dilakukan dengan kombinasi dengan mencampur 3.0-3.5 ml Puja.168 dengan 1-1.3 liter air per pohon sekali pemupukan. Yakinkan semprotan, ember, dayung tidak pernah dipakai untuk penyemprotan kimia seperti pestisida. Bagi pohon karet yang TM, takaran ideal adalah 11.2 ml/pohon/tahun.<br />
* Disiram sekeliling pohon sedekatnya 0.5 m sampai 1.0 m dari batang.Pemberian pupuk langsung ke akar (pakai alat Root Feeder) adalah sangat bagus tetapi penyiraman kangsung pun memberi hasil yang hasil. Tetapi, jika pemberian pupuk langsung ke akar tidak bisa, bisa menggali lubang sedalam 3-6 inci agar pupuk dipusatkan di posisi.<br />
* Frekwensi pemupukan disesuaikan ketersediaan tenaga kerja air, kondisi lokasi, dan keadaan tanaman. Kalau pemupukan dilakukan 4 kali per tahun, dosis di tabel A dibagi 4 dan dicampurkan dengan 1 liter air untuk pemupukan satu pohon karet.<br />
* Dengan asumsi 1 Ha = 470 tanaman dan per pohon dosisnya dicampurkan dengan 1.5 liter air. Dengan menggunakan tabung semprot dengan kapasitas 15 liter maka dosis pupuk untuk tanaman karet adalah sbb:<br />
<br />
<br />
Pemeliharaan Penutupan Tanah<br />
<br />
Saat tanam, yaitu:<br />
<br />
Dosis: umur 20 Kg Fospat alam atau sesuai dengan berat bibit.<br />
<br />
Caranya: Dicampur dan ditabur bersama-sama dengan biji.<br />
<br />
<br />
Usia 3 bulan, yaitu:<br />
<br />
Dosis: 200-300 fosphat alam setiap hektar.<br />
<br />
Caranya: diatur dan ditabur, diatur Leguinosa.<br />
<br />
<br />
Tumpangsari/Tanaman Sela / Intercroping<br />
Syarat-syarat pelaksanaan tumpangsari :<br />
<br />
* Topografi tanah maksimum 11 (8%)<br />
* Pengusahaan tanaman sela diantara umur tanaman karet 0 – 2 tahun.<br />
* Jarak tanam karet sistem larikan 7 X 3 meter atu 6 X 4 meter.<br />
* Tanaman sela harus di pupuk.<br />
* Setelah tanaman sela dipanen segera diusahakan tanaman penutup tanah<br />
<br />
Jangan lupa tetap menjaga tanaman Anda. <br />
<br />
F. Perlindungan tanaman dari hama<br />
HAMA<br />
Hama adalah perusak tanamam yang berupa hewan seperti serangga, tungga, mamalia dan nematoda.<br />
<br />
Beberapa jenis yang cukup merugikan yaitu:<br />
<br />
Kutu Lak (Laccifer)<br />
Ciri-ciri :<br />
<br />
* Menyerang tanaman karet dibawah 6 tahun.<br />
* Kutu berwarna jingga kemerahan dan terbungkus lapisan lak.<br />
* Mengeluarkan cairan madu, membuat jelaga hitam dan bercak pada tempat serangan.<br />
* Bagian yang diserang ranting dan daun lalu cairannya dihisap sehingga bagian tanaman yang terserang kering.<br />
* Penyebaran kutu lak dibantu semut gramang.<br />
<br />
Pengendalian:<br />
<br />
* Lakukan pengawasan sedini mungkin.<br />
* Bila serangan ringan lakukan pengendalian secara mekanais, Fisik dan Biologis<br />
* Bila serangan berat, dengan Insektisida Albocinium 2% dan formalin 0,15% ditambah Surfaktan Citrowet 0,025%, penyemprotan interval 3 mg.<br />
<br />
<br />
Pscudococcus Citri<br />
Ciri-ciri :<br />
<br />
* Stadia yang merusak adalah nympha dan imago berwarna kuning muda<br />
* Menyerang tanaman yang masih muda seperti ranting dan tangkai daun.<br />
<br />
Pengendalian :<br />
<br />
* Bila serangan berat bisa menggunakan Insektisida jenis metamidofos dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 0,05%-0,1%<br />
* Interval penyemprotan 1-2 mg<br />
<br />
<br />
PENYAKIT<br />
Penyakit adalah gangguan yang terus menerus pada tanaman yang disebabakan oleh patogen, virus, bakteri dan jasad renix lain.<br />
<br />
Beberapa jenis yang cukup merugikan antara lain:<br />
<br />
Penyakit Embun Tepung<br />
Penyebabnya adalah Cendawan Oidium heveae.<br />
<br />
Gejalanya yaitu:<br />
<br />
* Menyerang daun muda lalu berbintik putih dan merangas. Umumnya menyerang setelah musim gugur daun.<br />
* Secara mekanis dengan menanam klon yang sesuai.<br />
<br />
Pengendalian:<br />
<br />
* Pemeliharaan yang intensif, penyelarasan beban sadapan.<br />
* Secara kimiawi dengan belerang circus dosis 3 – 5 Kg/Ha interval 3 – 5 hari.<br />
<br />
<br />
Penyakit Daun Colletotrichum<br />
Penyebabnya adalah Colletotrichum gloeosporioides<br />
<br />
Gejalanya yaitu:<br />
<br />
* Daun muda cacat dan gugur, pucuk gundul daun bercak coklat, ditengah bercak berwarna putih bintik hitam (spora)<br />
* Penyebab oleh angin dan hujan<br />
<br />
Pengendalian : dengan Fungisida<br />
<br />
<br />
Penyakit Kanker Garis<br />
Penyebabnya adalah Phytophthora palmivora butl.<br />
<br />
Gejalanya yaitu:<br />
<br />
* Bidang sadapan terdapat garis vertikal berwarna hitam dan bisa masuk sampai kebagian kayu dan kulit membusuk.<br />
* Banyak timbul dimusim penghujan dan kebun yang terlampau lembab<br />
* Makin rendah irisan, kemungkinan infeksi makin besar.<br />
* Secara mekanis penjarangan pemangkasan pelindung,<br />
<br />
Pengendalian :<br />
<br />
* penanaman penutup tanah.<br />
* Secara Kimiawi dengan Fungisida (B.a. Kaptofol)<br />
<br />
<br />
Penyakit Jamur Upas<br />
Penyebabnya adalah Cortisium salmonicolor<br />
<br />
Gejalanya yaitu: tajuk pada dahan / cabang akan layu sehingga tanaman<br />
lemah dan produksi turun.<br />
<br />
Pengendalian: secara kimiawi luka akibat serangan dilumas dengan<br />
fungisida bahan aktif tridermof (Calizin Rm 2%).<br />
<br />
<br />
Penyakit Bidang Sadapan<br />
Penyebabnya adalah Ceratocystis Fimbriata<br />
<br />
Gejalanya yaitu:<br />
<br />
* Menerang kulit bidang sadapan yaitu timbul selaput benang berwarna putih kelabu .<br />
* Penyebaran melalui spora spora dan pisau sadap<br />
<br />
Pengendalian:<br />
<br />
* Secara mekanis dengan mengurangi kelembaban.<br />
* Secara kimiawi dengan Fungisida bahan aktif benomil dan Kaptofol<br />
<br />
<br />
Penyakit Cendawan Akar Putih<br />
Penyebabnya adalah Cendawan Fomes Lignosus<br />
<br />
Gejalanya yaitu:<br />
<br />
* Daun kusam, menguning, layu dan akhirnya gugur<br />
* Tanaman bila dibongkar pada akar terdapat cendawan berwarna putih kekuningan<br />
<br />
Pengendalian:<br />
<br />
* Secara mekanis saat pembukaan lahan tunggul dan akar harus dibongkar<br />
* Penanaman 1-2 tahun setelah pembongkaran<br />
* Tanaman sakit dibongkar lalu dibakar<br />
* Secara kimiawi akar yang terserang dipotong lalu diolesi fungisida.<br />
<br />
G. Panen dan Pasca Panen<br />
<br />
Tanda-Tanda Kebun Mulai Bisa Disadap<br />
Umur rata-rata 6 tahun atau 55% dari areal 1 hektar sudah mencapai lingkar batang 45 cm sampai dengan 50 cm. Pemakaian POC NASA, HORMONIK dan SUPERNASA secara teratur akan mempercepat waktu penyadapan pertama kali dan memperlama usia produksi tanaman. Disadap berselang 1 hari atau 2 hari setengah lingkar batang, dengan sistem sadapan/rumus S2-D2 atau S2-D3. Penyadapan ini dapat dilakukan selama antara 25-35 tahun. LUAR BIASA BUKAN?<br />
<br />
Pengolahan Lateks<br />
<br />
* Standard karet kebun diturunkan dari rata-rata 32% menjadi 16% dengan jalan memberi air yang bening atau yang bersih.<br />
* Dicampur dengan cuka/setiap 1 Kg karet kering 350 s/d 375 Cc larutan 1% cuka.<br />
* Dibiarkan sampai beku.<br />
* Digiling dalam gilingan polos dan kembang, kemudian direndam rata-rata 60 menit.<br />
* Disadap selama 1 minggu<br />
* Dihasilkan dalam bentuk RSS I, II, III dan IV of sheet.<br />
<br />
Penyadapan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak kulit tersebut. Jika terjadi kesalahan dalam penyadapan, maka produksi karet akan berkurang. Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, penyadapan harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi, menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatikan faktor kesehatan tanaman.kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-12114649004821975692011-02-10T06:03:00.000-08:002011-02-10T06:03:15.328-08:00Peluang Usaha Bisnis Fotocopy<b>Usaha mesin fotocopy</b><br />
dari berbagai sumber<br />
<br />
[Bisnis fotocopy] Wiraswasta dengan menjalani usaha fotocopy.Jika Anda menemukan lokasi yang berada di dekat sekolah atau universitas, sepertinya cocok sekali jika menjalankan usaha mesin fotocopy. Namun sebelum memutuskan usaha tersebut, cobalah melakukan riset kecil-kecilan. Pada saat jam sekolah atau kuliah, coba perhatikan seberapa sering mereka melakukan aktifitas foto copy.Setelah itu ada berapa tempat foto copy yang ada di sekitar sekolah atau universitas tersebut. Jika tempat foto copy yang sudah ada selalu ramai, itu artinya pasar masih terbuka. Lakukan hal yang sama dengan usaha rental komputer. Kemudian cobalah evaluasi hasil riset tadi, mana yang paling dibutuhkan pasar.Cek berapa harga yang mereka harapkan dan seberapa cepat pelayanan yang bisa dilakukan. Apakah perlu membeli juga mesin press/laminating, atau cukup foto copy dan jilid saja.Jangan lupa juga persiapan modal cadangan dan supplier. Terutama untuk barang yang banyak terpakai/terjual seperti ATK, kertas, toner/tinta, dan lainnya. Pastikan anda mendapatkan supplier yang baik dan pasokan yang cukup.Jangan sampai usaha sudah ramai tapi sering kehabisan stock karena perlu beberapa hari untuk mendapatkan barang. Hal ini bisa membuat konsumen lari ke pesaing anda. Setidaknya beberapa hal diatas selalu dilakukan pada pengusaha foto copy yang yang sampai sekarang sudah memililki Ruko dan anak buah yang mampu di organisir dan unit mesin hingga 12 Unit.<br />
Memulai Usaha Foto copy<br />
<br />
Usaha Foto copy Pada awalnya banyak yang tidak mengerti dan mengusai ilmu untuk bisnis foto copy dikarnakan hitungannya terlalu membingungkan,sebenarnya itu hal yang sangat mudah dilakukan karna banyak penngusaha foto copy yang berhasil dengan hingan mereka yang sanagt sederhana.<br />
Menjaga Mutu<br />
<br />
Usaha foto copy yang harus di utamakan selalu menjaga mutu dari semua jasa yang dia jual kepada konsumen, cepat, tepat, rapi dan memuaskan. Semua faktor itu yang selalu mereka jaga guna untuk memuaskan para konsumen.Agar mutu pelayanan terkontrol, semua proses produksi foto copy di tangani secara terstruktur. Semuanya dikerjakan di ruko. Bahan baku untuk memenuhi semua kebutuhan foto copy ini sudah di suplai dari beberapa agen yang bekerjasama dengan mereka.mereka memiliki beberapa stategi untuk tetap eksis di dunia foto copy. Caranya adalah memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen, menjaga kualitas dan mutu dari apa yang meraka jual, menjaga kerapian dan keindahan dari setiap order dari mereka.<br />
<br />
Untuk mempromosikan usaha yang mereka rintis, dia cukup menawarkan kepada teman-temannya saja, dia memiliki beberapa link . “Sempat juga dulu awal membuka foto copy ini memakai selebaran brosur yang di sebar ke beberapa tempat strategis”,<br />
<br />
Selain itu, pemilihan tempat atau lokasi untuk membuka usaha foto copy juga sangat menentukan laris tidaknya usaha ini. Harga juga termasuk salah satu faktor yang diperhatikan oleh konsumen. Harga yang ditawarkan foto copy bermacam-macam antara lain :<br />
<br />
Fotocopy Biasa / 70 gr = Rp. 100,- / lembar<br />
Fotocopy Biasa / 80 gr = Rp. 125,- / lembar<br />
Jilid Mika = Rp. 2500,-<br />
Jilid Biasa = Rp. 3000,-<br />
Jilid Laminating = Rp. 6000,-<br />
Jilid Skripsi = Rp. 12000,-<br />
Musim Liburan Sepi Order<br />
<br />
Kesulitan yang sangat dirasa untuk usaha fotocopy ini yaitu pada saat musim liburan tiba. Hampir setiap musim liburan foto copy ini selalu sepi akan order. Ditambah harga kertas mulai naik. harus banting tulang untuk mencari agen kertas yang harganya relatif miring di bandingkan dengan agen kertas yang lainnya.<br />
<br />
Hal itu disebabkan karena kebanyakan konsumen yang memakai jasa foto copy biasanya para mahasiswa , bahkan tak jarang mahasiswa dari luar juga memakai jasa foto copyan mereka. Hanya instansi maupun masyarakat umum yang pada waktu liburan masih tetap menggunakan jasa fotocopy .<br />
Prospek Cerah.<br />
<br />
Menurut Pemilik bisnis foto copy, usaha ini sangat memiliki prospek cerah untuk jangka waktu yang lama, akan tetapi harus juga mengimbangi dengan kemajuan teknologi yang semakin berkembang karna produsen foto copy selalu memunculkan produk-produk foto copy ter baru. Untuk itu dia berencana akan membuka rental komputer juga di ruko tersebut, dan memanfaatkan mesin foto copy sebagai printernya bias dikatakan mesin yang di gunakan Digital Multi-funtion.Dia juga mengimbuhkan semua pesaing datang dari semua foto copy yang ada, terlebih lagi fotocopy yang buka di sepanjang jalan tempat usahanya, bersaing secara sehat, dan mereka percaya rezeki orang itu sendiri- sendiri.Kalo kita mau berusaha dengan giat dan pantang menyerah pastilah Allah SWT akan memberi setimpal dengan apa yang kita usahakan,”jujur dikatakan para pembisnis fotocopy.<br />
SimulasiLaba Usaha Fotocopy<br />
<br />
biaya modal perlembar/ Copy.<br />
<br />
Mesin iR 5000 / 6000 ( Digital ) :<br />
<br />
1. Kertas : Rp 25.000 : 500 Lembar = Rp 50 ,-<br />
<br />
2. Tinta : Rp 95.000 : 20.000 Lembar = Rp 5 ,-<br />
<br />
3. Listrik : Rp 100.000 : 39.000 Lembar = Rp 4 ,-<br />
<br />
4. Tenaga : Rp 500.000 : 39.000 : 4 Karyawan = Rp 2 ,-<br />
<br />
5. Sp.part : Rp 4.000.000 : 2.000.000 Lembar = Rp 4 ,-<br />
<br />
Total Rp 65 ,-<br />
<br />
Keterangan :<br />
<br />
1. Harga Kertas Rp 24.000 ,- setiap rim ( 500 Lembar )<br />
<br />
2. Harga Toner / Tinta Rp 95.000,- untuk pemakaian 20.000 Lembar<br />
<br />
3. Pembayaran Listrik / bulan Rp 100.000,- untuk pemakaian 39.000 lembar / bulan ( Estimasi 1 hari<br />
<br />
= 1500 lembar / 3 rim x 26 hari kerja )<br />
<br />
4. Tenaga operator dibagi 4 pekarja :<br />
<br />
a. Photocopy<br />
<br />
b. Jilid<br />
<br />
c. Laminating<br />
<br />
d. Pelayanan ATK<br />
<br />
5. Sparepart Drum kit set Rp 4.000.000 ,- untuk pemakaian minimum 2.000.000 lembar<br />
<br />
<br />
Pendapatan<br />
<br />
Rp. 2.500.000 perminggu x 4 = Rp. 10.000.000,-/bulan<br />
Pengeluaran<br />
<br />
Biaya Pembelian Bahan Baku :<br />
1. Rp. 1.250.000,00 (pembelian kertas/bulan)<br />
2. Rp. 250.000,00 (pembelian tinta/bulan)<br />
<br />
Biaya Operasional Perbulan :<br />
Gaji karyawan = Rp. 800.000 / bulan<br />
Membayar Listrik = Rp. 4.000.000 / bulan<br />
Biaya tak terduga = Rp. 400.000 / bulan<br />
Keuntungan<br />
<br />
Laba Bersih : Rp. 10.000.000,00 – Rp. 6.700.000,00 = Rp. 3.300.000,00 / bulan<br />
<br />
studi kelayakan bisnis foto copy<br />
<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
1.1 Latar Belakang<br />
Dewasa ini, perekonomian negara Indonesia menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Tingginya angka inflasi nasional pada bulan April 2008 yang mencapai 4,01% dan di Surabaya yang mencapai 3,07 % dan isu kenaikan maupun kelangkaan harga BBM menjadi bukti adanya kurang kondusifnya kondisi perekonomian negara. Dalam kondisi yang seperti ini, masyarakat semakin terpuruk ketika harga kebutuhan beberapa bahan pokok mengalami peningkatan dan tidak lagi terjangkau yang juga tidak diimbangi dengan meningkatnya pendapatan masyarakat.<br />
Bagi para pelaku usaha, kondisi yang perlu diperhatikan adalah mengenai bagaimana daya beli masyarakat di sekitar sehingga bisa memunculkan permintaan dari beberapa penawaran yang dilakukan oleh perusahaan. Apabila permintaan meningkat memungkinkan pasar menjadi potensial dan ketika kondisi permintaan menurun menyebabkan kondisi<br />
Pasar berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Yang perlu diperhatikan adalah mengenai bagaimana tingkat persaingan, daya beli masyarakat, dan hukum permintaan maupun penawaran itu terjadi pada kondisi yang demikian.<br />
<br />
Jenis Usaha<br />
Unit usaha ini diberi nama ANDA dikarenakan bergerak dalam usaha<br />
Nama organisasi : foto copy “ANDA”<br />
Jenis Organisasi : yang melakukan percetakan<br />
Pemilik : BAMBANG NURYANTO<br />
Alamat : Simo gunung 12<br />
Tlp : ( 031 ) 71444328<br />
<br />
BAB II<br />
TINJAUAN ASPEK<br />
2.1 ASPEK PEMASARAN<br />
A. Segmentasi, Targeting dan Positioning<br />
a. Segmentasi<br />
Yang menjadi segmen dari usaha foto copy adalah semua segmen pasar (umum)<br />
b. Targeting<br />
Yang menjadi target market adalah siswas-siswi smp kawung Surabaya pada khususnya dan masyarakat disekitarnya<br />
c. Positioning<br />
Kami ingin menciptakan image atau citra perusahaan di benak konsumen sebagai tempat foto copy yang berkualitas dengan harga yang pas.<br />
B. Permintaan<br />
Perkembangan permintaan saat ini<br />
Dewasa ini, kalau kita cermati, permintaan akan foto copy semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kepentingan masyarakat dan meminimalisasi biaya.<br />
C. Penawaran<br />
a. Perkembangan penawaran saat ini<br />
Perkembangan penawaran disektor usaha foto copy pada saat ini memang umum di lingkungan kampus. Hal tersebut disebabkan karena sektor usaha ini sudah dibidik secara serius. Oleh karena itu, agar usaha foto copy menjadi lebih baik maka perlu peningkatan penawaran yang memberikan nilai lebih bagi konsumen dengan cara mendiskon harga dengan ketentuan yang berlaku<br />
b. Prospek penawaran di masa yang akan datang<br />
Mengingat adanya peluang yang besar dalam usaha foto copy pada masa yang akan datang, maka perlu adanya penawaran produk yang memberikan nilai lebih dan manfaat bagi konsumen. Penawaran tersebut akan semakin variatif (lebih banyak produk yang ditawarkan dalam hal ini tidak dimiliki oleh pesaing) maupun lebih kompetitif (dilihat dari kualitas kertas dan hasil copy harga dalam hal ini tidak terlalu diperhitungkan dikarenakan para pesaing juga melakukan banting harga) maka karena sudah ditunjang dengan perangkat teknologi informasi yang memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi atau sebatas bertukar informasi.<br />
D. Program Pemasaran<br />
a. Tingkat pelayanan<br />
Dalam usaha ini kami memberikan layanan yang memuaskan melalui layanan langsung,pemesanan dan tepat waktu pekerjaan .<br />
b. Penetapan harga<br />
Penetapan harga yang akan dilakukan adalah dengan menetapkan harga berdasarkan tingkat keberlangsungan usaha, dimana kami mencari keuntungan yang relative sehingga dapat menjalankan usaha secara kontinyu untuk meningkatkan pangsa pasar.<br />
<br />
2.2 ASPEK OPERASI<br />
A. Rencana Pengembangan<br />
a. Evaluasi lokasi<br />
Lokasi yang akan kami pilih untuk mendirikan bangunan sebagai tempat usaha foto copy adalah Dukuh kupang X Surabaya<br />
b. Sarana dan prasarana<br />
• Sarana yang akan kami gunakan untuk menunjang kegiatan usaha kami adalah dengan memanfatkan : Meja Kursi, Ruang Tunggu, Tempat parkir,<br />
• Sedangkan untuk prasarananya kami menggunakan bangunan seluas<br />
5 X 6 m2<br />
c. Bahan – bahan utama<br />
Bahan utama yang digunakan dalam menjalankan usaha foto copy antara lain :<br />
1. 3 buah mesin foto copy<br />
2. 2 buah mesin potong kertas<br />
3. berbagai jenis dan ukuran kertas<br />
4. Stapeles besar dan kecil berserta isi<br />
5. Isolasi berbagai ukuran<br />
6. berbagai warna mika<br />
e. Bangunan dan tata letak bangunan<br />
bangunan berdiri diatas tanah seluas 5 X 6 m2 dimana tempat parkir disediakan tanah seluas 5 X 2 m2<br />
f. Jadwal pelaksanaan<br />
Usaha foto copy akan mulai didirikan pada tanggal 1 Mei 2009 sampai tanggal 15 Juli 2008 untuk kegiatan pembangunan gedung, dan kegiatan operasional penjualan mulai lounching dan diperkenalkan ke masyarakat mulai tanggal 01 Agustus 2009.<br />
<br />
B. Rencana Pengoperasian Usaha<br />
a. Proses operasi usaha<br />
Proses operasi perusahaan meliputi rencana penjualan, rencana persediaan produk, penjadwalan pegawai dan penggajian, pengawasan kualitas, dan pengawasan biaya penjualan dan pemesanan.<br />
b. Kebutuhan bahan operasi<br />
Kebutuhan bahan operasi foto copy dikelola oleh pimpinan mengenai kebutuhan bahan operasi yang meliputi pendanaan, jumlah produk dan kegiatan pemasaran.<br />
c. Kegiatan perawatan mesin<br />
mesin foto copy yang digunakan mempunyai umur ekonomis selama 4 th.Kegiatan perawatan mesin kami menggunakan tenaga ahli mesin sesuai dengan mesin – mesin yang kami gunakan. Misalnya perawatan mesin copy,perawatan dilakukan secara berkala dan berkelanjutan dengan menggunakan tenaga ahli dari mitra kerja kami.<br />
<br />
2.3 ASPEK SDM<br />
A. Struktur Organisasi<br />
<br />
Bagan organisasi tersebut di buat agar memudahkan mengenai kepemimpinan organisasi dan dalam pembagian pekerjaan sesuai dengan divisi masing – masing<br />
B. Jabatan dan uraian tugas<br />
Pemilik<br />
Berperan sebagai kasir dan sekaligus sebagai penaggung jawab opersional<br />
Karyawan<br />
Berperan sebagai pelaksana pengoperasian mesin foto copy sekaligus melayani konsumen<br />
C. JAM KERJA<br />
Toko foto copy “ ANDA “ menggunakan jam kerja hari senin s/d minggu dari jam 06:00 s/d 19:00<br />
<br />
C. Jumlah karyawan dan system penggajian<br />
Periode I = tahun 1 s/d tahun 3<br />
No Jabatan Jumlah Gaji/bulan Total gaji/th<br />
1 Pemilik<br />
Penanggung jawab 1 Rp 1.200.000 Rp 14,400,000<br />
<br />
2 Karyawan 3 Rp 750.000 Rp 27.000.000<br />
Total gaji Rp 3.450.000 Rp 41.400.000<br />
<br />
Total gaji selama 3 tahun untuk periode I :<br />
• total gaji per bulan = Rp 3.450.000,-<br />
• total gaji per tahun = Rp 3.450.000,- x 12 = Rp 41.400.000,-<br />
• total gaji selama 3 tahun = Rp 41.400.000,- x 3 = Rp 124.200.000,<br />
pada bulan pertama tahun ke 4 terdapat kenaikan gaji sebesar Rp 100.000.-<br />
Periode II = tahun 4 s/d 5<br />
No Jabatan Jumlah Gaji/bulan Total gaji/th<br />
1 Pemilik<br />
Penanggung jawab 1 Rp 1.300.000 Rp15.600.000<br />
2 Karyawan 3 Rp 850.000 Rp30.600.000<br />
Total gaji Rp 3.850.000 Rp 46.200.000<br />
<br />
• total gaji per bulan = Rp3.850.000,-<br />
• total gaji per tahun = Rp 3.850.000,- x 12 = Rp 46.200.000,-<br />
• total gaji tahun 4 = Rp 46.200.000,-<br />
jadi selama empat tahun pengeluaran gaji sebesar<br />
Rp 124.200.000, + Rp 46.200.000, = Rp 170.400.000,-<br />
<br />
BAB III<br />
ANALISA<br />
<br />
MARGIN LABA 20%<br />
Penerimaan ( cash in flow ) = Rp 450.000 X 30 = 13.500.000 X 12 th<br />
= Rp 162.000.000<br />
Rp 162.000.000 X 4 th = Rp 648.000.000<br />
<br />
Pengeluaran ( cash out flow )<br />
Seluruh pengeluaran selama periode 1 dan 2 th<br />
Kertas HVS A4 70 Gr (Rp. 23.000 X 50 rim) : Rp 1.150.000<br />
Kertas HVS Folio 60 Gr (Rp. 18.000 X 150 rim) : Rp 2.700.000<br />
Isolasi Jilid @ Rp. 8.000 X 10 : Rp. 80.000<br />
Tunner : Rp. 7.200.000<br />
Biaya Perawatan : Rp. 72.000.000<br />
1 Pimpinan Rp. 1.200.000 X 12 : Rp. 14 400.000<br />
3 Karyawan Rp. 750.000 X 3 X 12 : Rp. 27.000.000<br />
Biaya Listrik : Rp. 7.200.000<br />
Biaya telepon : Rp. 1.200.000<br />
PBB : Rp. 1.400.000<br />
TOTAL Rp. 134.330.000 x 2<br />
Rp 268.660.000<br />
Seluruh pengeluaran selama periode 3 dan 4 th<br />
Kertas HVS A4 70 Gr (Rp. 24.000 X 50 rim) : Rp. 1.200.000<br />
Kertas HVS Folio 60 Gr (Rp. 20.000 X 150 rim) : Rp 3.000.000<br />
Isolasi Jilid @ Rp. 8.500 X 10 : Rp. 85.000<br />
Tunner : Rp. 8.000.000<br />
Biaya Perawatan : Rp. 72.000.000<br />
1 Pimpinan Rp. 1.300.000 X 12 : Rp. 15.600.000<br />
3 Karyawan Rp. 850.000 X 3 X 12 : Rp. 30.600.000<br />
Biaya Listrik : Rp. 7.200.000<br />
Biaya telepon : Rp. 1.200.000<br />
PBB : Rp. 1.400.000<br />
TOTAL Rp. 140.285.000 x 2<br />
Rp 280.570.000<br />
<br />
Proyeksi Laba Rugi ( EAT )<br />
- Penjualan per tahun (Rp 450.000 x 30 hari x 12 bulan ) : Rp 162.000.000<br />
- Biaya Operasi : Rp (134.330.000)<br />
<br />
Laba/ Rugi : Rp.27.670.000<br />
- PPN 10% ( 10.975.000 x 10% ) : ( Rp. 2.767.000 )<br />
- PBB : ( Rp. 1.400.000 )<br />
Laba setelah pajak : Rp 23.503.000<br />
<br />
• PBP :<br />
Investasi<br />
PBP = arus kas in flow X 1 th<br />
<br />
400.000.000 x 1 th = 2,4 th<br />
162.000.000<br />
<br />
• NPV :<br />
NPV = Cash In Flow + Discon Factor ( 20 % )<br />
1<br />
CIF + ( 1 + i ) n<br />
<br />
162.000.000 + 1<br />
( 1 + i ) 4<br />
<br />
• IRR :<br />
• ROI :<br />
<br />
No Pendapatan df PV<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
Rp 134.330.000<br />
Rp 134.330.000<br />
Rp 140.285.000<br />
Rp 140.285.000 0,8333<br />
0,6944<br />
0,5787<br />
0,4822 Rp 111.937.189<br />
Rp 93.278.752<br />
Rp 81.182.929,5<br />
Rp 67.645.427<br />
<br />
TOTAL PV Rp 354.044.297,5<br />
<br />
NPV = total PV – Inv. Awal<br />
= Rp 354.044.297,5 -Rp 347,730,000<br />
<br />
= Rp 6.314.297,5<br />
<br />
Jika NPV > 0 Usulan proyek diterima ( Positif )<br />
<br />
BAB VII<br />
KESIMPULAN<br />
<br />
A. Kesimpulan<br />
Dari hasil analisis beberapa faktor, ternyata usaha fotocopy mampu memberikan hasil yang baik dan dapat dikatakan layak untuk dijalankan. Mengingat adanya peluang yang besar dalam usaha foto copy pada masa yang akan datang Dewasa ini, kalau kita cermati, permintaan akan foto copy semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kepentingan masyarakat dan meminimalisasi biaya<br />
<br />
B. Saran<br />
Dalam menjalankan usaha fotocopy, yang perlu untuk diperhatikan adalah mengenai bagaimana menjaga kualitas hasil fotocopy yang baik.dan menjaga stabilitas stock kertas serta mencari segmen yang tepat.juga menentukan dalam harga pasar. <br />
<br />
<b>Harga mesin foto co</b>py<br />
<br />
Acesories dan perlengkapannya di Priode awal tahun 2011<br />
<br />
Harga terjangkau dan kualitas terjamin mutunya !!<br />
<br />
Jika anda ingin mengetahui Brosure mesin Foto copy Klik Disini<br />
<br />
Type Harga<br />
<br />
image RUNNER 6570 Rp 23.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5570 Rp 22.500.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5070 Rp 22.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5075 Rp 00.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5065 Rp 00.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5055 Rp 00.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5050 Rp 00.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 6020 Rp 24.500.000,-<br />
<br />
image RUNNER 6020 Rp 25.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5020 Rp 24.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5020i Rp 24.500.000,-<br />
<br />
image RUNNER 6000 Rp 24.500.000,-<br />
<br />
image RUNNER 6000i Rp 25.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5000 Rp 24.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 5000i Rp 24.500.000,-<br />
<br />
image RUNNER 4570 Rp 13.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 3570 Rp 12.500.000,-<br />
<br />
image RUNNER 3320 Rp 14.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 3300 Rp 14.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 2200 Rp 13.500.000,-<br />
<br />
image RUNNER 2020 Rp 12.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 2010 Rp 11.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 2000 Rp 11.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 1610 Rp 11.000.000,-<br />
<br />
image RUNNER 1600 Rp 11.000.000,-<br />
<br />
Image Class MF 4320 Rp 3.950.000,-<br />
Acesories / Perlengkapan<br />
<br />
Neon Box Rp 500.000,-<br />
<br />
Mesin Spiral A4 Rp 1.800.000,-<br />
<br />
Mesin Spiral Folio Rp 2.500.000,-<br />
<br />
Laminator Rp 1.250.000,-<br />
<br />
Staples Max Rp 1.100.000,-<br />
<br />
Paper Cutter Rp 350.000,-<br />
<br />
<br />
<br />
*Harga sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu<br />
<br />
*Harga mesin foto copy belum termasuk Perlengkapan / Acesories<br />
<br />
<br />
Mesin Fotocopy Terbanyak Diminati Customer di Tahun 2011<br />
<br />
Canon image runner 3570/4570<br />
<br />
Mesin Canon image runner 4570 ini sangat handal dalam mengerjakan tugas untuk mengcopy file dan gambar menghasilkan file copy B/W (Black/White).mesin ini di desain sangat rapi dan tidak menghabiskan banyak Space ruangan kerja maupun usaha,mesin model ini sangat diminati bagi kalangan Perusahaan dan Copy center (pemula) Bagi perusahan karna mesin ini dilengkapi dengan fitur-fitur yang sangat elegan dari model hingga tampilan sangat bergaya.dan bagi usaha pemula sangat direkomendasikan menggunakan mesin ini karna kemampuan kapasitas pemakaian yang sedang mencapai maxsimum copy /bulan hingga 100.000 lembar.dengan harga yang sangat terjangkau dibandingkan dengan type yang diatas mesin ini yaitu seri 50-,Tampilan layar yang futuristic membuat model ini diminati ditahun ini,mesin ini sangat hemat untuk biaya maintenance dan penggunaan Toner /Tinta,penggunaan tinta dengan banyak mengcopy file sanggup mengcopy hingga rata-rata 20.000 lembar /Kg.penggunaan copy gambar rata-rata hingga 15.000 lemgar / Kg.dilengkapi dengan memori save data yang bisa menekan pengguanaan listrik hingga 50%.Mesin yang sempurna untuk menekan cost biaya operasional sehari-hari.<br />
<br />
<br />
Canon image runner 5070/5570/6570<br />
<br />
[Canon IR 5070/5570/6570] Era Analog telah berganti dengan Era yang baru yaitu Era Digital.Produsen mesin fotocopy telah lama merancang mesin ini yang sanggup mengerjakan tugas mengcopy file sebanyak 350.000/bulan.mesin analog telah lama ditinggalkan karna sudah usang ditinggal zaman mesin ini dilengkapi dengan fitur-fitur yang lengkap dan selalu memudahkan pekerjaan kantor maupun usaha.Dengan kecepatannya yang tinngi hingga 65 lembar/permenit sangat cocok sekali untuk kalangan Usaha,fungsi digitalnya selalu mempermudah para operator fotocopy dalam melayani consumen yang ada.Kualitas hasil copy terbaik menyerupai aslinya,dan sangat irit untuk pemakaian Toner/Tinta mampu mencapai dalam pemakaian copy file/dokomen hingga 25.000lembar /kg.ditambah dengan save memori yang mampu menekan pengeluaran penggunaan daya listrik hingga 50% dari pada menggunakan mesin yang masih Analog.Agen besar digital Printing pun menggunakan mesin ini contohnya seperti Snapy dan lain-lain.karena kualitas hasil copy dan kehandalan mesin yang mampu mengundang profit yang tinggi.dan selalu memberikan kesan PUAS bagi para customernya.<br />
<br />
Tips buka usaha foto copy<br />
<br />
<br />
<br />
Mau berbagi tips sedikit merawat mesin fotocopy, ini dari teknisi yang biasa datang ke rumah kalau mesin fotocopy dikantor lagi ngadat. Intinya cuma pakai adc.<br />
<br />
Adc ( active drum cell) adalah suatu cairan kimia yang berguna untuk :<br />
<br />
1. Melapisi drum (tabung) machine photo copy jenis assy (drum canon : np 6045, np 6050, np 6650, agfa : x 58, x 88 dll) sehingga memperkecil bolong yang terlihat pada hasil fotokopi blok hitam, untuk hasil maksimal gunakan toner original<br />
2. Mengaktifkan drum cell mesin fotocopy yang sudah lemah, supaya drum mesin foto copy tidak gampang nembak / konsleting, dan drum foto kopi yang belang bisa normal kembali,<br />
3. Menghilangkan lembab yang membandel pada drum mesin fotokopi (sudah di braso, belum 1 bulan kumat lagi) yang menyebabkan hasil fotokopi kabur,<br />
4. Mempertajam hasil fotocopy walau pakai toner kw2,<br />
5. Merawat drum machine fotocopy agar usia drum panjang, dll<br />
<br />
<br />
Sebagian besar Kerusakan mesin fotocopy terjadi umumnya pada Box Toner dan Developing unit yang di timbulkan oleh beberapa hal ini<br />
1) Tinta/toner pada box toner utama mengeras/padat sehingga toner tidak menyuplai ke developing dan kerja motor pada box toner berat.<br />
2) Gear motor dinamo supplay toner pada box aus sehingga tidakmenggerakan ulir pada box toner<br />
3) Sensor pada box toner dan developing rusak atau kawat yang berfunsi menghapus pada dinding sensor developing tidak berfungsi atau lepas.<br />
4) Konsleting pada motor dinamo box toner sehingga merusak transistor di DC Control yang berfunsi sebagai penggerak motor dinamo motor box toner.<br />
E014<br />
<br />
Pada dasarnya kerusakan ini terjadi pada motor pemanas yang dapat ditimbulkanoleh:<br />
1) Konektor pada motor pemanas tidak terhubung.<br />
2) Voltage pada konektor motor pemanas ,J106-B16(+),J106-B18(-) tidak menunjukan tegangan dari 0-5v di PCB DC control.<br />
3) Bisa dsebabkan oleh ANTIRUSH rusak atau bearing pada upper rool dan lowwer roll pemanas keras dan tidak berputar.<br />
E-0012<br />
<br />
KERUSAKAN INTINYA TERJADI PADA MOTOR DRUM YANG BISA DITIMBULKAN OLEH:<br />
1) Konektor motor drum (J601 dan J602 ) tidak terhubung maka periksalah dan hubungkan.<br />
2) Cek konektor tegangan listrik pada J601dan J602 dimana tegangan yang harus masuk yaitu : J601-1 : 24 v, J601-2 : 0 v<br />
3) Motor drum d control<br />
matikan dan hidupkan mesin serta ukur tegangan pada konektor motor drum<br />
J 602-2 : 5v<br />
J 602-3 : 5v<br />
J 602-1 : 0v<br />
Apabila tegangan tersebut sesuai maka motor drum harus di perbaiki.Apabila tidak sesuai maka Control harus di perbaiki.<br />
4) kerusakan ini bisa juga di timbulkan oleh AntiRush di belekang PCB DC Control rusak dan juga pintu utama kurang tertutup menekan switch pintu serta juga switch bypass tidak tertekan oleh pintu samping.<br />
E010<br />
<br />
KERUSAKAN TERJADI PADA BEBERAPA HAL YAITU:<br />
1) Konektor main motor longgar atau tidak tersambung pada motor pick up yang ada di belakang pembuangan toner dekat motor drum<br />
2) DC kontrol rusak dimana pada konektor (j108-A6 (+) 108-A8(-) ) Tegangan lisrik kurang dari 5 volt maka main motor harus kita perbaiki.<br />
3) Kerusakan juga bisa terjadi pada PCB ANTI RUSH di belakang DC Control atau konektor nya longgar.<br />
4) Terjadi juga apabila pintu utama penutupanya kurang rapat.<br />
E0001 -0004<br />
<br />
Pada dasarnya kerusakan terjadi pada pemanas yaitu thermistor,sekering,subthermistor dan lampu pemanas.Tapi ada beberapa hal yang dapat menimbulkan kerusakan tersebut seperti:conector termistor dan sub termistor terdapat minyak silicon pada rumah conector tersebut.Kedua membran conector pemanas bagiab belakang kotor atau tidak koneksi pada lawan konektor maka harus kita bersihkan dengan alkohol.Dan terahkir biasanya ramregulator buat lampu pemanas rusak.<br />
E0005-0dst<br />
<br />
Pada dasarnya kerusakan ini yaitu E0005 Adalah habisnya cleaningweb.Tapi setelah kita ganti dankita reset error mesin masih menampilkan tanda error E-0005 lagi. Maka terkadang kita bingung akan hal ter sebut.Lewat forum ini kami akan uraikan cara pengatasannya.Pertama kita tekan *28* copier, Counter , MISC, FIX web, lalu kita tekan tombol C (CLEAR) yang dekat tombol angka 0.Baru kita program error yaitu tekan *28* copier ,function. clear, err. Kemudian matikan dan hidupkan mesin. Semoga masukan ini berguna untuk para teman teman semuanya.<br />
<br />
<br />
Pada dasarnya hardisk di mesin ir sama dengan yang ada dalam komputer yang butuh perawatan agar panjang umur penggunaanya.Hal yang harus kita perhatikan yaitu selalu bersihkan fentilasi didepan kipas hardisk agar udara yang masuk untuk pendingin hardisk lancar.Terusv jangan mematikan mesin waktu mesin lagi beroperasi.Kemudian perhatikan asupan listrik naik turun atau setabil dalam hal ini gunakan stabilizer.Terahkir Lihat jalur fentilasi kipas bawah panel ada yang pecah atau tidak,sebab apabila ada yang pecah akan menimbulkan panas yang berlebih pada ruang mesin.Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan semoga berguna.kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-45707180107780070692011-02-04T04:45:00.001-08:002011-02-04T04:45:03.027-08:00PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG NOMOR 13 TAHUN 2004TENTANG<br />
PEMBINAAN DAN RETRIBUSI PERIZINAN BANGUNAN<br />
<br />
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />
W A L I K O T A P A L E M B A N G<br />
Menimbang : a. bahwa dengan laju perkembangan pembangunan yang semakin pesat<br />
seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka<br />
pengaturan, penataan dan pengendalian pendirian bangunan, perlu<br />
dilakukan secara lebih menyeluruh dan dinamis;<br />
b. bahwa ketentuan yang mengatur mengenai pendirian dan pembongkaran<br />
bangunan dalam Kota Palembang sebagaimana yang termuat dalam<br />
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang Nomor 11<br />
Tahun 1996 tentang Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Membongkar<br />
Bangunan, materinya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan<br />
keadaan dewasa ini, dan oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan<br />
dan penyempurnaan;<br />
bahwa untuk memenuhi maksud tersebut, perlu diatur dan ditetapkan<br />
dengan Peraturan Daerah Kota Palembang.<br />
Mengingat : 1. Undang- undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah<br />
Tingkat II dan Kotapraja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara RI<br />
Tahun 1959 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1821);<br />
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-<br />
Pokok Agraria (Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan<br />
Lembaran Negara Nomor 2043);<br />
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran Negara<br />
RI Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3186);<br />
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 3209);<br />
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 3469);<br />
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 3470);<br />
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran<br />
Negara RI Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor<br />
3481);<br />
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran<br />
Negara RI Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor<br />
3501);<br />
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 3685);<br />
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan<br />
Hidup (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 3699);<br />
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 3839);<br />
2<br />
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan<br />
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1999<br />
Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3664);<br />
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang<br />
Nomor 18 Tahun 1998 tentang Pajak dan Retribusi Daerah<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 4048);<br />
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran<br />
Negara RI Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor<br />
4293);<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1985 tentang Jalan (Lembaran Negara<br />
RI Tahun 1985 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3293);<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1986 tentang Penyediaan dan<br />
Penggunaan Tanah serta Ruang Udara di sekitar Bandar Udara<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 1986 Nomor 75, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 3353);<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian<br />
Urusan Pemerintahan Di Bidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 25, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 3353);<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1988 tentang Perubahan Batas<br />
Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang, Kabupaten Daerah<br />
Tingkat II Musi Banyuasin dan Kabupaten Daerah Tingkat II Ogan<br />
Komering Ilir (Lembaran Negara RI Tahun 1988 Nomor 44, Tambahan<br />
Lembaran Negara Nomor 3383);<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai<br />
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara RI Tahun 1993 Nomor 84,<br />
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan<br />
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 3952);<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah<br />
(Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor 4139);<br />
Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan<br />
Lindung;<br />
Keputusan Presiden RI Nomor 33 Tahun 1991 tentang Penggunaan Tanah<br />
Bagi Kawasan Industri ;<br />
Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknis Penyusunan<br />
Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang–<br />
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan<br />
Presiden;<br />
Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 8 Tahun 2000 tentang Rencana<br />
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palembang Tahun 1999 – 2009;<br />
Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 22 Tahun 2000 tentang<br />
Kewenangan Pemerintah Kota Palembang;<br />
Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2001 tentang<br />
Pembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur<br />
Organisasi Dinas Daerah.<br />
Dengan Persetujuan<br />
3<br />
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALEMBANG<br />
M E M U T U S K A N<br />
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG TENTANG PEMBINAAN DAN<br />
RETRIBUSI PERIZINAN BANGUNAN.<br />
BAB I<br />
KETENTUAN UMUM<br />
Pasal 1<br />
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :<br />
Daerah adalah Kota Palembang;<br />
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah<br />
Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah ;<br />
Kepala Daerah adalah Walikota Palembang ;<br />
Dinas Tata Kota adalah Dinas Tata Kota Kota Palembang<br />
Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah Kota<br />
Palembang ;<br />
Kepala Dinas Tata Kota adalah Kepala Dinas Tata Kota Kota Palembang;<br />
Badan adalah suatu bentuk badan usaha meliputi Perseroan Terbatas,<br />
Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan<br />
nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma,<br />
Kongsi, Koperasi, Yayasan atau Organisasi yang sejenis, Lembaga Dana<br />
Pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya ;<br />
Petugas adalah seorang Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Tata Kota yang<br />
melaksanakan suatu tugas dengan surat perintah tugas oleh Kepala<br />
Dinas Tata Kota ;<br />
Izin Mendirikan Bangunan selanjutnya disingkat IMB adalah izin untuk<br />
mendirikan bangunan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, meliputi<br />
bangunan gedung, non gedung, menara dan rangka reklame ;<br />
Izin Mendirikan Media Reklame selanjutnya disingkat IMMR adalah izin<br />
untuk mendirikan atau membuat atau memasang media/bangunan<br />
dalam rangka penyelenggaraan reklame dalam wilayah Kota Palembang<br />
yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, dimana IMMR ini berlaku juga<br />
bagi rangka reklame yang saat ini sudah terpasang sebelum<br />
diberlakukannya Peraturan Daerah ini.<br />
Izin Penggunaan Bangunan selanjutnya disingkat IPB adalah izin untuk<br />
menggunakan bangunan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah ;<br />
Kelayakan Penggunaan Bangunan selanjutnya disingkat KPB adalah suatu<br />
penilaian kelayakan konstruksi bangunan dan pemenuhan kebutuhan<br />
fasilitas pendukungnya dari suatu bangunan yang telah dikeluarkan<br />
izin penggunaan bangunannya dalam jangka waktu tertentu ;<br />
Garis Sempadan Jalan selanjutnya disingkat GSJ adalah garis rencana jalan<br />
yang ditetapkan dalam rencana kota yang merupakan tempat batas<br />
untuk pendirian pagar bangunan ;<br />
Garis Sempadan Bangunan selanjutnya disingkat GSB adalah garis yang<br />
tidak boleh dilampaui oleh denah bangunan kearah GSJ yang<br />
ditetapkan dalam rencana kota ;<br />
Perpetakan adalah bidang tanah yang ditetapkan batas-batasnya sebagai<br />
satuan-satuan yang sesuai dengan rencana kota ;<br />
Rencana Kota adalah rencana yang disusun dalam rangka pengaturan<br />
pemanfaatan ruang kota ;<br />
Koefisien Dasar Bangunan selanjutnya disingkat KDB adalah angka<br />
perbandingan jumlah luas lantai dasar terhadap luas tanah perpetakan<br />
yang sesuai dengan rencana kota ;<br />
4<br />
Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka<br />
perbandingan jumlah luas seluruh lantai terhadap luas tanah<br />
perpetakan yang sesuai dengan rencana kota ;<br />
Lingkungan adalah bagian wilayah kota yang merupakan kesatuan ruang<br />
untuk suatu kehidupan dan penghidupan tertentu dalam suatu sistem<br />
pengembangan kota secara keseluruhan ;<br />
Lingkungan bangunan adalah suatu kelompok bangunan yang membentuk<br />
suatu kesatuan pada lingkungan tertentu ;<br />
Lingkungan campuran adalah suatu lingkungan dengan beberapa<br />
peruntukan yang ditetapkan dalam rencana kota ;<br />
Membangun adalah setiap kegiatan mendirikan, membongkar dan<br />
memperbaiki, mengganti, seluruh atau sebagian bangunan ;<br />
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara<br />
tetap pada tanah atau perairan ;<br />
Bangunan gedung adalah bangunan yang dipergunakan sebagai wadah<br />
kegiatan manusia ;<br />
Bangunan-bangunan adalah setiap hasil pekerjaan manusia yang tersusun<br />
dan melekat pada tanah atau bertumpu pada batu-batu landasan ;<br />
Bangunan rendah adalah bangunan yang mempunyai ketinggian mulai dari<br />
permukaan tanah atau lantai dasar dengan 4 lantai, maksimum 16 m<br />
;<br />
Bangunan tinggi I adalah bangunan yang mempunyai ketinggian antara 5<br />
sampai 8 lantai, maksimum 40 m ;<br />
Bangunan tinggi II adalah bangunan yang mempunyai ketinggian 9 lantai<br />
keatas atau lebih dari 40 m ;<br />
Bangunan renggang adalah bangunan dengan tampak yang menghadap ke<br />
jalan mempunyai jarak bebas samping terhadap batas pekarangan ;<br />
Bangunan rapat adalah bangunan dengan tampak yang menghadap kejalan<br />
tidak mempunyai jarak bebas samping ;<br />
Bangunan campuran adalah bangunan dengan lebih dari satu jenis<br />
penggunaan ;<br />
Bangunan darurat adalah bangunan yang peruntukannya sementara dan<br />
umur bangunan tidak lebih dari 2 tahun ;<br />
Bangunan semi permanen adalah bangunan yang sebagian konstruksi<br />
utamanya dinyatakan permanen dan umur bangunannya dinyatakan<br />
kurang dari 15 (lima belas) tahun ;<br />
Bangunan permanen adalah bangunan yang konstruksi utamanya terdiri<br />
dari beton atau kayu atau baja atau bahan lain yang umur bangunan<br />
dinyatakan lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun ;<br />
Bangunan petak adalah bangunan yang salah satu atau lebih dindingnya<br />
dipakai bersama dan dinding lainnya mempunyai jarak terhadap batas<br />
perpetakan ;<br />
Beban mati adalah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang bersifat<br />
tetap ;<br />
Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau<br />
penggunaan suatu gedung ;<br />
Beban gempa adalah semua beban static ekivalen yang bekerja pada gedung<br />
yang memberi pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa itu ;<br />
Beban angin adalah semua beban yang bekerja pada gedung atau bagian<br />
gedung yang disebabkan oleh selisih dalam tekanan udara ;<br />
Perancang bangunan adalah seorang atau sekelompok ahli dalam bidang<br />
arsitektur yang memiliki izin kerja ;<br />
Perancang struktur adalah seorang ahli atau sekelompok ahli dalam bidang<br />
struktur atau konstruksi bangunan yang memiliki izin kerja ;<br />
Perencana instalasi dan perlengkapan bangunan adalah seorang atau<br />
sekelompok ahli dalam bidang instalasi dan perlengkapan bangunan<br />
yang memiliki izin bekerja ;<br />
Direksi pengawas adalah seorang atau sekelompok ahli atau badan yang<br />
bertugas mengawasi pelaksanaan pekerjaan membangun atas<br />
penunjukan atas pemilikan bangunan sesuai dengan ketentuan izin<br />
membangun ;<br />
5<br />
Pemborong adalah orang atau badan yang melaksanakan kegiatan<br />
membangun atas penunjukan pemilik bangunan sesuai ketentuan izin ;<br />
Pengkaji teknis bangunan adalah seorang, sekelompok ahli, badan yang<br />
bertugas mengkaji kelayakan bangunan dalam segala aspek teknisnya ;<br />
Perancah adalah struktur pembantu sementara didalam pelaksanaan suatu<br />
bangunan untuk menunjang pekerjaan struktur bangunan ;<br />
Pagar proyek adalah pagar yang didirikan pada lahan proyek untuk batas<br />
pengaman proyek selama masa pelaksanaan ;<br />
Pagar pekarangan adalah pagar yang merupakan batas perpetakan yang<br />
sesuai dengan Rencana Kota ;<br />
Kompartemen adalah usaha untuk mencegah penjalaran api dengan<br />
membuat pembatas dinding, lantai, kolam, balok yang tahan terhadap<br />
api untuk waktu yang sesuai dengan kelas bangunan ;<br />
Alat pemadam api ringan adalah pemadam api yang mudah dioperasikan<br />
oleh satu orang, digunakan untuk memadamkan api pada awal<br />
terjadinya kebakaran ;<br />
Hidrant kebakaran adalah suatu sistem pemadam kebakaran dengan<br />
menggunakan air bertekanan dalam upaya penyelamatan, pencegahan<br />
dan perlindungan terhadap bahaya kebakaran ;<br />
Sprinkler adalah suatu sistem pemancar air yang bekerja secara otomatis<br />
bilamana suhu ruang mencapai suhu tertentu ;<br />
Pipa peningkat air (riser) adalah pipa vertical yang berfungsi mengalirkan air<br />
ke jaringan pipa ditiap lantai dan mengalirkan air ke pipa-pipa cabang<br />
dalam bangunan ;<br />
Pipa peningkat air kering (dry riser) adalah pipa air kosong dipasang dalam<br />
gedung atau areal gedung untuk memudahkan pemasukan air dari<br />
mobil pompa kebakaran guna mengalirkan air bila terjadi kebakaran ;<br />
Pipa peningkat air basah (wet riser) adalah pipa yang secara tetap terisi air<br />
dan mendapat aliran tetap dari sumber air yang dipasang dalam<br />
gedung atau didalam areal bangunan ;<br />
Alarm kebakaran adalah suatu alat pengindera yang dipasang pada<br />
bangunan gedung yang dapat memberi peringatan atau tanda pada<br />
saat terjadinya suatu kebakaran;<br />
Tangga kebakaran adalah tangga yang direncanakan khusus untuk<br />
menyelamatkan jiwa manusia pada waktu terjadi kebakaran ;<br />
Pintu kebakaran adalah pintu yang langsung menuju ke tangga kebakaran<br />
atau jalan keluar dan hanya dipergunakan apabila terjadi kebakaran ;<br />
Ketahanan terhadap api adalah sifat dari komponen struktur untuk tetap<br />
bertahan terhadap api tanpa kehilangan fungsinya sebagai komponen<br />
struktur, dalam waktu tertentu yang dinyatakan dalam jam ;<br />
Komponen struktur utama adalah bagian–bagian bangunan gedung yang<br />
memikul dan meneruskan beban ke pondasi ;<br />
Komponen struktur adalah bagian–bagian bangunan gedung baik yang<br />
memikul beban maupun tidak ;<br />
Instalasi dan perlengkapan bangunan adalah instalasi dan perlengkapan<br />
pada bangunan, bangunan–bangunan dan atau pekarangan yang<br />
digunakan untuk menunjang tercapainya unsur kenyamanan,<br />
keselamatan, komunikasi dan mobilitas dalam bangunan ;<br />
Penthouse adalah konstruksi yang berada paling atas tidak beratap, yang<br />
digunakan untuk mendukung instalasi dan perlengkapan bangunan ;<br />
Peremajaan lingkungan adalah suatu penataan kembali bangunan dan<br />
lingkungan ;<br />
Bangunan secara umum diklasifikasikan menjadi 4 yaitu: wisma atau<br />
rumah, karya atau tempat pekerjaan, suka atau tempat hiburan atau<br />
rekreasi, marga atau jalan dan penyempurnaan atau ruang terbuka ;<br />
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan selanjutnya disebut Retribusi adalah<br />
biaya yang dipungut atas pemberian Izin Mendirikan Bangunan yang<br />
ditetapkan oleh Kepala Daerah ;<br />
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan<br />
perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan<br />
pembayaran retribusi ;<br />
6<br />
Masa Retribusi adalah jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu<br />
bagi Wajib Retribusi dalam memanfaatkan jasa perizinan tertentu dari<br />
Pemerintah Daerah ;<br />
Surat Pendaftaran Objek Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat<br />
SPdORD adalah surat yang digunakan oleh wajib retribusi untuk<br />
melaporkan objek retribusi dan wajib retribusi sebagai dasar<br />
penghitungan dan pembayaran retribusi yang terutang menurut<br />
peraturan perundang-undangan retribusi Daerah ;<br />
Surat Pemberitahuan Retribusi Daerah selanjutnya disingkat SPRD adalah<br />
surat yang digunakan oleh Wajib Retribusi untuk melaporkan<br />
perhitungan dan pembayaran jumlah Retribusi yang terutang ;<br />
Surat Ketetapan Retribusi Daerah selanjutnya disingkat SKRD adalah Surat<br />
Keputusan yang menentukan besarnya jumlah Retribusi yang terutang<br />
;<br />
Surat Tagihan Retribusi Daerah selanjutnya disingkat STRD adalah surat<br />
untuk melakukan tagihan Retribusi dan atau sanksi administrasi<br />
berupa bunga atau denda ;<br />
Pendaftaran dan Pendataan adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh<br />
data atau informasi serta penatausahaan yang dilakukan oleh petugas<br />
Retribusi dengan cara penyampaian STRD kepada wajib Retribusi<br />
untuk diisi secara lengkap dan benar ;<br />
Perhitungan Retribusi Daerah adalah rincian besarnya Retribusi yang harus<br />
dibayar oleh Wajib Retribusi (WR) baik pokok Retribusi, maupun sanksi<br />
administrasi ;<br />
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar selanjutnya disingkat<br />
SKRDLB adalah Surat Keputusan yang harus dibayar oleh Wajib<br />
Retribusi (WR) baik pokok Retribusi, maupun sanksi administrasi ;<br />
Pembayaran Retribusi Daerah adalah besarnya kewajiban yang harus<br />
dipenuhi oleh Wajib Retribusi sesuai dengan SKRD dan STRD ke Kas<br />
Daerah atau ketempat lain yang ditunjuk dengan batas waktu yang<br />
telah ditentukan ;<br />
Penagihan Retribusi Daerah adalah serangkaian kegiatan pemungutan<br />
Retribusi Daerah yang diawali dengan penyampaian Surat Peringatan,<br />
Surat Teguran yang bersangkutan melaksanakan kewajiban untuk<br />
membayar Retribusi ;<br />
Kas Daerah adalah Kas Pemerintah Kota Palembang ;<br />
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang Retribusi Daerah<br />
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
BAB II<br />
IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN<br />
Bagian Pertama<br />
Perizinan<br />
Pasal 2<br />
Pasal 3<br />
Untuk mendapatkan IMB sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2)<br />
Peraturan Daerah ini, pemohon terlebih dahulu harus mengajukan<br />
surat permohonan tertulis kepada Kepala Daerah.<br />
Tatacara dan persyaratan yang harus dilengkapi oleh Pemohon untuk<br />
mendapatkan IMB sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.<br />
Apabila kelengkapan persyaratan telah dilengkapi oleh Pemohon, maka<br />
proses permohonan IMB diselesaikan selambat-lambatnya 21 (dua<br />
7<br />
puluh satu) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan<br />
tersebut.<br />
Pasal 4<br />
Permohonan IMB ditangguhkan penyelesaiannya, jika Pemohon tidak<br />
melengkapi atau memenuhi persyaratan teknis dalam jangka waktu<br />
yang ditetapkan.<br />
Apabila terjadi sengketa yang ada hubungannya dengan persyaratan IMB,<br />
penyelesaian permohonan izin dimaksud dapat ditangguhkan sampai<br />
ada penyelesaian sengketa.<br />
Keputusan penangguhan penyelesaian IMB sebagaimana dimaksud ayat<br />
(1) dan ayat (2) Pasal ini, diberitahukan secara tertulis kepada<br />
pemohon dengan disertai alasan.<br />
Permohonan IMB yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud ayat (3) Pasal<br />
ini, setelah waktu 12 bulan sejak tanggal penangguhan dapat ditolak<br />
yang surat pemberitahuannya disertai alasan-alasan penolakan.<br />
Pasal 5<br />
Kepala Daerah dapat menolak permohonan IMB apabila :<br />
Berdasarkan ketentuan yang berlaku kegiatan mendirikan bangunan akan<br />
melanggar ketertiban umum atau merugikan kepentingan umum ;<br />
Kepentingan pemukiman masyarakat setempat akan dirugikan atau<br />
penggunaannya dapat membahayakan kepentingan umum, kesehatan<br />
dan keserasian lingkungan;<br />
Pemohon belum atau tidak melaksanakan perintah tertulis yang diberikan<br />
sebagai salah satu syarat diprosesnya permohonan ; dan atau<br />
Bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rencana kota.<br />
Bagian Kedua<br />
Pembekuan dan Pencabutan serta Pembatalan Izin<br />
Pasal 6<br />
(1) Kepala Daerah dapat membekukan IMB apabila dikemudian hari<br />
ternyata ada sengketa, pengaduan dari pihak ketiga, pelanggaran<br />
atau kesalahan teknis dalam membangun.<br />
(2) Pembekuan IMB sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
diberitahukan secara tertulis kepada pemilik IMB dengan disertai<br />
alasan.<br />
(3) Pemilik IMB diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan<br />
secara tertulis kepada Kepala Daerah pembuktian penyelesaian<br />
sengketa dan mematuhi ketentuan atas pelanggaran atau kesalahan<br />
teknis dalam membangun.<br />
(4) Apabila pemilik IMB telah menyelesaikan sengketa, pengaduan dari<br />
pihak ketiga, mematuhi ketentuan dalam membangun, Kepala Daerah<br />
mencabut surat pembekuan secara tertulis kepada pemilik IMB.<br />
Pasal 7<br />
(1) Kepala Daerah dapat mencabut IMB apabila:<br />
8<br />
IMB berdasarkan kelengkapan izin yang diajukan dan keterangan<br />
pemohon yang ternyata tidak benar ;<br />
Pelaksanaan pembangunan menyimpang dari persyaratan yang<br />
tercantum dalam surat IMB ; dan atau<br />
Dalam waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan ternyata suatu<br />
keharusan yang berdasarkan peraturan-peraturan yang tidak<br />
dipenuhi.<br />
(2) Keputusan pencabutan surat IMB sebagaimana dimaksud pasal ini,<br />
diberitahukan secara tertulis kepada pemilik IMB tersebut dengan<br />
disertai alasan-alasan.<br />
(3) Terhadap bangunan yang telah dicabut surat IMB sebagaimana<br />
dimaksud ayat (2) Pasal ini, 6 bulan terhitung sejak pencabutannya<br />
dan tidak ada penyelesaian lanjutan, maka bangunan harus<br />
dibongkar sendiri oleh pemilik IMB atau dibongkar paksa oleh Kepala<br />
Daerah dengan biaya dibebankan kepada pemilik IMB.<br />
Pasal 8<br />
(1) IMB dapat dibatalkan atau dicabut apabila:<br />
a. Setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya<br />
Surat Keputusan IMB pelaksanaan pekerjaan pembangunan<br />
belum juga dimulai;<br />
b. Dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut pelaksanaan<br />
pembangunan terhenti sebagian atau seluruhnya sehingga<br />
bangunan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya ;<br />
c. Di kemudian hari ternyata keterangan atau lampiran persyaratan<br />
permohonan IMB yang diajukan palsu atau dipalsukan baik<br />
sebagian maupun seluruhnya ; dan atau<br />
d. Pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan tidak sesuai dengan<br />
IMB serta ketentuan lain yang berlaku.<br />
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, dapat<br />
diperpanjang sebelum jatuh tempo dengan mengajukan permohonan<br />
tertulis kepada Kepala Daerah.<br />
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini dicantumkan<br />
dalam surat IMB.<br />
(4) Perpanjangan waktu surat IMB sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal<br />
ini, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.<br />
Bagian Ketiga<br />
Tertib Bangunan<br />
Pasal 9<br />
(1) Pekerjaan mendirikan bangunan baru dapat dimulai oleh pemohon setelah surat<br />
IMB ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
(2) Untuk pengawasan pelaksanaan mendirikan bangunan sebagaimana<br />
dimaksud ayat (1) Pasal ini, kepada Pemohon diterbitkan izin<br />
mendirikan bangunan oleh Dinas Tata Kota.<br />
9<br />
(3) Setiap bangunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana<br />
ditetapkan dalam IMB harus dibongkar atau dilakukan penyesuaianpenyesuaian<br />
sehingga memenuhi ketentuan yang ditetapkan.<br />
Pasal 10<br />
Ketinggian bangunan, peruntukan, GSJ, dan GSB yang telah ditetapkan<br />
dalam rencana kota tidak boleh dilanggar dalam mendirikan atau<br />
memperbaharui seluruhnya atau sebagian dari bangunan.<br />
Apabila GSJ dan GSB sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, belum<br />
ditetapkan dalam rencana kota, Kepala Daerah dapat menetapkan<br />
GSJ dan GSB.<br />
Penetapan GSJ dan GSB yang disyaratkan dalam surat IMB sebagaimana<br />
dimaksud ayat (2) Pasal ini, dipatok di lapangan oleh Dinas Tata Kota<br />
untuk selanjutnya ditetapkan dalam rencana kota.<br />
Pasal 11<br />
Bangunan tertentu berdasarkan letak, bentuk, ketinggian dan<br />
penggunaannya harus dilengkapi dengan peralatan yang berfungsi sebagai<br />
pengaman terhadap lalu lintas udara atau lalu lintas sungai.<br />
Pasal 12<br />
IMB tidak diperlukan untuk pekerjaan :<br />
a. Pekerjaan yang termasuk dalam pemeliharaan dan perawatan<br />
bangunan yang bersifat biasa ;<br />
b. Mendirikan kandang pemeliharaan binatang dan luasnya tidak lebih<br />
dari 10 m2 ; dan atau<br />
c. Perbaikan-perbaikan yang ditentukan oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 13<br />
Selama pelaksanaan kegiatan mendirikan bangunan, pemilik IMB atau<br />
pelaksana bangunan harus menjaga keamanan, keselamatan<br />
bangunan dan lingkungan serta tidak boleh mengganggu<br />
ketentraman dan keselamatan masyarakat sekitarnya.<br />
Setelah selesai pekerjaan mendirikan bangunan 7 x 24 jam pemilik IMB<br />
atau pelaksana bangunan diwajibkan menyampaikan laporan secara<br />
tertulis kepada Kepala Daerah dan kepada Pemohon diberikan surat<br />
IPB sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1) Peraturan Daerah ini,<br />
melalui Kepala Dinas Tata Kota.<br />
Pasal 14<br />
(1) Pelaksanaan kegiatan membangun pada bangunan tertentu harus<br />
dilakukan oleh pemborong dan diawasi oleh direksi pengawas yang<br />
memiliki surat izin bekerja dan bertanggung jawab atas hasil<br />
pelaksanaan kegiatan tersebut.<br />
(2) Ketentuan tentang pemborong dan direksi pengawas dan sebagaimana<br />
dimaksud ayat (1) Pasal ini, ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
10<br />
Pasal 15<br />
(1) Pemborong dan direksi pengawas bertanggung jawab atas kesesuaian<br />
pelaksanaan terhadap persyaratan yang tercantum dalam izin.<br />
(2) Direksi pengawas harus melaporkan secara tertulis dimulainya<br />
kegiatan membangun secara terinci dan berkala kepada Kepala Dinas<br />
Tata Kota.<br />
(3) Apabila terjadi penyimpangan dalam kegiatan membangun dan atau<br />
terjadi akibat negative lainnya, direksi pengawas harus menghentikan<br />
pelaksanaan kegiatan membangun dan melaporkan kepada Kepala<br />
Daerah.<br />
Pasal 16<br />
Segala kerugian pihak lain yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan<br />
membangun, menjadi beban dan tanggung jawab pemborong dan atau<br />
pemilik bangunan.<br />
Bagian Keempat<br />
Pengendalian Pembangunan dan Bangunan<br />
Pasal 17<br />
(1) Setiap perencanaan dan perancangan bangunan selain harus<br />
memenuhi ketentuan teknis yang berlaku, juga harus<br />
mempertimbangkan segi keamanan, keselamatan, keserasian<br />
bangunan dan lingkungan baik dari segi arsitektur, konstruksi, instalasi<br />
dan perlengkapan bangunan termasuk keamanan dalam pencegahan<br />
penanggulangan kebakaran.<br />
(2) Perencanaan dan perancangan bangunan harus dilakukan dan<br />
dipertanggungjawabkan oleh para ahli yang memiliki surat izin bekerja<br />
sesuai bidangnya masing-masing terdiri dari:<br />
a. Perancang arsitektur bangunan ;<br />
b. Perancang struktur bangunan ; dan<br />
c. Perancang instalasi dan perlengkapan bangunan.<br />
(3) Para ahli perencanaan dan perancang harus memiliki rekomendasi dari<br />
ikatan organisasi profesi yang diakui oleh Pemerintah.<br />
(4) Surat izin bekerja sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini ditetapkan<br />
oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 18<br />
(1) Dalam setiap perencanaan dan perancangan bangunan, pemilik<br />
bangunan diwajibkan menunjuk perencana dan perancang<br />
sebagaimana dimaksud Pasal 17 Peraturan Daerah ini, kecuali untuk<br />
bangunan tertentu ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
(2) Pemilik bangunan wajib memberitahukan secara tertulis kepada Kepala<br />
Dinas Tata Kota apabila terjadi penggantian perancangan dan atau<br />
perencanaan bangunan.<br />
Pasal 19<br />
11<br />
(1) Gambar perencanaan dan perancangan bangunan antara lain terdiri<br />
dari:<br />
a. Gambar rancangan arsitektur ;<br />
b. Gambar dan perhitungan struktur ;<br />
c. Gambar dan perhitungan instalasi dan perlengkapan bangunan; dan<br />
d. Gambar rinci dan perhitungan lain yang ditetapkan, getaran suara<br />
serta pancaran radiasi.<br />
(2) Gambar dan perhitungan struktur, instalasi dan perlengkapan<br />
bangunan harus sesuai dan tidak menyimpang dari gambar rancangan<br />
arsitektur.<br />
(3) Penyajian rencana dan rancangan bangunan sebagaimana dimaksud<br />
ayat (1) Pasal ini, diwajibkan dalam gambar yang dengan dilengkapi<br />
ukuran, penjelasan penggunaan ruang, bahan serta menyatakan letak<br />
garis sempadan dan sejenisnya.<br />
(4) Penyajian rencana dan rancangan bangunan untuk pemeliharaan,<br />
perluasan atau perubahan, harus digambar dengan jelas, baik keadaan<br />
yang ada maupun pembaharuan, perluasan atau perubahan dimaksud.<br />
Pasal 20<br />
(1) Rancangan arsitektur suatu bangunan atau kompleks bangunan harus<br />
serasi dengan keseluruhan bangunan yang terdapat di lingkungannya<br />
dan sesuai dengan peruntukannya.<br />
(2) Kepala Daerah menetapkan ketentuan teknis lebih lanjut tentang<br />
perletakan bangunan secara teknis perubahan dan penambahan<br />
bangunan, dengan tetap memperhatikan keserasian dan kelestarian<br />
lingkungan serta kaidah perencanaan kota.<br />
Pasal 21<br />
Kepala Daerah dapat menetapkan dalam suatu lingkungan, untuk<br />
menyediakan fasilitas umum dan fasilitas sosial.<br />
Bagian Kelima<br />
Pemeliharaan Bangunan dan Pekarangan<br />
Pasal 22<br />
(1) Bangunan atau bagian bangunan dan pekarangan harus dalam<br />
keadaan terpelihara sehingga dapat tetap digunakan sesuai dengan<br />
fungsi dan persyaratan dalam surat IMB yang telah dikeluarkan serta<br />
tidak mengganggu segi kesehatan, kebersihan dan keamanan.<br />
(2) Dalam hal pemeliharaan bangunan, bagian bangunan dan<br />
pekarangan yang memerlukan keahlian harus dilaksanakan oleh<br />
pelaku teknis bangunan sesuai dengan bidangnya.<br />
(3) Tata cara dan persyaratan pemeliharaan bangunan, bagian bangunan<br />
dan pekarangan tertentu ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
12<br />
Pasal 23<br />
(1) Pemilik bangunan atau pekarangan wajib melaksanakan atau<br />
mengizinkan dilakukan pekerjaan-pekerjaan yang menurut Kepala<br />
Daerah dianggap perlu berdasarkan pemberitahuan secara tertulis.<br />
(2) Pekerjaan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, harus<br />
dilaksanakan dalam jangka waktu yang tercantum dalam<br />
Pemberitahuan.<br />
Pasal 24<br />
Kepala Daerah dapat memberi kelonggaran teknis pada pembaharuan<br />
seluruh atau sebagian dari bangunan, jika dengan pembaharuan tersebut<br />
didapat keadaan atau lingkungan yang lebih baik.<br />
Pasal 25<br />
(1) Kepala Daerah dapat menetapkan suatu bangunan baik sebagian<br />
atau keseluruhan yang tidak layak huni atau Bouvallig atau<br />
digunakan jika ditinjau dari struktur bangunan dan jaringan instalasi<br />
serta membahayakan penghuni dan atau lingkungan.<br />
(2) Kepala Daerah dapat memerintahkan penghuni untuk segera<br />
mengosongkan dan menutup bangunan sebagaimana dimaksud ayat<br />
(1) pasal ini dalam jangka waktu tertentu serta mengumumkan status<br />
bangunan tersebut berada di bawah Pemerintah Daerah.<br />
(3) Apabila bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, sudah<br />
dikosongkan, pembongkaran dilakukan sendiri oleh penghuni atau<br />
pemilik dalam jangka waktu tertentu.<br />
(4) Apabila ketentuan tertentu sebagaimana dimaksud ayat (2) dan (3)<br />
Pasal ini, tidak dilaksanakan oleh penghuni atau pemilik,<br />
pelaksanaan pengosongan dan atau pembongkaran dilakukan oleh<br />
Kepala Daerah atas beban biaya pemilik bangunan.<br />
Pasal 26<br />
Kepala Daerah menetapkan daerah-daerah bangunan dan atau bagian<br />
bangunan yang memiliki nilai sejarah atau kepurbakalaan, budaya dan<br />
arsitektur yang tinggi, sebagai daerah cagar budaya, yang perlu dilindungi<br />
dan dijaga kelestariannya.<br />
Pasal 27<br />
Terhadap kegiatan membangun bangunan dan atau bagian bangunan<br />
yang terkena ketentuan peremajaan lingkungan, Kepala Daerah dapat<br />
memberikan pengecualian apabila bangunan dan atau bagian bangunan<br />
tersebut dinyatakan sebagai bangunan yang perlu dilindungi dan dijaga<br />
kelestariannya.<br />
BAB III<br />
KETENTUAN TEKNIS MENDIRIKAN BANGUNAN<br />
Bagian Pertama<br />
Ketentuan Arsitektur Lingkungan<br />
Pasal 28<br />
(1) Setiap bangunan harus sesuai dengan peruntukan yang diatur dalam<br />
rencana kota.<br />
13<br />
(2) Penggunaan jenis bangunan pada lingkungan peruntukan<br />
sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini:<br />
a. Klasifikasi bangunan menurut penggunaannya terdiri dari:<br />
1) Bangunan rumah tinggal ;<br />
2) Bangunan non rumah tinggal ;<br />
3) Bangunan campuran ; dan<br />
4) Bangunan khusus.<br />
b. Klasifikasi bangunan menurut ketinggiannya terdiri dari:<br />
1) Bangunan rendah maksimal 4 lantai ;<br />
2) Bangunan tinggi I: 5-8 lantai (tinggi ≤ 40 meter) ;<br />
3) Bangunan tinggi II: 9 lantai keatas (tinggi ≥ 40 meter); dan<br />
4) Bangunan konstruksi khusus.<br />
c. Klasifikasi bangunan menurut kualitas konstruksi terdiri dari:<br />
1) Bangunan permanen ;<br />
2) Bangunan semi permanen ; dan<br />
3) Bangunan tidak permanen.<br />
d. Klasifikasi bangunan rumah tinggal menurut tipenya terdiri dari:<br />
1) Rumah tunggal ;<br />
2) Rumah gandeng 2, 3 atau 4 ;<br />
3) Rumah kelompok (5-10 unit) ;<br />
4) Rumah deret (row house) ; dan<br />
5) Rumah apartemen.<br />
e. Klasifikasi bangunan non rumah tinggal menurut tipenya terdiri<br />
dari:<br />
1) Bangunan perkantoran ;<br />
2) Bangunan kantor pos ;<br />
3) Bangunan perniagaan atau perdagangan ;<br />
4) Bangunan bank ;<br />
5) Bangunan perhotelan ;<br />
6) Bangunan perbelanjaan atau supermarket ;<br />
7) Bangunan rekreasi, hiburan, kesenian, museum ;<br />
8) Bangunan pendidikan ;<br />
9) Bangunan perpustakaan ;<br />
10) Bangunan olahraga ;<br />
11) Bangunan peribadatan ;<br />
12) Bangunan pasar ;<br />
13) Bangunan pertemuan, restoran ;<br />
14) Bangunan industri (gudang, bengkel, pabrik) ;<br />
15) Bangunan kesehatan ;<br />
16) Bangunan praktek dokter ;<br />
14<br />
17) Bangunan reklame ; dan<br />
18) Bangunan sarang walet.<br />
f. Klasifikasi bangunan khusus menurut tipenya terdiri dari :<br />
1) Bangunan militer ;<br />
2) Bangunan pelabuhan laut ;<br />
3) Bangunan bandara ; dan<br />
4) Bangunan stasiun dan terminal.<br />
(3) Hal-hal yang dimungkinkan adanya penggunaan lain sebagai<br />
pelengkap atau penunjang kegiatan utama berupa bangunan<br />
campuran adalah:<br />
a. Semua bangunan dengan status induk bangunan perumahan<br />
ditambah perniagaan dan bukan sebaliknya ;<br />
b. Semua bangunan dengan status induk bangunan perumahan<br />
ditambah industri (ringan, kerajinan, rumahan) dan bukan<br />
sebaliknya ;<br />
c. Semua bangunan dengan status induk bangunan perumahan<br />
ditambah kelembagaan dan bukan sebaliknya ;<br />
d. Semua bangunan dengan status induk bangunan umum<br />
ditambah perniagaan dan bukan sebaliknya ;<br />
e. Semua bangunan dengan status induk bangunan umum<br />
ditambah kelembagaan dan bukan sebaliknya ;<br />
f. Semua bangunan dengan status induk bangunan industri<br />
ditambah perniagaan dan bukan sebaliknya ;<br />
g. Semua bangunan dengan status induk bangunan industri<br />
ditambah kelembagaan dan bukan sebaliknya;<br />
h. Semua bangunan dengan status induk bangunan kelembagaan<br />
ditambah perniagaan dan bukan sebaliknya ; dan atau<br />
i. Semua bangunan dengan status induk bangunan pendidikan<br />
ditambah bangunan umum atau perniagaan atau kelembagaan<br />
dan bukan sebaliknya.<br />
(4) Setiap bangunan yang didirikan pada daerah peruntukan campuran,<br />
harus aman dari bahaya pencemaran lingkungan, bahaya kebakaran<br />
dan bahaya banjir.<br />
Pasal 29<br />
(1) Tata letak bangunan dalam suatu bagian lingkungan harus dirancang<br />
dengan memperhatikan keserasian lingkungan dan memudahkan<br />
upaya penanggulangan bahaya kebakaran.<br />
(2) Pada lokasi-lokasi tertentu Kepala Daerah dapat menetapkan<br />
pengarahan rencana tata letak bangunan dalam suatu bagian<br />
lingkungan.<br />
Pasal 30<br />
15<br />
Kepala Daerah dapat menetapkan suatu lokasi khusus untuk bangunan<br />
fasilitas umum, dan fasilitas sosial dengan tetap memperhatikan<br />
keamanan, kesehatan, keselamatan serta keserasian lingkungan.<br />
Pasal 31<br />
Penempatan bangunan-bangunan tidak boleh mengganggu ketertiban<br />
umum, lalu lintas, prasarana kota dan pekarangan, bentuk arsitektur<br />
bangunan dan lingkungan serta harus memenuhi kekuatan struktur<br />
dengan memperhatikan keserasian, keselamatan dan keamanan<br />
lingkungan.<br />
Pasal 32<br />
Pada lingkungan bangunan tertentu Kepala Daerah dapat menetapkan<br />
ketentuan penggunaan setiap lantai dasar atau lantai lainnya pada<br />
bangunan, untuk kepentingan umum.<br />
Pasal 33<br />
Pada daerah atau lingkungan tertentu Kepala Daerah dapat menetapkan<br />
tata cara membangun yang harus diikuti dengan memperhatikan<br />
keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian lingkungan.<br />
Pasal 34<br />
(1) Setiap bangunan yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan<br />
yang mengganggu harus dilengkapi dengan kajian lingkungan.<br />
(2) Setiap bangunan yang menghasilkan limbah atau buangan cair dan<br />
padat lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran, harus<br />
dilengkapi dengan sarana pengolah limbah untuk menetralisir limbah<br />
dibawah baku mutu sebelum dibuang ke saluran umum.<br />
(3) Bangunan yang menghasilkan asap dan debu harus dilengkapi<br />
dengan alat penyaring.<br />
Pasal 35<br />
(1) Bangunan yang didirikan harus memenuhi persyaratan KDB dan KLB<br />
sesuai dengan rencana kota yang ditetapkan.<br />
(2) Kepala Daerah dapat memberikan kelonggaran ketentuan<br />
sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, untuk bangunan<br />
perumahan, bangunan umum dan bangunan sosial dengan<br />
memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.<br />
(3) Kepala Daerah dapat memberikan kelonggaran ketentuan<br />
sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, untuk bangunan umum<br />
yang menyediakan ruang terbuka lebih luas dan atau lebih kecil dari<br />
KDB dengan memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.<br />
Pasal 36<br />
16<br />
(1) Setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana<br />
perpetakan yang diatur dalam rencana kota.<br />
(2) Apabila perpetakan tidak dipenuhi atau tidak ditetapkan, maka KDB<br />
dan KLB ditetapkan berdasarkan luas tanah dibelakang GSJ yang<br />
dimiliki.<br />
(3) Penggabungan atau pemecahan perpetakan dimungkinkan dengan<br />
ketentuan KDB dan KLB tidak dilampaui, dan dengan<br />
memperhitungkan keadaan lapangan, keserasian dan keamanan<br />
lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan.<br />
Pasal 37<br />
Untuk tanah yang belum atau tidak memenuhi persyaratan luas minimum<br />
perpetakan, Kepala Daerah dapat menetapkan lain dengan memperhatikan<br />
keserasian dan arsitektur lingkungan.<br />
Pasal 38<br />
Letak pintu masuk utama bangunan harus berorientasi ke jalan umum.<br />
Pasal 39<br />
(1) GSB ditetapkan dalam rencana kota.<br />
Kepala Daerah dapat menetapkan lebih lanjut tentang peletakan<br />
bangunan terhadap GSB, dengan memperhatikan keserasian,<br />
keamanan dan arsitektur lingkungan.<br />
(2) Bagian bangunan yang boleh melampaui GSB adalah :<br />
a. Teras terbuka (tidak pakai tiang) 1,5 meter ;<br />
b. Balkon 1,5 meter ;<br />
c. Luifel 2,50 meter, tinggi minimal 3,00 meter ;<br />
d. Tritisan atap 1,50 meter ;<br />
e. Rumah jaga dengan luas maksimal 6 m2 ;<br />
f. Gapura (pintu gerbang) ;<br />
g. ATM maximum 6 m2 ;<br />
h. Genset maximum 6 m2 ;<br />
i. Monumen ; dan<br />
j. Bangunan reklame.<br />
Pasal 40<br />
(1) Dalam hal membangun bangunan layang diatas jalan umum, saluran<br />
dan atau sarana lainnya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan<br />
dari Kepala Daerah.<br />
(2) Bangunan layang sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini tidak<br />
boleh mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan, orang dan<br />
barang, tidak mengganggu dan merusak sarana kota maupun<br />
prasarana jaringan kota yang berada dibawah atau diatas tanah,<br />
serta tetap memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.<br />
17<br />
Pasal 41<br />
Bangunan yang akan dibangun dibawah tanah melintasi sarana kota<br />
harus mendapat izin Kepala Daerah dan memenuhi persyaratan :<br />
a. Tidak diperkenankan untuk tempat tinggal ;<br />
b. Tidak mengganggu fungsi prasarana (jaringan kota) dan sarana kota<br />
yang ada ;<br />
c. Sirkulasi udara dan pencahayaan harus memenuhi persyaratan<br />
kesehatan pada setiap jenis bangunan sesuai dengan fungsi<br />
bangunan ; dan<br />
d. Memiliki sarana khusus bagi keamanan dan keselamatan pemakai<br />
bangunan.<br />
Pasal 42<br />
Bangunan yang dibangun diatas atau di dalam air harus mendapat izin<br />
dari Kepala Daerah dan harus memenuhi persyaratan :<br />
a. Sesuai dengan rencana kota ;<br />
b. Aman terhadap pengaruh negatif pasang surut air ;<br />
c. Penggunaannya tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, tidak<br />
menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan<br />
sekitarnya, mengganggu lalu lintas air dan tidak menimbulkan<br />
pencemaran ;<br />
d. Penggunaan bahan yang aman terhadap kerusakan karena air ;<br />
e. Sirkulasi udara dan pencahayaan harus memenuhi persyaratan<br />
kesehatan pada setiap jenis bangunan sesuai dengan fungsi<br />
bangunan ; dan<br />
f. Ruangan dalam bangunan di bawah air harus memiliki sarana<br />
khusus bagi keamanan dan keselamatan pemakai bangunan.<br />
Pasal 43<br />
(1) Pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi, letak<br />
bangunan minimal 12,5 meter dari jalur tegangan tinggi terluar serta<br />
tinggi bangunan tidak boleh melampaui garis sudut 450 (empat puluh<br />
lima derajat), yang diukur dari jalur tegangan tinggi terluar.<br />
(2) Kepala Daerah dapat menetapkan lain dengan memperhatikan<br />
pertimbangan para ahli dan peraturan perundangan yang berlaku.<br />
Pasal 44<br />
(1) Bangunan yang didirikan harus berpedoman pada ketinggian<br />
lingkungan bangunan yang ditetapkan dalam rencana kota.<br />
(2) Kepala Daerah demi kepentingan umum tertentu dapat memberi<br />
kelonggaran dan batasan atas ketinggian bangunan pada lingkungan<br />
tertentu dengan memperhatikan keserasian lingkungan, KDB dan<br />
KLB serta keamanan terhadap bangunan.<br />
(3) Batasan atas ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud ayat (2)<br />
Pasal ini, pada daerah tertentu harus mendapatkan rekomendasi dari<br />
instansi terkait.<br />
Pasal 45<br />
18<br />
(1) Setiap perencanaan bangunan harus memperhatikan bentuk dan<br />
karakteristik arsitektur lingkungan yang ada di sekitarnya.<br />
(2) Setiap bangunan yang didirikan berdampingan dengan bangunan<br />
cagar budaya harus serasi dengan bangunan pemugaran tersebut.<br />
Pasal 46<br />
Ketinggian pekarangan yang berdekatan harus dibuat sedemikian sehingga<br />
tidak merusak keserasian lingkungan atau merugikan pihak lain.<br />
Pasal 47<br />
(1) Bagi daerah yang belum mempunyai rencana teknik ruang kota,<br />
Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan membangun bersyarat<br />
pada daerah tersebut.<br />
(2) Apabila dikemudian hari ada penetapan rencana teknik ruang kota<br />
maka bangunan tersebut harus disesuaikan dengan rencana kota<br />
yang ditetapkan.<br />
Pasal 48<br />
(1) Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan sementara untuk<br />
mempertahankan jenis penggunaan lingkungan bangunan yang ada<br />
pada perumahan daerah perkampungan yang tidak teratur, sampai<br />
terlaksananya lingkungan peruntukan yang telah ditetapkan dalam<br />
rencana kota.<br />
(2) Pada lokasi tertentu, Kepala Daerah dapat menetapkan jenis<br />
bangunan tertentu yang bersifat sementara, dengan<br />
mempertimbangkan segi keamanan, pencegahan kebakaran dan<br />
sanitasi lingkungan.<br />
Pasal 49<br />
(1) Lingkungan bangunan pada daerah yang rencana kotanya belum<br />
dapat diterapkan, untuk sementara masih diperkenankan<br />
mempertahankan peruntukan dan atau jenis penggunaannya yang<br />
ada, sejauh tidak mengganggu kepentingan umum dan keserasian<br />
kota.<br />
(2) Bangunan yang ada dalam lingkungan yang mengalami perubahan<br />
rencana kota, dapat melakukan perbaikan, sesuai dengan<br />
peruntukan.<br />
(3) Apabila di kemudian hari ada pelaksanaan rencana kota, maka<br />
bangunan tersebut harus disesuaikan dengan rencana kota yang<br />
ditetapkan.<br />
(4) Pada lingkungan bangunan tertentu, dapat dilakukan perubahan<br />
penggunaan jenis bangunan yang ada, selama masih sesuai dengan<br />
golongan peruntukan rencana kota, dengan tetap memperhatikan<br />
keamanan, keselamatan, kesehatan serta gangguan terhadap<br />
lingkungan dan kelengkapan fasilitas, gangguan terhadap lingkungan<br />
dan kelengkapan fasilitas dan utilitas sesuai dengan penggunaan<br />
baru.<br />
19<br />
Pasal 50<br />
(1) Atap dan dinding bangunan dalam lingkungan bangunan yang<br />
letaknya berdekatan dengan bandara tidak diperkenankan dibuat dari<br />
bahan yang menyilaukan.<br />
(2) Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, serta<br />
perlengkapan bangunan, tidak diperkenankan mengganggu lalu lintas<br />
udara.<br />
Pasal 51<br />
(1) Setiap perancangan arsitektur lingkungan harus memperhatikan<br />
tersedianya sarana dan prasarana sesuai dengan standar lingkungan<br />
dan persyaratan teknis yang berlaku.<br />
(2) Setiap perancangan arsitektur lingkungan tidak boleh merugikan<br />
lingkungan sekitarnya yang telah ada, tidak boleh menutup jalan<br />
umum maupun menutup saluran air.<br />
Pasal 52<br />
(1) Kepala Daerah dapat menetapkan suatu daerah sebagai daerah<br />
bencana, daerah banjir dan sejenisnya.<br />
(2) Pada daerah bencana sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
Kepala Daerah dapat menetapkan larangan membangun atau<br />
menetapkan tata cara membangun dengan mempertimbangkan<br />
keamanan dan kesehatan lingkungan.<br />
Pasal 53<br />
(1) Kepala Daerah dapat menetapkan lingkungan bangunan yang<br />
mengalami kebakaran sebagai daerah tertutup dalam jangka waktu<br />
tertentu dan atau membatasi, melarang membangun didaerah<br />
tersebut.<br />
(2) Bangunan-bangunan pada lingkungan bangunan sebagaimana<br />
dimaksud ayat (1) Pasal ini, dengan memperhatikan keamanan,<br />
keselamatan dan kesehatan, diperkenankan mengadakan perbaikan<br />
darurat, bagi bangunan yang rusak atau membangun bangunan<br />
sementara untuk kebutuhan darurat dalam batas waktu penggunaan<br />
tertentu dan dibebaskan dari izin.<br />
(3) Kepala Daerah dapat menentukan daerah sebagaimana dimaksud<br />
ayat (1) Pasal ini, sebagai daerah peremajaan kota.<br />
Bagian Kedua<br />
Persyaratan Arsitektur Bangunan<br />
Paragraf 1<br />
Persyaratan Tata Ruang<br />
Pasal 54<br />
Dalam perencanaan suatu bangunan atau lingkungan bangunan, harus<br />
dibuat perencanaan tapaknya menyeluruh yang mencakup rencana<br />
20<br />
penggalian dan pengurugan, sirkulasi kendaraan, orang dan barang, pola<br />
parkir, pola penghijauan, ruang terbuka, sarana dan prasarana<br />
lingkungan serta dengan memperhatikan keserasian terhadap lingkungan<br />
dan sesuai dengan standar lingkungan dan permukiman berdasarkan<br />
perundang-undangan yang berlaku.<br />
Pasal 55<br />
Tata letak bangunan didalam satu tapak harus memenuhi ketentuan<br />
tentang jarak bebas, yang ditentukan oleh jenis peruntukan dan<br />
ketinggian bangunan.<br />
Pasal 56<br />
(1) Setiap bangunan harus memenuhi persyaratan fungsi utama<br />
bangunan, keselamatan, keamanan, kesehatan, keindahan dan<br />
keserasian lingkungan.<br />
(2) Suatu bangunan dapat terdiri dari beberapa ruangan dengan jenis<br />
penggunaan yang berbeda, dengan memperhatikan keserasian,<br />
keamanan, kebisingan dan arsitektur lingkungan sepanjang tidak<br />
menyimpang dari persyaratan teknis yang ditentukan dalam<br />
Peraturan Daerah ini.<br />
(3) Setiap bangunan selain terdiri dari ruang-ruang fungsi utama harus<br />
pula dilengkapi dengan ruang pelengkap serta instalasi dan<br />
perlengkapan bangunan yang dapat menjamin terselenggaranya<br />
fungsi bangunan, sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam<br />
Peraturan Daerah ini.<br />
(4) Lantai, dinding, langit-langit dan atap yang membentuk suatu<br />
ruangan baik secara sendiri-sendiri maupun menjadi satu kesatuan,<br />
harus dapat memenuhi kebutuhan fungsi ruang dan memenuhi<br />
persyaratan kesehatan, keselamatan dan keamanan bangunan<br />
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.<br />
Pasal 57<br />
(1) Penambahan lantai dan atau tingkat pada suatu bangunan<br />
diperkenankan apabila masih memenuhi batas ketinggian yang<br />
ditetapkan dalam rencana kota, sejauh tidak melebihi KLB dan harus<br />
memenuhi kebutuhan parkir serta serasi dengan lingkungannya.<br />
(2) Penambahan lantai tingkat sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
harus memenuhi persyaratan keamanan stuktur sebagaimana diatur<br />
dalam peraturan daerah ini dan harus mendapat izin terlebih dahulu<br />
dari Kepala Daerah.<br />
Paragraf 2<br />
Ruang Luar Bangunan<br />
Pasal 58<br />
(1) Ruang terbuka diantara GSJ dan GSB harus digunakan sebagai unsur<br />
penghijauan dan atau daerah peresapan air hujan serta kepentingan<br />
umum lainnya, yang hamparannya ditanami dengan rumput atau<br />
menggunakan coneblock.<br />
Kepala Dinas dapat menetapkan garis sempadan muka bangunan pada<br />
jalan-jalan buntu atau pada jalan-jalan umum lainnya yang belum<br />
21<br />
diatur oleh Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) ditetapkan minimal<br />
sebesar setengah lebar jalan atau minimum 2 meter.<br />
Pasal 59<br />
Ketentuan sementara tentang tata cara dan persyaratan membangun pada<br />
daerah-daerah yang rencana kotanya belum dapat diterapkan sepenuhnya<br />
dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 60<br />
Bagian atau unsur bangunan yang dapat terletak didepan GSB adalah :<br />
Detail atau unsur bangunan akibat keragaman rancangan arsitektur dan<br />
tidak digunakan sebagai ruang kegiatan.<br />
Detail atau unsur bangunan akibat rencana perhitungan struktur dan<br />
atau instalasi bangunan.<br />
Unsur bangunan yang diperlukan sebagai sarana sirkulasi.<br />
Pasal 61<br />
(1) Cara membangun renggang, sisi bangunan yang didirikan harus<br />
mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun pada kedua sisi<br />
samping kiri, kanan, bagian belakang dan bagian depan yang<br />
berbatasan dengan pekarangan sebagaimana diatur dalam Peraturan<br />
Daerah ini.<br />
(2) Cara membangun rapat tidak berlaku sebagaimana dimaksud ayat (1)<br />
Pasal ini, kecuali jarak bebas bagian belakang minimal 2,00 meter<br />
dari dinding lantai dasar ke batas tanah.<br />
Pasal 62<br />
Pada bangunan renggang dari lantai 1 sampai dengan 4 jarak bebas<br />
samping maupun jarak bebas belakang ditetapkan 4 meter dan pada<br />
setiap penambahan lantai berikutnya jarak bebas diatasnya ditambah<br />
0,50 meter dari jarak bebas lantai di bawahnya, kecuali bangunan rumah<br />
tinggal.<br />
Pasal 63<br />
Pada bangunan rapat dari lantai 1 hingga lantai 4, samping kiri dan kanan<br />
tidak ada jarak bebas, sedangkan untuk lantai selanjutnya harus<br />
mempunyai jarak bebas sesuai dengan ketentuan sebagaimana<br />
dimaksud Pasal 62 Peraturan Daerah ini.<br />
Kepala Daerah dapat menetapkan pola dan atau detail arsitektur bagi<br />
bangunan yang berdampingan atau berderet termasuk perubahan<br />
dan atau penambahan bangunan.<br />
Pasal 64<br />
(1) Pada bangunan rumah tinggal renggang dengan perpetakan yang<br />
sudah diatur, pada denah dasar dan tingkat ditentukan berdasarkan<br />
tipe Wkc, Wsd, Wbs-1 dan Wbs-2.<br />
(2) Pada bangunan rumah tinggal renggang dengan bentuk perpetakan<br />
yang perpetakannya belum diatur, maka jarak bebas bangunan<br />
ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
22<br />
(3) Untuk pekarangan yang belum memenuhi perpetakan rencana kota,<br />
maka jarak bebas bangunan disesuaikan dengan ketentuan<br />
sebagaimana dimaksud ayat (1) dan atau ayat (2) Pasal ini.<br />
Pasal 65<br />
Pada bangunan rumah tinggal renggang salah satu sisi samping bangunan<br />
diperkenankan dibangun rapat untuk penggunaan garasi dan tidak<br />
bertingkat dengan tetap memperhatikan keserasian lingkungan.<br />
Untuk pencahayaan dan sirkulasi udara pada bagian belakang ruang<br />
garasi diharuskan ada lubang udara minimal 5% dari luas lantai.<br />
Pasal 66<br />
Pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping,<br />
sedangkan jarak bebas belakang ditentukan minimal 2,0 m.<br />
Panjang bangunan rapat maksimal 50 meter, baik untuk rumah tinggal<br />
sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, maupun bangunan bukan<br />
rumah tinggal.<br />
Jarak bangunan lain dengan bangunan rapat sebagaimana dimaksud ayat<br />
(2) Pasal ini, minimal 4 (empat) meter.<br />
Pasar 67<br />
Pada bangunan rapat pada setiap kelipatan maksimal 15 meter kearah<br />
dalam harus disediakan ruang terbuka untuk sirkulasi udara dan<br />
pencahayaan alami dengan luas sekurang-kurangnya 10% pada satu sisi<br />
dari luas lantai dan tetap memenuhi KDB yang berlaku.<br />
Pasal 68<br />
Pada bangunan industri dan gudang dengan tinggi tampak maksimal 6<br />
(enam) meter, ditetapkan jarak bebas samping sepanjang sisi,<br />
samping kanan dan kiri pekarangan minimal 3 (tiga) meter, serta<br />
jarak bebas belakang sepanjang sisi belakang pekarangan minimal<br />
5 (lima) meter dengan memperhatikan KDB dan KLB yang ditetapkan<br />
dalam rencana kota.<br />
Tinggi tampak bangunan industri dan gudang yang lebih dari 6<br />
(enam) meter ditetapkan jarak bebasnya sesuai dengan ketentuan<br />
sebagaimana dimaksud Pasal 62 Peraturan Daerah ini.<br />
Pasal 69<br />
(1) Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai<br />
berikut:<br />
a. Dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling<br />
berhadapan, maka jarak antara dinding atau bidang tersebut<br />
minimal dua kali jarak bebas yang ditetapkan.<br />
b. Dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan<br />
dinding tembok tertutup dan yang lain merupakan bidang<br />
terbuka dan atau lubang, maka jarak antara dinding tersebut<br />
minimal satu setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.<br />
c. Dalam hal kedua-duanya memiliki tiang tertutup yang saling<br />
berhadapan, maka jarak dinding terluar minimal satu kali jarak<br />
bebas yang ditetapkan.<br />
23<br />
(2) Jarak bebas sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Pasal ini sesuai<br />
dengan ketentuan Pasal 62 Peraturan Daerah ini.<br />
Pasal 70<br />
Jarak bebas antara GSB dan GSJ pada lantai kelima atau lebih, sesuai<br />
dengan jarak bebas yang ditetapkan, sesuai dengan ketentuan<br />
sebagaimana dimaksud Pasal 62 Peraturan Daerah ini.<br />
Pasal 71<br />
Pada dinding terluar lantai dasar dan lantai berikutnya tidak boleh dibuat<br />
jendela, kecuali bangunan tersebut mempunyai jarak bebas<br />
sebagaimana dimaksud Pasal 62 Peraturan Daerah ini.<br />
Pada dinding terluar lantai dasar dan lantai berikutnya tidak boleh dibuat<br />
jendela, bangunan rumah tinggal tidak memenuhi jarak bebas yang<br />
ditetapkan, dibolehkan membuat bukaan sirkulasi udara atau<br />
pencahayaan pada ketinggian 1,8 meter dari permukaan lantai<br />
bersangkutan atau bukaan penuh, apabila dinding-dinding batas<br />
pekarangan yang berhadapan dengan bukaan tersebut dibuat setinggi<br />
minimal 1,8 meter di atas permukaan lantai tingkat dan tidak<br />
melebihi 7 meter dari permukaan tanah pekarangan.<br />
Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk<br />
apa pun.<br />
Pasal 72<br />
(1) Untuk mendirikan bangunan yang menurut fungsinya menggunakan,<br />
menyimpan atau memproduksi bahan peledak dan bahan-bahan lain<br />
yang sifatnya mudah meledak, dan mudah terbakar dapat diberikan<br />
izin apabila:<br />
a. Lokasi bangunan terletak diluar lingkungan perumahan atau jarak<br />
minimal 50 meter dari jalan umum, jalan kareta api dan bangunan<br />
lain disekitarnya ;<br />
b. Lokasi bangunan seluruhnya dikelilingi pagar pengaman yang<br />
kokoh dengan tinggi minimal 2,5 meter, dimana ruang terbuka<br />
pada pintu depan harus ditutup dengan pintu yang kuat dan<br />
diberi papan peringatan DILARANG MASUK ;<br />
c. Bangunan yang didirikan tersebut diatas, harus terletak pada<br />
jarak minimal 10 meter dari batas-batas pekarangan ; dan<br />
d. Bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut, diarahkan<br />
ke daerah yang aman.<br />
(2) Bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan,<br />
memperdagangkan atau memproduksi bahan radio aktif, racun,<br />
mudah terbakar atau bahan-bahan lain yang berbahaya, harus dapat<br />
menjamin keamanan, keselamatan serta kesehatan penghuni dan<br />
lingkungannya, harus mendapat izin khusus dari Kepala Daerah.<br />
Pasal 73<br />
(1) Perhitungan KDB maupun KLB ditentukan sebagai berikut:<br />
a. Perhitungan luas lantai adalah jumlah luas lantai yang<br />
diperhitungkan sampai batas dinding atau kolom terluar ;<br />
b. Luas lantai ruangan beratap yang mempunyai dinding lebih dari<br />
1,20 meter diatas lantai ruangan tersebut, dihitung penuh 100%;<br />
24<br />
c. Luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau<br />
mempunyai dinding tidak lebih dari 1,20 meter diatas lantai<br />
ruang, dihitung 50% selama tidak melebihi 10% dari luas denah<br />
yang diperhitungkan sesuai dengan KDB yang ditetapkan ;<br />
d. Overstek atap yang melebihi lebar 1,5 meter dan tidak<br />
melampaui GSB maka kelebihannya dianggap sebagai luas lantai<br />
denah ;<br />
e. Luas lantai ruangan yang mempunyai tinggi dinding lebih dari<br />
1,20 meter diatas lantai ruangan dihitung 50% selama tidak<br />
melebihi 10% dengan KDB yang ditetapkan sedangkan luas<br />
lantai ruangan selebihnya dihitung 100% ;<br />
f. Teras terbuka dan teras tertutup tetap diperhitungkan sesuai<br />
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;<br />
g. Dalam perhitungan KLB luar lantai di bawah tanah<br />
diperhitungkan seperti luas lantai di atas tanah ;<br />
h. Luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak<br />
diperhitungkan dalam perhitungan KLB asal tidak melebihi 50%<br />
dari KLB yang ditetapkan, selebihnya perhitungan 50% terhadap<br />
KLB ;<br />
i. Lantai bangunan khusus parkir diperkenankan mencapai 150%<br />
dari KLB yang ditetapkan ; dan<br />
j. Ramp dan tangga terbuka dihitung 50% selama tidak melebihi<br />
10% dari luas lantai dasar yang diperkenankan.<br />
(2) Dalam hal perhitungan KDB dan KLB, luas tapak yang<br />
diperhitungkan adalah yang di belakang GSB.<br />
(3) Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (basement) ditetapkan<br />
oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 74<br />
(1) Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang<br />
dan arsitektur bangunan.<br />
(2) Dalam hal perhitungan ketinggian dinding bangunan, apabila jarak<br />
vertikal dari lantai penuh berikutnya lebih dari 5 (lima) meter, maka<br />
ketinggian bangunan dianggap sebagai dua lantai.<br />
(3) Mezanine yang luasnya melebihi dari 50% dari luas lantai dasar<br />
dianggap sebagai lantai penuh.<br />
(4) Terhadap bangunan tempat ibadah, gedung pertemuan, gedung<br />
sekolah, bangunan monumental, gedung olah raga, bangunan serba<br />
guna dan bangunan sejenis lainnya tidak berlaku ketentuan<br />
sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini.<br />
Pasal 75<br />
(1) Pada bangunan rumah tinggal, tinggi puncak atap bangunan<br />
maksimal 12 meter diukur secara vertikal dari permukaan tanah<br />
pekarangan, atau dari permukaan lantai dasar dalam hal ini<br />
permukaan tanah tidak teratur.<br />
(2) Kepala Daerah menetapkan pengecualian dari ketentuan pada ayat (1)<br />
Pasal ini, bagi bangunan-bangunan yang karena sifat atau fungsinya,<br />
terdapat detail atau ornamen tertentu.<br />
25<br />
Pasal 76<br />
Apabila tinggi tanah pekarangan berada dibawah titik ketinggian (peil)<br />
bebas banjir atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan tinggi<br />
yang besar pada tanah asli suatu perpetakan, maka tinggi maksimal lantai<br />
dasar ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 77<br />
Pada bangunan rumah tinggal kopel, apabila terdapat perubahan atau<br />
penambahan bangunan harus diperhatikan kaidah-kaidah arsitektur<br />
bangunan kopel.<br />
Pasal 78<br />
(1) Tinggi tampak rumah tinggal tidak boleh melebihi ukuran jarak<br />
antara kaki bangunan yang akan didirikan dengan GSB yang<br />
seberangan dan maksimal 9 (sembilan) meter.<br />
(2) Tinggi tampak bangunan rumah susun, diatur sesuai dengan pola<br />
ketinggian bangunan.<br />
Pasal 79<br />
Pada bangunan yang menggunakan bahan kaca pantul pada tampak<br />
bangunan, sinar yang dipantulkan tidak boleh melebihi 24% dengan<br />
memperhatikan tata letak dan orientasi bangunan terhadap matahari.<br />
Pasal 80<br />
Tata cara membangun rapat:<br />
a. Bidang dinding dan atap terluar tidak boleh melampaui batas<br />
pekarangan.<br />
Struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurangkurangnya<br />
20 cm dari batas pekarangan.<br />
Perombakan bangunan yang semula menggunakan bangunan dinding<br />
batas bersama dengan bangunan sebelahnya, disyaratkan untuk<br />
membuat dinding batas tersendiri disamping dinding batas terdahulu.<br />
Pasal 81<br />
(1) Setiap bangunan bukan rumah tinggal diwajibkan menyediakan<br />
tempat parkir kendaraan sesuai dengan jumlah kebutuhan.<br />
(2) Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah<br />
penghijauan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.<br />
(3) Standar jumlah kebutuhan parkir menurut jenis bangunan<br />
ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 82<br />
(1) Pada daerah tertentu Kepala Daerah dapat menetapkan ketentuan<br />
khusus tentang pemagaran bagi suatu pekarangan kosong atau<br />
sedang dibangun serta pemasangan papan-papan nama proyek dan<br />
sejenisnya dengan memperhatikan keamanan, keselamatan,<br />
keindahan dan keserasian lingkungan.<br />
(2) Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang bangunan renggang<br />
maksimal 2,5 meter di atas permukaan tanah pekarangan.<br />
(3) Tinggi pagar pada GSJ dan antara GSJ dan GSB pada bangunan<br />
rumah tinggal maksimal 1,5 meter diatas permukaan tanah, dan<br />
untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk bangunan<br />
26<br />
industri maksimal 2 (dua) meter di atas permukaan tanah<br />
pekarangan.<br />
(4) Pada pagar GSJ sebagaimana dimaksud ayat (3) Pasal ini, harus<br />
tembus pandang dengan bagian bawahnya dapat tidak tembus<br />
pandang maksimal setinggi 0,75 meter diatas permukaan tanah<br />
pekarangan.<br />
Pagar sudut pada GSJ ketinggian maksimal 1,5 m di atas tanah<br />
pekarangan dan tembus pandang.<br />
Pada kawasan peruntukan perdagangan/jasa dan atau ruang publik tidak<br />
boleh didirikan pagar pada area antara GSB dan GSJ dan pada GSJ.<br />
Pasal 83<br />
(1) Pintu pagar pekarangan dalam keadaan terbuka tidak boleh melebihi<br />
GSJ.<br />
(2) Letak pintu pekarangan untuk kendaraan roda empat pada persil<br />
sudut minimal 8 meter untuk bangunan rumah tinggal dihitung dari<br />
titik belok tikungan.<br />
(3) Bagi persil kecil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana<br />
dimaksud ayat (2) Pasal ini, letak pintu pagar kendaraaan bermotor<br />
roda empat harus terletak pada salah satu ujung batas pekarangan.<br />
Paragraf 3<br />
Ruang Dalam Bangunan<br />
Pasal 84<br />
(1) Bentuk dan ukuran ruang harus memenuhi syarat-syarat kesehatan.<br />
(2) Perlengkapan ruang harus memenuhi syarat-syarat kesehatan dan<br />
keselamatan umum.<br />
(3) Pintu-pintu bangunan ibadah, bangunan umum atau bangunan<br />
tempat berkumpul orang banyak harus membuka keluar.<br />
(4) Setiap bangunan atau kompleks bangunan harus memiliki kakus dan<br />
atau pembuangan air kotor sendiri.<br />
Pasal 85<br />
Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan, perbaikan,<br />
perluasan penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya fungsi dan<br />
atau penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian<br />
bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana<br />
jalan keluar.<br />
Pasal 86<br />
(1) Suatu bangunan gudang minimal harus dilengkapi dengan kamar<br />
mandi dan kakus serta ruang kebutuhan karyawan.<br />
(2) Suatu bangunan pabrik minimal harus dilengkapi dengan fasilitas<br />
kamar mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan dan tempat<br />
penyimpanan barang, mushola, kantin atau ruang makan dan atau<br />
ruang istirahat serta ruang pelayanan kesehatan secara memadai.<br />
(3) Untuk bangunan umum lainnya harus dilengkapi dengan fasilitas<br />
penunjang.<br />
(4) Jumlah kebutuhan fasilitas penunjang harus disediakan pada setiap<br />
jenis penggunaan bangunan ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
27<br />
Pasal 87<br />
(1) Setiap ruang dalam bangunan harus menggunakan pencahayaan dan<br />
sirkulasi udara yang alami, yang dilengkapi dengan satu atau lebih<br />
jendela minimal 10% dari luas lantai atau pintu yang dapat dibuka<br />
dan langsung berbatasan dengan udara luar.<br />
(2) Pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
dibolehkan untuk bangunan bukan rumah apabila menggunakan<br />
sistem pencahayaan dan sirkulasi udara buatan.<br />
(3) Ruang rongga atap dilarang digunakan sebagai dapur atau kegiatan<br />
lain yang mengandung bahaya api.<br />
Pasal 88<br />
(1) Ruang rongga atap hanya diizinkan apabila penggunaannya tidak<br />
menyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi<br />
kesehatan, keamanan, dan keselamatan bangunan dan lingkungan.<br />
(2) Ruang rongga atap hanya untuk rumah tinggal harus mempunyai<br />
sirkulasi udara dan pencahayaan yang memadai.<br />
Pasal 89<br />
(1) Setiap penggunaan ruang atap yang luasnya tidak lebih dari 50% dari<br />
luas lantai di bawahnya tidak dianggap sebagai penambahan tingkat<br />
bangunan.<br />
(2) Setiap bukaan pada ruang atap, tidak boleh mengubah sifat dan<br />
karakter arsitektur bangunan.<br />
Pasal 90<br />
(1) Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap dan atau gas,<br />
harus disediakan lubang hawa dan atau cerobong hawa secukupnya<br />
kecuali menggunakan alat bantu mekanis.<br />
(2) Cerobong asap dan atau gas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
Pasal ini, harus memenuhi ketentuan tentang pencegahan kebakaran.<br />
Paragraf 4<br />
Unsur dan Perlengkapan Bangunan<br />
Pasal 91<br />
(1) Lantai dan dinding yang memisahkan ruang dengan penggunaan<br />
yang berbeda dalam suatu bangunan, harus memenuhi persyaratan<br />
ketahanan api sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.<br />
(2) Ruang yang penggunaannya menimbulkan kebisingan maka lantai<br />
dan dinding pemisahannya harus kedap suara.<br />
(3) Ruang pada daerah-daerah basah, harus dipisahkan dengan dinding<br />
kedap air dan dilapisi dengan bahan yang mudah dibersihkan.<br />
Pasal 92<br />
Dilarang membuat lubang pada lantai dan dinding yang berfungsi sebagai<br />
penahan api kecuali dilengkapi alat penutup yang memenuhi syarat<br />
ketahanan api.<br />
28<br />
Pasal 93<br />
Dinding dan lantai atap dan pintu yang digunakan sebagai pelindung<br />
radiasi pada ruang sinar X, ruang radio aktif dan ruang sejenis harus<br />
memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
Pasal 94<br />
Kepala Daerah dapat menetapkan ketentuan persyaratan tentang<br />
peralatan dan perlengkapan bangunan bagi penderita cacat.<br />
Pasal 95<br />
(1) Bangunan yang penggunaannya bersifat umum apabila mempunyai<br />
ketinggian lebih dari 4 (empat) lantai, harus dilengkapi dengan sistem<br />
transportasi vertikal (lift) dan tangga darurat.<br />
(2) Lift yang disediakan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
minimal satu diantaranya harus berfungsi sebagai lift kebakaran.<br />
Pasal 96<br />
(1) Penggunaan escalator hanya dapat diperkenankan untuk<br />
menghubungkan lantai ke lantai sampai dengan maksimal 4 (empat)<br />
lantai.<br />
(2) Kepala Daerah dapat menetapkan ketentuan lain, selain ketentuan<br />
sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, apabila segi keamanan dan<br />
keselamatan dapat dipertanggungjawabkan.<br />
(3) Setiap pemasangan escalator harus dilengkapi dengan alat pengaman<br />
serta pencegah bahaya menjalarnya api dan asap pada saat<br />
kebakaran.<br />
(4) Pada perletakan escalator terhadap unsur bangunan lainnya harus<br />
terdapat ruangan kosong minimal 50 cm.<br />
Pasal 97<br />
Bangunan yang karena sifat penggunaannya dan atau mempunyai<br />
ketinggian lebih dari 4 (empat) lantai, harus mempunyai sistem dan atau<br />
peralatan bagi pemeliharaan dan perawatan bangunan yang tidak<br />
mengganggu dan tidak membahayakan lingkungan serta aman untuk<br />
keselamatan pekerja.<br />
Pasal 98<br />
(1) Lebar, jumlah dan lokasi sarana jalan keluar pada bangunan harus<br />
memenuhi persyaratan bagi keselamatan jiwa manusia, dan tidak<br />
digunakan untuk fungsi atau kegiatan lain.<br />
(2) Kepala Daerah menetapkan lebih lanjut persyaratan teknis tentang<br />
sarana jalan keluar.<br />
Pasal 99<br />
(1) Setiap tangga kebakaran yang berada diluar bangunan, harus dapat<br />
dicapai melalui ruang tunggu, balkon, atau teras terbuka dengan luas<br />
minimal 10 meter dan harus dilengkapi dengan dinding pengaman<br />
pada setiap sisi dengan tinggi minimal 1,20 meter.<br />
29<br />
(2) Setiap tangga kebakaran diluar bangunan harus mempunyai lebar<br />
bordes sebesar tangga.<br />
Pasal 100<br />
(1) Setiap bangunan berlantai 3 (tiga) atau lebih harus dilengkapi dengan<br />
tangga kebakaran.<br />
(2) Setiap tangga kebakaran tertutup pada bangunan 5 (lima) lantai atau<br />
lebih, harus dapat melayani semua lantai mulai dari lantai bawah<br />
kecuali ruang bawah tanah (basement) sampai lantai teratas hanya<br />
dibuat tanpa bukaan (opening) kecuali pintu masuk tunggal pada tiap<br />
lantai dan pintu keluar pada lantai yang berhubungan langsung<br />
dengan jalan, pekarangan atau tempat terbuka.<br />
(3) Ketentuan teknis mengenai tangga kebakaran ditetapkan oleh Kepala<br />
Daerah.<br />
Pasal 101<br />
Setiap tangga ruang bawah tanah (basement) harus memenuhi ketentuan<br />
sebagai berikut :<br />
a. Ruang bawah tanah (basement) harus dilengkapi dengan minimal<br />
2 (dua) buah tangga yang menuju ke tingkat permukaan tanah dan<br />
apabila ruang tersebut dipakai untuk umum, maka diantaranya<br />
harus langsung berhubungan dengan jalan, pekarangan atau<br />
lapangan terbuka.<br />
b. Setiap pekarangan atau lapangan terbuka yang berhubungan dengan<br />
tangga sebagaimana dimaksud huruf a Pasal ini, harus langsung<br />
menuju jalan umum atau jalan keluar.<br />
c. Apabila tangga dari lantai ruang bawah tanah (basement) tangga dari<br />
lantai tingkat bertemu pada suatu sarana jalan luar yang sama maka<br />
harus diberikan pemisah dan tanda petunjuk jalan keluar yang jelas.<br />
Pasal 102<br />
(1) Dilarang menggunakan tangga melingkar (tangga sylinder) sebagai<br />
tangga kebakaran.<br />
(2) Tangga kebakaran dan bordes harus memiliki lebar minimal 1,20<br />
meter dan tidak boleh menyempit ke arah bawah.<br />
(3) Tangga kebakaran harus dilengkapi pegangan yang kuat setinggi 1,10<br />
meter dan mempunyai lebar injak minimal 28 cm dan tinggi maksimal<br />
anak tangga 20 cm.<br />
(4) Tangga kebakaran terbuka yang terletak diluar bangunan harus<br />
berjarak minimal 1 meter dari bukaan dinding yang berdekatan<br />
dengan tangga kebakaran tersebut.<br />
(5) Jarak pencapaian tangga kebakaran dari setiap titik dalam ruang<br />
efektif, maksimal 25 meter apabila tidak dilengkapi dengan sprinkler<br />
dan maksimmal 40 meter apabila dilengkapi dengan sprinkler.<br />
Pasal 103<br />
(1) Jarak antara landasan tangga (bordes) sampai landasan berikutnya<br />
pada suatu tangga, tidak boleh lebih dari 2,5 meter yang diukur<br />
secara vertikal.<br />
30<br />
(2) Setiap tangga harus mempunyai ruang bebas vertikal (head room)<br />
tidak kurang dari 2 (dua) meter yang diukur dari lantai injakan<br />
sampai pada ambang bawah struktur diatasnya.<br />
(3) Jumlah anak tangga dari lantai bordes atau dari bordes minimal<br />
3 (tiga) buah maksimal 12 buah.<br />
Pasal 104<br />
(1) Setiap tangga untuk mencapai ketinggian 60 cm atau lebih harus<br />
menggunakan pegangan tangga.<br />
(2) Setiap sisi tangga yang terbuka harus menggunakan pegangan<br />
tangga.<br />
(3) Apabila pada kedua sisi tangga terdapat dinding dari ruang lain<br />
tangga dimaksud cukup menggunakan satu pegangan tangga.<br />
(4) Lebar tangga pada rumah tinggal minimal 80 cm sedang untuk<br />
bangunan lainnya minimal 1,2 meter.<br />
(5) Untuk tangga pada rumah tinggal, lebar injakan minimal 25 cm dan<br />
tinggi anak tangga maksimal 20 cm.<br />
Pasal 105<br />
(1) Tangga melingkar dapat digunakan pada rumah tinggal dan apabila<br />
digunakan sebagai jalan keluar maka lantai yang dilayani maksimal<br />
36 m2.<br />
(2) Tangga tegak (leader) hanya dapat digunakan sebagai sarana<br />
pencapaian ke atas atau ke bawah untuk keperluan pemeliharan dan<br />
perawatan.<br />
Pasal 106<br />
(1) Persyaratan lebar ramp ditetapkan sesuai dengan lebar tangga.<br />
(2) Kemiringan ramp untuk sarana jalan ke luar tidak boleh lebih dari<br />
1 berbanding 12, dan untuk penggunaan lain dapat lebih curam<br />
dengan perbandingan 1 berbanding 8.<br />
(3) Apabila panjang ramp melebihi 15 meter, harus disediakan satu buah<br />
landasan (bordes) dengan panjang 3 (tiga) meter, pada setiap jarak<br />
maksimal 15 meter.<br />
(4) Permukaan lantai ramp harus diberi lapisan kasar atau bahan anti<br />
slip.<br />
Pasal 107<br />
(1) Lebar koridor bangunan bukan tempat tinggal minimal 1,20 meter.<br />
(2) Ketinggian bebas pada koridor minimal 2,20 meter yang diukur dari<br />
lantai ke langit-langit.<br />
(3) Koridor harus dilengkapi tanda petunjuk yang jelas arah sarana jalan<br />
keluar.<br />
(4) Lebar koridor yang berfungsi sebagai sarana jalan keluar minimal<br />
1,80 meter.<br />
Pasal 108<br />
(1) Ruang utilitas diatas atap (penthouse) hanya dapat dibangun apabila<br />
digunakan sebagai ruangan untuk melindungi alat-alat, mekanikal<br />
31<br />
elektrikal, tanki air, cerobong (shaft) dan fungsi lain sebagai ruang<br />
pelengkap bangunan dengan ketinggian ruangan tidak boleh melebihi<br />
2,40 meter diukur secara vertical dari pelat atap bangunan, kecuali<br />
untuk ruang mesin lift atau keperluan teknis lainnya diperlukan lebih<br />
sesuai dengan keperluan.<br />
(2) Apabila luas lantai melebihi 50% dari luas lantai dibawahnya maka<br />
ruangan utilitas tersebut diperhitungkan sebagai penambah tingkat.<br />
Pasal 109<br />
(1) Kepala Daerah dapat mewajibkan pada bangunan tertentu untuk<br />
menyediakan landasan helikopter diatas pelat atap.<br />
(2) Atap bangunan yang digunakan sebagai landasan helikopter 7 (tujuh)<br />
meter kali 7 (tujuh) meter dengan ruang bebas disekeliling landasan<br />
rata-rata 5 (lima) meter, atau ditentukan lain oleh instansi<br />
berwenang.<br />
(3) Daerah landasan helikopter dan sarana jalan keluar harus bebas dari<br />
cairan yang mudah terbakar.<br />
(4) Landasan helikopter diatas atap dapat dicapai dengan tangga khusus<br />
dari lantai dibawahnya.<br />
(5) Penggunaan landasan helikopter harus mendapat persetujuan dari<br />
instansi yang berwenang.<br />
Pasal 110<br />
(1) Bangunan umum yang melebihi ketinggian 3 (tiga) lantai harus<br />
menyediakan cerobong (shaft) untuk elektrikal, pipa-pipa saluran air<br />
bersih dan kotor, saluran telepon dan saluran surat serta saluran<br />
lainnya yang diperlukan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.<br />
(2) Bangunan tempat tinggal yang melebihi ketinggian 3 (tiga) lantai<br />
selain persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud ayat (1)<br />
Pasal ini, perlu dilengkapi dengan cerobong sampah, kecuali apabila<br />
menggunakan cara lain atas persetujuan Kepala Daerah.<br />
Pasal 111<br />
(1) Bangunan parkir yang menggunakan ramp spiral, diperkenankan<br />
maksimal 5 (lima) lantai dan atau kapasitas penampungan sebanyak<br />
500 sampai dengan 600 mobil, kecuali apabila menggunakan ramp<br />
lurus.<br />
(2) Dalam menghitung kapasitas bangunan parkir ditetapkan luas parkir<br />
bruto minimal 25 m2/mobil.<br />
(3) Tinggi minimal ruang bebas struktur (head room) adalah 2,25 meter.<br />
(4) Setiap lantai ruang parkir yang berbatasan dengan ruang luar harus<br />
diberi dinding pengaman (parapet) setinggi minimal 90 cm dari<br />
permukaan lantai tersebut.<br />
(5) Setiap lantai ruang parkir harus memiliki sarana transportasi dan<br />
atau sirkulasi vertical untuk orang.<br />
(6) Pada bangunan parkir harus disediakan sarana penyelamatan<br />
terhadap bahaya kebakaran.<br />
Pasal 112<br />
(1) Kemiringan ramp lurus bagi jalan kendaraan pada bangunan parkir<br />
maksimal 1 berbanding 7.<br />
32<br />
(2) Apabila lantai parkir mempunyai sudut kemiringan, maka sudut<br />
kemiringan tersebut maksimal 1 berbanding 20 serta dipasang<br />
penahan roda.<br />
Pasal 113<br />
Pada ramp lurus jalan satu arah pada bangunan parkir, lebar jalan<br />
minimal 3 (tiga) meter dengan ruang bebas struktur dikanan kiri minimal<br />
60 cm.<br />
Pasal 114<br />
(1) Pada ramp melingkar jalan satu arah, lebar jalan minimal 3,65 meter<br />
dan untuk jalan dua arah, lebar jalan minimal 7 (tujuh) meter dengan<br />
pembatasan jalan lebar 50 cm, tinggi minimal 20 cm.<br />
(2) Jari-jari tengah ramp melingkar minimal 9 (sembilan) meter dihitung<br />
dari as jalan terdekat.<br />
(3) Setiap jalan pada ramp melingkar harus mempunyai ruang bebas<br />
minimal 60 cm terhadap struktur bangunan.<br />
Paragraf 5<br />
Bangunan-bangunan dan Pekarangan<br />
Pasal 115<br />
(1) Setiap bangunan-bangunan baik pada bangunan atau pekarangan<br />
tidak boleh mengganggu arsitektur bangunan dan lingkungan.<br />
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang bangunan-bangunan sebagaimana<br />
dimaksud ayat (1) Pasal ini, ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 116<br />
(1) Curahan air hujan yang langsung dari atap atau pipa talang<br />
bangunan, tidak boleh jatuh keluar batas pekarangan, dan harus<br />
dialirkan ke sumur resapan dan atau saluran kota pada lahan<br />
bangunan.<br />
(2) Ketentuan teknis tentang sumur resapan sebagaimana dimaksud<br />
ayat (1) Pasal ini, ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
Bagian Ketiga<br />
Persyaratan Arsitektur<br />
Pasal 117<br />
Persyaratan teknis atau ketentuan teknis bangunan dari ketentuan<br />
arsitektur lingkungan dan arsitektur bangunan ditetapkan oleh Kepala<br />
Dinas Tata Kota.<br />
Bagian Keempat<br />
Ketentuan Struktur Bangunan<br />
Paragraf 1<br />
Dasar Perencanaan Struktur Bangunan<br />
Pasal 118<br />
(1) Persyaratan perencanaan dan perhitungan struktur bangunan<br />
mencakup:<br />
a. Konsep dasar.<br />
b. Penentuan data pokok.<br />
c. Analisis struktur beban vertikal.<br />
33<br />
d. Analisis struktur terhadap beban gempa, angin dan beban<br />
khusus.<br />
e. Analisis bagian-bagian struktur pokok dan pelengkap.<br />
f. Pendimensian bagian-bagian struktur pokok dan pelengkap.<br />
g. Analisis dan pendimensian pondasi yang didasarkan atas hasil<br />
penyelidikan tanah dan rekomendasi sistem pondasinya.<br />
(2) Kepala Daerah dapat menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud<br />
ayat (1) Pasal ini untuk perencanaan dan perhitungan struktur<br />
bangunan.<br />
(3) Untuk merencanakan dan menghitung struktur bangunan harus<br />
dilaksanakan oleh ahli struktur.<br />
(4) Ahli struktur sebagaimana dimaksud ayat (3) Pasal ini, harus<br />
mempunyai Surat Izin Bekerja Perencanaan (SIBP) yang ditetapkan<br />
oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 119<br />
(1) Jarak minimal antara dua bangunan yang berdekatan dan atau<br />
delatasi baru dihitung berdasarkan peraturan perencanaan tahan<br />
gempa untuk bangunan ditetapkan dalam peraturan perundangundangan<br />
yang berlaku.<br />
(2) Terhadap bangunan yang merupakan satu kesatuan (monolit) dengan<br />
panjang lebih dari 500 meter konstruksinya harus diperhitungkan<br />
terhadap perubahan suhu.<br />
Pasal 120<br />
Dalam perencanaan konstruksi untuk penambahan tingkat bangunan baik<br />
sebagian maupun keseluruhan perencanaan konstruksi harus didasarkan<br />
data keadaan lapangan dan diperiksa kekuatannya terhadap struktur<br />
utama secara keseluruhan.<br />
Pasal 121<br />
(1) Dalam perencanaan rehabilitasi atau renovasi yang mempengaruhi<br />
kekuatan struktur maka perencanaan kekuatan strukturnya ditinjau<br />
kembali secara keseluruhan berdasarkan persyaratan struktur<br />
sebagaimana dimaksud Pasal 118 Peraturan Daerah ini.<br />
(2) Apabila kekuatan struktur sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini<br />
tidak memenuhi ketentuan, maka terhadap struktur bangunannya<br />
harus direncanakan perkuatan dan atau penyesuaian.<br />
Pasal 122<br />
(1) Perencanaan basement yang diperkirakan dapat menimbulkan<br />
kerusakan dan gangguan pada bangunan dan lingkungan sekitarnya<br />
harus dilengkapi perencanaan pengamanan.<br />
(2) Pada bangunan dengan basement dimana dasar galian lebih rendah<br />
dari muka air tanah, harus dilengkapi perencanaan penurunan muka<br />
air tanah.<br />
(3) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2)<br />
Pasal ini ditentukan oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 123<br />
34<br />
(1) Perencanaan sambungan pada pondasi tiang pancang berdasarkan<br />
perhitungan ahli struktur.<br />
(2) Perencanaan pondasi tiang baja harus memperhitungkan faktor<br />
korosi sesuai dengan standar yang berlaku.<br />
Pasal 124<br />
Pada perencanaan pondasi dengan sistem yang baru atau yang belum<br />
lazim digunakan, maka kemampuan sistem tersebut dalam menerima<br />
beban-beban struktur diatasnya serta beban-beban lainnya harus<br />
dibuktikan dengan cara terlebih dahulu disetujui oleh Kepala Daerah.<br />
Bagian Kelima<br />
Keamanan Bangunan Terhadap Bahaya Kebakaran<br />
Paragraf 1<br />
Persyaratan Keamanan Ruang<br />
Pasal 125<br />
(1) Setiap bangunan harus dilengkapi peralatan pencegahan terhadap<br />
bahaya kebakaran serta penyelamatan jiwa manusia dan<br />
lingkungannya, bangunan yang dimaksud adalah bangunan umum,<br />
pabrik dan gudang serta bangunan yang mempunyai resiko tinggi<br />
terhadap kebakaran dan ledakan.<br />
(2) Setiap fungsi ruang atau penggunaan bangunan yang mempunyai<br />
resiko bahaya kebakaran tinggi harus diatur penempatannya<br />
sehingga apabila terjadi kebakaran dapat dilokalisir, fungsi ruang<br />
yang dimaksud adalah dapur, laboratorium kimia, tempat<br />
penyimpanan bahan kimia gas.<br />
(3) Ruang lain yang mempunyai resiko kebakaran tinggi pada bangunan<br />
harus dibatasi oleh dinding atau lantai kompartemen yang ketahanan<br />
apinya minimal 3 (tiga) jam, dan pada dinding atau lantai<br />
kompartemen tersebut tidak boleh terdapat lubang terbuka, kecuali<br />
bukaan yang dilindungi.<br />
(4) Ruang sebagaimana dimaksud ayat (3) Pasal ini, harus dilengkapi<br />
dengan pengukur panas dan harus dirawat dan atau diawasi,<br />
sehingga suhu dalam ruangan tersebut tidak melebihi batas<br />
maksimal yang telah ditentukan.<br />
(5) Setiap ruangan instalasi listrik, generator, gas turbin atau instalasi<br />
pembangkit tenaga listrik lainnya serta ruangan penyimpan cairan<br />
gas atau bahan yang mudah menguap dan terbakar, harus dilindungi<br />
dengan sistem pencegahan kebakaran manual dan atau sistem<br />
pemadam otomatis.<br />
Pasal 126<br />
(1) Setiap bangunan sedang dan tinggi harus dilindungi oleh suatu<br />
sistem alarm otomatis yang sekurang-kurangnya mempunyai :<br />
a. Lonceng atau sirine dan sumber tenaga batere cadangan ;<br />
b. Alat pengindera (sprinkler) ;<br />
c. Panel indikator yang dilengkapi dengan :<br />
1) Fasilitas kelompok alarm ;<br />
2) Saklar penghubung dan pemutus arus ;<br />
3) Fasilitas pengujian batere dengan Volt meter dan Ampere<br />
meter; dan .<br />
d. Peralatan bantu lainnya.<br />
35<br />
(2) Setiap alarm yang dipasang pada bangunan harus selalu siap pakai<br />
dan pemasangannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />
(3) Ketentuan jenis alat pengindera yang digunakan harus sesuai dengan<br />
penggunaan ruang yang akan dilindungi.<br />
Paragraf 2<br />
Persyaratan Tahan Api dan Perlindungan Terhadap Api<br />
Pasal 127<br />
Klasifikasi bangunan ditentukan menurut tingkat ketahanan struktur<br />
utama terhadap api, terdiri dari :<br />
a. Bangunan kelas A ialah bangunan yang komponen struktur<br />
utamanya harus tahan terhadap api minimal 3 jam ;.<br />
b. Bangunan kelas B ialah bangunan yang komponen struktur<br />
utamanya harus tahan terhadap api minimal 2 jam ;<br />
c. Bangunan kelas C ialah bangunan yang komponen struktur<br />
utamanya harus tahan terhadap api minimal 1/2 jam ; dan<br />
d. Bangunan kelas D ialah bangunan yang tidak tercakup ke dalam<br />
kelas A, B, C, dan diatur secara khusus.<br />
Pasal 128<br />
(1) Ketahanan api komponen struktur utama pada 4 (empat) lantai<br />
teratas pada bangunan tinggi, minimal 1 (satu) jam, sedang dari<br />
lantai 5 (lima) sampai dengan lantai 14 dari atas minimal 2 (dua) jam<br />
dan dari lantai 5 (lima) sampai terbawah minimal 3 (tiga) jam.<br />
(2) Ketahanan api dinding luar pemikul maupun dinding partikel pada<br />
4 (empat) lantai teratas minimal 1 (satu) jam dan dari lantai bawah<br />
tersebut sampai lantai terbawah minimal 2 (dua) jam.<br />
(3) Ketahanan api dinding luar bukan pemikul yang mempunyai resiko<br />
terkena api pada semua lantai minimal 1 (satu) jam.<br />
(4) Ketahanan api dinding bukan pemikul pada bagian dalam semua<br />
lantai minimal ½ jam.<br />
Pasal 129<br />
(1) Pada bangunan tinggi, ketahanan api untuk atap minimal ½ jam.<br />
(2) Pada atap bangunan yang digunakan sebagai landasan helikopter,<br />
maka ketahanan api atap minimal 1 (satu) jam.<br />
Pasal 130<br />
Pada bangunan yang tidak terkena keharusan menggunakan sprinkler,<br />
apabila dilengkapi dengan sistem sprinkler, maka ketahanan struktur<br />
utama yang disyaratkan 3 (tiga) jam diperkenankan menjadi 2 (dua) jam.<br />
Pasal 131<br />
Unsur- unsur interior bangunan gedung yang direncanakan tahan api,<br />
harus memenuhi ketentuan sesuai dengan standar api yang berdasarkan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
36<br />
Pasal 132<br />
Bagian bangunan, ruang dalam bangunan karena fungsinya mempunyai<br />
resiko tinggi terhadap bahaya keracunan, harus merupakan suatu<br />
kompartemen terhadap penjalaran api, asap dan gas beracun.<br />
Pasal 133<br />
(1) Setiap bangunan sedang kelas A dan bangunan tinggi kelas B. harus<br />
dilindungi dengan suatu sistem sprinkler yang dapat melindungi<br />
setiap lantai pada bangunan.<br />
(2) Bangunan rendah kelas A apabila sebagian sisi luarnya dinding<br />
massif, harus dilindungi dengan sistem sprinkler.<br />
(3) Dinding massif sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini, maksimal<br />
75% dari luas dinding.<br />
Pasal 134<br />
Setiap bangunan sedang dan tinggi harus dilindungi oleh suatu sistem<br />
hidran sesuai dengan persyaratan sebagai berikut :<br />
a. Pemasangan hidran harus memenuhi ketentuan dan dipasang<br />
sedemikian rupa sehingga panjang selang dan pancaran air dapat<br />
mencapai dan melindungi seluruh permukaan lantai bangunan ; dan<br />
b. Setiap pemasangan hidran halaman harus memenuhi persyaratan<br />
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br />
Pasal 135<br />
(1) Pada setiap bangunan permanen bahan penutup atap harus terbuat<br />
dari bahan tahan api minimal ½ jam.<br />
(2) Pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
hanya diperbolehkan untuk bangunan yang bersifat sementara,<br />
bersifat spesifik dan atau diberi lapisan tahan api harus mendapat<br />
izin dari Kepala Daerah.<br />
Pasal 136<br />
Pengakhiran dinding kompartemen dengan atap atau lantai diatasnya,<br />
harus menerus sampai dibawah lantai atau atap diatasnya.<br />
Paragraf 3<br />
Persyaratan Terinci Terhadap Penyelamatan<br />
Pasal 137<br />
(1) Lebar dan jumlah pintu keluar pada setiap fungsi ruang harus<br />
diperhitungkan untuk dapat menyelamatkan penghuni ruang dalam<br />
waktu yang singkat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan<br />
yang berlaku.<br />
(2) Sarana jalan keluar untuk kebakaran harus bebas dari segala<br />
hambatan serta dilengkapi dengan tanda petunjuk jalan keluar yang<br />
harus selalu dalam kondisi baik, mudah dilihat dan dibaca.<br />
Pasal 138<br />
Bangunan seperti atrium dengan ketinggian 4 (empat) lantai atau 14 meter<br />
keatas, harus dilengkapi peralatan yang dapat mengeluarkan asap dari<br />
dalam bangunan pada saat terjadi kebakaran sesuai dengan ketentuan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
37<br />
Pasal 139<br />
(1) Kamar instalasi mesin lift kebakaran serta ruang luncur lift<br />
kebakaran, harus dilindungi dengan dinding yang tidak mudah<br />
terbakar sesuai dengan klasifikasi bangunannya.<br />
(2) Pemisah antara kamar mesin dan ruang luncur lift kebakaran harus<br />
terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar, dengan bukaan yang<br />
hanya diperlukan untuk ventilasi.<br />
(3) Apabila lift kebakaran terletak dalam suatu ruang luncur dengan lift<br />
lainnya, maka dinding ruang luncur lift harus memenuhi persyaratan<br />
sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) Pasal ini.<br />
Pasal 140<br />
(1) Pada dapur dan ruang lain yang sejenis yang mengeluarkan uap atau<br />
asap udara panas, harus dipasang sarana untuk mengeluarkan uap<br />
atau asap atau udara panas, dan apabila udara dalam ruang tersebut<br />
mengandung banyak lemak, harus dilengkapi dengan alat penangkap<br />
lemak.<br />
(2) Cerobong asap, saluran asap dan pembuangan gas yang mudah<br />
terbakar harus dibuat dari pasangan bata atau bahan lain dengan<br />
tingkat keamanan yang sama.<br />
Pasal 141<br />
(1) Bukaan vertikal pada bangunan yang dipergunakan untuk cerobong<br />
pipa, cerobong ventilasi, cerobong instalasi listrik harus sepenuhnya<br />
tertutup dengan dinding dari bawah sampai atas tertutup pada setiap<br />
lantai.<br />
(2) Apabila harus diadakan bukaan pada dinding penutup bukaan<br />
vertikal sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, maka bukaan harus<br />
dilindungi dengan penutup tahan api minimal sama dengan<br />
ketahanan api dinding atau lantai.<br />
Pasal 142<br />
(1) Luas ventilasi asap kendaraan lift maksimal 0,30 m2 dan untuk<br />
cerobong lainnya maksimal 0,50 m2.<br />
(2) Ventilasi asap tunggal pada bukaan tegak hanya diizinkan apabila<br />
bukaannya menembus atap, dan apabila tidak menembus harus<br />
dipasang 2 (dua) buah ventilasi asap tunggal yang berujung pada sisi<br />
yang berlainan.<br />
Pasal 143<br />
(1) Dinding luar bangunan yang berbatasan dengan garis batas<br />
pemilikan tanah harus tahan api minimal 2 (dua) jam.<br />
(2) Pada bangunan deret, dinding batas antara bangunan maksimal<br />
16 meter dinding batas tersebut harus menembus atap dengan tinggi<br />
minimal 0,50 meter dari seluruh permukaan atap.<br />
Bagian Keenam<br />
Instalasi dan Perlengkapan Bangunan<br />
Paragraf 1<br />
Instalasi Listrik<br />
Pasal 144<br />
(1) Perencanaan instalasi listrik arus kuat pada bangunan berlantai<br />
5 (lima) atau lebih dan bangunan umum harus mendapat persetujuan<br />
dari instansi yang berwenang.<br />
38<br />
(2) Sistem instalasi listrik arus kuat dan penempatannya harus mudah<br />
diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan<br />
merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain, serta<br />
diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
Pasal 145<br />
(1) Beban listrik yang bekerja pada instalasi arus kuat, harus<br />
diperhitungkan berdasarkan standar dan atau normalisasi teknik<br />
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
(2) Sumber daya utama pada bangunan harus menggunakan tenaga<br />
listrik dari Perusahaan Listrik Negara.<br />
(3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini, tidak<br />
memungkinkan, sumber daya utama dapat menggunakan sistem<br />
pembangkit tenaga listrik, yang penempatannya harus aman dan<br />
tidak menimbulkan gangguan lingkungan serta harus mengikuti<br />
standar dan atau normalisasi teknik dan peraturan perundangundangan<br />
yang berlaku.<br />
(4) Bangunan dan ruang khusus dimana tenaga listriknya tidak boleh<br />
putus, harus memiliki pembangkit tenaga cadangan yang dayanya<br />
dapat memenuhi kelangsungan pelayanan pada bangunan dan atau<br />
ruang khusus tersebut.<br />
Pasal 146<br />
Sistem instalasi listrik pada bangunan tinggi dan bangunan berlantai<br />
5 (lima) atau lebih dan bangunan umum harus memiliki sumber daya<br />
listrik darurat, yang mampu melayani kelangsungan pelayanan utama<br />
pada bangunan apabila terjadi gangguan listrik atau terjadi kebakaran.<br />
Pasal 147<br />
(1) Instalasi listrik arus kuat sebagaimana dimaksud Pasal 143<br />
Peraturan Daerah ini yang dipasang, sebelum dipergunakan harus<br />
terlebih dahulu diperiksa dan diuji oleh instansi yang berwenang.<br />
(2) Hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud ayat (1)<br />
Pasal ini, disampaikan kepada Kepala Daerah.<br />
Pasal 148<br />
Pada ruang panel hubung dan atau ruang panel bagi, harus terdapat<br />
ruang yang cukup untuk memudahkan pemeriksaan, perbaikan dan<br />
pelayanan, serta diberi ventilasi cukup.<br />
Paragraf 2<br />
Instalasi Penangkal Petir<br />
Pasal 149<br />
Setiap bangunan atau bagian bangunan yang berdasarkan letak bentuk<br />
dan penggunaannya diatap mudah terkena sambaran petir, harus diberi<br />
instalasi penangkal petir serta diperhitungkan berdasarkan standar,<br />
normalisasi teknik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
39<br />
Pasal 150<br />
(1) Suatu instalasi penangkal petir harus dapat melindungi semua<br />
bagian dari bangunan termasuk juga manusia yang ada didalamnya,<br />
terhadap bahaya sambaran petir.<br />
(2) Pemasangan instalasi penangkal petir pada bangunan, harus<br />
memperhatikan arsitektur bangunan, tanpa mengurangi nilai<br />
perlindungan terhadap sambaran petir yang efektif.<br />
(3) Terhadap instalasi penangkal petir harus dilakukan pemeriksaan dan<br />
pemeliharaan secara berkala.<br />
(4) Setiap perluasan atau penambahan bangunan instalasi penangkal<br />
petir, harus disesuaikan dengan adanya perubahan tersebut.<br />
Pasal 151<br />
Perbaikan terhadap kerusakan instalasi penangkal petir pada bangunan<br />
harus mendapat izin dari Kepala Daerah.<br />
Paragraf 3<br />
Instalasi Tata Udara Gedung<br />
Pasal 152<br />
Sistem tata udara gedung dan penempatannya harus mudah diamati,<br />
dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan,<br />
bagian bangunan dan instalasi lain, serta diperhitungkan berdasarkan<br />
standar normalisasi teknik dan peraturan perundang-undangan yang<br />
berlaku.<br />
Pasal 153<br />
Udara segar yang dimasukkan kedalam sistem tata udara gedung, harus<br />
sesuai dengan kebutuhan penghuni dalam ruang yang dikondisikan, serta<br />
memperhatikan kebersihan udara.<br />
Pasal 154<br />
Sistem ventilasi pada bangunan rumah sakit untuk ruang operasi, ruang<br />
steril dan ruang perawatan bagi pasien yang berpenyakit menular, tidak<br />
dibenarkan mempergunakan sistem sirkulasi udara yang dapat<br />
menyebabkan penularan penyakit kebagian lain bangunan.<br />
Pasal 155<br />
(1) Bangunan atau ruang parkir tertutup harus dilengkapi sistem<br />
ventilasi mekanis untuk membuang udara kotor dari dalam dan<br />
minimal 50% volume udara ruang harus diambil pada ketinggian<br />
maksimal 1,60 meter diatas lantai.<br />
(2) Ruang parkir pada ruang bawah tanah (basement) yang terdiri dari<br />
lebih satu lantai, gas buangan mobil pada setiap lantai tidak boleh<br />
mengganggu udara bersih pada lantai lainnya.<br />
Pasal 156<br />
(1) Cerobong (ducting) sistem penutup api tata udara gedung harus<br />
dilengkapi dengan penutup api (fire dumper) yang dapat menutup<br />
sendiri apabila terjadi kebakaran.<br />
40<br />
(2) Penutup api (fire dumper) dalam cerobong sebagaimana dimaksud<br />
ayat (1) Pasal ini, harus mempunyai ketahanan api minimal sama<br />
dengan ketahanan api dinding dimana bagian cerobong udara<br />
tersebut dipasang.<br />
Paragraf 4<br />
Instalasi Transportasi dalam Gedung<br />
Pasal 157<br />
(1) Sistem instalasi transportasi dan penempatannya dalam gedung<br />
harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu<br />
dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain, serta<br />
diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
(2) Jenis dan persyaratan penggunaannya berdasarkan standar,<br />
normalisasi teknik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
Pasal 158<br />
(1) Kapasitas angkut yang dinyatakan dalam izin, harus menjadi<br />
kapasitas angkut maksimum dari lift dimaksud.<br />
(2) Kapasitas angkut lift yang diizinkan, harus tertulis pada sangkar dan<br />
dinyatakan dalam jumlah orang yang dapat diangkut.<br />
(3) Kapasitas angkut barang yang diizinkan, harus tertulis dalam<br />
sangkar dan dinyatakan dalam kg.<br />
(4) Jumlah dan kapasitas lift harus mampu melakukan pelayanan yang<br />
optimal untuk sirkulasi vertikal pada bangunan.<br />
Pasal 159<br />
(1) Struktur dan material lift dan escalator harus dalam keadaan kuat,<br />
tidak cacat dan memenuhi syarat-syarat keselamatan dan keamanan<br />
serta harus ada sertifikat kelayakan dan jaminan dari perusahaan<br />
yang bersangkutan.<br />
(2) Konstruksi dan instalasi lift dan escalator harus memenuhi ketentuan<br />
peraturan perrundang-undangan yang berlaku.<br />
Paragraf 5<br />
Instalasi Plambing dan Air Buangan<br />
Pasal 160<br />
Sistem Plambing dan air buangan serta penempatannya harus mudah<br />
diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan<br />
lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain serta diperhitungkan<br />
berdasarkan standar normalisasi teknik dan peraturan perundangundangan<br />
yang berlaku.<br />
Pasal 161<br />
Pada setiap bangunan harus disediakan sistem air bersih dan air buangan<br />
guna menyalurkan air bersih ke alat plambing dan membuang air limbah<br />
dari peralatan plambing serta tidak mengganggu lingkungan dan saluran<br />
kota (got, parit saluran primer, sekunder dan tersier).<br />
41<br />
Pasal 162<br />
Gedung yang mempunyai alat plambing harus dilengkapi dengan sistem<br />
drainase, untuk menyalurkan air ke saluran umum, sedangkan apabila<br />
tidak terdapat saluran umum, penyaluran air buangan harus dilakukan<br />
atas petunjuk instansi yang berwenang.<br />
Pasal 163<br />
(1) Sumber air bersih pada bangunan harus diperoleh dari sumber air<br />
PAM, apabila sumber air bukan dari PAM, maka sebelum digunakan<br />
harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang.<br />
(2) Apabila sumber air dari sumur dalam (deepwell) harus mendapat izin<br />
dari instansi yang berwenang.<br />
Pasal 164<br />
Tangki persediaan air yang melayani keperluan gedung, hidran kebakaran<br />
dan sistem sprinkler harus:<br />
a. Direncanakan dan dipasang sehingga dapat menyalurkan air dalam<br />
volume dan tekanan yang cukup untuk sistem tersebut.<br />
b. Mempunyai lubang aliran ke luar untuk keperluan gedung pada<br />
ketinggian tertentu dari dasar tangki, sehingga persediaan minimal<br />
yang diperlukan untuk pemadam kebakaran maupun sprinkler dapat<br />
dipertahankan.<br />
Pasal 165<br />
Buangan yang mengandung radio aktif dan Bahan Berbahaya dan<br />
Beracun (B3) harus diamankan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan<br />
cara pembuangannya harus mendapat izin khusus dari instansi yang<br />
berwenang.<br />
Paragraf 6<br />
Instalasi Komunikasi Dalam Gedung<br />
Pasal 166<br />
Sistem instalasi komunikasi telepon dan tata suara gedung serta<br />
penempatannya harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan<br />
mengganggu dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi<br />
lain serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan<br />
peraturan lain yang berlaku.<br />
Pasal 167<br />
(1) Pada setiap bangunan dengan ketinggian 4 (empat) lantai atau 14<br />
meter keatas, harus tersedia peralatan komunikasi darurat untuk<br />
keperluan penanggulangan kebakaran.<br />
(2) Sistem peralatan komunikasi darurat sebagaimana dimaksud ayat (1)<br />
Pasal ini harus menggunakan sistem khusus, sehingga apabila sistem<br />
dan peralatannya rusak, maka sistem telepon darurat tetap bekerja.<br />
Paragraf 7<br />
Instalasi Gas<br />
Pasal 168<br />
Sistem instalasi gas beserta penempatannya harus mudah diamati,<br />
dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan,<br />
bagian bangunan dan instalasi lain serta diperhitungkan berdasar standar<br />
normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.<br />
42<br />
Paragraf 8<br />
Instalasi Lain<br />
Pasal 169<br />
Instalasi lain yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini harus sesuai<br />
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan<br />
memenuhi segala aspek keamanan, keselamatan terhadap instalasi itu<br />
sendiri, serta bangunan dan lingkungannya.<br />
Bagian Ketujuh<br />
Pelaksanaan Membangun<br />
Paragraf 1<br />
Tertib Pelaksanaan Membangun<br />
Pasal 170<br />
Setiap kegiatan membangun termasuk pekerjaan instalasi dan<br />
perlengkapan bangunan harus memperhatikan dan melaksanakan<br />
ketentuan-ketentuan tentang :<br />
a. Keselamatan dan kesehatan ;<br />
b. Kebersihan dan keserasian lingkungan ;<br />
c. Keamanan dan kesehatan terhadap lingkungan di sekitarnya ; dan<br />
d. Pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran.<br />
Pasal 171<br />
(1) Setiap pelaku teknis dalam melaksanakan kegiatan membangun<br />
wajib mengikuti petunjuk teknis yang diberikan oleh Kepala Dinas<br />
Tata Kota.<br />
(2) Apabila pelaksanaan kegiatan membangun menggunakan teknolog<br />
atau cara baru yang belum lazim, maka sebelum pekerjaan tersebut<br />
dilaksanakan pelaksana atau pemilik bangunan harus terlebih<br />
dahulu mengajukan rencana pelaksanaannya untuk mendapat<br />
persetujuan Kepala Daerah.<br />
Pasal 172<br />
Apabila dalam pelaksanaan kegiatan membangun terdapat ketetentuanketentuan<br />
yang belum dan atau tidak diatur dalam Peraturan Daerah ini,<br />
maka dapat digunakan pedoman peraturan atau ketentuan lainnya dengan<br />
terlebih dahulu mendapat persetujuan Kepala Daerah.<br />
Paragraf 2<br />
Sarana Pelaksanaan Membangun<br />
Pasal 173<br />
(1) Sebelum kegiatan membangun dilaksanakan harus dipasang papan<br />
nama proyek, nomor IMB dan batas pekarangan harus dipagar<br />
setinggi minimal 2,5 meter, dengan memperhatikan keamanan,<br />
keserasian sekelilingnya serta tidak melampaui GSJ.<br />
(2) Untuk kegiatan membangun sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal<br />
ini, yang pelaksanaan terpaksa melampaui GSJ harus mendapat<br />
persetujuan dari Kepala Daerah.<br />
(3) Untuk kegiatan membangun yang pelaksanaannya dapat mengganggu<br />
keamanan pengguna jalan, maka pagar proyek yang berbatasan<br />
dengan trotoar harus dibuat konstruksi pengamanan yang<br />
melindungi pengguna jalan.<br />
(4) Papan nama proyek IMB berukuran 60 cm x 40 cm.<br />
43<br />
Pasal 174<br />
(1) Jalan dan pintu keluar masuk pada lokasi kegiatan membangun<br />
harus dibuat, dan penempatannya tidak boleh mengganggu<br />
kelancaran lalu lintas serta tidak merusak prasarana kota.<br />
(2) Apabila jalan masuk proyek tersebut melintasi trotoar dan saluran<br />
umum maka perlu dibuat konstruksi pengamanan berupa jembatan<br />
sementara untuk lalu lintas kendaraan keluar masuk proyek.<br />
(3) Jalan keluar masuk sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, harus<br />
dibuatkan tanda atau rambu lalu lintas.<br />
Pasal 175<br />
Konstruksi bekisting dan perancah harus aman dan tidak membayakan<br />
para pekerja dan lingkungan sekitarnya.<br />
Pasal 176<br />
Setiap pelaksanaan kegiatan membangun yang menggunakan alat bantu<br />
seperti ramp, jembatan darurat, tangga darurat, jaring pengaman dan alat<br />
bantu lainnya harus memenuhi ketentuan tentang keselamatan dan<br />
kesehatan kerja serta ketentuan teknis yang ditetapkan oleh Kepala<br />
Daerah.<br />
Pasal 177<br />
(1) Pada pelaksanaan kegiatan membangun harus dilengkapi dengan:<br />
a. Alat pemadam api sesuai ketentuan yang berlaku ; dan<br />
b. Sarana pembersih bagi kendaraan yang masuk dan keluar<br />
proyek.<br />
(2) Pada pelaksanaan kegiatan membangun yang tingginya lebih dari<br />
10 lantai atau lebih dari 40 meter, harus dilengkapi dengan lampu<br />
tanda untuk menghindari kecelakaan lalu lintas udara.<br />
Pasal 178<br />
Setiap pelaksanaan kegiatan membangun yang memerlukan instalasi<br />
listrik untuk sumber daya listrik darurat, lift angkut barang atau orang<br />
dan lian-lain yang sejenis bersifat sementara harus memenuhi ketentuan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
Pasal 179<br />
Penempatan dan pemakaian alat-alat besar untuk pelaksanaan kegiatan<br />
membangun, tidak boleh menimbulkan bahaya, merusak dan atau<br />
gangguan terhadap bangunan maupun lingkungannya.<br />
Pasal 180<br />
(1) Bedeng, bangsal kerja, kamar mandi, kakus harus disediakan oleh<br />
pemborong untuk para pekerja sesuai dengan kebutuhan, dan<br />
penempatannya tidak boleh mengganggu lingkungan sekitarnya serta<br />
harus memenuhi ketentuan yang berlaku.<br />
(2) Bangunan sementara sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, harus<br />
dibongkar dan dibersihkan apabila pelaksanaan kegiatan membangun<br />
telah selesai.<br />
44<br />
Paragraf 3<br />
Hasil dan Mutu Pelaksanaan Membangun<br />
Pasal 181<br />
(1) Pada pelaksanaan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus,<br />
harus diawasi oleh tenaga ahli sesuai bidangnya antara lain :<br />
a. Pekerjaan galian tanah untuk kedalaman lebih dari 2 (dua) meter<br />
dan atau di lokasi yang rapat ;<br />
b. Pekerjaan struktur penahanan tanah ;<br />
c. Pekerjaan dewatering atau dinding penahan air sementara ;<br />
d. Pekerjaan pondasi dalam ; dan<br />
e. Pekerjaan struktur bangunan khusus.<br />
(2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, harus memiliki<br />
surat keterangan keahlian dari pendidikan formal sesuai bidangnya.<br />
Pasal 182<br />
(1) Penggalian pondasi atau basement yang memerlukan dewatering,<br />
pelaksanaannya tidak boleh merusak lingkungan sekitarnya.<br />
(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan dewatering ditetapkan oleh<br />
Kepala Daerah.<br />
Pasal 183<br />
(1) Pada pekerjaan pondasi tiang pancang yang menggunakan<br />
sambungan harus dilakukan pengawasan dan pengamatan oleh<br />
tenaga ahli agar sambungan tersebut berfungsi sesuai dengan<br />
perancangan.<br />
(2) Pada pekerjaan pondasi tiang baja, harus dilakukan pengawasan dan<br />
pengamatan oleh tenaga ahli terhadap gejala kelelahan tiang<br />
dimaksud akibat pemancangan.<br />
Pasal 184<br />
(1) Pekerjaan tertentu yang menurut Kepala Daerah memerlukan<br />
keahlian khusus harus dilakukan oleh tenaga ahli.<br />
(2) Percobaan pembebanan untuk struktur bangunan harus<br />
dilaksanakan oleh pemborong dan diawasi oleh direksi pengawas<br />
serta mengikuti persyaratan teknis standar dan prosedur yang<br />
berlaku.<br />
Pasal 185<br />
(1) Apabila mutu bahan dan atau hasil pelaksanaan kegiatan<br />
membangun diragukan, maka harus dilakukan pengujian dan<br />
pengkajian serta hasilnya dilaporkan secara tertulis kepada Kepala<br />
Daerah.<br />
(2) Apabila mutu bahan hasil pengujian sebagaimana dimaksud ayat (1)<br />
Pasal ini tidak memenuhi persyaratan, maka Kepala Daerah dapat<br />
memerintahkan untuk mengganti bahan yang sudah terpasang.<br />
(3) Mutu bahan struktur bangunan yang belum lazim digunakan harus<br />
dibuktikan terlebih dahulu dengan tes atau diuji oleh instansi yang<br />
berwenang.<br />
45<br />
Pasal 186<br />
(1) Apabila dalam pelaksanaan membangun terjadi kegagalan struktur,<br />
maka pelaksanaan membangun harus dihentikan dan dilakukan<br />
pengamanan terhadap bangunan manusia dan lingkungan.<br />
(2) Apabila hasil penelitian terhadap kegagalan struktur sebagaimana<br />
dimaksud ayat (1) Pasal ini, ternyata tidak dapat diatasi dengan<br />
perkuatan dan dapat mengakibatkan keruntuhan, maka bangunan<br />
tersebut harus dibongkar.<br />
Pasal 187<br />
Pada pelaksanaan pemasangan instalasi listrik, tata udara gedung,<br />
plumbing, serta instalasi lainnya dalam gedung harus aman dan tidak<br />
boleh mengganggu atau mengurangi kekuatan struktur bangunan.<br />
Paragraf 4<br />
Pangawasan Lingkungan<br />
Pasal 188<br />
(1) Pekerjaan galian dan penimbunan hasil galian serta penimbunan<br />
bahan-bahan tidak boleh menimbulkan bahaya atau gangguan<br />
lingkungan.<br />
(2) Setiap pekerjaan galian yang dalamnya lebih dari 2 (dua) meter, harus<br />
diamankan dari bahaya terjadinya kelongsoran dengan cara<br />
memasang konstruksi pencegah kelongsoran yang perencanaan dan<br />
teknis pelaksanaannya terlebih dahulu disetujui oleh Kepala Daerah.<br />
(3) Pekerjaan galian dan pemasangan struktur pencegah kelongsoran<br />
sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini, harus selalu diawasi oleh<br />
tenaga ahli.<br />
Pasal 189<br />
(1) Pada pelaksanaan pondasi yang dapat mengakibatkan stabilitas<br />
bangunan di daerah yang berbatasan dengan daerah pelaksanaan<br />
terganggu, harus diadakan pengamanan sebelum pelaksanaan<br />
pondasi tersebut dimulai atau diteruskan dengan terlebih dahulu<br />
mendapat persetujuan dari Kepala Daerah.<br />
(2) Kepala Dinas Tata Kota dapat memerintahkan untuk mengubah<br />
sistem pondasi yang dipakai apabila dalam pelaksanaannya<br />
mengganggu dan atau membahayakan keamanan dan keselamatan<br />
lingkungan di sekitarnya.<br />
Pasal 190<br />
(1) Untuk pelaksanaan bangunan tinggi dan atau bangunan lainnya yang<br />
dapat menimbulkan jatuhnya benda-benda kesekitarnya harus<br />
dipasang jaring pengaman.<br />
(2) Pelaksanaan bangunan di bawah permukaan air dan di bawah<br />
permukaan tanah harus dibuat pengaman khusus agar tidak<br />
membahayakan bagi para pekerja maupun lingkungan sekitarnya.<br />
Pasal 191<br />
Pemborong dan atau pemilik bangunan berkewajiban dengan segera<br />
membersihkan segala kotoran dan atau memperbaiki segala kerusakan<br />
terhadap prasarana dan sarana kota akibat pelaksanaan bangunan<br />
sehingga berfungsi seperti keadaan semula.<br />
46<br />
Pasal 192<br />
(1) Setiap kegiatan membangun yang dilaksanakan secara bertahap dan<br />
atau terhenti pelaksanaannya, maka penghentian pekerjaan harus<br />
pada kondisi yang tidak membahayakan bangunan itu sendiri dan<br />
lingkungan sekitarnya.<br />
(2) Pada pelaksanaan kegiatan membangun bangunan bertingkat,<br />
pembuangan puing dan atau sisa bahan bangunan dari lantai tingkat<br />
harus dilaksanakan dengan sistem tertentu dan tidak membahayakan<br />
dan mengganggu lingkungan.<br />
Paragraf 5<br />
Membongkar Bangunan<br />
Pasal 193<br />
(1) Pelaksanaan merobohkan bangunan menjadi tanggung jawab pemilik<br />
bangunan.<br />
(2) Untuk merobohkan bangunan dengan cara teknologi tinggi, harus<br />
dilaksanakan oleh tenaga ahli yang memenuhi persyaratan.<br />
(3) Untuk keamanan dan keselamatan umum, atau sekitar bangunan<br />
yang dirobohkan harus diusahakan langkah-langkah pengamanan<br />
antara lain pemasangan pagar-pagar atau jaringan.<br />
BAB IV<br />
IZIN PENGGUNAAN BANGUNAN<br />
Pasal 194<br />
Penyelenggaraan pengaturan penggunaan dan pemanfaatan bangunan<br />
dilaksanakan berdasarkan asas kemanfaatan umum, keserasian, dan<br />
ketertiban untuk mengatur fungsi bangunan secara optimal sebagai<br />
wahana untuk menampung kegiatan secara berdaya guna dan berhasil<br />
guna sesuai dengan fungsi peruntukannya.<br />
Pasal 195<br />
(1) Setiap orang atau badan yang akan menggunakan dan memanfaatkan<br />
bangunannya wajib memiliki IPB dari Kepala Daerah.<br />
(2) IPB sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, diberikan hanya<br />
terhadap bangunan yang telah memiliki IMB.<br />
(3) Untuk mendapatkan IPB sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
dilaporkan sendiri oleh pemilik bangunan atau oleh suatu pihak yang<br />
diberi kuasa kepada Kepala Daerah melalui Dinas Tata Kota, apabila<br />
pekerjaan mendirikan bangunan telah selesai (100%) dan bangunan<br />
yang didirikan sesuai dengan IMB berdasarkan Berita Acara<br />
Pemeriksaan<br />
Pasal 196<br />
(1) IPB hanya berlaku bagi pemilik bangunan yang namanya tercantum<br />
dalam IPB.<br />
(2) Tidak dibenarkan merubah penggunaan bangunan tanpa izin dari<br />
Kepala Daerah.<br />
(3) Apabila pemilikan bangunan telah berubah, wajib mengajukan<br />
permohonan balik nama IPB secara tertulis kepada Kepala Daerah<br />
melalui Dinas Tata Kota dengan mengisi formulir yang disediakan.<br />
47<br />
Pasal 197<br />
(1) Setiap pemegang IPB diwajibkan memasang plat nomor IPB pada<br />
bagian dinding depan bangunan yang mudah dibaca.<br />
(2) Plat nomor IPB berukuran 20 cm x 15 cm.<br />
Pasal 198<br />
IPB berlaku selama bangunan tersebut digunakan sesuai dengan izin yang<br />
diberikan.<br />
Sebagai media pengendalian dan pengawasan terhadap IPB sebagaimana<br />
dimaksud ayat (1) Pasal ini, terhadap bangunan yang telah<br />
mempunyai IPB wajib dilakukan penelitian KPB-nya.<br />
KPB pada bangunan rumah tinggal wajib melakukan daftar ulang setiap<br />
10 (sepuluh) tahun dan untuk bangunan non rumah tinggal setiap<br />
5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkannya IPB .<br />
IPB dapat dicabut, apabila berdasarkan KPB penggunaan dan<br />
pemanfaatan bangunan tersebut tidak sesuai lagi dengan fungsi<br />
peruntukannya sebagaimana tercantum dalam izin yang diberikan.<br />
Pasal 199<br />
Untuk mendapatkan sertifikat KPB, pemilik atau pengelola bangunan<br />
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Daerah<br />
melalui Dinas Tata Kota selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender<br />
sebelum batas waktu penilaian kelayakan penggunaan bangunan berakhir.<br />
Pasal 200<br />
Terhadap bangunan yang tidak sesuai dengan IPB yang telah diterbitkan<br />
dan atau mengalami perubahan fisik, maka pemilik bangunan wajib<br />
melakukan revisi IPB terlebih dahulu.<br />
BAB V<br />
NAMA, OBJEK DAN SUBYEK RETRIBUSI<br />
Pasal 201<br />
Dengan nama Retribusi Perizinan Bangunan dipungut retribusi sebagai<br />
pembayaran atas pelayanan pemberian IMB, KPB, IMMR.dan Plat.<br />
Pasal 202<br />
Objek Retribusi adalah setiap pemberian IMB, KPB, IMMR dan Plat<br />
meliputi :<br />
Izin Mendirikan Bangunan ;<br />
Izin Mendirikan Pagar ;<br />
Izin Bangunan Teras Tertutup dan Teras Terbuka ;<br />
Izin Berdandan atau Perbaikan Bangunan ;<br />
Izin Revisi Bentuk dan Ukuran Bangunan ;<br />
Izin Balik Nama dan atau Pemisahan IPB ;<br />
Perpanjangan Izin Mendirikan Bangunan ;<br />
Izin Mendirikan Bangunan Jembatan Toko ;<br />
Izin Mendirikan Bangunan Sarang Walet ;<br />
48<br />
Izin Mendirikan Bangunan Bertiang ;<br />
Izin Mendirikan Bangunan dan atau lapangan olah raga ;<br />
Izin Bangunan Menara atau Tower ;<br />
Izin Mendirikan Tiang Telepon dan Tiang Listrik ;<br />
Izin Bangunan Monumen atau Tugu yang sifatnya komersial tinggi<br />
maksimum 10 meter ;<br />
Izin Bangunan utilitas umum jaringan primer dan sekunder ;<br />
Izin Mendirikan Media Reklame (IMMR) ;<br />
Surat Keterangan Rencana Kota ;<br />
Izin Kelayakan Penggunaan Bangunan (KPB) ;<br />
Sewa tanah milik Pemerintah untuk sarana media luar ruang ;<br />
Plat IMB ; dan<br />
Plat IPB.<br />
Pasal 203<br />
Subjek Retribusi adalah setiap orang atau badan yang memperoleh<br />
pelayanan IMB, KPB, IMMR dan Plat .<br />
BAB VI<br />
KETENTUAN RETRIBUSI<br />
Pasal 204<br />
(1) Untuk setiap pemberian IMB, KPB, IMMR dan Plat dikenakan<br />
retribusi.<br />
(2) Besarnya retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
ditetapkan sebagai berikut :<br />
Perhitungan Izin Mendirikan Bangunan adalah :<br />
RIMB = LB x Iz x Ikj x Ik x THDB per m2<br />
RIMB = Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.<br />
LB = Luas bangunan, adalah luas bangunan yang<br />
ditetapkan dalam Surat Izin Mendirikan Bangunan.<br />
Iz = Index Zone.<br />
Ikj = Index Klasifikasi Jalan.<br />
Ik = Index Ketinggian Bangunan.<br />
THDB = Tarif harga dasar bangunan adalah tarif yang<br />
dikenakan atas Surat Izin Mendirikan Bangunan.<br />
Perhitungan Izin Mendirikan Pagar adalah:<br />
RIMP = LP x Iz x Ikj x THDB per m2<br />
RIMP = Retribusi Izin Mendirikan Pagar.<br />
LP = Luas pagar, adalah luas pagar yang<br />
ditetapkan dalam Surat Izin Mendirikan<br />
Bangunan.<br />
Luas Pagar = Panjang x Tinggi Bangunan Pagar<br />
Iz = Index Zone.<br />
Ikj = Index Klasifikasi Jalan.<br />
THDB = Tarif harga dasar bangunan adalah tarif yang<br />
dikenakan atas Surat Izin Mendirikan<br />
Bangunan.<br />
49<br />
Penetapan prosentase biaya sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b<br />
Pasal ini, adalah :<br />
No Jenis Bangunan Kelas Jalan Index Klasifikasi<br />
Jalan<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
Bangunan rumah<br />
Bangunan pagar<br />
Bangunan peribadatan dan<br />
sosial<br />
Bangunan pagar<br />
Bangunan pendidikan olah<br />
raga,<br />
kesenian/kebudayaan<br />
dan kesehatan.<br />
Bangunan pagar<br />
Bangunan pasar,<br />
perdagangan, jasa, wisata,<br />
pemerintah, gudang.<br />
Arteri<br />
Kolektor<br />
Lokal<br />
Arteri<br />
Kolektor<br />
Lokal<br />
Arteri<br />
Kolektor<br />
Lokal<br />
Arteri<br />
Kolektor<br />
Lokal<br />
2,00 (dua koma nol-nol)<br />
1,25 (satu koma dua lima)<br />
0,70 (nol koma tujuh nol)<br />
0,25 (nol koma dua lima)<br />
0,25 (nol koma dua lima)<br />
0,25 (nol koma dua lima)<br />
2,00 (dua koma nol-nol)<br />
1,25 (satu koma dua lima)<br />
0,70 (nol koma tujuh nol)<br />
3,00 (tiga koma nol-nol)<br />
2,00 (dua koma nol-nol)<br />
1,25 (satu koma dua lima)<br />
Penetapan Index Zone sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b Pasal<br />
ini, adalah:<br />
Index Zone A = 2,00<br />
Index Zone B = 1,75<br />
Index Zone C = 1,50<br />
Index Zone D = 1,25<br />
Index Zone E = 1,00<br />
Penetapan Index Ketinggian Bangunan sebagaimana dimaksud huruf a<br />
Pasal ini, adalah:<br />
Index Ketinggian Bangunan lantai I – IV = 1,00<br />
Index Ketinggian Bangunan lantai V – VIII = 1,50<br />
Index Ketinggian Bangunan lantai IX dst = 2,00<br />
Perhitungan Izin Bangunan Teras Tertutup dan Teras Terbuka adalah :<br />
Izin Bangunan Teras Tertutup adalah besarnya retribusi ditetapkan<br />
50% (lima puluh persen) dari RIMB teras sebagaimana dimaksud<br />
huruf a Pasal ini.<br />
Izin Bangunan Teras Terbuka adalah besarnya retribusi ditetapkan<br />
20% (dua puluh persen) dari RIMB teras sebagaimana dimaksud<br />
huruf a pasal ini.<br />
Perhitungan Izin Berdandan atau Perbaikan Bangunan adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan 2% (dua persen) dari retribusi yang<br />
ditetapkan.<br />
50<br />
Perhitungan Izin Revisi Bentuk dan Ukuran Bangunan adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan 2% (dua persen) dari RIMB<br />
sebagaimana dimaksud huruf a Pasal ini.<br />
Perhitungan Izin Balik Nama dan atau Pemisahan IPB adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan 10% (sepuluh persen) dari RIMB<br />
sebagaimana dimaksud huruf a Pasal ini.<br />
Perhitungan Perpanjangan Izin Mendirikan Bangunan adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan 5% (lima persen) dari RIMB<br />
sebagaimana dimaksud huruf a Pasal ini.<br />
Perhitungan Izin Mendirikan Bangunan Jembatan Toko adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan sama dengan retribusi untuk<br />
perdagangan dan jasa yang berada di kelas jalan arteri.<br />
Perhitungan Izin Mendirikan Bangunan Sarang Walet adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan sama dengan retribusi untuk<br />
perdagangan dan jasa yang berada di kelas jalan arteri, kolektor,<br />
lokal.<br />
Perhitungan Izin Mendirikan Bangunan Bertiang adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan sama dengan retribusi untuk rumah<br />
bertiang.<br />
Perhitungan Izin Mendirikan Bangunan dan atau lapangan olah raga<br />
adalah:<br />
Besarnya retribusi bangunan ditetapkan sebesar 100% (seratus<br />
persen) dari RIMB sebagaimana dimaksud huruf a Pasal ini.<br />
Besarnya retribusi lapangan ditetapkan sebesar 20% (dua puluh<br />
persen) dari RIMB sebagaimana dimaksud huruf a Pasal ini.<br />
Perhitungan Izin Bangunan Menara atau Tower adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan Rp 1.000.000,- per meter tinggi<br />
dihitung dari tanah dasar.<br />
Perhitungan Izin Mendirikan Tiang Telepon dan Tiang Listrik adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan Rp 2.500,- per tiang.<br />
Perhitungan Izin Bangunan Monumen atau Tugu yang sifatnya komersial<br />
dengan tinggi maksimal 10 meter adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan Rp 200.000,- per meter tinggi.<br />
Perhitungan Izin Bangunan Utilitas Umum Jaringan Primer dan Sekunder<br />
adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan Rp 2.500,- per meter maju (m’).<br />
Perhitungan Izin Mendirikan Media Reklame (IMMR) adalah :<br />
Luas Reklame x NJOP x 12 bulan x prosentase.<br />
51<br />
Perhitungan Surat Keterangan Rencana kota<br />
Besarnya retribusi ditetapkan adalah:<br />
No Luas Tanah Biaya Ukur Biaya Blanko<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
9<br />
10<br />
11<br />
Kurang dari 100 m2<br />
101 m2 s/d 200 m2<br />
201 m2 s/d 300 m2<br />
301 m2 s/d 400 m2<br />
401 m2 s/d 500 m2<br />
501 m2 s/d 1000 m2<br />
1001 m2 s/d 2000 m2<br />
2001 m2 s/d 3000 m2<br />
3001 m2 s/d 4000 m2<br />
4001 m2 s/d 5000 m2<br />
5001 m2 s/d 10000 m2<br />
Rp<br />
Rp<br />
Rp<br />
Rp<br />
Rp<br />
Rp<br />
Rp<br />
Rp<br />
Rp<br />
Rp<br />
Rp<br />
10.000,-<br />
15.000,-<br />
20.000,-<br />
25.000,-<br />
30.000,-<br />
40.000,-<br />
50.000,-<br />
75.000,-<br />
100.000,-<br />
125.000,-<br />
300.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
Rp 5.000,-<br />
12<br />
13<br />
14<br />
15<br />
16<br />
17<br />
18<br />
19<br />
Lebih dari 10.000 m2 ditetapkan penambahan berdasarkan nomor<br />
urut tersebut di atas.<br />
Pengukuran dengan waterpas tiap 1 Km/panjang Rp 300.000,-<br />
(tiga ratus ribu rupiah).<br />
Pengukuran provil melintang dan memanjang Rp 500.000,- (lima<br />
ratus ribu rupiah).<br />
Pengukuran trancer/garis tinggi setiap 100 m2 Rp 5.000,- (Lima<br />
ribu rupiah).<br />
Pencetakan peta skala 1 : 1000 untuk luas tanah sampai dengan<br />
10.000 m2 Rp 5.000,- (Lima ribu rupiah) per lembar.<br />
Pencetakan peta skala 1 : 1000 untuk luas tanah 10.001 m2<br />
s.d. 50.000 m2 Rp 25.000,- (Dua puluh lima ribu rupiah) per<br />
lembar.<br />
Pencetakan peta skala 1 : 1000 untuk luas tanah 50.001 m2<br />
s.d. 100.000 m2 Rp 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah) per lembar.<br />
Pencetakan peta skala 1 : 1000 untuk luas tanah lebih dari<br />
100.000 m2 berlaku kelipatan sesuai nomor tersebut di atas.<br />
Perhitungan Izin Kelayakan Penggunaan Bangunan adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan:<br />
Untuk bangunan rumah tinggal, bangunan sosial dikenakan biaya<br />
retribusi evaluasi kelayakan penggunaan bangunan sebesar<br />
5 % (lima persen) dari RIMB yang berlaku pada saat itu.<br />
Untuk bangunan non rumah tinggal, dikenakan biaya retribusi<br />
evaluasi kelayakan penggunaan bangunan sebesar 20% (dua<br />
puluh persen) dari RIMB yang berlaku pada saat itu.<br />
52<br />
Perhitungan sewa tanah milik Pemerintah untuk sarana media luar ruang<br />
adalah :<br />
Luas reklame x (NJOP x 60 %) x 12 bulan x 5 %.<br />
Retribusi plat IMB ukuran 40 x 60 cm = Rp 50.000,-<br />
Retribusi plat IPB ukuran 15 x 20 cm = Rp 25.000,-<br />
BAB VII<br />
GOLONGAN RETRIBUSI<br />
Pasal 205<br />
Retribusi IMB, KPB, IMMR dan Plat termasuk jenis Retribusi Perizinan<br />
tertentu.<br />
BAB VIII<br />
TOLOK UKUR PENGGUNAAN JASA<br />
Pasal 206<br />
Tolok ukur penggunaan jasa adalah berdasarkan pada:<br />
a. Luas Bangunan ;<br />
b. Indeks Klasifikasi Jalan ;<br />
c. Tarif Harga Dasar Bangunan ;<br />
d. Indeks Zona ; dan<br />
e. Indeks Ketinggian.<br />
BAB IX<br />
PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN STRUKTUR<br />
DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI<br />
Pasal 207<br />
Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi<br />
tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh<br />
biaya penyelenggaraan pemberian IMB, KPB, IMMR dan Plat.<br />
BAB X<br />
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI<br />
Pasal 208<br />
Struktur besarnya tarif retribusi terhadap pemberian IMB, KPB, IMMR dan<br />
Plat sebagaimana dimaksud Pasal 204 Peraturan Daerah ini,<br />
ditetapkan berdasarkan klasifikasi pemberian IMB, KPB, IMMR dan<br />
Plat.<br />
Klasifikasi pemberian IMB, KPB, IMMR dan Plat sebagaimana dimaksud<br />
ayat (1) Pasal ini, ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.<br />
Pasal 209<br />
53<br />
Penetapan Retribusi Pemberian IMB, KPB, IMMR dan Plat hanya<br />
dikenakan 1 (satu) kali setiap pemberian IMB, KPB, IMMR dan.Plat.<br />
BAB XI<br />
WILAYAH PEMUNGUTAN<br />
Pasal 210<br />
Retribusi yang terutang dipungut dalam Daerah tempat pelayanan jasa<br />
dan fasilitas yang diberikan.<br />
BAB XII<br />
MASA RETRIBUSI DAN SAAT RETRIBUSI TERUTANG<br />
Pasal 213<br />
Masa Retribusi pemberian IMB, KPB, IMMR dan Plat dan jangka waktu<br />
yang akan ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
Pasal 214<br />
Saat retribusi terutang adalah pada saat ditetapkannya SKRD atau<br />
dokumen lain yang dipersamakan.<br />
BAB XIII<br />
SURAT PENDAFTARAN<br />
Pasal 215<br />
Wajib Retribusi wajib mengisi SPdORD.<br />
SPdORD sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, harus diisi dengan<br />
jelas, benar dan lengkap serta ditanda tangani oleh Wajib Retribusi<br />
atau kuasanya.<br />
Bentuk, Isi dan tata cara pengisian serta penyampayai SPdORD<br />
sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, ditetapkan oleh Kepala<br />
Daerah.<br />
BAB XIV<br />
PENETAPAN RETRIBUSI<br />
Pasal 216<br />
Berdasarkan SPdORD sebagaimana dimaksud Pasal 215 Peraturan Daerah<br />
ini, ditetapkan retribusi terutang dengan menerbitkan SKRD atau<br />
dokumen lainnya yang dipersamakan.<br />
Bentuk, isi dan tata cara penerbitan SKRD atau dokumen lain yang<br />
dipersamakan sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini ditetapkan<br />
oleh Kepala Daerah.<br />
BAB XV<br />
TATA CARA PEMUNGUTAN RETRIBUSI<br />
54<br />
Pasal 217<br />
Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan.<br />
Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang<br />
dipersamakan.<br />
BAB XVI<br />
SANKSI ADMINISTRASI<br />
Pasal 218<br />
(1) Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau<br />
kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2 %<br />
(dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang atau kurang<br />
dibayar dan ditagih dengan menggunakan SKRD.<br />
(2) Orang atau badan yang memiliki IMB, KPB, IMMR dan Plat yang<br />
melanggar ketentuan Peraturan Daerah ini, akan dikenakan sanksi<br />
berupa pencabutan IMB, KPB, IMMR dan Plat serta membongkar<br />
bangunannya.<br />
BAB XVII<br />
TATA CARA PEMBAYARAN RETRIBUSI<br />
Pasal 219<br />
(1) Pembayaran Retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus<br />
dimuka.<br />
(2) Retribusi yang terutang dilunasi pada saat diterbitkannya SKRD atau<br />
dokumen lain yang dipersamakan.<br />
(3) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran retribusi<br />
diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.<br />
BAB XVIII<br />
TATA CARA PENAGIHAN RETRIBUSI<br />
Pasal 220<br />
(1) Retribusi yang terutang berdasarkan SKRD atau dokumen lain yang<br />
dipersamakan, SKRDKBT, STRD dan Surat Keputusan Keberatan<br />
yang menyebabkan jumlah retribusi yang harus dibayar bertambah,<br />
yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Retribusi dapat ditagih<br />
melalui Badan Urusan Piutang dan Lelalang Negara (BUPLN).<br />
(2) Penagihan retribusi melalui BUPLN dilaksanakan berdasarkan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />
BAB XIX<br />
KEBERATAN ATAS PENETAPAN RETRIBUSI<br />
Pasal 221<br />
Wajib Retribusi dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau<br />
pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang<br />
dipersamakan, SKRDKBT dan SKRDLB.<br />
Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan<br />
disertai alasan-alasan yang jelas.<br />
55<br />
Dalam hal Wajib Retribusi mengajukan keberatan atas ketetapan Wajib<br />
Retribusi, Wajib Retribusi harus dapat membuktikan ketidak benaran<br />
ketetapan retribusi tersebut.<br />
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan<br />
sejak SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, SKRDKBT dan<br />
SKRDLB diterbitkan, kecuali apabila Wajib Retribusi tersebut dapat<br />
menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena<br />
keadaan diluar kekuasaannya.<br />
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat<br />
(2) dan ayat (3) Pasal ini, tidak dianggap sebagai surat keberatan,<br />
sehingga tidak dipertimbangkan.<br />
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan<br />
pelaksanaan penagihan retribusi.<br />
Pasal 222<br />
(1) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak<br />
tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas<br />
keberatan yang diajukan.<br />
(2) Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima<br />
seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya<br />
retribusi yang terutang.<br />
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, telah<br />
lewat dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan,<br />
keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.<br />
BAB XX<br />
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN RETRIBUSI<br />
Pasal 223<br />
Atas kelebihan pembayaran retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan<br />
permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah.<br />
Kepala Daerah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya<br />
permohonan kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud<br />
ayat (1) Pasal ini, harus memberikan keputusan.<br />
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini, telah<br />
dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan,<br />
permohonan pengembalian kelebihan retribusi dianggap dikabulkan<br />
dan SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama<br />
1 (satu) bulan.<br />
Apabila Wajib Retribusi mempunyai hutang retribusi lainnya kelebihan<br />
pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini,<br />
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu hutang<br />
retribusi tersebut.<br />
Pengembalian kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud<br />
ayat (1) Pasal ini, dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)<br />
bulan sejak diterbitkannya SKRDLB.<br />
Apabila pengembalian pembayaran retribusi dilakukan setelah lewat<br />
jangka waktu 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan<br />
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan<br />
pembayaran kelebihan retribusi tersebut.<br />
56<br />
Pasal 224<br />
(1) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran retribusi diajukan<br />
secara tertulis kepada Kepala Daerah dengan sekurang-kurangnya<br />
menyebutkan.<br />
a. nama dan alamat wajib retribusi ;<br />
b. masa retribusi ;<br />
c. besarnya kelebihan pembayaran ; dan<br />
d. alasan yang disingkat dan jelas.<br />
(2) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran retribusi<br />
disampaikan langsung atau melalui pos tercatat.<br />
(3) Bukti penerimaan oleh pejabat Daerah atau bukti pengiriman pos<br />
tercatat merupakan bukti saat permohonan diterima oleh Kepala<br />
Daerah.<br />
Pasal 225<br />
(1) Pengembalian kelebihan retribusi dilakukan dengan menerbitkan<br />
Surat Perintah Membayar Kelebihan Retribusi<br />
(2) Apabila kelebihan pembayaran retribusi diperhitungkan dengan uang<br />
retribusi lainnya, sebagaimana dimaksud Pasal 224 ayat (1)<br />
Peraturan Daerah ini, pembayaran dilakukan dengan cara<br />
pemindahbukuan dan bukti pemindahbukuan juga berlaku sebagai<br />
bukti pembayaran.<br />
BAB XXI<br />
TATA CARA PENGURANGAN, KERINGANAN<br />
DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI<br />
Pasal 226<br />
(1) Kepala Daerah dapat memberikan pengurangan, keringanan dan<br />
pembebasan retribusi.<br />
(2) Pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi<br />
sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, dengan memperhatikan<br />
kemampuan Wajib Retribusi.<br />
(3) Tata cara pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi<br />
ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br />
BAB XXII<br />
KADALUARSA PENAGIHAN RETRIBUSI<br />
Pasal 227<br />
(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi, kadaluarsa setelah<br />
melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat<br />
terhutangnya retribusi, kecuali apabila melakukan tindak pidana<br />
dibidang retribusi.<br />
57<br />
(2) Kadaluarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1)<br />
Pasal ini ditangguhkan apabila :<br />
a. diterbitkan surat teguran; atau<br />
b. ada pengakuan hutang retribusi dan Wajib Retribusi baik<br />
langsung maupun tidak langsung.<br />
BAB XXIII<br />
TATA CARA PENYETORAN RETRIBUSI<br />
Pasal 228<br />
(1) Pembayaran retribusi dibayarkan langsung kepada Pembantu<br />
Pemegang Kas Dinas Tata Kota, atau petugas yang ditunjuk.<br />
(2) Selambat-lambatnya 1 x 24 jam sesudah penerimaan semua hasil<br />
pungutan retribusi yang dilakukan oleh Dinas Tata Kota melalui<br />
Pembantu Pemegang Kas harus sudah menyetorkannya ke Bank<br />
Sumatera Selatan Cabang Kota Palembang.<br />
BAB XXIV<br />
KETENTUAN PIDANA<br />
Pasal 229<br />
(1) Pelanggaran atas ketentuan dalam Peraturan Daerah ini, diancam<br />
pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda paling<br />
banyak Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah).<br />
(2) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga<br />
merugikan keuangan Daerah diancam pidana kurungan paling lama<br />
6 (enam) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah<br />
retribusi terutang.<br />
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) Pasal ini,<br />
adalah pelanggaran.<br />
BAB XXV<br />
P E N Y I D I K A N<br />
Pasal 230<br />
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan<br />
Pemerintah Daerah diberikan wewenang khusus sebagai Penyidik<br />
untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan<br />
Daerah atau retribusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang<br />
Hukum Acara Pidana yang berlaku.<br />
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, adalah :<br />
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan<br />
atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang<br />
perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan tersebut<br />
menjadi lengkap dan jelas;<br />
b. meneliti , mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang<br />
pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan<br />
sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan<br />
retribusi;<br />
58<br />
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi<br />
atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang<br />
perpajakan Daerah;<br />
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumendokumen<br />
lain berkenaan dengan tindak pidana dibidang<br />
perpajakan Daerah dan retribusi;<br />
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti<br />
pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta<br />
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;<br />
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan<br />
tugas penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan<br />
Daerah dan retribusi;<br />
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang<br />
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan<br />
sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan<br />
atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud huruf e;<br />
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana<br />
perpajakan Daerah dan retribusi;<br />
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan<br />
diperiksa sebagai tersangka saksi;<br />
j. menghentikan penyidikan;<br />
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran<br />
penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah dan<br />
retribusi menurut hukum yang dapat dipertanggung<br />
jawabkan.<br />
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini, memberitahukan<br />
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya<br />
kepada Penuntut Umum, melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara<br />
Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam<br />
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.<br />
BAB XXVI<br />
KETENTUAN PERALIHAN<br />
Pasal 231<br />
Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah<br />
ini, penyelenggaraan IMB, KPB, IMMR dan Plat harus mengadakan<br />
penyesuaian dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.<br />
BAB XXVII<br />
KETENTUAN PENUTUP<br />
Pasal 232<br />
Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah<br />
Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang Nomor 11 Tahun 1996 tentang<br />
Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Membongkar Bangunan dalam<br />
Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang, Peraturan Daerah Kota<br />
Palembang Nomor 20 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Mendirikan<br />
Bangunan, Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 14 Tahun 2001<br />
tentang Izin Penggunaan Bangunan, Peraturan Daerah Kota Palembang<br />
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Penggunaan Bangunan, dan<br />
Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 14 Tahun 2002 tentang<br />
Pengaturan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan pada Zone Tertentu<br />
berikut Peraturan Pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.<br />
59<br />
Pasal 233<br />
(1) Dinas Tata Kota sebagai Instansi Teknis pelaksana Peraturan Daerah<br />
ini.<br />
(2) Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang merupakan koordinator<br />
pungutan Retribusi Daerah.<br />
(3) Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang<br />
mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala<br />
Daerah.<br />
Pasal 234<br />
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.<br />
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan<br />
pengundangan Peraturan Daerah ini, dengan penempatannya dalam<br />
Lembaran Daerah Kota Palembang.<br />
Ditetapkan di Palembang<br />
pada tanggal 6 September 2004<br />
WALIKOTA PALEMBANG<br />
Cap/dto<br />
H. EDDY SANTANA PUTRA<br />
Diundangkan di Palembang<br />
pada tanggal 6 – 9 - 2004<br />
SEKRETARIS DAERAH<br />
KOTA PALEMBANG<br />
Cap/dto<br />
Hajjah. Mariam AS, SH<br />
BERITA DAERAH KOTA PALEMBANG<br />
TAHUN 2004 NOMOR 13<br />
60<br />
PENJELASAN ATAS<br />
PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG<br />
NOMOR 13 TAHUN 2004<br />
TENTANG<br />
PEMBINAAN DAN RETRIBUSI PERIZINAN BANGUNAN<br />
I. PENJELASAN UMUM<br />
Pembangunan di Kota Palembang menunjukkan kemajuan yang<br />
pesat, maka penting sekali untuk mengatur dan mengendalikannya agar<br />
pembangunan tetap sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan<br />
Daerah Kota Palembang Nomor 8 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang<br />
Wilayah Kota Palembang.<br />
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang Nomor 11<br />
Tahun 1996 tentang Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Membongkar<br />
Bangunan dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang, dirasa tidak<br />
sesuai lagi dengan kondisi dan perkembangan pembangunan saat ini, oleh<br />
karena itu perlu disusun Peraturan Daerah tentang Izin Bangunan yang<br />
baru.<br />
Peraturan Daerah ini menjadi sarana dan pedoman membangun<br />
yang langsung jelas dan resmi baik bagi masyarakat yang akan<br />
membangun maupun bagi aparat terkait dalam Kota Palembang, sehingga<br />
dapat menciptakan iklim pembangunan yang memberikan perlindungan<br />
hukum bagi masyarakat dalam mencapai dan melaksanakan cita-cita dan<br />
peran sertanya dibidang pembangunan.<br />
Peraturan Daerah ini disusun dengan mengacu kepada empat aspek<br />
yaitu : aspek hukum, aspek teknis, aspek politis, aspek sosial/ekonomi dan<br />
dengan harapan agar semua aspirasi dan prakarsa membangun<br />
masyarakat beserta segala permasalahannya dapat dipecahkan, disalurkan<br />
dengan aman, tertib, benar dan bermanfaat.<br />
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL<br />
Pasal 1 : cukup jelas<br />
Pasal 2 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : yang dimaksud ketentuan lain pada ayat ini antara lain hal-hal<br />
yang disyaratkan dalam izin dimaksud untuk dilaksaanakan dan<br />
atau dipenuhi.<br />
Pasal 3 : cukup jelas<br />
Pasal 4 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud persyaratan antara lain syarat administrasi<br />
lengkap dan belum dapat memenuhi persyaratan teknis<br />
konstruksi bangunan.<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
ayat (4) : cukup jelas<br />
Pasal 5 s.d. pasal 9 : cukup jelas<br />
61<br />
Pasal 10 : cukup jelas<br />
ayat (1) : yang dimaksud dengan GSJ (Garis Sempadan Jalan) dan GSB<br />
(Garis Sempadan Bangunan) yang telah ditetapkan dalam rencana<br />
kota tidak boleh dilanggar adalah:<br />
Bangunan<br />
harus mepet dan tegak lurus GSJ<br />
dapat mundur tetapi sejajar GSB<br />
Pagar<br />
harus mepet GSJ<br />
dapat mundur tetapi sejajar GSB<br />
Pasal 11 : yang dimaksud dengan bangunan tertentu dalam pasal ini antara<br />
lain :<br />
Bangunan yang terletak pada jalur lalu lintas udara.<br />
Bentuk dan bangunan yang tidak teratur sehingga membahayakan<br />
penerbangan malam hari.<br />
Bangunan yang penggunaannya membahayakan seperti bangunan<br />
tangki dan sebagaimana harus dilengkapi peralatan<br />
pengamanan.<br />
Pasal 12 :<br />
huruf (a) : yang dimaksud di sini antara lain mengecat dinding, membuat<br />
sekat-sekat sementara dalam ruangan, memperbaiki kusen, daun<br />
pintu dan jendela, perbaikan tutup atap, perbaikan saluran air<br />
hujan, lisplang dan selokan-selokan dalam pekarangan<br />
bangunan.<br />
huruf (b) : cukup jelas<br />
huruf (c) : yang dimaksud di sini antara lain perbaikan instalasi,<br />
perlengkapan bangunan, saluran-saluran pembuangan.<br />
Pasal 13 s.d. pasal 20 : cukup jelas<br />
Pasal 21 : yang dimaksud dengan fasilitas umum antara lain jalan,<br />
lapangan olahraga, taman bermain dan fasilitas sosial, rumah<br />
tempat ibadah, tempat pendidikan.<br />
Pasal 22 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : yang dimaksud pemeliharaan bangunan, bagian bangunan<br />
memerlukan keahlian antara lain pemeliharaan lift, pengelolaan<br />
limbah, instalasi listrik..<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
Pasal 23 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud dengan pekerjaan di sini ialah antara lain<br />
membuat saluran air hujan, air buangan tetap terpelihara dan<br />
berfungsi sebagaimana mestinya.<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
Pasal 24 s.d. pasal 27 : cukup jelas<br />
62<br />
Pasal 28 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
ayat (4) : yang dimaksud bahaya pencemaran lingkungan adalah berupa<br />
gangguan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan seperti: suara,<br />
bahan buangan padat, sampah, air limbah, gas, asap, gas<br />
beracun dan sebagainya.<br />
Pasal 29 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud ayat (1) pasal ini bahwa dalam perencanaan<br />
arsitektur terutama dalam tapak (pengaturan tata letak)<br />
bangunan harus memudahkan upaya pencegahan kebakaran<br />
seperti antara lain : jalan masuk perkarangan, jarak antara<br />
bangunan.<br />
ayat (2) : yang dimaksud lokasi-lokasi tertentu ialah tanah yang<br />
perpetakkannya belum memenuhi dan daerah-daerah belum<br />
ditetapkan dalam rencana kota.<br />
Pasal 30 : yang dimaksud lokasi khusus untuk bangunan fasilitas umum<br />
dan fasilitas sosial ialah antara lain gardu listrik, terminal,<br />
bangunan tempat peribadatan.<br />
Pasal 31 : yang dimaksud bangunan-bangunan dalam pasal ini antara lain<br />
reklame, papan nama, logo, sarana komunikasi.<br />
Pasal 32 : cukup jelas<br />
Pasal 33 : yang dimaksud dengan lingkungan tertentu ialah lingkungan<br />
yang ditetapkan oleh Walikota Kepala Daerah, dengan tetap<br />
mengacu pada peraturan induknya antara lain bangunan di<br />
daerah kawasan industri atau pusat pengembangan lingkungan.<br />
Pasal 34 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud dengan bangunan dalam ayat ini ialah antara<br />
lain bangunan industri, bengkel besar.<br />
ayat (2) : yang dimaksud dengan bangunan dalam ayat ini ialah antara<br />
lain bangunan restoran, rumah sakit, laboratorium.<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
Pasal 35 s.d. pasal 40 : cukup jelas<br />
Pasal 41 : yang dimaksud bangunan di bawah tanah dalam pasal ini ialah<br />
pertokoan, stasiun kereta api, lorong (koridor) penyeberangan<br />
dan bangunan penghubung.<br />
Pasal 42 : cukup jelas<br />
Pasal 43 : cukup jelas<br />
Pasal 44 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : yang dimaksud dengan bangunan demi kepentingan umum ialah<br />
bangunan tempat ibadah, gedung pertemuan, gedung<br />
pertunjukan, bangunan monumental, gelanggang olah raga,<br />
bangunan serba guna dan sejenisnya.<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
Pasal 45 dan pasal 46 : cukup jelas<br />
63<br />
Pasal 47 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud dengan daerah-daerah yang belum memiliki<br />
rencana terinci kota ialah daerah perbaikan kampung dan<br />
sejenisnya.<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
Pasal 48 : cukup jelas<br />
Pasal 49 : cukup jelas<br />
Pasal 50 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud atap yang menyilaukan ialah seng, aluminium<br />
dan sejenisnya.<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
Pasal 51 s.d. pasal 63 : cukup jelas<br />
Pasal 64 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud<br />
Wkc adalah wisma atau rumah dengan luas bangunan lebih kecil<br />
atau sama dengan 70 m2 tidak bertingkat, jarak dari batas<br />
pekarangan 1,5 m.<br />
Wsd adalah wisma atau rumah dengan luas dari 70 m2 s/d 200<br />
m2 tidak bertingkat dan atau rumah kecil bertingkat, jarak<br />
dari batas pekarangan minimal 2 m.<br />
Wbs-1 adalah wisma atau rumah dengan luas dari 200 m2 s/d<br />
500 m2 tidak bertingkat atau rumah sedang bertingkat, jarak<br />
dari batas pekarangan minimal 3 m.<br />
Wbs-2 adalah wisma atau rumah dengan luas lebih dari 500 m2<br />
dan atau rumah besar bertingkat, jarak dari batas<br />
pekarangan minimal 3 m.<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
Pasal 65 s.d. pasal 67 : cukup jelas<br />
Pasal 68 :<br />
ayat (1) : bangunan industri yang dimaksud ayat ini bukan industri rumah<br />
tangga.<br />
ayat (2) : bangunan industri yang dimaksud ayat ini bukan industri rumah<br />
tangga.<br />
Pasal 69 s.d. pasal 72 : cukup jelas<br />
Pasal 73 :<br />
ayat (1) :<br />
huruf a : cukup jelas<br />
huruf b : cukup jelas<br />
huruf c : cukup jelas<br />
huruf d : yang dimaksud dengan overstek adalah teritisan atau cucuran<br />
atap.<br />
huruf e : cukup jelas<br />
huruf f : teras terbuka adalah lantai luar bangunan yang tidak bertiang<br />
yang berdinding tingginya tidak lebih 120 cm.<br />
teras tertutup adalah lantai di luar bangunan yang beratap dan<br />
bertiang, berdinding atau tidak.<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : yang dimaksud dengan batasan perhitungan luas adalah luas<br />
lantai basement dan jumlah tingkat lantai basement.<br />
64<br />
Pasal 74 s.d. pasal 76 : cukup jelas<br />
Pasal 77 : yang dimaksud dengan kopel ialah dua bangunan yang<br />
mempunyai bentuk atap dan tampak yang sama dan bergandeng.<br />
Pasal 78 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud tinggi tampak ialah bidang tegak tampak<br />
bangunan diukur dari permukaan halaman sampai perpotongan<br />
bidang tersebut dengan bidang tampak.<br />
ayat (2) : yang dimaksud dengan bangunan rumah susun pada pasal ini<br />
adalah blok bangunan terdiri dari satuan-satuan rumah tinggal<br />
yang ditata vertikal.<br />
Pasal 79 dan pasal 80 : cukup jelas<br />
Pasal 81 :<br />
ayat (1) : penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud ayat ini untuk :<br />
1. Wisma Susun (Rumah Susun)<br />
a. luas lantai 90 m2 ke atas, 1 unit – 1 mobil<br />
b. luas lantai 70 s/d m2, 2 unit – 1 mobil<br />
c. luas lantai 70 m2 ke bawah, 5 unit – 1 mobil<br />
2. Restoran dan Rumah Makan<br />
a. Restoran : 5 kursi – 1 mobil dan untuk motor 10 %<br />
dari luas parkir mobil.<br />
b. Rumah Makan : 10 kursi – 1 mobil dan untuk motor 10<br />
% dari luas parkir mobil.<br />
3. Perkantoran : 60 m2 lantai bruto – 1 mobil<br />
4. Hotel<br />
a. Kelas I (bintang 4 dan 5), 5 kamar – 1 mobil<br />
b. Kelas II (bintang 2 dan 3), 7 kamar – 1 mobil<br />
c. Kelas III (bintang 1 ke bawah), 10 kamar – 1 mobil<br />
5. Pabrik dan Gudang<br />
a. luas s/d 2.000 m2, setiap 200 m2 luas lantai – 1 parkir<br />
truk<br />
b. luas 2.000 s/d 5.000 m2, setiap 300 m2 luas lantai – 1<br />
parkir truk<br />
c. luas 5.000 m2 ke atas, minimal 17 parkir truk<br />
d. untuk bangunan administrasi, setiap 100 m2 luas lantai –<br />
1 mobil.<br />
6. Bioskop<br />
a. Kelas A – I, setiap 5 kursi – 1 mobil dan setiap 10 kursi – 1<br />
motor.<br />
b. Kelas A – II, setiap 10 kursi – 1 mobil dan setiap 5 kursi –<br />
1 motor.<br />
c. Kelas B, setiap 15 kursi – 1 mobil dan setiap 4 kursi – 1<br />
motor.<br />
7. Rumah Sakit<br />
a. VIP, setiap 1 tempat tidur – 1 mobil dan parkir motor 10 %<br />
luas parkir mobil.<br />
b. Kelas I, setiap 5 tempat tidur – 1 mobil dan parkir motor<br />
10 % luas parkir mobil.<br />
c. Kelas II, setiap 10 tempat tidur – 1 mobil dan parkir motor<br />
10 % luas parkir mobil.<br />
8. Ruang Pamer – Gedung Pertemuan<br />
a. Padat, setiap 4 m2 lantai netto – 1 mobil dan parkir motor<br />
10 % luas parkir mobil.<br />
b. Non padat, setiap 10 m2 lantai netto, 1 mobil dan parkir<br />
motor 10 % luas parkir mobil.<br />
65<br />
9. Bangunan Olah Raga ( Terbuka / Tertutup )<br />
Setiap 15 penonton –1 mobil dan parkir motor 25 % luas<br />
parkir mobil.<br />
10. Bangunan Pendidikan<br />
a. Perguruan Tinggi, setiap 100 m2 lantai bruto - 1 mobil dan<br />
parkir motor 25 % luas parkir mobil.<br />
b. Kursus dan keterampilan, setiap 150 m2 lantai bruto - 1<br />
mobil dan parkir motor 25 % luas parkir mobil.<br />
c. Sekolah (kecuali Inpres), setiap 150 m2 lantai bruto - 1<br />
mobil dan parkir motor 25 % luas parkir mobil<br />
11. Pasar<br />
a. Tingkat kota, setiap 40 m2 lantai bruto – 1 mobil dan<br />
parkir motor 25 % luas parkir mobil.<br />
b. Tingkat wilayah, setiap 100 m2 lantai bruto – 1 mobil dan<br />
parkir motor 25 % luas parkir mobil<br />
c. Tingkat lingkungan, setiap 200 m2 lantai bruto – 1 mobil<br />
dan parkir motor 25 % luas parkir mobil<br />
12. Pertokoan, Supermarket dan Pasar Swalayan<br />
a. Tingkat kota, setiap 30 m2 lantai bruto – 1 mobil dan<br />
parkir motor 25 % luas parkir mobil.<br />
b. Tingkat wilayah, setiap 75 m2 lantai bruto – 1 mobil dan<br />
parkir motor 25 % luas parkir mobil<br />
c. Tingkat lingkungan, setiap 150 m2 lantai bruto – 1 mobil<br />
dan parkir motor 25 % luas parkir mobil<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
Pasal 82 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud dalam ketentuan khusus ialah tentang jenis,<br />
bentuk, ukuran, ketinggian konstruksi, cara pelaksanaan dan<br />
waktu penggunaan<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
ayat (4) : cukup jelas<br />
ayat (5) : cukup jelas<br />
ayat (6) : cukup jelas<br />
ayat (7) : cukup jelas<br />
Pasal 83 s.d. pasal 94 : cukup jelas<br />
Pasal 95 :<br />
ayat (1) : contoh rumah sakit, rumah jompo<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
Pasal 96 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : yang dimaksud dengan :<br />
alat pengaman untuk pemakai ialah jaring penangkal kejatuhan<br />
alat pencegah menjalarnya api ialah system kompartementasi<br />
dengan menggunakan rolling door.<br />
ayat (4) : cukup jelas<br />
Pasal 97 s.d. pasal 101 : cukup jelas<br />
Pasal 102 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
66<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
ayat (4) : cukup jelas<br />
ayat (5) : yang dimaksud dengan jarak pencapaian ilah panjangnya jalan /<br />
selaras yang dilalui dan bukan jarak pintas.<br />
Pasal 103 s.d. pasal 107 : cukup jelas<br />
Pasal 108 :<br />
ayat (1) : selain untuk ruang mekanikal, penthouse dapat digunakan<br />
sebagian untuk ruang penunjang fungsi guna gedung seperti<br />
musholla, ruang pembantu dan tidak digunakan untuk ruang<br />
sesuai fungsi utamanya.<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
Pasal 109 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud dengan bangunan tertentu adalah Hotel, Kantor,<br />
Rumah Sakit, Bangunan Militer dan Komplek Pertokoan.<br />
ayat (2) : ukuran standart diambil dari helikopter jenis BO 105, instansi<br />
yang berwenang dalam ayat ini adalah Direktorat Jenderal<br />
Perhubungan.<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
ayat (4) : cukup jelas<br />
ayat (5) : cukup jelas<br />
Pasal 110 : cukup jelas<br />
Pasal 111 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
ayat (4) : cukup jelas<br />
ayat (5) : cukup jelas<br />
ayat (6) : cukup jelas<br />
ayat (7) : yang dimaksud dengan sarana penyelamatan adalah sarana jalan<br />
keluar, alat pencegah kebakaran (hidran, sprinkler, alat<br />
pemadam api ringan), dinding tanah api.<br />
Pasal 112 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud kemiringan di sini ialah perbandingan antara<br />
jarak vertical terhadap jarak horizontal.<br />
ayat (2) : misalnya pada bangunan parkir yang menggunakan sistim<br />
landasan miring.<br />
Pasal 113 s.d. pasal 117 : cukup jelas<br />
Pasal 118 :<br />
ayat (1) :<br />
huruf a : yang dimaksud konsep dasar ialah pendekatan, asumsi dan atau<br />
penyederhanaan sebagai dasar perencanaan dan perhitungan<br />
struktur bangunan.<br />
huruf b : contoh dari data pokok antara lain data tentang jenis struktur,<br />
jenis mutu bahan, ukuran dari bagian-bagian struktur.<br />
huruf c : yang dimaksud beban vertical ialah beban akibat gaya gravitasi<br />
sebagai contoh beban mati, beban hidup.<br />
huruf d : yang dimaksud beban khusus ialah getaran mesin, beban kejut.<br />
huruf e : cukup jelas<br />
67<br />
huruf f : yang dimaksud dengan struktur pokok ialah bagian struktur<br />
bangunan yang berfungsi menerima dan meneruskan seluruh<br />
beban yang bekerja pada bangunan tersebut yang apabila terjadi<br />
kelainan atau gangguan akan mempengaruhi stabilitas dan<br />
kekuatan sebagian dan atau seluruh bangunan.<br />
yang dimaksud dengan struktur perlengkapan adalah bagian dari<br />
struktur bangunan yang berfungsi menerima dan meneruskan<br />
beban yang bekerja, yang apabila terjadi kelainan dan atau<br />
gangguan akan mempengaruhi kekuatan struktur pelengkap dan<br />
tidak berpengaruh pada stabilitas bangunan.<br />
huruf g : cukup jelas<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
ayat (4) : cukup jelas<br />
Pasal 119 s.d. pasal 124 : cukup jelas<br />
Pasal 125 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : contoh ruang-ruang yang mempunyai resiko bahaya<br />
kebakaran tinggi, antara lain ruang pembangkit tenaga listrik,<br />
ruang mesin, ruang pengasap.<br />
ayat (4) : cukup jelas<br />
ayat (5) : cukup jelas<br />
Pasal 126 : cukup jelas<br />
Pasal 127 : a. contoh bangunan kelas A ialah hotel, pertokoan dan pasaraya,<br />
perkantoran, rumah sakit dan perawatan, bangunan industri,<br />
tempat hiburan, museum, bangunan dengan penggunaan<br />
campuran.<br />
contoh bangunan kelas B ialah perumahan bertingkat, asrama,<br />
sekolah, tempat ibadah.<br />
contoh bangunan kelas C ialah bangunan gedung yang tidak<br />
bertingkat.<br />
contoh bangunan kelas D ialah instalasi nuklir, bangunanbangunan<br />
yang digunakan sebagai tempat penyimpanan<br />
bahan yang mudah meledak.<br />
Pasal 128 s.d. pasal 143 : cukup jelas<br />
Pasal 144 : yang dimaksud instansi yang berwenang ialah PLN.<br />
Pasal 145 : cukup jelas<br />
Pasal 146 : yang dimaksud bangunan umum dalam pasal ini ialah Rumah<br />
Sakit, RRI Telekomunikasi.<br />
Pasal 147 dan pasal 148 : cukup jelas<br />
Pasal 149 : bangunan yang dimaksud ialah bangunan tinggi, bangunan yang<br />
tertinggi di lingkungannya, bangunan yang menyimpan bahan<br />
mudah terbakar.<br />
Pasal 150 s.d. pasal 159 : cukup jelas<br />
68<br />
Pasal 160 : yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan ialah<br />
Pedoman Plambing Indonesia.<br />
Pasal 161 s.d. pasal 180 : cukup jelas<br />
Pasal 181 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
huruf a : cukup jelas<br />
huruf b : cukup jelas<br />
huruf c : cukup jelas<br />
huruf d : cukup jelas<br />
huruf e : yang dimaksud dengan struktur bangunan khusus ialah<br />
struktur bangunan tinggi, struktur sistim peralatan.<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
Pasal 182 dan pasal 183 : cukup jelas<br />
Pasal 184 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud dengan keahlian khusus ialah keahlian<br />
penjelasan, pemasangan dan penarikan kabel penekanan<br />
pemasangan batu temple pada bangunan tinggi.<br />
ayat (2) : contoh percobaan pembebanan ialah percobaan pembebanan<br />
pondasi, balok, plat dan struktur lainnya.<br />
Pasal 185 s.d. pasal 187 : cukup jelas<br />
Pasal 188 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : yang dimaksud konstruksi kelongsoran ialah turap baja, turap<br />
beton, turap kayu.<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
Pasal 189 s.d. pasal 194 : cukup jelas<br />
Pasal 195 :<br />
ayat (1) : yang dimaksud dengan badan adalah lembaga/organisasi yang<br />
berbadan hukum maupun tidak.<br />
ayat (2) : cukup jelas<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
Pasal 196 :<br />
ayat (1) : cukup jelas<br />
ayat (2) : yang dimaksud dengan merubah adalah perubahan fungsi<br />
penggunaan bangunan.<br />
ayat (3) : cukup jelas<br />
Pasal 197 s.d. pasal 234 : cukup jelas<br />
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA PALEMBANG<br />
NOMOR 1<br />
69<br />
PERUBAHAN DAN PENYEMPURNAAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH<br />
TENTANG PEMBINAAN DAN RETRIBUSI PERIZINAN BANGUNAN<br />
NO<br />
PASAL PERUBAHAN DAN PENYEMPURNAAN<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
9<br />
10<br />
11<br />
12<br />
13<br />
14<br />
15<br />
-<br />
Pasal 1<br />
Pasal 2 ayat (2)<br />
huruf b<br />
Pasal 2 ayat (2)<br />
huruf c<br />
Pasal 6 ayat (1)<br />
Pasal 25 ayat (1)<br />
Pasal 34 ayat (1)<br />
Pasal 39 ayat (2)<br />
huruf e<br />
Pasal 44 ayat (3)<br />
Pasal 58 ayat (1)<br />
Pasal 67<br />
Pasal 75 ayat (2)<br />
Pasal 82 ayat (7)<br />
Pasal 111 ayat<br />
(2)<br />
Pasal 126 ayat<br />
(1) huruf c angka<br />
1)<br />
Konsiderans “Mengingat”, ditambah angka 25 baru,<br />
angka 25 dan 26 lama menjadi angka 26 dan 27 baru.<br />
- Ditambah angka 69 baru, angka 69 s/d 78 lama<br />
menjadi angka 70 s/d 79 baru.<br />
- Angka 70 baru diubah dan dibaca : Surat<br />
Pemberitahuan Retribusi Daerah …………..dst.<br />
Diubah dan dibaca : Mendirikan bangunan tambahan<br />
pada bangunan yang sudah ada sesuai dengan<br />
peruntukannya.<br />
Diubah dan dibaca : Mengubah sebagian atau seluruh<br />
bangunan yang sudah ada sesuai dengan<br />
peruntukannya.<br />
Diubah dan dibaca : …………………………..kemudian<br />
hari ada sengketa ……………..dst.<br />
Diubah dan dibaca : ………………………..keseluruhan<br />
yang tidak layak huni……………..dst.<br />
Diubah dan dibaca : Setiap bangunan yang<br />
menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang<br />
mengganggu harus dilengkapi dengan kajian<br />
lingkungan.<br />
Diubah dan dibaca : Rumah jaga dengan luas<br />
maksimum 6 m 2<br />
Diubah dan dibaca : Batasan atas ketinggian<br />
bangunan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini,<br />
pada daerah tertentu harus mendapat rekomendasi<br />
dari instansi terkait.<br />
Dibaca dan diubah : Ruang terbuka diantara GSJ dan<br />
GSB harus digunakan sebagai unsur penghijauan dan<br />
atau daerah peresapan air hujan serta kepentingan<br />
umum lainnya, yang hamparannya ditanami dengan<br />
rumput atau menggunakan conblock.<br />
Diubah dan dibaca : Pada bangunan rapat pada<br />
setiap kelipatan maksimal 15 meter kearah ……. dst.<br />
Diubah dan dibaca : Kepala Daerah menetapkan<br />
pengecualian ….. dst<br />
Dihapus.<br />
Dihapus, ayat (3) s/d ayat (7) lama diubah menjadi<br />
ayat (2) s/d ayat (6) baru.<br />
Diubah dan dibaca : Fasilitas kelompok alarm ;<br />
70<br />
NO PASAL PERUBAHAN<br />
16<br />
17<br />
18<br />
19<br />
20<br />
21<br />
Pasal 188 ayat (2)<br />
Pasal 204 ayat (2)<br />
huruf l<br />
Pasal 204 ayat (2)<br />
huruf r<br />
BAB XII (Psl. 210)<br />
s/d XXVII (Psl.<br />
231<br />
Pasal 229 ayat (1)<br />
Penjelasan<br />
Raperda<br />
Diubah dan dibaca : Setiap pekerjaan galian<br />
yang dalamnya lebih dari 2 (dua) meter, harus<br />
………..dst<br />
Diubah dan dibaca : Perhitungan Izin<br />
Bangunan Menara atau Tower adalah:<br />
Besarnya retribusi ditetapkan Rp 1.000.000,-<br />
per meter tinggi dihitung dari tanah dasar.<br />
Perhitungan Izin Kelayakan Penggunaan<br />
Bangunan adalah :<br />
Besarnya retribusi ditetapkan :<br />
Untuk bangunan rumah tinggal, bangunan<br />
sosial dikenakan biaya retribusi evaluasi<br />
kelayakan penggunaan bangunan sebesar 5<br />
% (lima persen) dari RIMB yang berlaku<br />
pada saat itu.<br />
Dst .<br />
Diubah menjadi : BAB XI (Psl. 210) ) s/d BAB<br />
XXVI (Psl. 231)<br />
Dirubah dan dibaca : Pelanggaran atas<br />
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini,<br />
diancam pidana kurungan selama-lamanya 3<br />
(tiga) bulan atau denda paling banyak<br />
Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah).<br />
Penjelasan Pasal 64 ayat (1) diubah dan<br />
dibaca :<br />
Wkc adalah …… dst.<br />
Wsd adalah …… dst<br />
Wbs – 1 adalah ……. Dst<br />
Wbs - 2 adalah wisma atau rumah dengan<br />
luas lebih dari 500 M 2 dan atau rumah<br />
besar bertingkat jarak dari batas<br />
pekarangan minimal 3 meter.<br />
- Ditambah Penjelasan Pasal 109 ayat (1)<br />
dan dibaca : Yang dimaksud dengan<br />
bangunan tertentu adalah Hotel, Kantor,<br />
Rumah Sakit dan Bangunan Militerkolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-32774368446035397642011-01-29T19:20:00.000-08:002011-01-29T19:20:41.157-08:00Perhitungan (dari beberapa kumpulan sajak Sitor Situmorang)<b>Perhitungan</b><br />
Buat Rivai Apin<br />
<br />
Sudah lama tidak ada puncak dan lembah<br />
Masa lempang-diam menyerah<br />
dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian<br />
<br />
Aku belum juga rela berkemas<br />
Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan<br />
dada?<br />
Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong<br />
<br />
Keyakinan dulu manusia bisa<br />
hidup dan dicintai habis-habisan<br />
Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali<br />
kuburan sendiri<br />
<br />
Rebutlah dunia sendiri<br />
dan pisahkan segala yamg melekat lemah<br />
Kita akan membubung ke langit menjadi bintang<br />
jernih sonder debu<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Dia dan Aku</b><br />
Sitor Situmorang<br />
<br />
Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta?<br />
- Bukankah udara penuh hampa ingin harga? -<br />
Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini<br />
Tapi jangan sampai terbakar sekali<br />
<br />
Akankah kita utamakan percakapan begini?<br />
- Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? -<br />
Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati<br />
Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi<br />
<br />
Bukankah dada hamparkan warna<br />
Di pelaminan musim silih berganti<br />
Padamu jua kelupaan dan janji<br />
<br />
Akan kepermainan rahasia<br />
Permainan cumbu-dendam silih berganti<br />
Kemasygulan tangkap dan lari<br />
<br />
<br />
<b><br />
Matahari Minggu</b><br />
<br />
Di hari Minggu di hari iseng<br />
Di silau matahari jalan berliku<br />
Kawan habis tujuan di tepi kota<br />
<br />
Di hari Minggu di hari iseng<br />
Bersandar pada dinding kota<br />
Kawan terima kebuntuan batas<br />
<br />
Di hari panas tak berwarna<br />
Seluruh damba dibawa jalan<br />
<br />
Di hari Minggu di hari iseng<br />
Bila pertemuan menambah damba<br />
Melingkar di jantung kota<br />
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari<br />
Tidak menolak tidak terima<br />
<br />
Surat Kertas Hijau<br />
Sitor Situmorang<br />
<br />
Segala kedaraannya tersaji hijau muda<br />
Melayang di lembaran surat musim bunga<br />
Berita dari jauh<br />
Sebelum kapal angkat sauh<br />
<br />
Segala kemontokan menonjol di kata-kata<br />
Menepis dalam kelakar sonder dusta<br />
Harum anak dara<br />
mengimbau dari seberang benua<br />
<br />
Mari, Dik, tak lama hidup ini<br />
Semusim dan semusim lagi<br />
Burung pun berpulangan<br />
<br />
Mari, Dik, kekal bisa semua ini<br />
Peluk goreskan di tempat ini<br />
Sebelum kapal dirapatkan<br />
<br />
Kebun Binatang<br />
<br />
Kembang, boneka dan kehidupan<br />
Kembang, boneka dan kerinduan<br />
Si adik ini ingin teman<br />
Si anak ini punya ketakutan<br />
<br />
Hari-hari kemarin<br />
Punya keinginan<br />
Berumah ufuk, ombak menggulung<br />
<br />
Hari-hari kandungan<br />
Tolak keisengan<br />
Ramai-ramai di kebun binatang<br />
<br />
Kembang, boneka dan kehidupan<br />
Kembang dan kerinduan<br />
Si adik ini ingin teman<br />
Boneka ini punya kesayuan<br />
<br />
Hari-hari datang<br />
Hari kembang di kebun binatang<br />
Hari bersenang<br />
Pecah dalam balonan<br />
<br />
Kembang, boneka dan kehidupan<br />
Kembang dan kerinduan<br />
Si adik ini ingin teman<br />
Boneka ini punya kesayuan<br />
<br />
<br />
Amoy-Aimee<br />
Sitor Situmorang<br />
<br />
Terbakar lumat-lumat<br />
Menggapai juga lidah ingin<br />
Api di pediangan<br />
<br />
Terkapar sonder surat<br />
Mati juga malam dingin<br />
Lahirnya hari keisengan<br />
<br />
Mari, cabikkan malam Amoy<br />
Jika terlalu – ingin malam ini<br />
Besok ada mentari sonder hati<br />
<br />
Belum apa-apa hampa begini<br />
Jauh dalam terowongan nadi<br />
Berperang bumi dan sepi<br />
<br />
Lereng Merapi<br />
Sitor Situmorang<br />
<br />
Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini<br />
Aku Akan rindu balik pada semua ini<br />
Sunyi yang kutakuti sekarang<br />
Rona lereng gunung menguap<br />
Pada cerita cemara berdesir<br />
Sedu cinta penyair<br />
Rindu pada elusan mimpi<br />
Pencipta candi Prambanan<br />
Mengalun kemari dari dataran ….<br />
Dan sekarang aku mengerti<br />
Juga di sunyi gunung<br />
Jauh dari ombak menggulung<br />
Dalam hati manusia sendiri<br />
Ombak lautan rindu<br />
Semakin nyaring menderu ….<br />
<br />
Kaliurang (Tengah Hari)<br />
Sitor Situmorang<br />
<br />
Kembali kita berhadapan<br />
Dalam relung sepi ini<br />
Dari seberang lembah mati<br />
Bibirmu berkata lagi<br />
Napasmu mengelus jiwaku<br />
Tersingkap kabut Dataran<br />
Dan kutahu di tepi selatan<br />
Laut ‘manggil aku berlayar dari sini<br />
<br />
Tungguhlah aku akan datang<br />
Biar kelam datang kembali<br />
Dengan angin malam aku bertolak<br />
Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang<br />
Mati, berarti kita akan bersatu lagi.<br />
<br />
<b>TAMASYA BATU-BATU KARANG LEMBAH<br />
(Upacara)</b><br />
<br />
untuk Atun di usia 75 (Atun - nama kecil Ramadhan KH)<br />
<br />
ini aku datang lagi ziarah<br />
tertegun menatap dari lereng lembah<br />
melayangkan pandang khayal batu-batu karang<br />
melayangkan pandang khayal batu-batu karang<br />
aral melintang sekujur dasarnya membentang<br />
<br />
tamasya jagadraya (masih wacana)<br />
lukisan citra sang arsitek borobudur yang baka<br />
lantuman lagu panen abadi<br />
yang memadukan hidup dan mati<br />
<br />
sambil sadar-aku ke jakarta akan kembali<br />
(lagi pula) rindu Paris bisa bangkit lagi<br />
sambil terangkat hanyut irama tarian puak<br />
saat tubuhku seluruh mengirup serempak<br />
<br />
baubauan panen semesta<br />
menuju jagadrayakolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-28562900089950990212011-01-23T05:51:00.001-08:002011-01-23T05:51:29.738-08:00Racun kritikusoleh :Patrick Suskind<br />
<br />
PADA pameran perdananya, seorang gadis dari Stuttgart yang menggambar sketsa dengan indah mendapat komentar dari seorang kritikus yang sesungguhnya tak bermaksud buruk, bahkan berniat menyemangatinya. Kritikus itu berkata, "Yang Anda lakukan menarik dan Anda memang berbakat, tapi karya Anda belum menunjukkan kedalaman."<br />
<br />
Perempuan muda itu tak paham apa yang dimaksud oleh sang kritikus dan segera melupakan perkataannya itu. Namun, dua hari kemudian tulisan tentang pameran itu muncul di koran, ditulis oleh kritikus tersebut. Di dalamnya dia menyatakan, "Seniman muda itu berbakat dan pada sekali pandang karyanya tampak menyenangkan. Namun, sayangnya dia tak memiliki kedalaman."<br />
<br />
Si perempuan muda kini mulai memikirkan soal itu. Dia menatap sketsa-sketsanya yang baru dipamerkan dan memeriksa karya-karya lamanya. Dia melihat seluruh karyanya, termasuk yang sedang dia kerjakan. Lalu, dia mengencangkan tutup botol tintanya, mencuci penanya, dan pergi berjalan-jalan.<br />
<br />
Pada malam itu dia diundang menghadiri sebuah acara. Orang-orang di acara itu seakan-akan telah membaca tulisan di koran tentang karyanya dan berulang-ulang mengatakan bahwa sketsanya mampu membangkitkan rasa senang dalam sekali pandang, juga bahwa dia memang berbakat. Namun, dari gumaman di belakang dan dari mereka yang memunggunginya, perempuan muda itu dapat mendengar bisik-bisik, "Tak ada kedalaman. Itulah. Dia tidak jelek, tapi sayangnya dia tak memiliki kedalaman."<br />
<br />
Sepanjang minggu itu sang seniman muda tak menggambar apa pun. Dia duduk diam di flatnya, merenung, dengan hanya satu pertanyaan di benaknya yang merengkuhnya seperti gurita dan melahap segala sisa isi kepalanya, "Mengapa aku tak memiliki kedalaman?"<br />
<br />
Pada minggu kedua dia mencoba menggambar kembali, tapi hanya mampu menghasilkan coretan-coretan kacau. Terkadang dia bahkan tak mampu membuat satu titik pun. Akhirnya, dia begitu gemetar sehingga dia bahkan tak mampu mencelupkan ujung penanya ke dalam botol tinta. Lalu, dia terisak dan menangis, "Ya, memang benar, aku tak memiliki kedalaman!"<br />
<br />
Pada minggu ketiga dia mulai membuka-buka buku-buku seni rupa untuk mempelajari karya-karya para seniman lain. Dia juga mulai menjelajahi galeri-galeri dan museum-museum seni. Dia membacai buku-buku tentang teori seni rupa. Dia pergi ke toko buku dan meminta pramuniaga membawakannya buku paling dalam tentang seni rupa yang ada di toko itu. Dia diberi sebuah buku karya Tuan Wittgenstein yang terkenal. Namun, seniman kita tak mampu memahaminya.<br />
<br />
Di sebuah pameran di Museum Kota ("500 Tahun Sketsa Eropa"), dia menggabungkan diri dengan serombongan anak sekolah yang tengah dipandu berkeliling museum oleh guru seni rupa mereka. Tiba-tiba, di depan satu etsa karya Leonardo da Vinci, dia maju selangkah dan bertanya, "Maaf, apakah menurut Anda karya ini memiliki kedalaman?" Guru seni rupa itu tersenyum kepadanya dan menjawab, "Nak, jika kau ingin mengujiku, kau harus melakukannya lebih baik daripada itu!"--dan seisi rombongan pun meledak tertawa. Perempuan muda itu pulang dengan berurai air mata.<br />
<br />
Seniman muda itu jadi semakin muram. Dia makin jarang meninggalkan studionya. Namun, dia juga tak mampu berkarya. Dia minum obat pencegah tidur, tapi dia tak tahu mengapa dia harus tetap terjaga. Ketika dia merasa lelah, dia tertidur di kursinya, seakan ia takut tidur terlalu pulas jika pindah ke ranjang. Dia juga mulai minum minuman keras dan terus merokok sepanjang malam. Dia tak lagi menggambar.<br />
<br />
Ketika seorang pedagang barang seni dari Berlin meneleponnya untuk meminta beberapa sketsanya, dia berteriak ke gagang telepon, "Jangan ganggu aku! Atau tak punya kedalaman!"<br />
<br />
Sesekali dia bermain lilin mainan, tapi tak pernah membuat sesuatu yang khusus dengannya. Dia hanya mengubur ujung-ujung jemarinya di dalamnya atau membuat pangsit-pangsit mungil dengan benda mainan itu. Dia mengabaikan diri sendiri. Dia tak lagi menjaga penampilannya dan membiarkan flat yang ditinggalinya berantakan.<br />
<br />
Kawan-kawannya cemas. Mereka bilang, "Kita harus menolongnya. Dia sedang menderita depresi. Mungkin dia tengah mengalami krisis kepribadian atau sedang menghadapi masalah artistik. Atau mungkin dia sedang tak punya uang. Jika itu krisis kepribadian, tak ada yang bisa kita lakukan. Jika itu masalah seni, dia harus bisa mengatasinya sendiri. Jika masalahnya uang, kita bisa mengumpulkan uang untuknya, tapi jangan sampai dia merasa malu."<br />
<br />
Jadi, mereka memutuskan untuk mengundang perempuan seniman itu untuk makan malam dan menghadiri pesta. Namun, dia selalu menolak, beralasan sedang sibuk berkarya. Padahal, dia tak pernah berkarya lagi. Alih-alih, dia duduk mematung di kamarnya, menatap lurus ke depan seraya meremas-remas lilin mainan.<br />
<br />
Suatu kali, dia bersedia menerima undangan kawan-kawannya. Setelah acara, seorang lelaki muda yang tertarik kepadanya ingin mengajaknya pulang dan tidur bersamanya. Perempuan itu bilang kepada lelaki yang menaksirnya bahwa ajakannya itu sangat menarik karena dia juga sebenarnya tertarik kepada lelaki itu. Namun, si perempuan meminta lelaki itu menyiapkan diri secara total terhadap satu kenyataan bahwa dia tidak dalam. Begitu mendengar hal ini, si lelaki segera meninggalkannya.<br />
<br />
Perempuan muda yang dulu menggambar sketsa dengan begitu indah itu kini sungguh tampak kacau balau. Dia tak lagi pergi keluar rumah dan berhenti berhubungan seks. Dia jadi gemuk karena tak pernah berolahraga. Sementara, alkohol dan obat-obatan membuatnya tampak menua sebelum waktunya. Flat tempat tinggalnya makin berantakan dan tubuhnya mulai menebarkan bau busuk.<br />
<br />
Dia mewarisi harta sejumlah 30.000 mark setelah kematian orangtuanya. Dia hidup bergantung pada uang ini selama tiga tahun. Suatu kali pada masa ini dia bepergian ke Napoli--tak seorang pun tahu untuk apa itu. Siapa pun yang mencoba berbicara dengannya hanya menerima gumaman tak terpahami sebagai jawaban.<br />
<br />
Ketika dia telah menghabiskan seluruh uang warisan itu, dia merobek-robek dan melubangi seluruh sketsa yang pernah dibuatnya, memanjat puncak menara pemancar sebuah stasiun televisi setinggi 139 meter, dan melompat. Namun, karena angin bertiup sangat kencang pada hari itu, dia tak jatuh membentur lapangan tanah liat di bawah menara. Alih-alih, dia terbawa angin melintasi sebuah padang gandum dan terdampar di tepi hutan setelah membentur pohon-pohon besar. Dia tewas seketika.<br />
<br />
Tabloid-tabloid picisan menyambut peristiwa ini dengan penuh syukur. Kasus bunuh diri ini, rute terbawa angin yang tak biasa, fakta bahwa ini terjadi pada seorang perempuan seniman muda yang pernah amat menjanjikan--semua itu membuatnya menjadi berita menggemparkan dan laku.<br />
<br />
Saat flatnya diperiksa, kondisinya amat kacau. Ribuan botol kosong berserakan; tanda-tanda keruntuhan tampak di mana-mana; sketsa-sketsa terkoyak; gumpalan lilin mainan menodai dinding; bahkan ada bekas tinja menumpuk di sudut-sudut ruangan!<br />
<br />
Koran-koran bukan hanya meliputnya di berita utama halaman satu, tapi juga menjadi kepala berita halaman dua dan tambahan reportase di halaman tiga!<br />
<br />
Di rubrik ulasan sebuah koran, sang kritikus yang tadi sempat kita sebut menulis satu paragraf singkat yang merenungkan mengapa perempuan muda itu mengalami akhir yang menyedihkan. Dia menulis, "Sekali lagi kita menyaksikan--setelah terjadinya sebuah sebuah peristiwa mengejutkan--seorang muda yang berbakat tak mampu memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri di panggung kehidupan. Tidak cukup bila seorang seniman memiliki dukungan publik dan inisiatif pribadi, tapi hanya sedikit pemahaman atas atmosfer seni. Pastilah benih dari akhir yang tragis ini telah ditanam sejak lama. Tidakkah itu bisa dicerna dari karya-karya awalnya yang naif? Itu mencerminkan agresi monomaniak yang melanda diri sendiri dan dorongan introspektif yang berkubang menjemukan serupa spiral di dalam batin--dua-duanya sungguh emosional dan tak berguna, sekaligus mencerminkan pemberontakan terhadap takdir. Saya menyebutnya kehendak-memiliki-kedalaman yang berakhir secara fatal."<br />
<br />
Patrick Suskind adalah penulis Jerman. Novelnya, Das Parfum, telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.<br />
Cerita di atas dialihbahasakan oleh Anton Kurnia dari terjemahan Inggris, Peter Howarth.kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-6891115620039889982011-01-15T05:28:00.003-08:002011-01-15T05:28:31.483-08:00Warung Mak TunOleh :Rangga Agnibaya<br />
<br />
Sore itu, warung Mak Tuniah –atau biasa dipanggil Mak Tun, masih tampak lengang. Sudah biasa memang, orang ramai-ramai mendatangi warung Mak Tun pada malam hari, selepas magrib.<br />
Warung Mak Tun jauh dari kesan negatif. Di situ yang ada hanya kopi pahit dan minuman hangat. Ada juga aneka gorengan dan makanan ringan lainnya. Suasana di warung Mak Tun sangat gayeng sekali. Setiap orang bebas berbicara tentang apa saja yang ingin dibicarakan, mulai dari omongan masalah politik sampai omongan yang paling cabul pun ada.<br />
<br />
Berbicara mengenai warung Mak Tun, orang pertama kali akan mengingat Pak Dullah. Pak Dullah adalah suami Mak Tun yang mempunyai sejarah kelam di kampung ini. Dulu Pak Dullah adalah seorang pemimpin gembong pencoleng yang terkenal meresahkan warga. Setiap hari ada saja warga yang melapor telah menjadi korban dari gembong Pak Dullah itu. Aktivitas Pak Dullah meresahkan warga itu telah dijadikan profesi olehnya untuk menanggung beban keluarga. Tapi sekarang jamannya telah berganti.<br />
<br />
“Mak, kopi satu.” dengan mulut penuh pisang goreng Soleh berkata pada Mak Tun.<br />
“Jangan terlalu pahit ya Mak.” Belum habis pisang goreng yang ada di mulutnya, Soleh mengambil satu pisang goreng lagi dari nampan yang penuh dengan aneka gorengan. Mak Tun tidak menjawab, hanya tersenyum paham.<br />
<br />
“Masih sibuk demo Leh?” kata Mak Tun seraya mengangsurkan kopi panas pada Soleh.<br />
“Masih Mak, sebab yang didemo tetap nggak mau nurut.” Soleh menuang kopi panasnya pada lepek.<br />
“Nurut sama siapa Leh? terus yang didemo siapa sih Leh?” Mak Tun berkata sambil terus berada di depan penggorengan. Namun sesekali dia bergerak ke meja di sampingnya, untuk menyiapkan adonan berikutnya.<br />
“Ya nurut sama tuntutan kami Mak. Tempat hiburan malam yang kami demo itu, menurut desas-desus memang sudah kelewatan. Ada penari telanjanglah, narkoba, seks bebas, pokoknya macam-macam deh Mak,”<br />
“Kan ada polisi Leh. Kenapa tidak diserahkan saja pada polisi?”<br />
“Aah, polisi lambat Mak, tidak bisa diandalkan.”<br />
Mak Tun tidak segera menanggapi penjelasan Soleh. Ada yang bergejolak dalam hatinya, tapi tak dapat disampaikan.<br />
“Mak, Mak, Mak”. Soleh membuyarkan lamunan Mak Tun.<br />
“I..iya…ada apa Leh?”<br />
“Kok bengong sih Mak”<br />
“Ah enggak kok Leh.” Mak Tun mengangkat gorengan yang telah matang dari atas penggorengan. Mak Tun masih terus berpikir, mudah-mudahan apa yang diperjuangkan oleh Soleh itu memang untuk kebaikan bersama, dan mewakili semua orang.<br />
“Bagaimana kabar Pak Dullah, Mak?”<br />
“Allhamdulillah Leh, sudah dua minggu ini bekerja”<br />
“Syukur, kerja di mana Mak?”<br />
“Yang Mak tahu sih jadi pesuruh, yang penting nggak seperti dulu lagi. Ya, mudah-mudahan benar Leh.”<br />
“Ya, mudah-mudahan Mak. Memang di jaman seperti ini, kerja apa saja tidak jadi masalah yang penting halal. Negara kita ini lagi busuk, kayak pejabatnya.”<br />
<br />
Malam semakin larut, semakin banyak saja orang yang datang ke warung Mak Tun. Seperti biasa, minum teh atau kopi, makan gorengan, sambil melepaskan segala unek-unek, pendapat, dan cerita dengan sesama pengunjung warung. Dan sesekali derai tawa mereka membangunkan malam yang tengah terlelap.<br />
<br />
***<br />
<br />
Matahari telah lepas landas sejauh sepenggala tangan dari garis cakrawala. Sinarnya yang tadi terasa hangat di kulit, perlahan mulai terasa menyengat. Tapi angin masih terus berderai, membuat kawanan pohon bambu bergoyang syahdu. Orang-orang hilir mudik di depan warung Mak Tun yang masih tutup. Sapaan hangat penuh basa-basi antar warga telah menjadi pemandangan biasa di negara yang penuh kepura-puraan ini.<br />
<br />
Pak Dullah duduk termenung di balai-balai yang ada di samping warung, ditemani segelas kopi panas dan satu bungkus rokok. Asap terus mengepul dari mulutnya yang berhias kumis yang lebat. Kumis dari mulut tua itu telah didominasi oleh warna putih keperakan. Garis wajahnya tak lagi menampakkan kesangaran, yang dulu membuat warga kampung ini selalu bergidik jika berpapasan dengannya. Yang ada kini hanya seorang tua yang telah sadar, bahwa hidup itu seperti bermain teater, harus bisa memainkan beberapa lakon, baik susah, senang, jahat, atau baik, tergantung Sang Sutradara Yang Maha Agung.<br />
<br />
Mata Pak Dullah memandang lurus ke depan, tapi kosong tak punya fokus. Ada yang berkecamuk dalam hatinya. Di dalam otaknya jelas terbayang masa-masa di kala dia masih menjadi sosok yang disegani di kampung ini. Menjadi pimpinan pencoleng merupakan suatu hal yang tidak pernah disesali oleh Pak Dullah. Sebab bagi Pak Dullah, bukan dirinya yang memilih jalan yang dikutuk itu, jangankan pilihan, malahan Pak Dullah merasa tidak punya pilihan. Keadaan yang telah mengutuk Pak Dullah menjadi bajingan. Keadaan susah, tertekan, ekonomi yang sulit, dan yang paling berjasa besar menjadikan Pak Dullah seorang bajingan adalah keadaan negara yang tengah busuk, sebab dikerat habis-habisan oleh para kutu busuk, sehingga semuanya menjadi sulit.<br />
<br />
Hanya karena kematian anak satu-satunya, Pak Dullah berhenti dari dunia hitam itu. Sebab orang-orang berkata bahwa kematian anaknya merupakan karma dari apa yang selama ini dia perbuat.<br />
Seperti biasa, selepas magrib warung Mak Tun kembali ramai. Suara canda dan gelak tawa sesekali mewarnai suasana yang benar-benar gayeng itu.<br />
“Mak, seperti biasa”<br />
“Kopi, tapi tidak terlalu pahit.” Jawab Mak Tun tanpa memandang Soleh.<br />
“Siiip….oh ya Mak, tadi pagi saya lihat Pak Dullah sedang melamun di samping warung, apa tidak bekerja?”<br />
“Saya tidak tahu Leh, dia bilang tempatnya bekerja sudah tidak membutuhkan tenaganya lagi. Tapi kepastian dia bekerja lagi atau tidak, baru ditentukan besok. Dan kalau benar dia tidak bekerja lagi, kami akan balik ke desa saja jadi petani.”<br />
“Loh, Mak, itu tidak bisa didiamkan saja. Kita rakyat kecil jangan mau diperlakukan seenaknya saja. Habis manis sepah dibuang. Bilang sama Pak Dullah, itu bisa diperjuangkan, selama kita mau. Kalau perlu kita ganyang habis-habisan pihak-pihak yang membuat hidup kita jadi susah.”<br />
“Saya tidak tahu Leh masalah seperti itu. Biar saja orang-orang yang membuat hidup kami jadi susah itu mendapat balasannya kelak.”<br />
Beberapa saat suasana antara mereka menjadi hening. Sedang Orang-orang masih ramai dengan obrolan mereka masing-masing.<br />
“Demomu bagaimana Leh?” Mak Tun memecah keheningan.<br />
“Belum ada perkembangan, Mak.” Kata Soleh, enggan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Teriknya matahari benar-benar membakar kulit. Bahkan angin yang berhembus pun terasa hangat di tubuh. Tapi semua itu tak membuat semangat puluhan orang yang sedang berdemo menjadi kendur. Mereka terus berteriak dengan lantang menyampaikan aspirasinya, tak peduli dengan debu-debu yang membuat kerongkongan mereka menjadi tersekat. Barisan pendemo itu terus merangsek maju mendekati gedung. Sosok Soleh tampak di tengah-tengah puluhan pendemo itu. Dengan ikat kepala dan berbagai aksesoris yang menunjukkan identitas golongannya, dia berteriak keras seperti yang dilakukan oleh pendemo yang lain. Lalu tiba-tiba terdengar sebuah komando yang cukup lantang dari salah satu pendemo.<br />
“Maju terus, hancurkan kekuatan Kafir.”<br />
Masa akhirnya semakin tidak terkendali. Menghancurkan segala sesuatu yang mereka temui di depan gedung itu.<br />
“Serbu…….” Dan terjadilah perang dunia ketiga dengan dalih menegakkan kebenaran. Batu-batu berterbangan menghujani kaca-kaca gedung. Hingga hancurlah bagian depan gedung tersebut.<br />
***<br />
Malam menjelang, tapi hanya sedikit bintang-bintang yang sudi menemani bulan malam itu. Burung malam bernyanyi gelisah, dan warna pekat pada malam terasa lebih pekat dengan celoteh gagak yang terdengar jarang-jarang dari kejauhan. Jangkrik berkerik ramai, entah sedang berpesta atau sedang berdoa. Hanya suara radio yang berasal dari pos kamling dekat kuburan, terdengar sebagai nada sumbang dalam orkestrasi alam itu.Malam itu warung Mak Tun tutup, sehingga banyak orang yang akan ngwarung di warung Mak Tun kecele dan kembali pulang. Mak Tun sendiri berada di rumah bersama suaminya, Pak Dullah. Mereka tengah mengemasi pakaian dan barang-barang mereka untuk dibawa pulang ke desa besok pagi.<br />
<br />
“Pak, apa tidak bisa diperjuangkan dulu.” Kata Mak Tun sambil terus mengemasi barang-barang.<br />
“Apanya yang diperjuangkan toh bune, wong memang tempat bapak bekerja sudah tidak memerlukan tenaga bapak lagi kok. Mau gimana lagi? memang seperti inilah keadaannya.”<br />
“Tapi kata Soleh, kita jangan mau diperlakukan seenaknya saja. Habis manis sepah dibuang”<br />
“Soleh siapa toh bune?’<br />
“Itu loh pak, Soleh anaknya Pak Diman”<br />
“Oo”<br />
“Atau kita ganyang saja tempat bapak bekerja, sebab sudah sewenang-wenang kepada kita. Kita minta bantuan sama Soleh saja.”<br />
<br />
Mak Tun berhenti mengemasi barang. Raut wajahnya jadi sangat serius. Dia berdiri dengan gelisah, lalu duduk tepat di sebelah suaminya itu.<br />
“Bune, bune kamu itu ngomong apa toh.” Pak Dullah menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. “Aku kasih tahu ya bune, kita tidak perlu repot-repot mengganyang tempat bapak bekerja, sebab perusahaan itu sudah diganyang dulu sama orang-orang yang menganggap tempat bapak bekerja kafir, malah sudah diporak-porandakan gedungnya. Dan karena itulah bapak kehilangan pekerjaan, tempat bapak bekerka tidak memerlukan pegawai lagi, sebab dipaksa tutup. Jadi bukan karena mereka sewenang-wenang. Jangankan bapak yang pegawai rendahan bune, wong pegawai atasan saja kehilangan pekerjaan kok.” Mak Tun terperangah mendengarkan penjelasan suaminya itu. Untuk beberapa saat tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.<br />
“Ooalaaah…tega benar orang-orang itu. Gara-gara mereka, banyak orang yang jadi susah.” Mak Tun membatin dalam hati. Malam semakin pekat dan sunyi, nyanyian burung malam terdengar merdu di telinga Mak Tun yang sedang gundah gulana.<br />
<br />
***<br />
Sudah tiga hari Soleh mendapati warung Mak Tun tutup, dia sendiri tahu kalau Mak Tun telah pulang ke desa, sebab Pak Dullah telah kehilangan pekerjaannya. Begitu juga orang-orang lainnya, mereka merasa kehilangan tempat favorit mereka untuk bersantai selepas bekerja seharian.<br />
“Kasihan Mak Tun dan Pak Dullah, mereka menjadi korban dari kepentingan orang lain. Terkutuklah orang-orang yang membuat hidup mereka menjadi susah itu.” Soleh membatin dalam hati ketika melewati warung Mak Tun yang sunyi. Dan sekali lagi terdengar suara ribuan jangkrik yang ramai berkerik, entah sedang berpesta, berdoa, atau mungkin mencibir.kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-85836551808884670152011-01-15T05:25:00.000-08:002011-01-21T23:11:15.242-08:00Kang Soleh Naik Becak Menuju SyurgaOleh : Rudi Setiawan<br />
<br />
Pada hari penghisaban (penghitunngan atas amal perbuatan manusia) sedang mengantre empat orang manusia dengan berlainan profesi sewaktu masih hidup di dunia.<br />
<br />
Manusia pertama bernama Alim, yang konon sewaktu masih hidup di dunia adalah seorang kyai yang sangat terkenal keluasan ilmunya dan kesalehan ibadahnya serta mempunyai ribuan santri.<br />
<br />
Manusia kedua bernama Somad, yang mana sewaktu masih hidup di dunia berprofesi sebagai Kepala Desa yang sangat disayangi oleh warganya karena kejujuran dan keadilannya.<br />
<br />
Manusia ketiga bernama Badri, dimana sewaktu hidupnya merupaka seorang juragan yang sangat kaya raya serta terkenal pula kedermawanannya dan kemurahan hatinya dalam menolong dan membantu orang-orang yang kesusahan.<br />
<br />
Manusia keempat bernama Soleh, yaitu ketika hidupnya adalah merupakan seorang tukang becak yang biasa mangkal di terminal.<br />
<br />
Keempatnya sewaktu didunia tinggal di desa yang sama, meskipun bukan tetangga yang saling berdekatan rumahnya.<br />
<br />
Dan kebetulan pula kematian merekapun hampir bersamaan waktunya, meskipun dari sebab yang berbeda-beda.<br />
<br />
Kyai Alim, meninggal dunia karena sakit sepuh (tua) karena beliau memang ditakdirkan Allah SWT berusia lanjut, hingga kira-kira 95 tahun.<br />
<br />
Lurah Somad, meninggal karena terbunuh oleh seorang pesaing politiknya yang iri dengki melihat pengaruh Lurah Somad yang demikian kuat pada semua warganya. Pesaingnya ini merasa dendam akibat dikalahkan sewaktu PILKADES, padahal dia sudah mengelurakan uang demikian banyak untuk menyuap dan membayar penduduk supaya memilihnya.<br />
<br />
Haji Badri (demikian biasanya orang menyebutnya), meninggal akibat sakit komplikasi yang membuatnya harus menginap selama sebulan di sebuah rumah sakit ternama di sebuah kota besar ibukota provinsi.<br />
<br />
Kang Soleh, meninggal dunia disebabkan karena kecelakaan di jalan raya, dimana sewaktu kang Soleh pulang dari mangkalnya di terminal, ditengah perjalanan sebuah truk tronton dengan kecepatan tinggi menabraknya dari belakang yang mengakibatkan dia tewas seketika di jalan itu.<a name='more'></a> <br />
<br />
……………………………….<br />
<br />
Ketika itu yang mengantri paling depan adalah Kyai Alim.<br />
<br />
Maka berkatalah Malaikat penghitung kepadanya:<br />
<br />
“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu harus masuk neraka !” demikian Malaikat berkata sambil membentak.<br />
<br />
“ Perkenalkan, nama saya Alim, selama hidup saya adalah seorang kyai yang wara’, zuhud dan ‘alim serta selalu mengamalkan dan mengajarkan ilmu saya kepada banyak sekali murid di pesantren saya, seumur hidup saya selalu membaktikan diri saya untuk agama dan umat, kenapa saya mesti masuk neraka ?“ Kyai Alim berupaya memprotes.<br />
<br />
“ Iya betul, tetapi dalam setiap amaliyahmu selalu terselip perasaan ujub, kau selalu merasa paling alim, paling wara’, paling zuhud, paling khusyuk, maka kau tak pantas masuk syurga, karena sifat ujub adalah bagian dari kesombongan, tempatmu adalah neraka, maka pergilah kau kesana!”, Malaikat membentak, lalu melemparkannya ke neraka.<br />
<br />
Pengantri yang kedua adalah Lurah Somad, yang kemudian dipanggil pula untuk menghadap.<br />
<br />
“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu harus masuk neraka !” Malaikat berkata kepada Lurah Somad.<br />
<br />
“ Lho kok bisa begitu Malaikat ? “ protes Lurah Somad.<br />
<br />
“ Padahal selama hidup saya tidak pernah maksiyat kepada Allah, saya selalu menjalankan perintah agama dengan sungguh-sungguh, dan juga sewaktu menjadi Kepala Desa saya selalu bersikap adil, jujur, amanah, mengayomi seluruh rakyat saya, mensejahterakan kehidupan mereka serta menjadikan desa saya adil, makmur dan sejahtera”, jelas Lurah Somad membela diri.<br />
<br />
“ Benar Lurah Somad, tetapi perlu kau ketahui bahwa dibalik sikap adilmu dan pengayomanmu kepada rakyatmu karena engkau kepingin terkenal, kepingin masyhur, dan kepingin dipuja-puja oleh rakyatmu, agar melanggengkan kekuasaanmu, sifat seperti ini adalah bagian dari kesombongan, dan kau harus masuk neraka !”, dengan bengis Malaikat berkata, kemudian menyeretnya menuju neraka.<br />
<br />
Berikutnya yang datang menghadap adalah Haji Badri.<br />
<br />
“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu harus masuk neraka !” bentak Malaikat kepada Haji Badri.<br />
<br />
“ Mohon maaf Malaikat yang terhormat, mengapa saya harus masuk neraka, dahulu sewaktu masih hidup didunia, saya seorang yang dermawan, hampir seluruh harta saya belanjakan di jalan Allah, untuk berzakat, infaq dan sedekah, pendeknya setiap orang yang membutuhkan uluran tangan saya selalu saya bantu, hutang piutang mereka saya lunaskan, kesulitan mereka saya mudahkan”, Haji Badri mencoba menerangkan.<br />
<br />
“ Ketahuilah wahai Haji Badri, semua kedermawananmu itu sia-sia belaka, karena kau menyembunyikan perasaan riya’, pamer dan mengharapkan pujian dari manusia lain, dengan demikian kau telah berbuat kesombongan, maka dari itu tempatmu adalah neraka !”, sambil berkata demikian Malaikat membuang Haji Badri kedalam neraka.<br />
<br />
Kemudian datanglah kang Soleh dengan mengendarai becaknya mengantri dihadapan Malaikat.<br />
<br />
“ He fulan, melihat kitab catatan amalmu kamu pantas masuk syurga !” Malaikat berkata dengan lembut kepada kang Soleh.<br />
<br />
“ Karena dibalik kemiskinannmu kamu tidak berputus asa dari rahmat Allah, kamu selalu bersyukur dan tidak pernah mengeluh, serta semua ibadah yang kamu lakukan dilandasi rasa ikhlas semata-mata kepada Allah, maka dari itu Allah mengganjarmu dengan syurga-Nya “, Malaikat melanjutkan penjelasannya.<br />
<br />
“ Terima kasih wahai Malaikat, tetapi saya tidak mau masuk syurga kalau Kyai Alim juga tidak masuk syurga !”, kata kang Sholeh.<br />
<br />
“ Lho kenapa ?”, tanya Malaikat.<br />
<br />
“ Sebab, saya bisa tahu cara beribadah, saya belajar teori keikhlasan adalah karena saya berguru dan mengaji kepada Kyai Alim, maka saya tidak mau masuk syurga jika guru saya Kyai Alim tidak dimasukkkan ke syurga !”, harap kang Sholeh.<br />
<br />
“ Baik, baik, atas kemurahanmu, Kyai Alim boleh masuk syurga bersamamu “, kata Malaikat.<br />
<br />
“ Iya tetapi saya tetap tidak mau masuk syurga, jika Lurah Somad tidak masuk syurga “, kang Sholeh menyanggah lagi.<br />
<br />
“ Lho ada apa ini ?”, heran Malaikat.<br />
<br />
“ Karena berkat keadilan Lurah Somad serta perlindungannya kepada kaum miskin seperti saya, maka saya merasa hidup tentram dan nyaman di desa itu, maka saya mohon agar Lurah Somad bisa masuk syurga bersama saya “, kang Soleh memohon.<br />
<br />
“ Boleh, boleh, berkat kemurahanmu pula, Lurah Somad bisa masuk syurga bersamamu “, kata Malaikat.<br />
<br />
“ Malaikat boleh tidak aku minta satu permintaan lagi ?”, tanya kang Soleh.<br />
<br />
“ Apa permintaanmu selanjutnya ?”, balik tanya Malaikat.<br />
<br />
“ Aku minta Haji Badri, dimasukkan syurga pula bersamaku ,” jawab kang Soleh.<br />
<br />
“ Apa alasan yang kamu ajukan, mengajak Haji Badri ke syurga bersamamu ?”, kembali Malaikat bertanya.<br />
<br />
“ Karena Haji Badri sering kali membantuku jika aku kesulitan, dan harap diketahui wahai Malaikat, bahwa becak yang merupakan saranaku mencari rejeki dengan halal di jalan Allah ini merupakan pemberian dari Haji Badri, demikian harap kiranya Haji Badri dimasukkan syurga bersama saya ,” harap kang Soleh.<br />
<br />
“ Baik, baik, sebab kemurahanmu kalian berempat boleh masuk syurga bersama-sama “, demikian Malaikat menutup persidangan empat orang tersebut.<br />
<br />
Lalu mereka berempatpun bersama-sama naik syurga dengan membonceng becak kang Soleh, yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya. (Wallaahu A’lam Bishowab)<br />
<br />
Doha, 5 Oktober 2010kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-72309015611857099092011-01-11T06:30:00.000-08:002011-01-11T06:30:50.921-08:00Sebuah Luka Bagi Sang DemonstranInilah representasi rakyat kecil yang aku bela, secuil kehidupan di sederet gerbong kereta api kelas ekonomi. Pertama kali kuinjakkan kaki di lantai kereta ini, aku telah mencium bau rakyat. Hawa yang panas dan suasana kumuh mempertegasnya. Aliran deras pedagang asongan dan teriakan teriakannya yang cerewet, lucu bahkan cabul, memberikan kepusingan tersendiri.<br />
<br />
“Koran, koran, koran, koran… Koran Oom?”<br />
<br />
“Cel, pecel. Pecelnya bu? Pak… Pecel, pecel…”<br />
<br />
“Kacang ibu rambutan, kacang ibu rambutan, telor bapak rambutan…”<br />
<br />
“Akua, akua… Teh kotak, kolonyet, pe pe o…”<br />
<br />
Kuperhatikan, sepanjang aku berjalan mencari tempat duduk, kaca kaca yang menjadi dinding kereta ini tak satupun yang bersih. Semuanya kotor dan berdebu. Juga jok jok bangku dan meja kecil dengan warna karatnya. Cermin kesehatan rakyat.<br />
<br />
“Bang, bang, korannya bang!” untuk tidak jatuh terbengong bengong saja aku mencoba membeli koran.<br />
<br />
“Ini, Mas. Seratus rupiah saja!”<br />
<br />
“Seratus rupiah?!” tanyaku.<br />
<br />
“Ini koran lama, Mas. Buat tikar duduk.” jawab si tukang koran acuh tak acuh.<br />
<br />
“Yang baru?”<br />
<br />
“Wah, saya nggak jual.” sembari jawab si tukang koran ngeloyor pergi, seolah olah tahu betul bahwa aku tak lagi berminat pada koran korannya.<br />
<br />
Kampung demi kampung berlari bagai gambar pemandangan yang panjang sedang digulungkan dari arah timur yang entah di mana persisnya. Sawah sawah yang kekeringan air, bukit bukit kecil yang tandus, genangan lumpur di lobang lobang tanah yang bergerenjul batu batu serta suara suara binatang di sepinya makam makam menawarkan selera abadi bagi perjalanan ini.<br />
<br />
Di dalam kereta aku telah bermandi keringat. Orang orang lain juga. Ada percakapan dalam bahasa Jawa, Sunda dan lebih sedikit lagi dalam bahasa Indonesia. Dengan fokus yang bermacam macam pula, dari lingkup yang remeh sekali semacam pembicaraan kerumahtanggaan sampai ke hal hal yang menjurus politik(?).<br />
<br />
“Toh rakyat tidak sebodoh yang diperkirakan banyak ‘orang pintar’,” benakku berkata. “Mereka punya bergudang gudang permasalahan yang mereka coba jawab sendiri. Apa itu bukan suatu kecerdasan?”<br />
<br />
Dari pikiran itu berkembang nostalgia nostalgia petualanganku sebagai salah seorang yang sering disebut oleh banyak pihak sebagai demonstran. Berawal dari persiapan persiapan patriotik yang kulalui bersama kawan kawan sesama mahasiswa, mengetik naskah naskah yang kontroversial, mengecat spanduk serta mencorat coret kertas karton dengan kata kata advokatif bahkan terkadang radikal, sampai meneriakkan yel yel pembelaan dan gelar demonstrasinya itu sendiri.<br />
<br />
Lalu kubandingkan jerih payah itu dengan keadaan rakyat yang sebenarnya, yang terpampang kini di depan mata kepalaku sendiri. Ada rasa tak percuma. “Ya, perjuangan perjuanganku mempunyai akar yang kuat, yakni kesengsaraan rakyat dan ketertindasannya dalam perikehidupan yang lebih besar. Lebih penting lagi, adalah ketulusan dan kejujurannya.” Lihatlah, mereka mempunyai wajah yang pasrah, penuh sabar dan jauh sekali dari bayangan bayangan pamrih. Tetapi struktur yang diciptakan bagi keseharian mereka, penuh lorong yang bengis dan jahat. “Apakah, bila Anda seorang manusia dengan hati yang orisinal manusia, melihat hal itu semua hati Anda tidak tergerak sedikitpun untuk membela? Atau tidakkah merasa bersyukur dan berbangga bahwa Anda, dalam satu ruang waktu tertentu pernah melakukan hal hal yang bisa membela keadaan mereka?” Berat juga ternyata mempunyai pikiran pikiran besar seperti itu. Karena beratnya untuk beberapa menit aku pun tertidur.<br />
<br />
+++<br />
<br />
Setelah mendengar derit kereta yang sepertinya berhenti secara tiba tiba, aku membuka mata. Menggeliat sebentar, lalu melihat ke luar jendela. Sebuah stasiun bangunan tua ramai dengan hilir mudik manusia. Bangku di depanku persis sudah kosong dari orang yang mendudukinya tadi. Disamping kiriku, nenek kurus yang mulutnya kembung oleh susur, sebentar menoleh kepadaku. Kemudian tanpa menawarkan kesan apa apa kembali melihat ke luar jendela, melihat hiruk pikuk yang mungkin pernah dilalui dalam bagian tertentu usianya.<br />
<br />
Tiba tiba bahu kananku ada yang menepuk. Halus tetapi memberat pada akhirnya. Aku menoleh. Seorang lelaki kurus dengan muka senyumnya, nyengir. Di bahu kirinya tergantung tas kumal yang berbau anyir.<br />
<br />
“Depan kosong ya, Mas ya?” mukanya masih nyengir.<br />
<br />
“Kayaknya kosong,” jawabku.<br />
<br />
“Jo, sini kosong, Jo!” ia menarik lengan lelaki yang berada di belakangnya. Lelaki yang dipanggil “Jo” itu menoleh, berusaha menyegarkan tampangnya yang agak kaget.<br />
<br />
Dua orang lelaki kini duduk di depanku.<br />
<br />
+++<br />
<br />
Kini kereta berjalan dengan agak lambat, sengaja mungkin untuk menepatkan waktu tiba di stasiun yang bakal dilalui di depan. Kereta api kelas ekonomi memang harus selalu mengalah terhadap aturan cepat lambatnya kereta api kelas kelas lain. Tidak ada aturan yang pasti dan tersendiri bagi kelas ekonomi.<br />
<br />
Bosan dengan segala pikiran yang muncul di otakku, kucoba mengobrol dengan lelaki kurus bermuka senyum itu. Dia menempati bangku persis berhadapan denganku. Pas di lutut celananya terdapat robek yang dengan jelas memperlihatkan luka yang masih baru. Ada darah segar di luka itu, sedangkan di sisi sisi robekan celananya bercak bercak darah mengental hitam.<br />
<br />
“Kena apa itu Pak, lututnya?” tanyaku membuka percakapan.<br />
<br />
“Wah, ketabrak nih,” jawabnya sambil dengan cepat melihat ke arah lukanya. “Tadi pas saya berangkat ke stasiun.”<br />
<br />
“Ooo…” sahutku.<br />
<br />
“Saya, dari rumah jalan kaki. Lumayan jauh, Mas. Ada mungkin lima kiloan dari rumah saya ke stasiun,” ia melanjutkan bercerita. Dalam hatiku muncul rasa simpati yang makin besar terhadap nasib rakyat kecil seperti bapak ini. Coba bayangkan, untuk bepergian mereka masih harus berjalan kaki sekian jauhnya, padahal banyak kendaraan yang berlalu lalang hanya berpenumpang satu dua orang. Kemubadziran yang sungguh sungguh.<br />
<br />
“Ee, di perempatan jalan, kira kira setengah kiloan lagi sampai di stasiun, tiba tiba ada sedan be em we menyerempet dari belakang. Saya terjatuh. Lutut saya agak terseret di aspal butut. Masih untung tidak banyak yang kena.”<br />
<br />
“Terus be em we nya lari?” tanyaku.<br />
<br />
“Untungnya nggak.” lelaki itu tersenyum.<br />
<br />
“Sekarang ini sudah terlalu biasa, orang nabrak terus lari. Jaman sudah biadab!” umpatku.<br />
<br />
“Terus sopirnya bagaimana?” tanyaku lagi.<br />
<br />
“Sopirnya keluar dari mobil. Yang menumpang mobil itu sebetulnya dua orang. Sepertinya suami istri. Tapi yang keluar hanya yang laki laki. Wuih, pakaiannya bagus. Pakai jam tangan emas, ada cincin batu yang… wah, gagah pokoknya. Saya yang masih terduduk di aspal jalan, sambil mengaduh aduh diangkatnya. Saya terus saja mengaduh,” dia menceritakan itu dengan gerak tangan dan mimik yang lucu. Sepertinya tidak ada beban dengan kejadian sial yang menimpanya. Ya, begitulah rakyat kecil adanya, tidak pernah menuntut macam macam dan bertele tele. Segala sesuatunya bisa menjadi gampang bila berhubungan dengan rakyat kecil, seperti lelaki kurus ini.<br />
<br />
Kemudian dia menoleh kepada kawannya yang dari tadi diam saja. Di mataku tampak kawannya itu adalah orang yang baru kali ini naik kereta, naik ke keramaian yang tak teratur. Dari wajah dan gaya duduknya tidak salah lagi, ia adalah orang yang mudah sekali menjadi bingung.<br />
<br />
“Jo! Kamu mau makan ya, Jo. Sudah lapar kan?” tanya dia kepada kawannya.<br />
<br />
Jauh dari dugaanku, ternyata kawannya itu bisu. Ia hanya membalas pertanyaan lelaki itu dengan aa uu dan gerak tangan yang tidak jelas.<br />
<br />
“Oh, sudah lapar juga toh kamu,” kesimpulan lelaki itu dari aa uu kawannya. Dari tas kumalnya ia keluarkan sebungkus nasi. Lalu diserahkannya pada si bisu.<br />
<br />
Ia memandangku lagi sambil menepukkan kedua tangan ke pahanya. “Hheah…” hembus nafasnya.<br />
<br />
“Terus yang punya be em we itu ngasih apa apa sama Bapak?” tanyaku mencegat lirikan kanan kiri matanya.<br />
<br />
“Sebetulnya sopir itu mau memberi saya…” ia berhenti sejenak, lalu menggelengkan kepala sedikit dan mulutnya berbunyi ‘ck’.<br />
<br />
“Tapi saya dengan cepat menolaknya. Kebetulan si Sarjo ini menarik saya untuk dipapahnya berjalan.” matanya melihat ke si bisu, yang ternyata bernama Sarjo itu. Sarjo sedang lahap menyuapkan nasi bungkus yang berwarna kuning oleh zat pewarna dengan lauk ikan asin ke mulutnya.<br />
<br />
“Jadi Bapak tidak menerima apa apa dari be em, eh… dari yang punya be em we itu?” selidikku.<br />
<br />
“Yaah…” jawabnya sambil tersenyum dan membuka tangannya. Bisa dipastikan, bagaimana makin meningkatnya rasa simpatiku padanya, pada seluruh rakyat kecil yang dalam niat, pikiran pikiran, ucap, teriakan, yel yel dan demo demo yang kulakukan aku bela. Kata yaah nya, senyum kecil dan gerak membuka tangannya hanya bermakna satu dalam otakku, ia tak menerima sesuatu. Tepatnya ia tidak berpamrih pada hal hal yang dirasa bukan haknya. Sebegitu besar ia menghargai kenyataan kenyataan, sehingga kecelakaan, ya hanya sebuah kecelakaan, tidak berusaha diruwet dan dilebih lebihkan. Sungguh jarang aku mendengar kenyataan seperti yang kudengar barusan, dimana orang orang lain selalu memanfaatkan peluang sekecil apapun demi mendapatkan uang, ini malah samasekali menolak apa yang sesungguhnya bisa menjadi selayaknya diterima.<br />
<br />
Kulihat lagi ia, rakyat kecilku. Tersenyum dengan sinar matanya yang polos. Kubalas ia dengan senyumku yang paling tulus.<br />
<br />
“Yaah…,” ia mengulang keikhlasannya. Lalu berkata melanjutkan, “Saya, mm saya harus cepat cepat meninggalkan yang punya mobil itu. Untung si Sarjo ini tindakannya tepat. Coba bayangkan kalau tidak! Wah, pasti ketahuan saya…”<br />
<br />
“Ketahuan apa? Seharusnya Bapak mendapatkan sejumlah uang untuk mengobati luka lutut Bapak,” potongku, tidak sabar untuk membuatnya mengerti sedikit tentang hak hak yang seharusnya diperolehnya.<br />
<br />
“Soalnya, ketika ia berusaha mengangkat saya, tanpa diketahuinya saya curi dompet di saku belakang celananya. Dan waaah sukses sekali saya hari ini,” kembali ia menggeleng gelengkan kepalanya sambil tangan kanannya menepuk nepuk saku depan celananya. “Bayangkan kalau ketahuan…”<br />
<br />
Dan kemudian, terdengar di telingaku suara setengah empuk dari saku celana lelaki itu. Terlihat di mataku senyuman yang amat licik dan kurang ajar. Terasa di bawah tulang paruku sebelah kiri sakit yang mendadak.<br />
<br />
Aku tak punya hasrat lagi berbicara…<br />
<br />
(Feri Umar Farouk)kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-36820446406419379152011-01-11T06:23:00.001-08:002011-01-11T06:23:58.461-08:00Terompet AyahAyah adalah seorang manusia yang cerdas. Jarang sekali orang seperti ayah ini. Bekas pejuang yang tidak menyia nyiakan segala fasilitas yang ditawarkan kehidupan setelah negeri ini mencapai kemerdekaannya. Beliau adalah konglomerat. Termasuk tujuh besar di Asia Tenggara. Beratus perusahaannya di dalam maupun di luar negeri telah jadi benteng yang sangat kuat bagi kedudukannya. Bahkan saking banyaknya perusahaannya itu, ayah sendiri sering lupa apakah ia punya perusahaan tertentu di kota anu. Memang dalam hal ini ayah sering kebingungan. Sehingga saya merasa heran, bagaimana orang yang bingung seperti ayah bisa terus meningkat kehidupannya, bahkan mungkin kalau mau diperbandingkan beliau tidak akan masuk hitungan tingkatan tingkatan kehidupan yang ada di negeri ini. Beliau adalah seorang yang telah keluar dari grafik. Kalau terpaksa mau disertakan dituliskan, nama ayah mungkin ada berkilo kilo meter di luar halaman kertas.<br />
<br />
Dan saya? Saya adalah anak keempat, tepat berada ditengah tengah dari tujuh anaknya. Jadi saya punya tiga kakak dan tiga adik. Nama saya Teguh. Entah aspirasi apa yang membuat ayah memberi nama Teguh kepada saya. Saya sendiri bingung, apalagi setelah memikirkan banyak kejadian dalam hidup saya akhir akhir ini. Nama ini telah membentuk karakter, satu bakat atau satu semangat. Tapi sebetulnya kalau ingin sempurna, nama Teguh belum sepenuhnya mewadahi keseluruhan saya, terutama dalam hubungannya dengan ayah. Nama saya seharusnya Pemberontak, Pembangkang atau nama lain semacam itu.<br />
<br />
Kenapa saya Pemberontak? Begini ceritanya. Saya memilih citra tersendiri bagi diri saya. Saya tidak pernah mau disetir siapapun, termasuk oleh ayah yang konglomerat besar itu. Anakmu bukan milikmu, itulah alasan yang sering saya lontarkan apabila ayah sudah kelihatan memaksa. Saya memilih baju dengan gaya dan warna tersendiri. Masuk fakultas yang saya pilih sendiri. Meminati hobi yang lain dari yang ayah tawarkan. Pokoknya segalanya lain dari selera kompak ayah, ibu, kakak dan adik saya. Bagi saya gaya dan selera hidup mereka rendah. Materialis. Serakah. Hedonis. Glamour. Hidup yang bermoduskan being is having, menurut buku Erich Fromm yang saya baca. Dan yang terutama membuat saya nekad menyendiri, memilih kubu yang berbalik seratus delapan puluh derajat dengan mereka adalah karena ─ini mungkin akibat saya terlalu terpengaruh kegenitan koran koran dan tulisan lainnya yang saya baca serta omongan beberapa teman di kampus─ konsekuensi konsekuensi menindas dan menyengsarakan dari kegemaran dan rencana rencana besar ayah untuk lebih memakmurkan kami. Ayah, ibu, kakak dan adik adik saya picik. Daya jangkau penglihatan dan pendengarannya sebatas kemakmuran dan kenikmatan keluarga. Menumpuk dan pamer benda benda. Tidak ada urusan dengan kehidupan, kecuali berpusat pada kepuasan dirinya. Kalau saya, berpikir dengan hati dan otak seorang warga dunia, dimana hidup adalah berkorban demi kebahagiaan bersama. Orang orang miskin dan terlantar mendapat tempat yang sungguh layak dalam pikiran saya. Berlebihan? Tidak. Bagi saya, itulah adanya saya.<br />
<br />
Ketika masuk fakultas filsafat tiga tahun lalu, ayah menegur saya. “Kamu ini aneh! Masuk ke tempat yang orang orang meninggalkannya.”<br />
<br />
Seperti biasa apabila enggan berlama lama berdebat, dengan cuek tingkat tinggi saya menjawab. “Anakmu bukan milikmu!” Beliau seperti biasanya pula tidak pernah marah mendengar jawaban jawaban saya. Mungkin menurut perasaannya, itulah satu satunya kebahagiaan besar yang bisa diberikan kepada saya. Silent is gold for Teguh. Padahal kalau diingat ingat, setiap percakapan, ajakan, teguran dan sapaan dari ayah, dengan semangat yang tak pernah padam pasti saya bantah. Sampai sampai seorang teman merasa khawatir melihat hal ini.<br />
<br />
“Ada apa dengan kamu? Lidahmu fasih sekali bila berkata TIDAK!” Untung saja teman saya itu tidak menebak saya lebih jauh. Kalau iya, pasti ketahuan bahwa saya pemberontak.<br />
<br />
Lama kelamaan tumbuh perasaan aneh dalam diri saya. Saya merasa membantah ayah adalah kewajiban bagi saya. Seperti wahyu yang diberikan Tuhan kepada para nabi, mungkin membantah ayah semacam amanat yang diberikan Tuhan kepada saya. Bedanya, saya yakin sekali wahyu membawa kebaikan kepada umat manusia. Memperbandingkannya dengan hal itu, saya dihinggapi perasaan khawatir. “Kebaikan apa yang ada dalam amanat perbantahan saya ini?” Apalagi bila kepercayaan akan amanat ini bergelut dengan perasaan lain, yaitu durhaka kepada ayah. Tetapi mengingat ayah tidak pernah marah menanggapi perbantahan saya, perasaan mendurhakai itu bisa saya tepiskan.<br />
<br />
Sekarang. Ini cerita menjelang tahun baru yang baru lalu. Ibu, kakak dan adik adik sibuk berkeliling mencari terompet yang paling baik. Kalau saya, tidak pernah punya minat sedikitpun untuk meniup terompet, meski di malam tahun baru. Buku buku di perpustakaan pribadi saya telah cukup menjadi terompet sepanjang tahun bagi saya.<br />
<br />
Sebelum pergi, ibu yang selalu jengkel dengan ketidakkompakkan saya, mengejek. “Kamu tidak mau terompet kan? Nanti ibu belikan sempritan saja ya? Kamu kan maunya jadi wasit melulu.”<br />
<br />
Saya tidak begitu pasti ejekan ibu mengarah ke apa atau ke mana. “Buat apa terompet. Bikin pegel mulut saja!” saya menjawab ibu dengan ketus.<br />
<br />
“Buat apa jadi wasit! Tidak pernah menikmati kemenangan.” ibu menimpali dengan senyum yang asing bagi penglihatan saya.<br />
<br />
Dan ayah? Dari bangun jam delapan pagi sibuk membuat terompet sendiri. “Masak pejuang yang mampu mengusir penjajah seperti ayah, membuat satu terompet saja tidak becus.” jawab ayah sambil membusungkan dada ketika ibu dan adik adik mengomentari kesibukannya.<br />
<br />
+++<br />
<br />
Setelah selesai membuat terompet, ayah mendatangi saya yang suntuk membaca buku. Sambil menunjukkan terompetnya yang besar, ayah mengajak. “Teguh. Karena di rumah tidak ada siapa siapa, maka kaulah satu satunya manusia selain ayah yang bakal menyaksikan tiupan pertama terompet ayah. Tiupan dahsyat yang mungkin bisa membuat manusia berpikir berulang ulang tentang segala yang berhubungan dengan kehidupannya. Yok, ikut ayah ke taman depan! Sekalian kamu menguji ketahananmu sebagai anak ayah yang lain daripada yang lain.”<br />
<br />
Bulu kuduk saya berdiri mendengar omongan ayah. Ngeri. Apa hubungan terompet ayah dengan kehidupan? Tetapi muncul dugaan lain dengan tiba tiba di benak saya. Ayah pasti berusaha melucu untuk menghilangkan rasa penat akibat jongkok berdiri hilir mudik kesana kemari menyelesaikan terompetnya tadi.<br />
<br />
“Buat apa dengerin terompet? Bikin budek saja!” jawab saya dan meneruskan membaca.<br />
<br />
“Teguh. Hargailah perjuangan Ayah. Jangan membantah saja!” Mendengar kata kata itu saya menjadi iba. Juga timbul rasa penasaran di benak saya. “Apa hubungan terompet ayah dengan kehidupan?” Saya pun mengikuti ayah berjalan menuju taman.<br />
<br />
Di tengah rumput yang hijau menghampar kami berhenti. Ayah bersiap siap menirukan gaya pemain saxophone di band band jazz. Berdiri dengan badan yang ditegakkan dan memandang lekat lekat pada terompetnya. Dengan begitu ayah kelihatan semakin kokoh saja walaupun ditumpuk usia. Ayah laksana Tembok Cina, batin saya. Saya berdiri tiga meteran di samping kanan ayah. Ayah pun mengambil nafas panjang. Seluruh tumbuhan yang ada di hadapan ayah menjadi doyong ke arahnya. Saya terkesima melihatnya. Ternyata ayah punya paru paru yang dahsyat. Paru paru yang bisa menampung seluruh dunia kalau ayah ingin. Kemudian ditiupnyalah terompet besarnya sekuat kuatnya. Tak ada suara. Tak ada bunyi preeet sedikitpun. Yang keluar malah gumpalan gumpalan kental merah seperti darah. Saya membayangkannya seperti episod dilahirkannya anak anak Kurawa dalam kisah pewayangan Mahabharata.<br />
<br />
Mendung menyelubungi langit yang barusan cerah. Ada kilatan cahaya menggurat berulang ulang. Guruh mengguntur keras. Gumpalan gumpalan kental itu pecah menciprat ke seluruh bagian taman. Berubah menjadi cairan cairan merah membiru. Lalu cairan cairan itu bergolak. Bumi di sekitar rumah bergetar. Cairan itu tambah bergolak. Lama lama membesar lalu menjelma anjing anjing ajag. Anjing anjing itu serentak mengeluarkan lolongan panjang. Saya menjerit. Ayah malah tertawa terbahak bahak. Kemudian meniup terompetnya sekali lagi. Lagi. Lagi. Lagi. Muncrat cairan merah lagi. Bergolak menjelma anjing anjing ajag. Kini tampak kenyataan yang semakin menyeramkan. Anjing anjing itu dengan rakus memakan segala yang ada. Tanah. Rumput. Pepohonan. Pagar. Tembok. Tong sampah. Bunga bunga. Pasir. Batu batu. Kran air…<br />
<br />
“Ayah. Hentikan membuat anjing anjing itu!”<br />
<br />
“Ayah tidak membikin anjing. Ayah hanya meniup terompet. Lihatlah! Ayah hanya meniup terompet kan?”<br />
<br />
“Tapi terompet Ayah mengeluarkan anjing anjing!”<br />
<br />
“Ah, siapa peduli! Ayah tidak membikin anjing. Dan pula tidak punya maksud membikin anjing. Ayah hanya meniup terompet.”<br />
Saya kehabisan kata kata. Saya lari ke kamar dan mengambil bedil. Kembali ke taman untuk menembak anjing anjing yang keluar dari terompet ayah. Begitu melihat saya memegang bedil, anjing anjing itu berloncatan ke luar pagar. Menyebar ke segala penjuru. Saya blingsatan. Saya mencoba membidik. Dor! Satu anjing kena. Tubuhnya muncrat menjadi darah dan menyebar kemana mana. Darah itu bergolak seperti cairan yang berasal dari terompet ayah tadi. Menjadi anjing anjing baru. Saya jadi merasa serba salah. Menembak anjing anjing itu malah melipatgandakan jumlahnya. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Karena kehabisan akal saya memohon kepada ayah.<br />
<br />
“Ayah. Tolonglah hentikan meniup terompet!”<br />
<br />
“Apa? Tolonglah? Tumben kamu mengeluarkan kata itu.” ayah malah mengejek.<br />
<br />
“Kalau tidak, coba Ayah kendalikan anjing anjing itu! Cuma Ayah mungkin yang mereka turuti perintahnya.”<br />
<br />
“Tidak bisa! Anjingku bukan milikku!” ayah tambah kenikmatan mengejekku.<br />
<br />
Saya kehilangan kesabaran. Saya todongkan bedil ke arah jantung ayah. Melihat kelakuan saya, ayah makin keras tertawa. Pikiran saya berputar putar. Tidak juga menemukan kepastian yang bisa saya jadikan keputusan. Mungkin hanya dengan menembak ayahlah memusnahkan anjing anjing yang menakutkan itu. Tetapi apa tidak berdosa seorang anak menembak ayah kandungnya sendiri? Antara patriotisme dan pembangkangan, antara heroisme dan kedurhakaan memang hanya dipisahkan selapis tipis perbedaan.<br />
<br />
“Tembaklah Ayah Anakku tercinta. Ayo!” ayah menantang todongan saya sambil membusungkan dada. Meraih moncong bedil yang saya pegang dan menariknya, sehingga saya dipaksa beringsut ke depannya. Moncong bedil itu sekarang menempel di tengah tengah dada ayah.<br />
<br />
“Ayo, tembaklah! Tembakkan bedil itu!”<br />
<br />
“Saya tidak tega, Ayah!” Bersamaan dengan keluarnya kata kata itu dari mulut saya, seluruh kekuatan yang tadi menguasai saya luruh dan menguap entah kemana. Tubuh saya pun berkeringat deras. Saya dibanjiri kebingungan dan kecemasan. Ayah adalah kekuatan yang ternyata tidak mudah dikalahkan.<br />
<br />
Di depan mata saya terbayang satu kenyataan pahit, saya bersimpuh di depan ayah dan meratap sejadi jadinya menyesali semua keyakinan yang dulu saya pegang. Sia sia semuanya. Segala daya upaya saya adalah hal hal yang ternyata percuma. Perbantahan saya terhadap gaya dan selera ayah adalah kebodohan yang sesungguhnya. Saya putar berurutan keinginan saya bagaikan mengangsur biji biji tasbih yang dikeluarkan dari talinya. Satu persatu keinginan itu lepas menggelinding dalam tatapan saya. Keraguan menteror. Siapakah saya yang berdiri mematung bagai seorang pandir ini? Seorang filsuf? Intelektual? Seniman? Sufi? Biarawan? Manusia dengan jiwa luhur? Agung? Ataukah masih seorang pemberontak? Persetan semuanya. Ayah adalah bagian diri saya yang sulit dimusnahkan begitu saja. <br />
<br />
(Feri Umar Farouk)kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-2862838632473832362011-01-11T06:20:00.000-08:002011-01-11T06:20:18.301-08:00Epitaf"Apakah aku harus menuliskan sesuatu untuk mengatakan sebab-sebab mengapa aku melakukan ini?" dalam duduk di pinggir dipan reot, batinku bertanya-tanya. "Ah, kurasa tak perlu! Seluruh pengalaman dalam hidupku sampai keputusanku melakukan ini telah menggambarkan dengan sempurna kegagalanku. Apalagi yang mesti kutulis?"<br />
<br />
***<br />
<br />
Di malam itu udara dingin menyiksa dadaku. Beberapa kali aku terbatuk dan meludahkan dahak dari tenggorokan. Kugenjot becak sekuat-kuatnya, dengan harapan dapat cepat sampai ke tempat Retno berdinas, tapi udara dingin rasanya telah menghisap seluruh kekuatan ototku dan rasa kantuk yang sangat membuat mataku dipenuhi kabut. Becakku hanya bergerak dengan perlahan.<br />
<br />
Setelah menghabiskan waktu yang lebih dari biasanya, sampai juga becakku di kedai minum yang merangkap tempat praktek mesum itu. Retno tidak tampak di kursi bambu luar di mana ia biasa menungguku pada jam-jam seperti itu.<br />
<br />
Aku turun dari becak.<br />
<br />
"Man, mana Retno?" tanyaku kepada Sarman, centeng kedai minum itu.<br />
<br />
"Di kamar! Masih ada tamu!" jawabnya sambil mengunyah kacang goreng. Aku duduk di kursi dalam. Mak Sumi, pemilik kedai yang sedang duduk memperhatikan pembantu-pembantunya melayani pembeli menoleh ke arahku.<br />
<br />
"Minum, No?" tawarnya kemudian. Aku menggelengkan kepala, terus menarik nafas panjang mencoba mengakrabi suasana hatiku yang sedang kesal.<br />
<br />
Pengunjung kedai itu tinggal beberapa orang saja. Mereka sibuk berbincang-bincang dan tertawa-tawa sambil minum bir dan makan kacang goreng. Semua obrolan mereka hanya sayup terdengar. Aku tidak peduli untuk mengupingnya dengan baik-baik.<br />
<br />
"Ah, sesungguhnya mereka tidak benar-benar berbicara kepada orang lain. Mereka hanya ingin menumpahkan kata-kata saja, karena kekesalan, kejenuhan, kesepian dan perasaan-perasaan semacamnya yang melanda mereka." benakku memperteguh diriku untuk berdiam seorang diri saja.<br />
<br />
Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan dari bagian dalam kedai yang merupakan kamar-kamar tempat mesum itu. Tawa perempuannya kukenal, Retno.<br />
<br />
Kudengar langkah-langkah kaki, lalu dari balik gorden yang menutup bagian dalam dengan bagian luar kedai, muncul dua sosok manusia, laki-laki dan perempuan. Aku terkejut melihat siapa laki-laki itu. Darahku berdesir cepat memenuhi bagian kepala. Belum sempat kuredakan kegalauan itu, laki-laki yang ternyata Gimin, teman baruku bersenda di pangkalan, menyapaku dengan senyuman.<br />
<br />
"Marno! Haa, ketahuan! Sering ke sini, ya?"<br />
<br />
Aku tidak kuasa menjawabnya. Lidahku kelu. Rasanya ada batu besar yang mengganjal di tenggorokan. Aku hanya membalas sapaan Gimin dengan senyum yang dipaksakan.<br />
<br />
Retno berdiri mematung melihat keherananku. Ia mungkin tidak menyangka kalau aku sudah datang menunggunya.<br />
<br />
"Mau make Atun?" tanya Gimin kemudian, sambil menunjuk ke arah Retno, "Awas, lho bisa ketagihan!"<br />
<br />
Aku tetap diam. Dengan manjanya Gimin mencubit hidung Retno di depanku. Lalu ia pamit.<br />
<br />
"Tun, abang pulang dulu, ya! Kapan-kapan abang mampir lagi!"<br />
<br />
Ia berjalan perlahan. Pundakku ditepuknya, "Heh, No! Langsung aja! Kok, malah bengong!"<br />
<br />
Ingin rasanya kutarik lengan Gimin dan membantingnya jauh-jauh. Tetapi saat itu aku betul-betul tak punya tenaga.<br />
<br />
Retno berjalan menuju Mak Sumi. Mereka bercakap sebentar. Aku hanya diam menonton sampai Retno kembali ke arahku dan mengajakku pulang, "Yok, Mas!"<br />
<br />
***<br />
<br />
Di perjalanan pulang aku bertengkar dengan Retno. Aku tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi di kedai tadi. "Istriku melayani temanku?" batinku menggemakan kalimat itu terus menerus.<br />
<br />
"Kau sudah kelewatan, Retno!" bentakku, "Kau layani juga temanku, Gimin!"<br />
<br />
"Aku tidak tahu laki-laki itu temanmu!" Retno balas membentak, "Apa aku harus bertanya kepada setiap lelaki yang datang, apakah dia itu temanmu?"<br />
<br />
Pembelaan diri Retno masuk akal. Namun setepat apapun alasannya tidak mampu merubah perasaanku mengalami kenyataan perih dan memalukan itu. "Istriku melayani temanku,"<br />
<br />
Kurasakan seluruh daging di tubuhku mengelupas. Aku bukan lagi makhluk hidup. Aku bukan lagi manusia. Aku sudah jadi bangkai busuk. Tak berharga samasekali.<br />
<br />
"Apa ada manusia sepertiku? Di depan teman pun aku sudah tidak punya martabat. Musnah," pikiranku menggugat.<br />
<br />
"Kenapa tidak sekalian saja ke tempat mangkalku. Di sana temanku ada semua. Lalu kau jajakan dirimu di sana!" aku tetap bertahan dengan kemarahanku.<br />
<br />
"Sudah kukatakan, aku tidak tahu laki-laki itu temanmu!" Retno mulai menangis. Aku tidak tahu untuk apa ia menangis. Untuk menyesali dirinya atau menentramkan hatiku. Biasanya ketika aku dan Retno betrtengkar, kemudian Retno menangis menyesali dirinya, aku menjadi tentram oleh tangisan itu. Tetapi sekarang. Aku tidak bisa menentramkan hatiku, walau tangisan Retno dengan lirihnya menusuk-nusuk gendang telingaku.<br />
<br />
"Sudahlah, tak perlu menangis! Aku tidak marah kepadamu. Aku marah kepada diriku sendiri," aku mencoba menghibur.<br />
<br />
***<br />
<br />
Sampai dirumah Retno masih terisak-isak menangis. Ia langsung turun dan masuk ke dalam. Aku memarkirkan becak ke pinggir rumah. Kemudian dengan handuk kecil kuusap keringat di muka. Sebetulnya ingin juga kuusap seluruh kekesalan yang tampak mengerutkan wajahku. Namun sia-sia, kekesalan itu terasa kekal.<br />
<br />
Kupandang bulan yang bersinar pucat keemasan. Tiba-tiba entah dari mana membisik suara ke telingaku, "Kau seperti bulan pucat itu. Membisu, tua dan kesepian," Terkejut mendapat bisikan itu, dengan tergesa aku masuk ke dalam rumah.<br />
<br />
"Ha-ha-ha, kau takut bulan pucat itu menterjemahkanmu selengkap-lengkapnya. Meterjemahkan penderitaanmu selengkap-lengkapnya," kembali suara itu meneriakkan ejekan-ejekan ke dua telingaku bergantian. Aku blingsatan. Kalap. Tanpa berpikir panjang, lari ke dapur mengambil seember air. Kucelupkan kepalaku di sana.<br />
<br />
***<br />
<br />
Setelah panas di kepalaku menyejuk, aku bangkit dari duduk dan berjalan perlahan menuju kamar. Di atas kasur yang lembab-apak kulihat Retno tidur telentang. Seperti seekor ikan asin yang terbujur pasrah di atas tampah. Aku duduk di kursi memperhatikannya. Kususuri seluruh bagian tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut di ubun-ubun.<br />
<br />
"Bidadari yang malang, bidadari terbuang,"<br />
<br />
Pikiranku melayang jauh ke hari-hari yang telah berlalu. Ke hari-hari yang buruk.<br />
<br />
***<br />
<br />
Retno adalah kembang desa di mana aku tinggal menghabiskan masa kanak-kanak dan remajaku. Sejak duduk di sekolah menengah pertama ia telah menjadi pusat perhatian. Bagiku sendiri waktu itu, ia menjadi lambang keberhasilan di masa depan. Kalau orang mendapatkan Retno, berbahagialah ia. Paling kayalah ia. Laki-laki beruntung. Paling segalanya.<br />
<br />
Tetapi sayang. Impian remajaku kandas ketika selesai SMP aku terpaksa meninggalkan desa menuju kota yang asing. Aku harus bekerja membantu menghidupi keluarga bapakku yang waktu itu ditimpa kebangkrutan.<br />
<br />
Sebetulnya dulu bapakku seorang pengusaha batik yang cukup maju. Sayang, keberhasilan menjebaknya menjadi seorang penjudi, pemabuk dan tukang main perempuan. Oleh tingkah yang bermanja-manja dengan dunia itulah lambat-laun keluarga kami dihantarkannya menuju kiamat.<br />
<br />
Terakhir, habislah segalanya ketika bapak terlibat hutang di sana-sini dan perusahaan batik yang sudah kacau-balau pengelolaannya itu disita. Yang tertinggal dalam diriku hanyalah kemauan untuk tidak berputus-asa. Bapak sendiri dulunya adalah pemuda miskin, yang maju karena sikap berpetualangnya yang selalu menggebu-gebu. Aku dengan tekad buta seorang yang belum dewasa berpikir, teriming-imingi oleh cerita petualangan bapakku, walaupun pada akhirnya petualangannya mencampakkannya kembali dalam kemelaratan.<br />
<br />
Aku sudah mempunyai tekad dan keyakinan kuat yang kuanggap benar dan mudah waktu itu. Bertualang dan bertualang, tetapi tidak untuk berlebihan, sehingga kembali ke nol. Aku harus berhenti pada titik tertentu. Titik di mana aku kaya.<br />
<br />
Tetapi seperti kenyataannya, inilah yang terjadi. Dari mulai aku mewujudkan tekad itu, aku hanyalah seorang yang kecil sepanjang hidup. Tidak ada hal-hal dan pekerjaan-pekerjaan besar yang mampu menghantarkan aku ke dunia yang kuimpikan, ke titik yang kuidamkan. Aku hanyalah kuli bangunan, satpam bioskop, pelayan restorasi, tukang parkir, tukang becak dan terus berputar sekitar itu. Bahkan pernah juga menjadi gelandangan.<br />
<br />
Tetapi ada satu hal yang menghiburku sepanjang hidup ini. Retno, pujaan masa remajaku, dengan tak disangka-sangka menjadi istriku juga, walaupun kenyataan yang mempertemukan kami bukanlah sesuatu yang romantis seperti dibayangkan dulu. Keromantisan sudah tidak menjadi ukuran bagiku. Aku hanya menginginkan api kenangan remajaku menyala kembali. Itu saja. Dan Retnolah satu-satunya yang mampu memantik api itu dihatiku.<br />
<br />
***<br />
<br />
Aku bertemu kembali dengan Retno ketika ia telah menjadi pelacur. Sungguh mengharukan juga kisah bagaimana ia bisa sampai terjun ke pelacuran. Ia dipaksa kawin dengan bandot tua sewaktu masih kelas dua SMA. Perkawinan itu tidak membawa apa-apa kecuali kesengsaraan yang sangat baginya. Ia membalas perkawinan sial itu dengan berbuat serong, menjalin hubungan dengan kuli bandot tua itu. Aku pikir tepat juga ia melakukan itu, bandot tua sudah semestinya diperlakukan begitu.<br />
<br />
Retno diusir. Dan mungkin karena ingin membalas dendam kepada orang-tuanya, yang telah membuat hidupnya laksana neraka, nekadlah Retno. Ia menjadi pelacur.<br />
<br />
Sebetulnya dengan kenekadannya itu ia ingin membuktikan kepada orang-tuanya, bahwa ia seorang anak yang patuh. Seorang anak yang dititipkan di neraka dan berusaha betah dalam neraka. Tidak ada bedanya bagi Retno menjadi salah satu istri bandot tua atau menjadi seorang pelacur. Keduanya adalah neraka.<br />
<br />
Secara berkelakar ia pernah mengatakan, "Itulah satu-satunya kepatuhan yang mampu kutunaikan bagi orang-tuaku!"<br />
<br />
***<br />
<br />
Setahun kami menikah, Retno tidak lagi melacur. Waktu itu dengan bersemangat aku mengerjakan apa saja untuk mencukupi kebutuhan. Namun setelah lewat satu tahun, aku sering sakit-sakitan. Menurut pemeriksaan dokter, aku terserang tuberkulosa. Dalam seminggu akhirnya aku hanya bisa bekerja menarik becak beberapa kali saja. Sedangkan kebutuhan yang terus mendesak, menyesakkan hidup kami.<br />
<br />
Maka dengan proses yang cukup panjang, setelah kenyataan penyakitku yang tetap tidak membaik, Retno kembali menjadi pelacur. Istriku pelacur.<br />
<br />
Tukang becak yang sakit-sakitan dan seorang pelacur. Suatu perpaduan yang sempurna untuk menggambarkan kebrengsekan dan kesengsaraan hidup. Dan itulah kami, aku dan Retno. Nasib memang bukan hal yang bisa dipilih oleh orang-orang seperti kami. Kamilah yang dipilih oleh nasib, bahkan dengan semena-mena.<br />
<br />
Sejak itu aku sering berpikir, "Bagaimanakah Tuhan bisa membuat kami menjadi orang-orang terkutuk seperti ini?"<br />
<br />
Kami pun bersepakat untuk tidak mempunyai anak. Anak tidak pantas dititipkan kepada orang-orang terkutuk. Dengan keyakinan itu kami cukup merasa berbahagia. Kami tidak menambah deretan orang-orang brengsek di dunia.<br />
<br />
***<br />
<br />
Tiba-tiba muncul wajah Gimin. Membayang jelas di mata. Bernyanyi-nyanyi, kemudian menatapku dengan rasa iba yang mengejek. Di belakangnya bergerombol orang-orang mengumpatku tak habis-habisnya. Gimin bernyanyi kembali. orang-orang yang bergerombol mengikutinya. Lalu berhenti dan menatapku, terus mengumpat-umpat.<br />
<br />
Aku tak tahan. Kugeleng-gelengkan kepala agar bayangan itu kabur. Rambutku yang basah membuat Retno terbangun karena terciprat. Ia menatapku dengan perasaan yang tak dapat diterka.<br />
<br />
"Tidurlah, Mas! Nanti sakitmu kambuh lagi, "<br />
<br />
***<br />
<br />
Benar juga. Pagi-pagi aku terbangun oleh rasa sesak yang sangat di dada. Batuk-batuk tebeseku kembali keluar, seolah-olah ingin mengeluarkan seluruh darah di paru-paruku.<br />
<br />
Retno mengompres keningku dan memijat pergelangan tanganku. "Nanti siang ke puskesmas ya, Mas!"<br />
<br />
Aku menjawabnya dengan suara batuk. Rasa mual membuatku masam berkata-kata.<br />
<br />
"Minggu ini Mas istirahat saja, tidak usah narik!"<br />
<br />
Mungkin Retno tidak tahu, istirahat adalah siksaan bagi seorang laki-laki, apabila kata itu keluar dari mulut istrinya. Aku pun merasa dicambuk dengan kata-katanya itu. "Lelaki lemah, tak berdaya!"<br />
<br />
***<br />
<br />
"Apakah aku harus menuliskan sesuatu untuk mengatakan sebab-sebab mengapa aku melakukan ini?" dalam duduk di pinggir dipan reot, batinku bertanya-tanya. "Ah, rasanya tak perlu! Seluruh pengalaman dalam hidupku sampai keputusanku melakukan ini telah menggambarkan dengan sempurna kegagalanku. Apalagi yang mesti kutulis?"<br />
<br />
Kuangkat kursi dan kuletakkan tepat di bawah tali yang telah kugantungkan. Lalu kembali aku duduk di pinggir dipan. Kutatap lekat-lekat tali yang telah menggantung itu. Lewat udara yang berhembus menggerakkannya kudengar bisikannya menggodaku. "Satu kali dalam hidup, manusia harus merasakan bagaimana mempunyai keinginan dan mampu memenuhinya. Sekarang keinginanmu adalah mati. Ayolah, aku ingin membantumu memenuhinya!"<br />
<br />
Angin dingin di malam itu menembus bilik bambu di mana aku berkutat dengan pikiran kalutku. Suara cengkerik mengalun patah-patah. Sesekali terdengar teriakan tukang nasi goreng dan bakmi menawarkan dagangannya di luar.<br />
<br />
Tiba-tiba suara nyamuk yang berkelebat menyadarkan kediamanku. Aku pun naik ke atas kursi. Kupasangkan tali ke leherku. Lalu berbisik perlahan kepada malam yang semakin sunyi mencekam. "Maafkan aku, Retno! Ternyata ketabahanku berbatas kejadian kemarin malam. Aku tidak bisa menerima kenyataan itu. Gimin akan tahu kau istriku, dan itulah penderitaan yang tak mungkin dapat kutanggung. Penghinaan yang tak menyisakan sedikitpun martabat. Oh, istriku! Kau melayani temanku,"<br />
<br />
Aneh. Tidak setetes pun air mata mengiringi kepedihan ini. Seluruh tubuh dan jiwaku telah kering. Aku pun dihinggapi kesangsian, "Benarkah kepedihan dan penderitaan selalu memerlukan air mata?"<br />
<br />
Aku bisa menangis tanpa mengeluarkan setetes pun air mata. Tangisan yang gersang. Kemarau.<br />
<br />
Kusingkirkan kursi dari kaki. Leherku sesak oleh jeratan tali yang makin lama makin mengetat. Ajal berlari mendekatiku. Aku menjemputnya. Memeluknya dengan erat. Tetapi betapa dinginnya. Betapa gelap dan sunyi.<br />
<br />
Sebelum segalanya hilang, kudengar sebuah bisikan. "Inikah kematianmu yang indah? Dimana saat, tempat dan cara engkau sendiri yang memilihnya."<br />
<br />
Euaahhhhh…<br />
<br />
(Peri Umar Farouk)kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-66681716165505108212011-01-11T06:17:00.000-08:002011-01-11T06:17:07.374-08:00PralinaAku tidak pernah menyangka bahwa mayat yang tergeletak di pinggir jalan depan kuburan umum ini adalah Birin. Birin yang dua minggu lewat, setelah bertahun-tahun tidak pernah kembali ke kampung ini, datang dengan segala kediaman dan kesahajaannya. Ya, pagi ini tetangga-tetangga meributkan adanya sesosok mayat tergeletak begitu saja dengan bercak-bercak darah yang masih kental, dan itu adalah Birin.<br />
<br />
"Duh, kasihan betul Bang Birin ini. Siapa yang tega-teganya membunuh dan membiarkannya tergeletak begitu saja, ya?" seorang pemuda kampung ini berkata, entah kepada siapa.<br />
<br />
"Mati kok kayak begini," sahut seseorang lain.<br />
<br />
"Ya, itulah kalau orang dulunya suka bergagah-gagah. Angkuh!"<br />
<br />
Orang-orang yang berkerumun menonton para petugas polsek mengurus mayat tersebut, bertanya-tanya dengan pikiran-pikirannya sendiri, dan menjawab dengan pikiran-pikirannya sendiri pula. Memang jarang sekali peristiwa-peristiwa di dunia ini, semisal soal kematian terjelaskan dengan cukup sempurna, apalagi kematian yang mengenaskan seperti ini.<br />
<br />
Melihat wajah kematiannya, aku teringat beberapa kenangan bersama Birin. Entah manis entah pahit, yang jelas itu pernah hadir dalam kehidupanku.<br />
<br />
"Kamu suka coklat, Mim?" jelas sekali kejenakaan Birin tergambar dalam tawarannya. Ia bocah yang tak setampan kawan-kawan lain sekolahku. Berhidung pesek dengan rambut agak keritingnya, ia tampak seperti wajah-wajah jahat Amerika Latin yang kini kerap dimunculkan film-film Hollywood. Tetapi itu tidak mencegahku, terutama apabila dipandang bahwa aku sebagai anak perempuan, untuk ternyata menjadi sangat akrab dengannya.<br />
<br />
Keakraban itu mungkin terpagut karena di kelas, kami adalah orang-orang yang tak disenangi banyak orang, bahkan oleh guru sekalipun. Alasannya adalah bahwa kami, katanya, merupakan bocah-bocah nakal yang sulit sekali diatur, kurang ajar dan bodoh. Menjadi kambing hitam dalam setiap keributan dan kesalahan adalah nasib kami berdua di kelas yang menjemukan itu. Birin sebagai kambing hitam jantan. Dan aku sebagai kambing hitam betina. Sejak itulah kurasakan dan mungkin juga Birin, bahwa kami akrab.<br />
<br />
"Kamu suka coklat kan, Mim?" ulangnya. Waktu itu aku giliran main di tali loncat. Birin biasa mengajakku untuk mencuri jajanan ketika aku sedang asyik-asyiknya bermain bersama teman-teman perempuan kelasku. Dan seperti biasa aku tak pernah tidak tergiur oleh ajakannya. Mencuri bersama Birin sepertinya memberiku kepuasaan yang entah ke bagian mana dari diriku, sehingga aku merasa ketagihan. Ya, dibanding suntuk bermain tali loncat yang tak ada hasilnya.<br />
<br />
"Saya sudahan, ah!" kataku pada teman-teman yang menunggu loncatanku. Sedangkan kepada Birin aku hanya tersenyum mengiyakan.<br />
<br />
Korban kejahilan kami adalah mak Ruwi, warung jajanan yang ada di timur jalan sekolahan kami. Kalau dihitung-hitung sudah berapa puluh ribu mungkin dagangannya yang kami curi dari mulai kacang-kacangan, permen, buah-buahan sampai mainan-mainan kecil. Tetapi, hal yang seringkali aku syukuri, sepertinya mak Ruwi tidak pernah menangkap sedikitpun niat jahat kami mengambil secara sembunyi-sembunyi dagangannya. Kami pun selalu merasa leluasa ketika melaksanakan kriminalitas kecil kami.<br />
<br />
"Sekarang kamu yang bagian beli dan mengajaknya ngobrol." Birin mulai mengatur siasat untuk aksi siang itu. "Aku yang mengambil, ya!"<br />
<br />
Aku selalu mengikuti apa yang disiasatkan Birin. Dari beberapa pengalaman yang sudah-sudah aku merasa terjamin Birin selalu tepat mengatur segala situasinya. Kini tinggal mengatur agar jantungku tidak berdegup secara tak teratur. Kutenangkan rasa deg-degan hebat dengan mengatur nafas. Mencoba menghilangkan hirup hembus yang panas menggentarkan.<br />
<br />
Beberapa menit kemudian sukses yang sangat mengasyikkan. Jajanan mak Ruwi digelar di satu meja besar yang cukup panjang. Di situ segala macam yang disukai anak kecil terhampar. Mak Ruwi seperti biasa duduk di pinggir sebelah kiri menghadap ke barat. Aku berjalan ke depan meja dagangan itu, sengaja mengambil posisi berhadapan dengan mak Ruwi. Dan Birin mengambil arah yang berjauhan, ke sebelah kanannya. Lalu aku mulai memilih dan menanya hal-hal yang kukira bisa ada sangkut pautnya dengan kedatanganku ke warung mak Ruwi.<br />
<br />
"Ini makanan baru ya, Mak?"<br />
<br />
"He-eh, enak! Itu dibuat dari buah jengkol. Kerupuk jengkol!"<br />
<br />
Kulihat mata mak Ruwi masih tetap memperhatikanku. Syukur, akan kujaga terus agar mata itu tidak melirik kanan kiri.<br />
<br />
"Si Emi sudah jajan belum, Mak?"<br />
<br />
"Pasti jajan ke si Ijah. Pasti! Padahal masih punya utang sama mak." Mak Ijah adalah warung saingan mak Ruwi di sekolah. Warung mak Ijah berada di sebelah barat. Sudah pasti apabila di sebut nama mak Ijah, emosi mak Ruwi agak naik, soalnya mereka berdua bersaing berat mendapatkan pelanggan bagi warungnya. Untung dari keadaan emosi itu bagiku dan Birin adalah perhatian mak Ruwi yang menjadi tertumpah untuk membicarakan hal-hal jelek menyangkut mak Ijah. Dan karena begitu khusyuknya ia jarang peduli memperhatikan yang lain-lainnya. Ia akan suntuk bicara bersungut-sungut.<br />
<br />
Beberapa menit berlalu. Dari sekian banyak pertanyaan, tawar-menawar dan cerita-cerita, aku hanya membeli satu buah apel kecil. Kulihat Birin sudah tidak ada.<br />
<br />
"Ini saja, Mak!" kataku sambil menyodorkan receh seratusan.<br />
<br />
"Kok cuma beli itu!" sungut mak Ruwi.<br />
<br />
"Tidak punya uang." jawabku.<br />
<br />
"Ngutang juga boleh, tapi harus dibayar besok."<br />
<br />
"Takut! Kata ibu saya, menghutang itu membuat malu."<br />
<br />
"Yaaa, sudah kalau tidak mau."<br />
<br />
Di satu tempat di belakang sekolah kutemui Birin. Tempat itu memang khusus diperjanjikan bila kami selesai melakukan pencurian. Hari itu sungguh banyak dan bermacam-macam sekali jajanan yang bisa diambil Birin. Kami dengan riangnya berbagi-bagi.<br />
<br />
Kuingat-ingat ternyata dalam seminggu hari sekolah aku dan Birin bisa sampai tiga kalinya menggasak dagangan mak Ruwi, belum lagi pengalaman-pengalaman pencurian kepada milik orang lain. Ke mak Ijah juga, tukang bakso, tukang es dorong dan tukang mainan yang memakai sepeda.<br />
<br />
Selepas sekolah dasar, walaupun tidak satu sekolah lanjutan pertama, aku tetap akrab dengan Birin. Entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu aku sudah menjadi pacarnya. Birin bersekolah di ST, sedangkan aku di SMP. Dan kami tetaplah merupakan orang-orang yang nakal, bengal. Birin terkenal jago di sekolahnya, bahkan sampai menakutkan orang-orang satu kabupaten. Lebih sialnya lagi Birin waktu itu terkenal sebagai pemabuk juga dan suka memeras anak-anak sebayanya. Aku, terkenal sebagai remaja putri yang genit, perempuan gampangan. Aku kerap mendengar sebutan-sebutan buruk bagi tingkah lakuku. Akupun jadi suka minum minuman keras bersama Birin.<br />
<br />
Menjelang selesai sekolah lanjutan pertama, musibah menimpa kami. Dalam satu keadaam mabuk, kami betul-betul berada dalam kekhilafan. Kami dua remaja melakukan apa yang sebetulnya tidak boleh kami lakukan.<br />
<br />
Akupun hamil!<br />
<br />
Ketika orang-orang mulai tahu perbuatan yang telah kami lakukan, Birin menjadi panik. Sedangkan aku agak tenang, karena ayah ibuku hanya memintaku untuk segera menggugurkan kandungan. Sejak itulah sampai bertahun-tahun lamanya aku tidak lagi bertemu Birin, Birin lari dari kampung.<br />
<br />
Dan aku tidak lebih dari dua bulan mengandung. Setelah itu menjadi perempuan yang bebas kembali. Tetapi anehnya, apabila aku mencoba merenungi hubunganku dengan Birin, walau ia sempat membuatku hamil dan ternyata ia lari tak bertanggung jawab, aku tak pernah merasa bahwa itu adalah hal yang lebih daripada sebuah kelucuan. Aku bahkan sering tersenyum dengan kenakalan-kenakalanku bersama Birin.<br />
<br />
Rasa sedikit tidak enak hanya sekali muncul ketika aku akan dikawinkan dengan suamiku kini. Tetapi aku berusaha sepasrah mungkin, apapun nasib yang nanti akan dilalui. Kalau ia suka dengan segala apa adanya aku, syukur, kalau tidak, silakan. Dan untung calon suamiku itu adalah orang baik, atau entah lelaki bodoh.<br />
<br />
Tahun demi tahun berlalu. Kabar tentang Birin kudengar dari orang-orang kampung ini bahwa ia kini sebagai buruh pabrik semen di kota anu. Bahwa ia kini sebagai penjahat kecil di terminal anu. Kemudian meningkat sedikit sebagai pencoleng dan bajing loncat. Lalu sebagai perampok kelas kakap yang kerap buron. Pernah juga ia diberitakan sebagai pembunuh bayaran.<br />
<br />
***<br />
<br />
Tiba-tiba ia datang. Banyak orang di kampung kami menjadi resah dengan kedatangannya. Takut kalau-kalau ia melakukan kejahatan di kampung ini. Para perawan kerap bergunjing dan menjadi takut diapa-apakan oleh Birin. Pemuda-pemuda yang sok jago menjadi takut kena getah yang lebih pekat dan dianggap menantangnya. Tetapi kulihat, berdasarkan tangkapan perasaanku, bahwa Birin yang kini datang di kampung ini bukanlah Birin yang dulu, juga bukan Birin yang sering dikabarkan soal-soal buruk dan jahatnya. Ia seorang Birin yang lain. Mungkin saja sebenarnya Birin yang menghilang kemudian datang tiba-tiba itu adalah Birin yang memang baik dan shaleh, yang kini amat merindukan neneknya. Birin yang semenjak kanak-kanak merupakan yatim piatu yang sadar bahwa ada bagian-bagian kehidupannya di kampung ini yang patut diperbaikinya. Tetapi aku tidak pernah menceritakan dugaan-dugaan itu kepada orang lain. Sebagai orang yang pernah begitu dekat dengan kehidupannya aku hanya mencoba mengerti dengan alasan-alasan yang kurasakan sendiri.<br />
<br />
Sekarang Birin mempunyai kulit yang agak putih dibanding dahulu ketika ia remaja. Tetapi kumis dan janggutnya ia biarkan tumbuh lebat. Kesehariannya di kampung ini entah melakukan apa. Orang-orang hanya melihat Birin di luar rumah, setiap subuh ketika ia berjalan-jalan dengan pakaian serba hitamnya. Tanpa alas kaki. Mungkin maksudnya ia berolah raga.<br />
<br />
Aku kadang-kadang bersengaja bertemu dengannya untuk mengobati rasa penasaranku melihat bagaimana ia akan bersikap bila kami berjumpa. Tetapi ia tidak pernah lebih dari memberikan tatapan kosong dan senyumnya yang terasa asing. Kenangan-kenanganku bersamanya selalu menghantuiku untuk lebih mengenal dirinya kini. Tetapi ia tidak pernah memberi apa yang bisa kuanggap kesempatan. Ia kini hidup di dunianya sendiri yang aneh, bila kuukur dari usia dan kesempatan-kesempatan yang masih bisa diraihnya. Ditambah kesadaranku kini akan kewajiban kerumahtanggaanku, aku pun akhirnya menjadi tak ambil peduli dengan segala yang menyangkut hidup dan keseharian Birin.<br />
<br />
Kini, kusaksikan tubuh Birin diangkat ke sebuah dipan kayu yang dialasi tikar. Bagian-bagian tubuhnya membiru legam seperti dipukuli benda tumpul. Ada lingkaran jerat di lehernya. Dan dari mulutnya mengucur darah.<br />
<br />
Tidak bisa tidak akupun menangis. Rasa pusing menuntunku pulang. Di kamar mandi aku muntah beberapa kali.<br />
<br />
Besoknya terdapat berita di koran-koran, "Seorang Debt Collector Mati."<br />
<br />
Aku muntah beberapa kali lagi.<br />
<br />
(Peri Umar Farouk, YK)kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-85108247899027252852011-01-11T06:10:00.001-08:002011-01-11T06:10:10.967-08:00SetitiSetiti bukan lagi kehidupan. Ia hanyalah sesuatu yang bernyawa. Kini Setiti adalah…<br />
<br />
“Sundal! Dasar sundal tengik!” mak Giwuk pagi pagi sudah uring uringan. Dalam muka tembemnya yang subur, mulutnya yang berbibir tebal itu bergerak menyemprotkan kata kata penuh kesal. “Apa sih maumu itu? Orang antri mau kelon kok kamu malah diam saja. Apa kamu lagi kesurupan? Hah!”<br />
<br />
Setiti yang telanjang diam saja.<br />
<br />
“Titi! Ayo sana mandi. Pakai baju yang bersih. Lalu keluar ke ruang tamu!” mak Giwuk tetap ngotot. Di hari Minggu itu, dimana ia sedang sibuk sibuknya mempersiapkan makan pagi bagi ‘anak anak asuhnya’, ada beberapa tamu yang datang.<br />
<br />
“Apa maumu, hah! Pagi pagi manja! Orang antri mau kelon kok ini malah diam saja. Apa kamu kesurupan? Hah! Apa kamu kesurupan?” ulang mak Giwuk dengan perhatian yang tak terarah.<br />
<br />
Setiti, dalam simpuhan duduknya malah tersenyum kecil. Lalu seperti tidak hendak menanggapi ocehan mak Giwuk, induk semangnya, ia pun bernyanyi nyanyi lirih. Entah melagukan apa. Mak Giwuk mengokohkan tolak pinggangnya di depan Setiti. Menggeleng gelengkan kepala berulang ulang seolah makhluk yang berada di depannya itu adalah sesuatu yang aneh, yang sulit dimengerti. “Titi! Coba pandang emakmu ini. Coba pandang!” Setiti mendongakkan kepalanya melihat ke wajah mak Giwuk. Sebentar kemudian menunduk kembali. Bernyanyi nyanyi.<br />
<br />
“Ala Gustiii! Sampeyan iki ngopo, nduk? Ngopo?”<br />
<br />
Yang diherani tetap saja lirih bernyanyi nyanyi. Kemudian mencoret coretkan tangan di lantai di mana ia duduk, lantai yang sudah pasti berdebu. Hasilnya: beberapa buah, entah huruf entah gambar, yang tak berarti. Atau mungkin tepatnya sesuatu dengan arti arti yang khusus, yang hanya dimengerti oleh Setiti.<br />
<br />
Mak Giwuk tidak berusaha menanggapi lebih lanjut kediaman Setiti. Ia keluar dari kamar Setiti, namun tanpa melepaskan ocehan ocehannya. Dalam benaknya ia yakin bahwa sebentar kemudian Setiti akan mandi, berpakaian dan ikut ke ruang depan menemani tamu yang menghendakinya.<br />
<br />
+++<br />
<br />
Setiti bukan lagi manusia. Ia hanyalah tubuh yang telanjang. Setiti adalah…<br />
<br />
“Gadis manis,” ucap seorang lelaki yang baru dikenalnya jam tujuh tadi, “Marilah mendekat ke sini!”<br />
<br />
Setiti memperkirakan bahwa saat itu malam samasekali belum menjadi gelap. Paling paling baru jam setengah delapan lebih sedikit. Jadi untuk bermanja manja kepada lelaki ini bukanlah hal yang berlebihan. Dalam ketelanjangannya, ia mencoba untuk tetap berdiri. Memamerkan seluruh lekuk liku daging yang mengurungnya menjadi seorang wanita. Rasa penasarannya membuat ia, sekali sekali, ingin melihat air liur lelaki mengalir deras dari mulutnya karena tergiur kemontokannya. Ia sadar, ia mempunyai tubuh yang dapat membuat gila setiap lelaki. Apalagi seperti saat ini, dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun. Mungkin akan mati mendadaklah apabila lelaki, seperti lelaki ini, secara tiba tiba ditinggalkannya.<br />
<br />
“Ayolah gadis manis. Sini! Cepatlah naik ke tempat tidur! Nanti Abang beri mimpi yang belum pernah kau mimpikan…” Rayuan lelaki itu persis seperti sajak sajak penyair murahan.<br />
<br />
Setiti, dalam berdirinya yang binal malah tersenyum kecil. Didihan jantung sang penyair itu dibuatnya makin menggelegak. Lalu tanpa belas kasih disandarkanlah punggungnya ke tembok, matanya memandang langit langit kamar. Mengecap rasa syukur atas kemenangan yang paling ultim dari setiap awal percumbuannya.<br />
<br />
Lelaki penyair itupun berubah seketika menjadi lelaki tanpa rasa sabar. Ia memburu. Memburu nafsunya sendiri. Ia dekati Setiti. Lalu seperti sebuah karung besar ia tutupkan seluruh dirinya atas diri Setiti. Setiti, manusia lain selain dirinya, lenyap dalam hatinya. Yang tertinggal adalah syahwatnya yang menyala nyala, memberangus, memberangus. Menerbangkan setiap kesadaran yang mencoba muncul. Lihatlah, pada suatu waktu ternyata kesadaran bisa berarti bukan apa apa. Bukan sesuatu yang bisa mencegah atau menghentikan kesalahan dan dosa dosa. Kesadaran hanyalah sobekan sobekan kertas kecil yang terbakar, terbang dengan sisa semangatnya yang paling rapuh, paling redup.<br />
<br />
Kini, semuanya tinggallah pertanyaan pertanyaan yang mungkin tak pernah dapat dijawab. Lelaki itu, juga Setiti, siapakah mereka? Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Bergumul? Bergumul dengan siapa? Siapa menggumuli siapa? Bergumul dengan apa? Hanya erangan dan tawa tawa cabul yang terdengar. Nikmat, kesangsian dan menyesal…<br />
<br />
Setelah itu seperti malam malam yang telah berlalu, tinggal sebuah transaksi tanpa jiwa. Setiti yang telanjang, dalam baring malasnya di atas kasur dengan seprei awut awutan, menunggu sang pangerannya berpakaian. Pakaian lengkap, tinggal menunggu sisiran dan sekedar merapikan yang dirasa belum pas benar. Kemudian tunggu barang semenit dua menit, lelaki itu merogoh saku belakang celananya. Menyimpan beberapa lembar uang di meja, atau melemparkan uang itu ke atas tubuhnya. Ia pun menanti kata kata pamit: “Setiti, saya pamit dulu, ya!”<br />
<br />
Pintu yang tertutup melepaskan bunyi yang di telinga Setiti terdengar selalu saja panjang, keheningan, kenyataan yang sungguh sungguh kosong. Semuanya ternyata adalah keheningan. Awal dan akhir adalah keheningan. Bahkan semuanya, setiap saat, adalah keheningan.<br />
<br />
+++<br />
<br />
Kembali mak Giwuk mengoceh di kamar Setiti.<br />
<br />
“Ti! Titi! Ayo nduk, di luar ada yang menunggu,” katanya dengan tekanan yang makin halus. “Kalau kamu kepingin apa, mbok ngomong whae. Ra’ usah koyok ngene! Ayolah nduk,”<br />
<br />
Hal yang mengejutkan secara tiba tiba menyergap perasaan mak Giwuk. Ia, sebagai orang yang sudah memakan usia, tidak dapat sepenuhnya luput menangkap keadaan yang sungguh sungguh serius akan diri Setiti. Tidak biasanya Setiti ngadat seperti ini. Ia yakin manusia ini bukanlah Setitinya. Setiti orangnya gampangan, tak pernah sengaja membuat susah.<br />
<br />
“Oalah, Gusti! Kamu bener bener terasuk setan, tho’?” mak Giwuk mendongakkan wajah Setiti dengan mengangkat dagunya. Melihat sebentar ke sinar mata Setiti. Tatapan yang hampa. Lalu punggung tangan yang satunya lagi ditempelkannya di dahi Setiti.<br />
<br />
“Oalah, Gusti! Benooo…! Benooo…” teriaknya kemudian. “Golekke pakdhe Bejo, Noo…”<br />
<br />
Setiti mengoyang goyangkan kepalanya kanan kiri. Masih terus lirih bernyanyi nyanyi. Tertawa kecil sendiri. Seperti merintih, sendiri. Dan telunjuknya yang sudah coklat oleh debu ditekan tekankannya pada sisi bibirnya sebelah kanan.<br />
<br />
“…na…na…na, na…na…na…”<br />
<br />
+++<br />
<br />
Dulu Setiti, meskipun hanya seorang anak tambal ban dan penjual bensin dua tax, adalah gadis periang. Sekolahnya lumayan lebih tinggi dibanding kawan kawan sebaya dan sepermainannya di kampung kumuh di atas kali Code itu. Sekolah Menengah Pertama pernah diecapnya selama dua tahun lebih. Walau tidak sampai menyelesaikan kelas tiganya, itu cukup lumayan bagi Setiti. Tidak seperti kawan kawannya yang bahkan Sekolah Dasar pun banyak pula yang tidak tamat.<br />
<br />
Cita cita masa remajanya sederhana saja, ia hanya ingin menjadi perawat. Alasannya pun sederhana, ia ingin agar setiap harinya bisa berpakaian yang bersih. Putih. Tidak seperti kesehariannya yang kumal. Baju dan rok roknya, walau di lingkungannya jarang sekali pohon pohonan, seperti bergetah getah. Atau lebih mirip lagi coklat coklat seperti kena olie.<br />
<br />
Tetapi segalanya kandas menjadi nasib yang lebih sial, ketika suatu saat ayahnya, pak Somon, yang ternyata adalah ayah tirinya, memperkosanya. Ibunya menjelang siang Minggu itu tengah bersiap siap membereskan kios dorong bensinnya untuk dibuka. Dan pak Somon masih ada di rumah, karena memang tiap hari Minggu ia akan berangkat menunggu kios, setelah semuanya dibereskan istrinya.<br />
<br />
Keriangan Setiti punah dalam sesaat. Cita cita tinggal menjadi ingatan yang mungkin saja bisa menyiksa. Sayang sungguh sayang, Setiti…<br />
<br />
Kemudian, ketika Setiti memberitahu ibunya perihal perbuatan pak Somon terhadap dirinya, yang didapat bukanlah jalan keluar yang bisa memberi penjagaan atau sesuatu yang dapat menghibur dirinya. Yang diterimanya malah kata kata kasar, sumpah serapah, jambak dan usiran ibunya.<br />
<br />
“Bajingan! Setan! Asu! Anak binal…, pergiii!” jeritan itu berakhir dengan tangis yang histeris.<br />
<br />
Kepala Setiti berdenyut panas. Rambut yang kena jambak ibunya dirasakan lepas bersama kulit kepalanya. Ia tidak sepenuhnya mengerti kemarahan ibunya berawal dan mungkin akan berakhir di mana. Dan seperti tak berjejak di atas bumi Setiti melangkah dengan segala apa adanya ia saat itu. Hanya kesialan, kesedihan, ketakmengertian dan tanpa harapan apa apa yang mengiringinya, menuju ke entah…<br />
<br />
Entah itu ternyata berujud sebuah kehidupan yang baru. Bersama perempuan tua bernama mak Giwuk, bersama perempuan perempuan yang kurang lebih sebaya dalam sebuah rumah yang lebih bagus dari gubuk ibunya. Bersama cerita cerita perkosaan yang lebih membungkam, yang menantangnya setiap saat untuk percaya bahwa itu adalah kehidupan yang biasa. “Tak ada satupun yang baru terjadi,” kerap Setiti berbisik untuk kehidupan barunya. “Tak ada satupun yang baru terjadi dengan diriku …”<br />
<br />
Manusia yang sanggup dan mau berpikir meski sedikit tentang keberadaannya, pasti takkan punah samasekali dari mengharap. Setiti patut disyukuri berhubungan dengan hal ini. Ia masih punya kemampuan berharap untuk setiap detik yang akan dilaluinya. Setelah ia lepas terusir dari kehidupan dengan ibu dan ayahnya, Pak Somon, ia masih tertampung dalam kehidupan mak Giwuk bersama teman teman perempuan centilnya kini. Tetapi kenyataan itu memberinya kesadaran tentang hidup yang lebih layak, baik, bersih dan terhormat, tentang usia yang dirasakannya berjalan terlalu cepat, dan kematian. Ya, kematian amat mengerikannya, jika ia ternyata tamat dalam lingkungan yang makin lama makin dirasa absurd ini.<br />
<br />
Kesimpulan kecil dari kekhawatiran kekhawatiran ini, menurut keyakinan Setiti adalah ia mesti mempunyai suami. Ya, seorang lelaki yang tetap hidup bersamanya baik dalam suka dan duka. Yang menjaga mata, bibir, tangan dan segala yang ada padanya dari bersentuh dengan sembarang laki laki. Yang mengembangkan semakin besar harapan harapannya dalam keseharian. Dan yang mendoakannya nanti ketika ia tiada. Kesimpulan kecil itupun lama lama menguat menjadi harapan, menjadi obsesi dan menunggu untuk dinyatakan. Tetapi kadang kadang ada juga ketidakyakinan, bahwa segalanya ini hanyalah satu gejolak dari kebosanan terhadap kesundalan nasib hidupnya.<br />
<br />
Dan dalam sebulan terakhir, doa yang tak pernah diucapkan Setiti sepertinya hendak mewujudkan diri. Ada lelaki dengan janjinya yang mengarah untuk berumah tangga dengannya. Setiti menjadi seriang Setiti yang dulu, Setiti yang bersekolah dan mempunyai cita cita kecil menjadi perawat. Lelaki itu bukan lelaki yang luar biasa, namun cukup untuk menghargai harapan harapan Setiti. Ia seorang sopir taxi dengan kegemaran melacur juga.<br />
<br />
“Kau mau kan menjadi istriku, Ti!” tanyanya di sela sela kemesraan kencan suatu waktu. Setiti tidak tahu harus mengucap apa. Sebagai sundal, apa dapat mewakilkan keinginan dan pengertian pengertiannya lewat kata kata? Kata kata kan untuk manusia manusia yang punya keleluasaan memilih, bukan yang hanya bisa pasrah bersetuju. Setiti tersenyum dengan kegenitan yang agak beda, kegenitan calon istri untuk lakinya.<br />
<br />
“Aku telah berkencan dengan banyak perempuan. Tetapi tak ada yang sepertimu. Bisa membangkitkan ketagihan. Mungkin bagiku itulah yang kata orang orang pinter disebut cinta,” lanjut lelaki itu dengan rayuan kumuhnya. “Ketagihan, cinta, ketagihan, cinta. Ya, cinta adalah ketagihan!” Sambil menggitik gitik Setiti, lelaki itu berkata diselingi tawanya yang kumuh pula.<br />
<br />
Tak ada pengertian lain bagi Setiti untuk terlaksananya niat berumah tangga, apalagi tambahan model ‘cinta’ segala. Model model begitu terlalu jauh dari jangkauan kesempatannya. Ia hanya ingin terbebas dari kesundalannya, menjadi selain Setiti yang kini…<br />
<br />
Tetapi nasib buruk tega teganya datang menjenguk Setiti, di klimaks pengharapannya. Lelaki dengan janji rumah tangga itu bukanlah lelaki untuk jalan keluar. Ia lelaki dengan sejuta beban yang ingin ditumpahkannya. Sorga dari harapan telah berubah, kembali menjadi utopia.<br />
<br />
“Mas, kapan kita menikah?” Setiti tampak ragu dengan pertanyaannya.<br />
<br />
“Bisa besok pagi, bisa kapan saja,” jawab lelaki itu.<br />
<br />
“Bagaimana kalau sebulan lagi kita menikah?” Setiti berbinar bola matanya. “Aku sudah ingin mengakhiri…”<br />
<br />
“Maksudmu, kau ingin berhenti berkencan dengan lelaki lain?” potong lelaki itu. Ada perasaan gembira Setiti mendengar lelaki itu menyebutkan kalimat yang hendak diutarakannya.<br />
<br />
“Ya, mas. Aku untukmu sepenuhnya. Kapan saja,” canggung juga Setiti melontarkan isi hatinya. Sudah biasa memang Setiti tidak melatih memberikan pelayanan yang luar biasa dengan kata katanya. Hanya ketelanjangan, wajah tanpa dosa dan gerak tubuhnya yang ia tugaskan memabukkan laki laki.<br />
<br />
“Tidak Setiti! Tidak! Kau, kalaupun menikah denganku tidak perlu berhenti dari satu satunya cara yang bisa memberikan uang kepadamu. Kau harus tetap menerima tamu, dan aku yang nanti menjagamu. Aku punya banyak kenalan yang bisa royal asal mendapatkan kencan dengan perempuan semanismu. Tidak, jangan salah paham dengan pernikahan kita. Kita akan…” Lelaki itu ngomong berpanjang lebar sembari senyum senyum. Untuk selanjutnya ia kelihatan begitu licik. Tampak ia seperti orang jahat yang ketahuan sepenuh belangnya.<br />
<br />
Sampai batas tertentu Setiti menjadi tuli, tak mendengar dan tak ingin mendengar apa apa lagi. Titik titik air deras keluar dari matanya, menguras sinar serta memelompongkan isi dan nuansa yang ditampungnya. Otaknya menjadi kabur dari segala pengertian.<br />
<br />
Pada ruang waktu sebelum segalanya menjadi lain, ia merasakan selimut yang dipakainya ditarik dengan bernafsu. Ada tindihan yang terasa makin berat. Ada dengus yang tak menghormatinya sebagai manusia. Ada jeritan kecil dari kepuasan yang naif. Ada keringat yang bukan keringatnya. Setiti pun kemudian tertidur, entah pingsan.<br />
<br />
Di hari Minggu, besoknya, ia turun dari kasurnya. Bersimpuh di lantai dengan membiarkan dirinya dalam keadaan telanjang.<br />
<br />
Setiti bukan lagi kehidupan. Ia hanyalah sesuatu yang bernyawa. Kini Setiti adalah…kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-7539019256734768802011-01-11T06:04:00.001-08:002011-01-11T06:04:53.377-08:00Sebuah Luka Bagi Sang DemonstranInilah representasi rakyat kecil yang aku bela, secuil kehidupan di sederet gerbong kereta api kelas ekonomi. Pertama kali kuinjakkan kaki di lantai kereta ini, aku telah mencium bau rakyat. Hawa yang panas dan suasana kumuh mempertegasnya. Aliran deras pedagang asongan dan teriakan teriakannya yang cerewet, lucu bahkan cabul, memberikan kepusingan tersendiri.<br />
<br />
“Koran, koran, koran, koran… Koran Oom?”<br />
<br />
“Cel, pecel. Pecelnya bu? Pak… Pecel, pecel…”<br />
<br />
“Kacang ibu rambutan, kacang ibu rambutan, telor bapak rambutan…”<br />
<br />
“Akua, akua… Teh kotak, kolonyet, pe pe o…”<br />
<br />
Kuperhatikan, sepanjang aku berjalan mencari tempat duduk, kaca kaca yang menjadi dinding kereta ini tak satupun yang bersih. Semuanya kotor dan berdebu. Juga jok jok bangku dan meja kecil dengan warna karatnya. Cermin kesehatan rakyat.<br />
<br />
“Bang, bang, korannya bang!” untuk tidak jatuh terbengong bengong saja aku mencoba membeli koran.<br />
<br />
“Ini, Mas. Seratus rupiah saja!”<br />
<br />
“Seratus rupiah?!” tanyaku.<br />
<br />
“Ini koran lama, Mas. Buat tikar duduk.” jawab si tukang koran acuh tak acuh.<br />
<br />
“Yang baru?”<br />
<br />
“Wah, saya nggak jual.” sembari jawab si tukang koran ngeloyor pergi, seolah olah tahu betul bahwa aku tak lagi berminat pada koran korannya.<br />
<br />
Kampung demi kampung berlari bagai gambar pemandangan yang panjang sedang digulungkan dari arah timur yang entah di mana persisnya. Sawah sawah yang kekeringan air, bukit bukit kecil yang tandus, genangan lumpur di lobang lobang tanah yang bergerenjul batu batu serta suara suara binatang di sepinya makam makam menawarkan selera abadi bagi perjalanan ini.<br />
<br />
Di dalam kereta aku telah bermandi keringat. Orang orang lain juga. Ada percakapan dalam bahasa Jawa, Sunda dan lebih sedikit lagi dalam bahasa Indonesia. Dengan fokus yang bermacam macam pula, dari lingkup yang remeh sekali semacam pembicaraan kerumahtanggaan sampai ke hal hal yang menjurus politik(?).<br />
<br />
“Toh rakyat tidak sebodoh yang diperkirakan banyak ‘orang pintar’,” benakku berkata. “Mereka punya bergudang gudang permasalahan yang mereka coba jawab sendiri. Apa itu bukan suatu kecerdasan?”<br />
<br />
Dari pikiran itu berkembang nostalgia nostalgia petualanganku sebagai salah seorang yang sering disebut oleh banyak pihak sebagai demonstran. Berawal dari persiapan persiapan patriotik yang kulalui bersama kawan kawan sesama mahasiswa, mengetik naskah naskah yang kontroversial, mengecat spanduk serta mencorat coret kertas karton dengan kata kata advokatif bahkan terkadang radikal, sampai meneriakkan yel yel pembelaan dan gelar demonstrasinya itu sendiri.<br />
<br />
Lalu kubandingkan jerih payah itu dengan keadaan rakyat yang sebenarnya, yang terpampang kini di depan mata kepalaku sendiri. Ada rasa tak percuma. “Ya, perjuangan perjuanganku mempunyai akar yang kuat, yakni kesengsaraan rakyat dan ketertindasannya dalam perikehidupan yang lebih besar. Lebih penting lagi, adalah ketulusan dan kejujurannya.” Lihatlah, mereka mempunyai wajah yang pasrah, penuh sabar dan jauh sekali dari bayangan bayangan pamrih. Tetapi struktur yang diciptakan bagi keseharian mereka, penuh lorong yang bengis dan jahat. “Apakah, bila Anda seorang manusia dengan hati yang orisinal manusia, melihat hal itu semua hati Anda tidak tergerak sedikitpun untuk membela? Atau tidakkah merasa bersyukur dan berbangga bahwa Anda, dalam satu ruang waktu tertentu pernah melakukan hal hal yang bisa membela keadaan mereka?” Berat juga ternyata mempunyai pikiran pikiran besar seperti itu. Karena beratnya untuk beberapa menit aku pun tertidur.<br />
<br />
+++<br />
<br />
Setelah mendengar derit kereta yang sepertinya berhenti secara tiba tiba, aku membuka mata. Menggeliat sebentar, lalu melihat ke luar jendela. Sebuah stasiun bangunan tua ramai dengan hilir mudik manusia. Bangku di depanku persis sudah kosong dari orang yang mendudukinya tadi. Disamping kiriku, nenek kurus yang mulutnya kembung oleh susur, sebentar menoleh kepadaku. Kemudian tanpa menawarkan kesan apa apa kembali melihat ke luar jendela, melihat hiruk pikuk yang mungkin pernah dilalui dalam bagian tertentu usianya.<br />
<br />
Tiba tiba bahu kananku ada yang menepuk. Halus tetapi memberat pada akhirnya. Aku menoleh. Seorang lelaki kurus dengan muka senyumnya, nyengir. Di bahu kirinya tergantung tas kumal yang berbau anyir.<br />
<br />
“Depan kosong ya, Mas ya?” mukanya masih nyengir.<br />
<br />
“Kayaknya kosong,” jawabku.<br />
<br />
“Jo, sini kosong, Jo!” ia menarik lengan lelaki yang berada di belakangnya. Lelaki yang dipanggil “Jo” itu menoleh, berusaha menyegarkan tampangnya yang agak kaget.<br />
<br />
Dua orang lelaki kini duduk di depanku.<br />
<br />
+++<br />
<br />
Kini kereta berjalan dengan agak lambat, sengaja mungkin untuk menepatkan waktu tiba di stasiun yang bakal dilalui di depan. Kereta api kelas ekonomi memang harus selalu mengalah terhadap aturan cepat lambatnya kereta api kelas kelas lain. Tidak ada aturan yang pasti dan tersendiri bagi kelas ekonomi.<br />
<br />
Bosan dengan segala pikiran yang muncul di otakku, kucoba mengobrol dengan lelaki kurus bermuka senyum itu. Dia menempati bangku persis berhadapan denganku. Pas di lutut celananya terdapat robek yang dengan jelas memperlihatkan luka yang masih baru. Ada darah segar di luka itu, sedangkan di sisi sisi robekan celananya bercak bercak darah mengental hitam.<br />
<br />
“Kena apa itu Pak, lututnya?” tanyaku membuka percakapan.<br />
<br />
“Wah, ketabrak nih,” jawabnya sambil dengan cepat melihat ke arah lukanya. “Tadi pas saya berangkat ke stasiun.”<br />
<br />
“Ooo…” sahutku.<br />
<br />
“Saya, dari rumah jalan kaki. Lumayan jauh, Mas. Ada mungkin lima kiloan dari rumah saya ke stasiun,” ia melanjutkan bercerita. Dalam hatiku muncul rasa simpati yang makin besar terhadap nasib rakyat kecil seperti bapak ini. Coba bayangkan, untuk bepergian mereka masih harus berjalan kaki sekian jauhnya, padahal banyak kendaraan yang berlalu lalang hanya berpenumpang satu dua orang. Kemubadziran yang sungguh sungguh.<br />
<br />
“Ee, di perempatan jalan, kira kira setengah kiloan lagi sampai di stasiun, tiba tiba ada sedan be em we menyerempet dari belakang. Saya terjatuh. Lutut saya agak terseret di aspal butut. Masih untung tidak banyak yang kena.”<br />
<br />
“Terus be em we nya lari?” tanyaku.<br />
<br />
“Untungnya nggak.” lelaki itu tersenyum.<br />
<br />
“Sekarang ini sudah terlalu biasa, orang nabrak terus lari. Jaman sudah biadab!” umpatku.<br />
<br />
“Terus sopirnya bagaimana?” tanyaku lagi.<br />
<br />
“Sopirnya keluar dari mobil. Yang menumpang mobil itu sebetulnya dua orang. Sepertinya suami istri. Tapi yang keluar hanya yang laki laki. Wuih, pakaiannya bagus. Pakai jam tangan emas, ada cincin batu yang… wah, gagah pokoknya. Saya yang masih terduduk di aspal jalan, sambil mengaduh aduh diangkatnya. Saya terus saja mengaduh,” dia menceritakan itu dengan gerak tangan dan mimik yang lucu. Sepertinya tidak ada beban dengan kejadian sial yang menimpanya. Ya, begitulah rakyat kecil adanya, tidak pernah menuntut macam macam dan bertele tele. Segala sesuatunya bisa menjadi gampang bila berhubungan dengan rakyat kecil, seperti lelaki kurus ini.<br />
<br />
Kemudian dia menoleh kepada kawannya yang dari tadi diam saja. Di mataku tampak kawannya itu adalah orang yang baru kali ini naik kereta, naik ke keramaian yang tak teratur. Dari wajah dan gaya duduknya tidak salah lagi, ia adalah orang yang mudah sekali menjadi bingung.<br />
<br />
“Jo! Kamu mau makan ya, Jo. Sudah lapar kan?” tanya dia kepada kawannya.<br />
<br />
Jauh dari dugaanku, ternyata kawannya itu bisu. Ia hanya membalas pertanyaan lelaki itu dengan aa uu dan gerak tangan yang tidak jelas.<br />
<br />
“Oh, sudah lapar juga toh kamu,” kesimpulan lelaki itu dari aa uu kawannya. Dari tas kumalnya ia keluarkan sebungkus nasi. Lalu diserahkannya pada si bisu.<br />
<br />
Ia memandangku lagi sambil menepukkan kedua tangan ke pahanya. “Hheah…” hembus nafasnya.<br />
<br />
“Terus yang punya be em we itu ngasih apa apa sama Bapak?” tanyaku mencegat lirikan kanan kiri matanya.<br />
<br />
“Sebetulnya sopir itu mau memberi saya…” ia berhenti sejenak, lalu menggelengkan kepala sedikit dan mulutnya berbunyi ‘ck’.<br />
<br />
“Tapi saya dengan cepat menolaknya. Kebetulan si Sarjo ini menarik saya untuk dipapahnya berjalan.” matanya melihat ke si bisu, yang ternyata bernama Sarjo itu. Sarjo sedang lahap menyuapkan nasi bungkus yang berwarna kuning oleh zat pewarna dengan lauk ikan asin ke mulutnya.<br />
<br />
“Jadi Bapak tidak menerima apa apa dari be em, eh… dari yang punya be em we itu?” selidikku.<br />
<br />
“Yaah…” jawabnya sambil tersenyum dan membuka tangannya. Bisa dipastikan, bagaimana makin meningkatnya rasa simpatiku padanya, pada seluruh rakyat kecil yang dalam niat, pikiran pikiran, ucap, teriakan, yel yel dan demo demo yang kulakukan aku bela. Kata yaah nya, senyum kecil dan gerak membuka tangannya hanya bermakna satu dalam otakku, ia tak menerima sesuatu. Tepatnya ia tidak berpamrih pada hal hal yang dirasa bukan haknya. Sebegitu besar ia menghargai kenyataan kenyataan, sehingga kecelakaan, ya hanya sebuah kecelakaan, tidak berusaha diruwet dan dilebih lebihkan. Sungguh jarang aku mendengar kenyataan seperti yang kudengar barusan, dimana orang orang lain selalu memanfaatkan peluang sekecil apapun demi mendapatkan uang, ini malah samasekali menolak apa yang sesungguhnya bisa menjadi selayaknya diterima.<br />
<br />
Kulihat lagi ia, rakyat kecilku. Tersenyum dengan sinar matanya yang polos. Kubalas ia dengan senyumku yang paling tulus.<br />
<br />
“Yaah…,” ia mengulang keikhlasannya. Lalu berkata melanjutkan, “Saya, mm saya harus cepat cepat meninggalkan yang punya mobil itu. Untung si Sarjo ini tindakannya tepat. Coba bayangkan kalau tidak! Wah, pasti ketahuan saya…”<br />
<br />
“Ketahuan apa? Seharusnya Bapak mendapatkan sejumlah uang untuk mengobati luka lutut Bapak,” potongku, tidak sabar untuk membuatnya mengerti sedikit tentang hak hak yang seharusnya diperolehnya.<br />
<br />
“Soalnya, ketika ia berusaha mengangkat saya, tanpa diketahuinya saya curi dompet di saku belakang celananya. Dan waaah sukses sekali saya hari ini,” kembali ia menggeleng gelengkan kepalanya sambil tangan kanannya menepuk nepuk saku depan celananya. “Bayangkan kalau ketahuan…”<br />
<br />
Dan kemudian, terdengar di telingaku suara setengah empuk dari saku celana lelaki itu. Terlihat di mataku senyuman yang amat licik dan kurang ajar. Terasa di bawah tulang paruku sebelah kiri sakit yang mendadak.<br />
<br />
Aku tak punya hasrat lagi berbicara…kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-43060457464779192072011-01-11T06:02:00.000-08:002011-01-11T06:02:27.563-08:00Airmata AyahBagi ayah, kebahagiaan terbesar adalah bisa menangis. Ayah menggebu-gebu sekali untuk dapat menitikkan air mata, karena telah lama air mata ayah hilang entah ke mana.<br />
<br />
“Ayah masih bisa merasakan bagaimana nikmatnya tangisan ayah yang terakhir,” kata ayah di meja makan malam tadi. “Sepertinya saat itu ayah telah mendapatkan firasat bahwa ayah akan kehilangan air mata.”<br />
<br />
Mata ayah menerawang jauh. Bukan ke luar dirinya, namun lebih tepat ke kedalaman dirinya. Mata ayah seperti menusuk hatinya sendiri.<br />
<br />
“Kalau ayah bandingkan air mata ayah saat itu, mungkin sama seperti kebenaran air bah yang memperlayarkan Perahu Nuh, atau mungkin persis keagungan air Laut Merah yang membukakan jalan bagi Musa dan pada akhirnya menenggelamkan kemurkaan Fir’aun.”<br />
<br />
Mendengar kata-kata ayah, ibu hanya bisa menunduk. Ia mengurungkan niatnya untuk menghabiskan kue puddingnya. Bibirnya gemetar, mungkin oleh rasa mempersalahkan diri karena kehabisan cara untuk membuat ayah bisa memenuhi obsesinya. Memang semenjak ayah merasa bahwa ia tidak lagi bisa menangis, ibu selalu mencari kemungkinan-kemungkinan mengobati kelainan ayah tersebut. Dan dengan setia ibu menemani ayah untuk mencoba berbagai macam terapi. Sayang, semuanya belum membuahkan hasil seperti yang ayah harapkan.<br />
<br />
Saya sendiri pun dengan berbagai upaya mencoba menawarkan kiat-kiat untuk dilakukan ayah agar bisa menangis. Dari yang biasa-biasa saja sampai ke yang menjurus gila-gilaan. Saya pernah mengkliping tulisan-tulisan media massa tentang kejahatan yang bagi kebanyakan orang merupakan perbuatan di luar kemanusiaan. Pembunuhan sadis, penganiayaan, perkosaan, lengkap dengan kisah-kisah mengharukan dari keluarga dan lingkungan dekat korban. Kiat-kiat tersebut saya bagikan pada ayah dengan asumsi bahwa mengajari ayah tentang mengapa ayah harus menangis akan cepat membuat ayah bisa menangis, daripada mengajarkan bagaimana ayah harus menangis.<br />
<br />
“Ayah telah membaca kasus Marsinah?” tanya saya suatu waktu.<br />
<br />
“Yaa,” jawab ayah datar.<br />
<br />
“Coba, bagaimana tidak tertusuknya kemanusiaan kita membaca kasus itu. Buruh kecil, yang mencoba berjuang untuk mendapatkan hak-hak kecilnya, namun mati dibunuh oleh sesuatu yang entah apa namanya. Bahkan sampai saat ini pun belum ketahuan siapa yang membunuhnya.” lanjut saya.<br />
<br />
“Yaa,” ayah masih setia dengan yaa-nya.<br />
<br />
“Apa ayah tidak menangis? Atau sedikitnya terharu membaca hal itu?” tak sabar saya memberanikan diri bertanya tentang itu.<br />
<br />
“Ayah ingin menangis,” kata ayah lirih.<br />
<br />
“Apakah ayah juga telah membaca tentang perampokan terhadap sebuah keluarga, pembunuhan terhadap sebuah keluarga yang disertai dengan penganiayaan dan perkosaan? Bahkan sampai mengambil nyawa bocah-bocah yang tak berdosa?”<br />
<br />
“Yaa,”<br />
<br />
“Apa ayah juga tidak tersentuh, kemudian menangis melihat hal-hal semacam itu?” saya semakin tidak sabar menghadapi kelainan ayah.<br />
<br />
“Ayah ingin menangis, tapi…” ayah menutup kata tapinya dengan menggeleng-gelengkan kepala.<br />
<br />
Saya juga menganjurkan ayah untuk membaca buku-buku,menonton film, drama-drama, teater, bahkan semua hal yang mengandung kesedihan, keharuan. Saya pernah mengajaknya melihat-lihat perkampungan kumuh di pinggir-pinggir kali. Mengajaknya berkeliling di panti-panti asuhan. Tapi sampai saat ini belum tampak hasil yang memuaskan. Semuanya tampak seperti lewat begitu saja, bahkan seperti tidak pernah terjadi dalam kehidupan ayah. Semua kenyataan beku, bisu di hadapan ayah.<br />
<br />
Atas saran saya juga, ayah sendiri telah mengundurkan diri dari jabatannya yang cukup tinggi di jajaran birokrasi. Walaupun gagasan itu pada awalnya mendapatkan tentangan dari keluarga dan kolega dekat ayah, namun ayah tanpa ragu berhasil keluar dari pengaruh tersebut. Sebagai alasan mengapa saya menyarankan hal itu adalah kekhawatiran saya, bahwa jabatan itulah sebetulnya yang membuat ayah menjadi seperti tidak berperasaan. Siapa tahu? Ayah mungkin bukan orang yang kuat yang pas menduduki jabatan tersebut. Kemudian saya anjurkan ayah mencoba mengemis atau jadi tukang sampah di jalanan, siapa tahu kekerasan jalanan dapat membangkitkan air mata ayah dari sumbernya yang tersembunyi. Namun gagasan itu kembali memunculkan tentangan dari keluarga. Bahkan lebih hebat dari yang sudah-sudah. Kakak saya yang perempuan sampai mengutuk dan menyumpah-nyumpah saya sebagai anak durhaka.<br />
<br />
“Lagi, mana ada pengemis yang botak dan buncit kayak ayah?” kakak saya menguatkan sumpah serapahnya. “Kamu ini mau menolong ayah, apa menjerumuskan?”<br />
<br />
***<br />
<br />
“Sekarang ayah ingin menyampaikan hal yang lain kepada kalian,” ayah menyimpan lap tangan di sebelah kiri piringnya, “Kini ayah tidak bisa tertawa lagi.”<br />
<br />
Kami semua, anak-anak ayah, juga ibu menjadi saling berpandangan. Entah harus bagaimana menghadapi kenyataan seperti yang ayah katakan. Di antara semuanya, mungkin saya yang merasa paling terpukul. Karena seminggu sebelum ini, saya pernah menganjurkan ayah untuk tertawa terus sepuas-puasnya, sampai air matanya bisa keluar. Ayah sendiri menuruti apa yang saya anjurkan, hari-harinya ia habiskan untuk tertawa-tawa di depan buku-buku dan film-film humor. Kupingnya lengket di tape recorder, mendengarkan banyolan dan lagu-lagu lawak. Tapi belum sempat ayah mengeluarkan air mata dari tertawanya, kini ia harus kehilangan semua tawanya.<br />
<br />
Melihat kebingungan kami, ayah tampak serba salah. Setelah mengucapkan selamat malam, ia pun meninggalkan kami di meja makan. Oh, apakah ayah telah menjadi sufi tanpa ia sendiripun tahu, batin saya. Atau hati ayah kosong dari darah dan telah mengempes di dalam tubuhnya. Atau apakah ayah hanya menambah-nambah sandiwara yang ia lakonkan untuk keluarganya. Soalnya saya pernah beberapa kali bermimpi memergoki ayah sedang menangis karena ia menyadari ketegaannya membohongi istri, anak dan cucu-cucunya dengan mengatakan bahwa ia tidak bisa menangis, tetapi sejenak kemudian tertawa-tawa karena sukses berbohong di depan istri, anak dan cucu-cucunya.<br />
<br />
Dengan rasa penasaran saya pun meninggalkan ruang makan menuju kamar ayah. Di langkah-langkah saya yang sengaja dilambatkan, terbayang kemungkinan buruk ayah di masa depan. Setelah kehilangan air mata, tawa, akankah ayah kehilangan heran, rasa terkejut dan rasa adanya. Kemudian kehilangan dimensi-dimensi dan ruang waktu kemanusiaannya.<br />
<br />
Lewat lubang kunci saya melihat ayah mencari-cari sesuatu di atas buffet. Kemudian saya lihat Al-Quran di genggamannya, dilihat-lihatnya sejenak, lalu disimpannya kembali di atas buffet. Ayah berjalan menuju pintu.<br />
<br />
“Apakah ayah tidak tergetar untuk membacanya?” tanya saya sewaktu ayah muncul di muka pintu.<br />
<br />
“Ayah sudah tak punya getar lagi,” jawab ayah.kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-54531346758059225872011-01-10T06:52:00.001-08:002011-01-10T06:52:23.167-08:00Marni! Oh, Marni!Oleh : Palti R Tamba<br />
<br />
Sebuah truk berhenti jauh di depan sana. Truk dengan atap terpal. Semula Nawar, mengira truk itu hendak berhenti di halte, karena itu ia terjaga. Ia mencurigai cara perhentian kendaraan itu. Maka ia pun bersiap-siap melarikan diri.<br />
<br />
Namun Nawar terlambat kabur. Tak terduga olehnya, dua lelaki berseragam sudah berada di sebelahnya. Mereka memegang tangannya kuat-kuat. Mereka menggiringnya.<br />
<br />
”Hayo Cepat!” bentak salah seorang sambil menghentakkan lengan Nawar.<br />
<br />
Nawar menatap mereka dengan rasa takut. Meskipun tidak jelas benar terlihat olehnya. Seorang di kiri dan seorang lagi di kanannya. Ia tak tahu hendak berkata apa.<br />
<br />
”Apa yang kau lihat, goblok!” Yang di kiri mementung kepalanya.<br />
<br />
Nawar meringis. Kedua tangannya meregang. Dalam hati ia berdoa semoga mereka lengah, sehingga ia bisa melarikan diri. Ya, untuk menyembunyikan diri entah di mana saja. Meskipun sebenarnya, ia tak mengenal daerah ini.<br />
<br />
”Kau kira ada hakmu untuk mengenali kami, hah…?”<br />
<br />
Nawar menatap lelaki di kanannya. Lelaki itu melihat lurus ke depan. Namun, lelaki di sebelah kiri mementung kepalanya lagi.<br />
<br />
”Apa, heh?… Kau pikir kau ini siapa…?” tantangnya. ”Barangkali dia pikir dia dapat menuntut kita, Pak Kadim. Dasar anak gelandangan…!”<br />
<br />
Anak gelandangan? Nawar membatin. Aku anak gelandangan?…<br />
<br />
”Ayo, cepat! Kami bisa dipecat kalau sampai tamu-tamu negara sempat melihat orang-orang seperti kau!… Dan, aku tak sabar lagi untuk menemani Marni, Pak Kadim…!”<br />
<br />
”Tapi, Pak Bobi! Giliran kau menyetir sekarang…!”<br />
<br />
”Begitu…?”<br />
<br />
”Ya, pembagian tugas tetap berjalan, kawan. Jangan ketika kita mendapat kembang kau lupa. Ha, ha… Sekarang aku yang menemani Marni, Pak Bobi…!”<br />
<br />
Pak Kadim memasangkan borgol di kedua pergelangan tangan Nawar. Lalu lelaki berseragam itu menarik remaja kencur itu ke dalam truk.<br />
<br />
Pak Kadim menyenteri muka Nawar, lalu muka setiap orang dalam truk. Namun ketika sinar senter menerpa muka seorang lelaki tua, ia menyuruhnya mendekat. Lelaki berseragam itu membuka satu borgol di pergelangan Nawar, lalu memasangkannya ke pergelangan tangan si tua itu. Ia pun turun dengan tenang tanpa berkata apa-apa. Ia cuma bersiul.<br />
<br />
Truk pun melaju. Dalam truk, ada enam lelaki. Tiga di antaranya anak-anak, tapi ada lebih banyak perempuan. Anak-anak, remaja dan perempuan dewasa.<br />
<br />
Nawar sebisanya melihati muka mereka. Samar-samar. Marni, di mana kau berada? Kaukah yang mereka percakapkan? Bisik hatinya.<br />
<br />
”Kau mencari siapa, Nak…?” tanya lelaki tua—teman satu borgolan, pelan.<br />
<br />
”Marni….” Remaja kencur itu mengangguk. Angin malam mencubit-cubit kulit.<br />
<br />
Truk tiba-tiba direm, orang-orang yang berdiri ada yang terjerembab. Dua perempuan terjatuh bagai batang tebu ditebas golok tajam. Si lelaki tua terkekeh-kekeh. Kedua perempuan itu secara spontan melontarkan sumpah serapah berkali-kali kepada dua lelaki berseragam di jok depan.<br />
<br />
”Kau mencari siapa, Nak…?” Si lelaki tua kembali menanya Nawar.<br />
<br />
”Marni, Pak, eh, Kek..,”<br />
<br />
”Marni yang mana…?”<br />
<br />
Nawar menghela nafas, meragu. Marni yang mana?… Ada berpuluh-puluh Marni di kota ini… Atau mungkin ada beratus-ratus Marni di kota ini?… Kota apakah ini sehingga mengumpulkan berpuluh-puluh, beratus-ratus orang bernama Marni?…<br />
<br />
Si lelaki tua menatap Nawar dekat-dekat. Si lelaki tua lainnya dan istrinya mendekatinya. Sementara yang lainnya larut dalam diam, seolah bisu, buta dan tuli.<br />
<br />
”Tak usah takut, Nak…,” kata lelaki tua itu. ”Kita ini dibawa ke rumah penampungan. Biasalah…. Dikasih—apa istilahnya?—pengarahan…. Dipulangkan…. Ya…. Beberapa hari berikutnya, kita datang lagi….”<br />
<br />
Si lelaki tua beristri mendekatkan muka ke muka Nawar. ”Sepertinya aku pernah bertemu kau…. Dari tadi aku mengingat-ingat… sejak mukamu disenteri petugas itu…!”<br />
<br />
”Bapak… eh, Kakek pernah bertemu saya…?” tanya Nawar.<br />
<br />
”Ii-iya. Di tanah lapang!… Aku tak tahu nama tempat itu, tapi…. Waktu itu, di tempat itu ada orang bermain bola kaki…. Aku dan istriku ada di situ…!”<br />
<br />
Waktu itu? Nawar menggigit bibir. Ia tak mengingatnya.<br />
<br />
”Aku membawa kantong plastik hitam besar. Kami diberi orang nasi kotak berisi ayam goreng. Kami mengajak kau makan. Tapi kau menolak…. Iya kan…?”<br />
<br />
Sungguh. Nawar tak pernah melihat pasangan orangtua ini sebelumnya. Namun, ia pun tak jelas ingat sejak kapan di kota ini…. Dua hari lalukah? Seminggu lalukan?… Oh! Ia bahkan merasa sudah berbulan-bulan meninggalkan kampung di Brebes sana.<br />
<br />
”Kenapa? Belum ingat…?” kata si lelaki tua beristri. ”Tidak apa-apa….”<br />
<br />
”Ti-dak pernah, Pak, eh Kek….”<br />
<br />
Truk melalui jalan yang terang benderang. Di kiri dan kanan jalan gedung-gedung perbelanjaan bermandikan cahaya lampu. Terang benderang, seperti pada siang hari. Nawar bersama si lelaki tua dan beberapa orang lainnya bergeser ke tepi bak truk untuk melihat ke luar: gedung-gedung, bermacam-macam billboard, mobil-mobil dan orang-orang yang berjalan kaki. Ada bapak dan ibu menggandeng dua anaknya menyeberang jalan di sebelah sana. Ada anak-anak kecil mengamen di jalan sebelah sini ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Namun, anak-anak itu berlarian sesaat melihat truk itu.<br />
<br />
Kemudian truk itu berbelok ke kiri. Kira-kira sejauh satu kilometer, berbelok ke kanan lagi. Memasuki jalan yang sepi. Ada tiang-tiang lampu jalan, tapi lampunya tak menyala. Dan truk pun berhenti. Dan beberapa menit kemudian Nawar mendengar suara-suara perempuan. Terdengar pula besi palang truk dilepas.<br />
<br />
”Aku tak mau, Pak…”<br />
<br />
”Akan dibawa kemana kami, Pak..?”<br />
<br />
Nawar melihat empat perempuan dipaksa naik ke truk. Bau parfum mereka yang khas seperti menyambut penciuman Nawar. Setelah mereka naik, si lelaki berseragam itu memasang borgol di tangan mereka. Bagai domba yang dibawa ke pembantaian, perempuan-perempuan itu tak melawan.<br />
<br />
Lelaki berseragam itu turun, lalu memasang besi palang truk. Dan truk melaju lagi. Keempat perempuan itu saling berpegangan.<br />
<br />
”Marni yang mana yang kau maksud, Nak? Aku bisa memberitahumu…?” suara si lelaki tua, lagi.<br />
<br />
”Ya, mungkin aku kenal juga…” tambah lelaki tua beristri, melihat istrinya.<br />
<br />
”Kami…,” ralat istrinya seraya mencubit lengannya.<br />
<br />
”Ya, ya. ka-mi….”<br />
<br />
Nawar mendekatkan muka ke sisi lelaki tua dan perempuan tua itu. ”Kakak saya…. Dimana dia kini, Kek? Saya mau ber….”<br />
<br />
”Kakak kau, Nak…?” tanya ketiga orang tua itu, bersamaan.<br />
<br />
”Ya…,”<br />
<br />
Lelaki tua itu menggeleng. Lelaki tua beristri menggeleng, diikuti istrinya.<br />
<br />
”Aku ini Marni…!” terdengar tiba-tiba.<br />
<br />
Nawar, si lelaki tua, lelaki tua beristri dan istrinya dan orang-orang lainnya melihat seorang perempuan mendekat dengan mendekapkan tangan ke dadanya. Samar-samar.<br />
<br />
”Tapi, aku Marni dari Kemakmuran…!” katanya dengan suara berat.<br />
<br />
”Dari Jalan Kemakmuran, Sayang!” ralat temannya dengan suara berat juga.<br />
<br />
”Ya, ya, Sayang….”<br />
<br />
Bencong? Nawar sering menonton bencong di tv, entah dalam acara lawak ataupun sinetron. Dan sekarang, ada di hadapannya. Mereka persis perempuan. Tapi suara yang berat itu jelas milik lelaki!….<br />
<br />
”Kau ini perempuan apa laki-laki?” tanya lelaki tua itu.<br />
<br />
”Ai, ai, kota lontong!…. Sudah truk larinya tak karuan, ditanya macam-macam lagi, ya, Sayang,” ujar seorang dari bencong itu. Dia memeluk temannya karena hampir terjerembab. Lalu kedua bencong itu berpegangan ke tepi bak truk. Berlompatan sumpah serapah dari mulut mereka.<br />
<br />
Si lelaki tua mengajak Nawar duduk. Nawar menaruh matanya ke langit sana. Namun kemudian, setelah menaikkan kedua lututnya dan menaruh kepalanya di situ, Nawar memejamkan mata. Lambat-laun, Nawar merasa ada air mata yang keluar dari sudut-sudut kelopak matanya.<br />
<br />
Seingat Nawar, seturun dari bus, ia dan Marni ke luar terminal. Marni mengirim SMS ke majikannya yang perempuan. Di luar terminal itu, mereka menunggu sang majikan yang akan datang menjemput. Tapi kemudian seorang lelaki mendekati Marni. Marni bercakap-cakap girang dengan lelaki itu. Marni memperkenalkan pacarnya itu kepada Nawar sebagai sopir yang khusus mengantar jemput anak-anak majikan mereka ke dan dari sekolah, serta ke mana pun. Ya, Marni pernah cerita pada Nawar tentang lelaki itu yang mengirim SMS menanyakan kepulangannya. Lalu, lelaki itu mengajak Marni dan Nawar masuk mobil. ”Supaya kita jangan kemalaman tiba di rumah,” kata lelaki itu.<br />
<br />
Seingat Nawar, Marni sempat menanyakan mobil yang dikemudikan lelaki itu. Karena mobil itu bukan mobil yang biasa dikemudikan lelaki itu. ”Mobil sedang di bengkel,” demikian jawab si lelaki.<br />
<br />
Mereka pun meninggalkan terminal. Di tengah jalan agak sepi, mobil berhenti, dan naik dua lelaki lagi. Nawar mendengar Marni menanyakan sang pacar tentang dua lelaki yang baru naik itu. ”Teman. Mereka numpang karena searah,” jawab lelaki itu.<br />
<br />
Kira-kira lima menit berlalu, mobil itu mengambil jalan ke pinggir dan dengan kecepatan lambat. Marni yang duduk di jok depan diajak si pacar bercakap-cakap terus. Nawar yang semula duduk di sebelah dalam di jok tengah, disuruh pindah oleh dua lelaki yang duduk bersamanya itu ke pintu kiri. Kemudian seorang dari mereka membuka pintu pelan-pelan. ”Aku kegerahan,” katanya. Dan semakin lebar. Dan tiba-tiba, dua lelaki itu mendorong Nawar keluar.<br />
<br />
Seingat Nawar, ia menjerit-jerit minta tolong, tapi ia pun tak berhasil mengenali mobil yang mereka tumpangi itu.<br />
<br />
Nawar terbayang bagaimana Marni membujuknya agar ikut ke kota besar ini selepas lebaran. Majikan Marni telah menyetujui Nawar dibawa serta. Mendengar cerita Marni tentang kebaikan majikannya, sebenarnya Nawar merasa biasa saja. Walaupun tak bisa ia pungkiri ada keinginan terpendam untuk melihat kota besar ini. Karena selama ini, ia hanya melihat lewat siaran tv milik tetangga. Bapak membujuk, Nawar bergeming. Namun ijin ibu-lah yang membuat Nawar luluh. Ibu yang berjanji akan menggembalakan tiga ekor kambingnya itu. Bapak yang akan menggantikan Ibu bila Ibu mendapat kerja upahan. Bapak akan membagi waktunya untuk menarik becak dan menggembalakan ternak itu.<br />
<br />
”Sampai lebaran tahun depan tak lama, Nak. Asal rajin dan tekun, kau akan pulang bawa uang. Bisa buat biaya adikmu Agus menyambung SD nya dan biaya Tini masuk SD. Kalau kau rindu kami, kan ada kakakmu…. Bila matahari di ufuk barat, ingatlah bahwa Ibu atau Bapakmu sedang membawa kambingmu ke kandang….!” kata ibu malam itu….<br />
<br />
Cikarang Selatan, Juni 2006<br />
<br />
Palti R Tamba (9 September 2007)kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-6403246354089785332011-01-10T06:39:00.001-08:002011-01-10T06:39:28.355-08:00Gincu Ini Merah, SayangOleh :Eka Kurniawan<br />
<br />
<br />
<br />
Seorang perempuan dengan gincu serupa cahaya lampion melangkah menuju pintu bar Beranda. Di saat yang sama lima buah pick-up berhenti tepat di depan gerbang. Di masa lalu, hal seperti ini biasanya lebih dulu diketahui sehingga gadis-gadis yang bekerja di bar memiliki waktu lebih luang untuk bersembunyi atau pulang. Para petugas menyerbu masuk dan seketika terdengar jeritan gadis-gadis, serta para pelanggan yang lari berhamburan. Yang tak diduga Marni, nama perempuan bergincu itu, lima petugas tiba-tiba menghampiri dirinya, sebelum menangkap dan membawanya ke pick-up.<br />
<br />
Aku hanya seorang ibu rumah tangga,” katanya, setelah keterkejutannya reda.<br />
<br />
“Katakan itu nanti kepada suamimu,” seorang petugas menjawab.<br />
<br />
Ini pasti malam yang buruk, pikirnya. Para petugas itu bicara mengenai peraturan daerah tentang pelacuran dan memperlakukannya seolah-olah ia pelacur. Dalam hatinya, ia mengakui pernah menjadi pelacur, tapi malam ini ia berani bersumpah bahwa dirinya hanya seorang ibu rumah tangga. Ia belum punya anak memang, Tuhan belum memberinya, tapi ia punya suami. Para petugas tak menggubris soal itu. Menurut mereka, semua pelacur selalu merasa punya suami dan mengaku hanya seorang ibu rumah tangga.<br />
<br />
Bersama gadis-gadis dari bar, mereka membawanya ke kantor polisi dan memperoleh interogasi sepanjang malam. Ia meminta gadis-gadis itu membantunya meyakinkan para petugas bahwa dirinya bukan bagian dari mereka. Tapi tiga tahun berlalu dan ia tak lagi mengenali gadis-gadis itu, demikian pula mereka tak mengenalinya. Semuanya gadis baru dan ia tak menemukan teman-teman lamanya di antara mereka. Gadis-gadis itu tak punya gagasan tentang siapa perempuan itu dan apa yang dilakukannya di pintu Beranda pada pukul setengah dua malam.<br />
<br />
Menjelang subuh, tanpa tertahankan Marni akhirnya menangis. Ia kembali memohon minta dibebaskan, berkata bahwa suaminya pasti akan merasa kehilangan dan barangkali kini tengah mencari-carinya. Seorang petugas, dengan mulut yang sinis, berkata, “Jika benar kamu punya suami, besok pagi ia akan menjemputmu.”<br />
<br />
“Tetapi, suamiku tak tahu aku ada di sini,” katanya.<br />
<br />
“Jadi, kamu jual dirimu tanpa suamimu tahu, heh?”<br />
<br />
Sejujurnya ia sungguh tersinggung dengan ucapan tersebut. Ia kembali berpikir, barangkali ini memang malam buruknya. Beruntunglah menjelang pagi seorang perempuan dari dinas sosial berbaik hati menghubungi suaminya. Setelah bicara dengan Rohmat Nurjaman, suami Marni, perempuan dari dinas sosial itu kemudian berbaik hati mengantarkan Marni pulang. Penuh rasa syukur Marni mencuci muka, menaburkan bedak yang dipinjam dari seorang gadis bar ke mukanya, dan memoleskan gincu ke bibirnya. Ia akan pulang dan bertemu kembali dengan suaminya.<br />
<br />
Namun, sesampainya di rumah, selepas kepergian perempuan yang mengantarnya, Marni dihadapkan pada keadaan yang tidak lebih baik. Di atas sofa, tergeletak koper berisi barang-barangnya. Rohmat Nurjaman berdiri di pintu kamar, memandang wajah istrinya, terutama gincu di bibir Marni dengan sejenis tatapan kau-laksana-perempuan-binal, berkata pendek, “Sebaiknya kita bercerai saja.”<br />
<br />
Marni ingin menjelaskan, tetapi tak tahu apa yang harus dijelaskan. Dan, Rohmat Nurjaman tampaknya tak menginginkan penjelasan.<br />
<br />
Sebenarnya Rohmat Nurjaman tak suka melihat istrinya mempergunakan gincu. Tapi jika ia melarangnya, dan kemudian mengemukakan alasannya, ia khawatir itu akan menyinggung perasaan istrinya. Marni pasti tak suka jika kepadanya ia berkata, “Dengan gincu itu kau tampak serupa pelacur.”<br />
<br />
Masalahnya, ia memang menemukan istrinya di satu tempat remang-remang beberapa tahun lalu. Tentu saja itu masa lampau dan mereka telah bersepakat melupakannya. Itu masa-masa ketika Rohmat Nurjaman bersama tiga temannya menghabiskan malam-malam di beberapa bar dangdut yang berserakan di sepanjang Jalan Daan Mogot. Di sanalah Rohmat Nurjaman berkenalan dengan Marni.<br />
<br />
Awalnya hubungan mereka merupakan pertemuan ganjil antara pelanggan dan pelayan. Seperti semua orang tahu, gadis-gadis yang bekerja di tempat serupa itu selalu akan mempertahankan pelanggannya agar tidak diambil gadis lain. Ini menyangkut penghasilan tambahan mereka yang kenyataannya lebih besar daripada upah yang dibayarkan pemilik bar. Tak jarang timbul cekcok di antara gadis-gadis itu jika seorang dari mereka menyerobot pelanggan milik gadis lain. Biasanya ini terjadi dengan gadis baru atau pelanggan yang lama tak muncul.<br />
<br />
Bagi pelanggan sendiri, paling tidak bagi Rohmat Nurjaman kala itu, kecenderungan gadis-gadis tersebut juga menguntungkannya. Ini memberinya jaminan setiap kali datang ke bar tersebut, ia akan memperoleh seorang gadis. Percayalah, tak menyenangkan berada di tempat serupa itu, dengan biduan bernyanyi di atas panggung kecil dan bir di atas meja, tanpa seorang gadis bergelayut di sampingmu.<br />
<br />
Begitulah, setiap kali ia datang ke Beranda, salah satu bar dangdut di daerah tersebut, Rohmat Nurjaman akan ditemani Marni. Bisa dihitung dengan jari kunjungan Rohmat Nurjaman tak membuatnya bertemu dengan Marni. Biasanya itu terjadi saat jatuh hari libur si gadis, atau si gadis meriang, atau pulang kampung ke Banyumas.<br />
<br />
Hubungan ini berkembang menjadi sejenis keseriusan yang menjadi candu. Di siang hari yang penat, dengan udara yang membosankan, sekonyong Rohmat Nurjaman menemukan dirinya mengirimkan pesan pendek kepada gadis itu, “Kamu sedang apa? Nanti malam jangan sama yang lain, aku akan datang.”<br />
<br />
Dan suatu pagi, Rohmat Nurjaman menemukan pesan dari si gadis di layar telepon genggamnya, “Mas, nanti malam datang tidak? Aku kangen.”<br />
<br />
Tentu saja bukan waktu yang singkat dalam hubungan mereka yang semacam itu, jika kemudian Rohmat Nurjaman memutuskan mengeluarkan gadis itu dari bar Beranda sekaligus meminangnya. Rohmat Nurjaman pergi ke pedalaman Banyumas ditemani ketiga temannya. Di sana ia menikahi Marni, sebelum membawanya kembali ke Jakarta dan tinggal di sebuah rumah mungil agak di luar kota.<br />
<br />
Ternyata itu bukan perkawinan yang mudah. Pada hari-hari pertama perkawinan mereka, Rohmat Nurjaman sering didera mimpi melihat istrinya ditiduri para pelanggan lain di kamar-kamar Beranda. Karena Rohmat Nurjaman tahu di suatu masa mimpinya merupakan kebenaran, ia sering dilanda kecemburuan begitu terbangun dari tidur. Marni juga didera khayalan yang mengganggu, membayangkan suaminya pergi ke Beranda dan meniduri gadis lain. Ini pun pernah terjadi dan mereka berdua tahu.<br />
<br />
Kecemburuan itu membawa mereka pada pertengkaran kecil, yang lalu diselamatkan oleh cinta. Suatu hari, di bulan ketujuh belas pernikahan mereka, keduanya berjanji untuk tak lagi mengenang masa lalu dan mengubur habis semua kecemburuan. Setelah itu segalanya berjalan lebih baik.<br />
<br />
Kecuali gincu di bibir Marni.<br />
<br />
Ia belajar mempergunakan gincu dari Maridah, perempuan yang saat itu paling tua di bar. Maridah pulalah yang membawanya dari Cibolang, sebuah nama yang tak ada di peta dan hanya akan disebut sebagai “di pedalaman Banyumas”. Banyak gadis-gadis di awal belasan tahun telah dibawa Maridah ke Jakarta dari tempat itu. Sejak awal mereka tahu akan bekerja di bar-bar semacam Beranda, tetapi Maridah meyakinkan mereka dengan berkata, “Kamu tak perlu jadi pelacur di sana, cukup melayani pelanggan minum bir.”<br />
<br />
Awalnya memang begitu, tetapi tidak benar-benar begitu. Para pelanggan itu tak hanya ingin dilayani menuangkan bir ke gelas mereka, tetapi minta didampingi. “Temani saja,” kata Maridah. Jadi, ia duduk di samping mereka, ikut minum dan makan cemilan, dan sesekali ikut nimbrung dalam obrolan mereka. Itu tak seberapa jika tangan para lelaki pelanggan itu bisa diam. Jemari mereka cenderung bergerak, awalnya hanya menyentuh tangan, lama-lama merayap ke segala arah.<br />
<br />
Belakangan ia mulai belajar dengan cara itulah ia bisa memperoleh uang lebih banyak. Dan, kemudian tahu, jika ingin memperoleh lebih banyak lagi, ia mesti tidur dengan mereka. Lima bulan selepas itu Marni kehilangan keperawanannya dan hidupnya terus berjalan dari malam ke malam hingga ia berjumpa dengan Rohmat Nurjaman.<br />
<br />
Dalam hal-hal tertentu, Rohmat Nurjaman tak berbeda dengan pelanggan lain yang gemar menjamah. Bahkan, lebih buruk karena kadang membayar lebih sedikit. Tetapi, dalam perkara lain, ada hal-hal berbeda yang disukai Marni. Tidak seperti pelanggan lain yang buru-buru mengajak ke lantai atas menjelang pukul lima, di mana terdapat kamar-kamar untuk telanjang, Rohmat Nurjaman lebih suka membawanya keluar selepas bar tutup.<br />
<br />
Mereka akan mencari motel dan itu berarti Marni tak perlu berbagi penghasilannya dengan pemilik bar. Itu bukan satu-satunya yang menyenangkan buat Marni. Di motel mereka tak merasa perlu buru-buru, mereka bisa bermalas-malasan hingga pukul dua belas siang. Mereka juga bisa berjalan-jalan di siang hari selepas itu, mencari sarapan yang terlambat. Apa boleh buat, itu membuat mereka lambat-laun mulai jatuh cinta satu sama lain.<br />
<br />
Sejarah kecil itu diketahui sepenuhnya oleh Rohmat Nurjaman.<br />
<br />
Tiga tahun usia perkawinan mereka, namun Rohmat Nurjaman masih merasa sesuatu mengganjal dalam kehidupannya. Itu adalah gincu di bibir istrinya. Gincu yang sama sebagaimana ia pernah melihatnya di keremangan bar Beranda. Memang ketika mereka mengikrarkan pernikahan, keduanya telah berjanji untuk menjalani hidup baru sebagai suami dan istri, bukan pelayan bersama pelanggannya.<br />
<br />
Tetapi, Marni masih mempergunakan gincu yang sama dan dengan cara yang sama. Rohmat Nurjaman ingin melarangnya, tapi berpikir jika ia melakukannya, itu hanya akan mengingatkan kepada masa-masa mereka di bar. Dari pagi ke pagi, dari senja ke senja, gincu itu semakin mengganggunya. Hingga akhirnya Rohmat Nurjaman mulai bertanya-tanya apa yang dilakukan istrinya sementara ia pergi bekerja.<br />
<br />
Rohmat Nurjaman tak pernah berhasil membuktikan kecurigaan atas istrinya. Bahkan, meskipun beberapa kali ia sengaja mendadak pulang, ia selalu menemukan istrinya ada di rumah, menunggunya. Hingga suatu pagi seorang perempuan dari dinas sosial meneleponnya dan ia merasa memperoleh bukti untuk kemudian menghukumnya tanpa ampun dengan sebaris kalimat pendek:<br />
<br />
“Sebaiknya kita bercerai saja.”<br />
<br />
Tak ada tempat untuk pergi kecuali ke Beranda. Pemilik bar masih mengenalinya dan memperbolehkan Marni untuk kembali bekerja di sana.<br />
<br />
Di tempat itu ingatannya kepada Rohmat Nurjaman malah menjadi-jadi. Saat menemani seorang pelanggan, ia akan mengenang masa ketika mereka bicara tentang banyak hal. Kebanyakan tak dimengertinya, tapi dengan senang hati ia mendengarkan, dan Rohmat Nurjaman tak pernah menuntutnya untuk mengerti. Suatu ketika Rohmat Nurjaman berkata kepadanya, “Banyak perempuan di luar sana, beberapa pernah jadi pacarku, gemar bicara padahal mereka tak mengerti apa pun.”<br />
<br />
Ia merasa itu pujian untuknya. Tetapi, saat paling membahagiakan dalam hidupnya adalah malam ketika Rohmat Nurjaman berkata:<br />
<br />
“Rasanya aku mencintaimu.”<br />
<br />
Sejak itu ia mulai sering berdandan setiap tahu akan bertemu Rohmat Nurjaman. Ia tak tahu banyak hal untuk diberikan kepada kekasihnya, kecuali memamerkan senyum yang tulus berhias gincu.<br />
<br />
Hingga tiga tahun perkawinan mereka dan Marni mendapati suaminya berubah. Rohmat Nurjaman sering tak pulang dan tak lagi mencumbunya dengan kegairahan seorang lelaki cabul. Barangkali aku tak lagi cantik, pikirnya. Barangkali karena tak juga kami punya anak, katanya kepada diri sendiri. Atau barangkali suaminya pergi kembali ke Beranda dan menemukan gadis yang lebih manis di sana? Barangkali gadis itu masih empat belas tahun dan mengoleskan gincu lebih tebal di bibirnya? Marni merasa panas namun mencoba membuang kecurigaan tersebut. Meski begitu, suatu malam ketika suaminya tak juga muncul selewat pukul dua belas dan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya tak pula menemukan jawaban, perempuan itu memutuskan keluar rumah.<br />
<br />
Marni memoleskan gincu ke bibirnya, percaya itu akan membuat Rohmat Nurjaman kembali ke pelukannya. Ia menghentikan sebuah taksi dan minta diantar ke Beranda. Di sana, atas nama peraturan daerah tentang pelacuran, lima orang petugas menangkap Marni. Sejujurnya ia mulai menganggap semua itu hukuman untuknya, yang telah berburuk sangka suaminya pergi ke Beranda untuk meniduri perempuan lain. Menurut dia, itu malam buruk yang diawali pikiran buruk dan ia sungguh menyesal.<br />
<br />
Kini, kembali bekerja di bar tersebut, Marni terus memelihara keyakinan bahwa suatu malam suaminya akan muncul, lalu mereka akan memulai semuanya dari awal. Dalam penantiannya, ia masih kukuh pada janji yang tak pernah diucapkannya. Ia tak mengenakan gincu. Seorang gadis dua belas tahun yang baru bekerja di sana pernah menanyakan mengapa ia tak bergincu, dan Marni menjawab:<br />
<br />
“Gincu ini merah, Sayang, dan itu hanya untuk suamiku.”<br />
<br />
Memang sejak ia jatuh cinta kepada Rohmat Nurjaman, apalagi setelah mereka menikah, ia tak pernah membuat merah bibirnya untuk lelaki lain.kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-90316606152314154172011-01-10T06:35:00.001-08:002011-01-10T06:35:48.009-08:00Kursi Empuk di Dada SumartiOleh :Pamusuk Eneste<br />
<br />
<br />
<br />
Ketika kaum kerabat, handai tolan, kenalan, dan tetangga satu per satu meninggalkan rumah duka, tahulah Sumarti bahwa ia akan sendirian. Sumarti akan menjalani sisa hidupnya seorang diri. Ditemani pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan penjaga malam. Itu pun sepanjang Sumarti mampu membayar mereka setiap bulan.<br />
<br />
Sesekali putri, menantu, dan cucunya akan datang berkunjung.<br />
<br />
“Nuwun sewu…,” terdengar suara pembantu Sumarti.<br />
<br />
Sumarti menoleh.<br />
<br />
“Makan malam sudah siap, Nyonya.”<br />
<br />
“Ya, sebentar. Saya mandi dulu.”<br />
<br />
Sumarti menuju kamar mandi. Ingin mengguyur badannya yang sedari tadi terasa gerah dan berkeringat. Mumpung malam belum larut.<br />
<br />
Sumarti mulai memereteli baju luarnya yang berwarna hitam. Tatkala sampai pada penutup dada, Sumarti terkesiap. Ternyata secarik kertas bertengger di dadanya. Bagusnya kursi empuk itu….<br />
<br />
Lha, kursi empuk? Kursi empuk mana? Yang di kantor atau yang di rumah? Di rumah Sumarti banyak kursi empuk. Ada di ruang baca. Ada di ruang tamu. Ada di ruang makan. Belum lagi di teras depan dan teras belakang. Kalau kursi empuk di kantor, bagaimana pula prosedurnya? Bagaimana mungkin kursi parlemen dibeli? Oalah…!<br />
<br />
Serampung mandi malam, Sumarti ingin sekali menelepon seseorang. Sekadar berbagi rasa. Sumarti ingin menceritakan keinginan almarhum yang tercantum dalam wasiat itu.<br />
<br />
Sumarti bergegas ke tempat telepon di ruang keluarga. Di tempat telepon itu Sumarti bergeming. Hendak diraihnya gagang telepon, tetapi tangannya serasa diikat. Sumarti pikir, kalau ia menelepon orang itu, mungkin kabar itu akan menyebar ke mana-mana bak air bah dari gunung.<br />
<br />
Sumarti pindah ke sofa. Ditimang-timangnya kertas kecil yang berasal dari dadanya itu. Ia kenal betul tulisan itu. Itu pasti goresan serta tanda tangan almarhum suaminya. Bagusnya kursi empuk itu dimasukkan ke dalam tanah….<br />
<br />
Sumarti menyandarkan bahunya di sofa. Ditatapnya tulisan tangan almarhum dalam-dalam. Ia paham maksudnya, namun tak tahu cara mewujudkannya.<br />
<br />
Ada satu hal yang mengherankan Sumarti. Kenapa secarik kertas itu baru diketahuinya ketika acara penguburan telah usai? Kenapa wasiat itu baru ditemukan Sumarti setelah kembali dari pemakaman, padahal almarhum ingin, surat ini dibaca begitu aku mengembuskan napas terakhir, jangan setelah aku di dalam tanah?<br />
<br />
Sumarti menjadi serba salah. Ia merasa kesiangan membaca pesan almarhum. Ia baru memergoki wasiat almarhum setelah kaum kerabat, handai tolan, dan kedua putrinya serta kedua menantunya kembali ke rumah masing-masing.<br />
<br />
Duh, Gusti!<br />
<br />
Kepala Sumarti serasa mau pecah.<br />
<br />
Sumarti ingin mengabari kaum kerabatnya. Ingin memberi tahu mereka perihal permintaan almarhum. Lantas ingin mendengar nasihat mereka.<br />
<br />
Sumarti mendekati telepon yang ada di meja kecil. Dia raih gagang telepon, namun Sumarti terpana sejenak. Bukankah ia akan dibilang bodoh kalau mengungkapkan keteledorannya pada kaum kerabat? Bukankah kaum kerabat akan menertawakan kealpaannya?<br />
<br />
Sumarti bimbang. Dijauhinya telepon dan kembali ke sofa.<br />
<br />
Sumarti merasa pusing tujuh keliling. Mestinya dari tadi dia menemukan wasiat itu dan membicarakannya dengan kaum kerabat, ketika belum berlangsung upacara penguburan. Kini semua orang sudah berlalu. Memang Sumarti sering mengamini kata orang bijak, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Namun, Sumarti pun sadar, mengumpulkan kaum kerabat, handai tolan, dan keluarga dekat bukanlah sekadar membalik telapak tangan.<br />
<br />
Sumarti melonjorkan kakinya. Sumarti mengatupkan matanya sembari menyesali diri. Ia coba melupakan wasiat itu, tetapi yang muncul adalah wajah almarhum. Kalau bisa, kursi empukku ditaruh di samping jasadku.<br />
<br />
Setahu Sumarti, surat wasiat lazimnya berisi pembagian harta untuk orang yang masih hidup. Ini malah mengenai kursi empuk segala yang harus dibawa ke dalam kubur. Namun, Sumarti terpaksa mengurut dada karena yang menulis surat wasiat adalah almarhum suaminya.<br />
<br />
Sumarti ingin menghubungi kedua putrinya. Siapa tahu mereka bisa berbagi rasa. Sumarti yakin, anak-anaknya pasti akan menolongnya. Paling tidak meringankan bebannya.<br />
<br />
Meski Endang Setianingrum dan Esti Setianingsih sudah membelikan telepon genggam, Sumarti tak pernah mau menggunakannya. Kedua telgam itu hanya menjadi penghuni lemari Sumarti. “Ibu kuno,” kata kedua putrinya.<br />
<br />
Sumarti tak sakit hati dicap kuno. Bagi Sumarti lebih sreg menerima dan menelepon secara tradisional. Tidak perlu beli pulsa. “Boros,” katanya, “mendingan uangnya aku tabung.” Jadilah Sumarti tetap lebih asyik dengan telepon-rumah. Sumarti tetaplah “orang kuno”, menurut istilah kedua putrinya. “Lagi pula, aku tak mau diganggu telepon genggam pada waktu tidur,” kata Sumarti.<br />
<br />
Sumarti kembali mendekati telepon-rumah. Sumarti ingin menelepon putri sulungnya, Endang Setianingrum. Ingin menceritakan permintaan terakhir almarhum, lantas apa yang harus diperbuat. Diraihnya gagang telepon, namun ditaruhnya kembali. Jangan-jangan putrinya malah mencecarnya dengan macam-macam pertanyaan. “Kok Ibu baru menemukannya sekarang? Kok tidak dari tadi menemukan wasiat Bapak itu? Kok Ibu tidak dari tadi-tadi menyadari adanya wasiat itu?” Sejumlah kok lainnya pun meluncur dari mulut putri sulungnya.<br />
<br />
Sumarti tak mau disalahkan. Sebaliknya, Sumarti justru mengharapkan dukungan dari orang-orang terdekat.<br />
<br />
>diaC<<br />
<br />
Sumarti mengurungkan niatnya dan kembali bernadra di sofa.<br />
<br />
Kemudian terpikir oleh Sumarti mengontak putri bungsunya, Esti Setianingsih. Putri keduanya ini mungkin bisa memberi jalan keluar. Sumarti tahu watak putrinya ini. Tidak seketus kakaknya, Endang Setianingrum. Didekatinya kembali telepon. Diraihnya gagang telepon. Diputarnya nomor Esti Setianingsih. Ketika tinggal satu angka lagi, Sumarti serta-merta bergeming. Sayup-sayup, ia mendengar suara putri bungsunya di seberang sana. “Lha, kok Ibu baru tahu wasiat Bapak sekarang. Piye toh, Bu? Piye? Oalah, Ibu ….Ibu.” Bla… bla… bla….<br />
<br />
Sumarti pusing mendengarnya. Ditaruhnya gagang telepon.<br />
<br />
Sumarti kembali ke sofa. Ia tak mau jadi bulan-bulanan putri bungsunya. Lebih baik tak mengabari dia daripada mendengar kata-kata tak senonoh.<br />
<br />
Tebersit pula di benak Sumarti untuk mendiamkan wasiat almarhum itu. Tak perlu memberitahukannya kepada siapa pun, termasuk kaum kerabat. Tak perlu menyampaikannya kepada kedua putri dan kedua menantunya. Toh yang tahu cuma aku dan… Tuhan!<br />
<br />
Entah kenapa, Sumarti merasa tak enak. Sumarti khawatir terjadi apa-apa pada dirinya. Sumarti pernah mendengar kerabatnya berkata, “Kalau kita tak turuti permintaan orang meninggal, rohnya akan mengikuti kita terus ke mana pun kita pergi.”<br />
<br />
Sumarti tak mau diikuti roh suaminya. Sumarti ingin hidup normal. Tak ingin diganggu siapa pun. Sumarti ingin hidup dengan tenang, setenang kehidupan di desanya sebelum ia bertolak ke Jakarta. Tak mengherankan, kebiasaan-kebiasaan dari desa masih terbawa-bawa hingga ke kota metropolis. Salah satu kebiasaan itu adalah menyelitkan sesuatu di dadanya. “Biar tak lupa,” kata Sumarti mengenai kebiasaan itu. “Biar tak diambil orang.”<br />
<br />
Sumarti lupa, kapan wasiat itu disisipkan ke dadanya. Ajaibnya, Sumarti pun tak ingat siapa yang menyelipkan ke dadanya: dia sendiri atau almarhum? Setelah usianya berkepala lima, Sumarti memang menjadi pelupa. Ia pernah mencari kacamatanya, padahal kacamata itu bertengger di kepalanya. Ia pun pernah mencari-cari kunci lemari, padahal kunci itu sedang dipegangnya. Tidak tertutup kemungkinan, almarhumlah yang menyelipkan wasiat itu ke dadanya dalam perjalanan ke rumah sakit—saat almarhum merasa sesak napas dan dadanya sakit? Atau siapa tahu, ketika sedang sekarat di rumah sakit, suaminya lantas buru-buru menyisipkan kertas itu ke dada Sumarti.<br />
<br />
Tak ingat Sumarti sama sekali.<br />
<br />
Sumarti hanya ingat, sejenak sebelum sekarat, almarhum merangkulnya sekelebatan. Sumarti lupa-lupa ingat, apakah almarhum menyelitkan sesuatu atau tidak ke dadanya. Setelah itu, suami tercintanya pun kaku dan rebah di pangkuannya.<br />
<br />
Singgah juga pikiran buruk di kepala Sumarti. Sumarti ingin merobek-robek wasiat almarhum dan mencampakkannya ke tempat sampah. Atau membakarnya sekalian agar tak berbekas. Toh tak ada yang tahu. Namun, Sumarti ketir-ketir juga. Kenalannya pernah berkata, “Tak baik menolak permintaan orang yang sudah mati, nanti hidup kita tak tenang.”<br />
<br />
“Nuwun sewu…,” suara pembantu Sumarti terdengar dari arah belakang.<br />
<br />
“Makan malamnya tambah dingin, Nyonya.”<br />
<br />
Sumarti menoleh ke belakang.<br />
<br />
“Ya, ya, saya akan makan….”<br />
<br />
Malam pun kian merambat di ruang keluarga Sumarti.<br />
<br />
Jakarta, 5 Juni 2007kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-89051937431693402262011-01-10T06:33:00.001-08:002011-01-10T06:33:47.273-08:00Cinta di Atas Perahu CadikOleh : Seno Gumira Ajidarma<br />
<br />
<br />
Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu.<br />
<br />
Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Tentu, bagaimana mungkin kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu?<br />
<br />
Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi.<br />
<br />
“Sukab! Tunggu aku!”<br />
<br />
Di pantai, tiba-tiba terdengar derum suara mesin.<br />
<br />
“Cepatlah!” ujar lelaki bernama Sukab itu.<br />
<br />
Ternyata Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel tersebut, melainkan berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya itu. Hayati berlari begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada mempunyai arti sama sekali. Ia meletakkannya begitu saja di samping gubuknya, lantas berlari kembali ke arah perahu Sukab.<br />
<br />
“Hayati! Mau ke mana?”<br />
<br />
Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat Hayati mengangkat kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati.<br />
<br />
Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam gubuk.<br />
<br />
“Ke mana Hayati, Mak?”<br />
<br />
Nenek tua itu menoleh dengan kesal.<br />
<br />
“Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk malah merestui!”<br />
<br />
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala.<br />
<br />
“Hayati dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia bahagia menikahi Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya.”<br />
<br />
Nenek yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan.<br />
<br />
“Dullaaaaah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab jahanam itu!”<br />
<br />
Lelaki yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar suaranya sambil tertawa dari dalam gubuk.<br />
<br />
“Cabut badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak! Lebih baik cari istri lain! Tapi aku lebih suka nonton tivi!”<br />
<br />
Angin bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu kencang di pantai itu. Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta membara di atasnya.<br />
<br />
Pada akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung camar menghilang, dan perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di pantai sepanjang kampung nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan.<br />
<br />
Menjelang tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian.<br />
<br />
“Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa.”<br />
<br />
“Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia.”<br />
<br />
“Oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya.”<br />
<br />
Nenek itu memaki.<br />
<br />
“Istri orang di perahu suami orang! Keterlaluan!”<br />
<br />
Namun ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain.<br />
<br />
“Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya. Bukankah memang selalu begitu jika Hayati berada di perahu Sukab?”<br />
<br />
“Ya, tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab, bukannya tambah penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?”<br />
<br />
Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua itu menggerundal sendirian.<br />
<br />
“Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!”<br />
<br />
Ia menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya merah membuka pintu itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang karena malaria.<br />
<br />
“Waleh! Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?”<br />
<br />
Perempuan bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh, mulutnya bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat, berkeringat, dan di dahinya tertempel sebuah koyo. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.<br />
<br />
Nenek tua itu melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua gubuk nelayan yang lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk, pakaian yang buruk tergantung di sana-sini, meja buruk, kursi buruk, dan jala di dinding kayu, berikut pancing dan bubu. Ada juga pesawat televisi, tetapi tampaknya sudah mati. Alas kaki yang serba buruk, tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal jepit yang jebol. Sebuah foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan yang sedang tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah bertahun-tahun lewat.<br />
<br />
Ia tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada juga yang lain. Sebuah foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar untuk rumah gubuk ini, di dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk berterbangan masuk karena pintu dibuka.<br />
<br />
Pandangan nenek tua itu tertumbuk kepada anak perempuan yang menatapnya.<br />
<br />
“Mana Bapakmu?”<br />
<br />
Anak itu hanya menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan mengempas dengan ganas.<br />
<br />
Nenek itu lagi-lagi menggelengkan kepala.<br />
<br />
“Anak apa ini? Umur lima tahun belum juga bisa bicara!”<br />
<br />
Waleh hanya menggigil di balik kain batik lusuh bergambar kupu-kupu dan burung hong. Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria.<br />
<br />
Nenek itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika terdengar suara lemah dari balik gigi yang gemeletuk itu.<br />
<br />
“Aku sudah tahu…”<br />
<br />
“Apa yang kamu sudah tahu, Waleh?”<br />
<br />
“Tentang mereka…”<br />
<br />
Nenek itu mendengus.<br />
<br />
“Ya, kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku pergi ke kota dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia sepanjang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami Wiji. Masih juga mereka berlayar dan tidak pulang kembali! Semua orang yang melaut bilang tidak melihat sesuatu pun di atas perahu ketika melewati mereka, tapi ada yang hanya melihat perempuan jalang itu tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak kelihatan di bawahnya! Mengerti kamu?”<br />
<br />
Waleh yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak sanggup berpikir lagi.<br />
<br />
“Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi kamu rugi belum menghukum si jalang Hayati!”<br />
<br />
Mendengar ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan malarianya agar bisa berbicara.<br />
<br />
“Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku pulang dengan selamat—dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan.”<br />
<br />
Waleh yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk mengeluarkan kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya bergemeletukan kembali, matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi.<br />
<br />
Nenek tua itu terdiam.<br />
<br />
Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga kembali, orang-orang di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa jika bukan perahu Sukab muncul kembali di cakrawala, maka tentu mayat Sukab atau Hayati akan tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke pantai. Namun karena tidak satu pun dari ketiganya muncul kembali, mereka percaya perahu Sukab terseret ombak ke seberang benua. Hal itu selalu mungkin dan sangat mungkin, karena memang sering terjadi. Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali dengan pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi.<br />
<br />
“Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita,” kata seseorang.<br />
<br />
“Sukab penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak dulu ia selalu berlayar sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita,” sahut yang lain, “apalagi jika di perahunya ada Hayati.”<br />
<br />
“Apakah mereka bercinta di atas perahu?”<br />
<br />
“Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping perahu mereka.”<br />
<br />
Segalanya mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin juga Sukab dan Hayati telah bermain cinta di atas perahu dan seharusnya tahu pasti apa yang akan mereka alami.<br />
<br />
Di pantai, kadang-kadang tampak Waleh menggandeng anak perempuannya yang bisu, menyusuri pantulan senja yang menguasai langit pada pasir basah. Kadang-kadang pula tampak Dullah yang menyusuri pantai saat para nelayan kembali, mereka seperti masih berharap dan menanti siapa tahu perahu cadik yang berisi Sukab dan Hayati itu kembali. Namun setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para nelayan di kampung itu mengharapkan Sukab dan Hayati akan kembali.<br />
<br />
“Kukira mereka tidak akan kembali, mungkin bukan mati, tetapi kawin lari ke sebuah pulau entah di mana. Kalian tahu seperti apa orang yang dimabuk cinta…”<br />
<br />
Namun pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin yang selalu ribut terlihat perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun begitu lunas perahu menggeser bibir pantai dan mendorong perahu itu sendirian ke atas pasir sebelum membuang jangkar kecilnya. Sukab tampak lemas di atas perahu. Di tubuh perahu itu terikat seekor ikan besar yang lebih besar dari perahu mereka, yang tentu saja sudah mati dan bau amisnya menyengat sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab tampak menancap di punggungnya yang berdarah—tentu ikan besar ini yang telah menyeret mereka berdua selama ini, setelah bahan bakar untuk mesinnya habis.<br />
<br />
Hayati tampak lebih kurus dari biasa dan keadaan mereka berdua memang lusuh sekali. Kulit terbakar, pakaian basah kuyup, dan gigi keduanya jika terlihat tentu sudah kuning sekali—tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara. Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya mengerti, cerita tentang ikan besar ini akan berujung kepada perceraian mereka masing-masing, yang dengan ini tak bisa dihindari lagi.<br />
<br />
Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini.<br />
<br />
Sabang, Desember 2006/<br />
<br />
Merauke, April 2007.kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-14328820436605550322011-01-10T06:26:00.001-08:002011-01-10T06:26:19.434-08:00Para Pembongkar Kuburan MassalOleh : Veven Sp Wardhana<br />
<br />
Malam demikian pekat, hujan begitu lebat ketika kami mendengar suara ayunan benda tajam yang menancap pada entah apa. Banyak yang menyangka itu berasal dari ladang Pak Runci, satu-satunya juru kunci kuburan massal di wilayah kami.<br />
<br />
Malam yang gulita hanya bisa ditembus pandangan mata beberapa depa, sementara tumpahan hujan yang tercurah mengaburkan pendengaran penduduk—bahkan bagi yang tinggalnya terdekat dengan kuburan massal itu.<br />
<br />
Ada yang mengira, yang terayun adalah mata cangkul yang menancap di tanah yang gembur, yang di baliknya teronggok umbi jalar atau ubi singkong. Ada yang menyangka, yang terayun adalah bilah celurit atau kelewang yang membabat batang jagung yang semakin ranum. Banyak—termasuk keluarga kami—yang sama-sama menafsirkan bahwa Pak Runci yang sudah berhari-hari sakit itu tak lagi kuat menahan lapar; dan jagung atau ubi atau umbi itu hendak diganjalkan ke dalam perutnya yang mungkin meronta pada malam yang begitu pekat dan hujan yang demikian lebat.<br />
<br />
Beberapa hari ini beberapa sudut kuburan itu tak berpenerangan lampu minyak. Tak begitu ada yang memedulikan, memang, karena memang tak ada jalanan—termasuk jalanan setapak—yang melewati dekat-dekat lokasi pemakaman itu. Bukan karena kuburan itu dianggap angker, tapi bagi sebagian orang, mereka tak ingin mengenang dan membangkitkan masa lampau yang kelam yang menjadikan jatuh banyak korban dan kemudian secara massal dimakamkan.<br />
<br />
Lampu minyak di ujung-ujung pemakaman yang dinyalakan saat menjelang senja menjadi penanda bahwa Pak Runci masih menjaga makam itu. Bisa dikatakan, Pak Runci adalah satu-satunya penduduk asli tertua yang masih tersisa, yang tak ikut menjadi korban, sementara penduduk lainnya—yang lolos sebagai korban—mulai meninggalkan wilayah untuk menata hidup baru di lain tempat atau bahkan memburu peruntungan ke negeri seberang.<br />
<br />
Sama sekali Pak Runci tak pernah alpa menyalakan lampu minyak itu, kecuali jika dia jatuh sakit, yang tak memungkinkan dia berjalan menenteng lampu minyak untuk dipasang hingga ujung pemakaman. Maka, jika dalam hujan lebat dalam malam pekat itu Pak Runci mampu memangkas batang jagung atau menggali umbi, kami bersyukur karena artinya Pak Runci sudah sehat—dan esok senja ujung pemakaman itu tak lagi disungkup gelap yang pekat. Namun, senja esoknya—hingga malam dan kemudian pagi hari—kuburan itu tetap saja gelap dari ujung ke ujung. Juga malam kedua berikutnya. Apakah Pak Runci kehabisan minyak untuk menyalakan lampunya? Rasanya Pak Runci bukanlah sosok pemalu yang enggan meminta minyak pada kami—sebagaimana biasa dia lakukan jika kami alpa memasok minyak untuknya secara sukarela.<br />
<br />
Jangan-jangan dia masih sakit atau sakitnya kian parah sehingga untuk meminta minyak pada kami tak bisa dia lakukan karena tubuhnya masih susah bangkit. Karena itu, pagi esoknya, kami—tak hanya keluarga kami, ternyata juga tetangga lain—menengok ke pondok Pak Runci, yang tak jauh dari gerbang pekuburan. Dia tampak lunglai di dipannya. Satu dua orang buru-buru mengambil makanan dan minuman dari rumahnya untuk disuapkan pada Pak Runci.<br />
<br />
Pada malam yang pekat dalam hujan yang lebat beberapa hari lalu itu memang tak ada yang menebang jagung atau menggali umbi dan ubi. Kami tak melihat ada tanda-tanda batang jagung yang ditebang atau tanaman singkong dan umbi jalar yang dibongkar. Yang dibongkar justru sebuah kuburan. Itu ada di pojok pemakaman yang bersampingan dengan belukar. Seseorang dari kami yang berkeliling pemakaman melihatnya.<br />
<br />
Lahat itu menganga terbuka. Tak lagi ada sosok mayat di dalamnya. Juga sama sekali tak ada kerangka.<br />
<br />
”Diambil keluarganya,” ucap seseorang, Pak Runci, yang sudah berada di belakang kami. Pak Runci tampak bugar.<br />
<br />
Kami saling pandang—tak paham.<br />
<br />
”Dua-tiga malam yang lalu,” Pak Runci menambahkan. Tiga malam yang lalu: hujan luar biasa lebat, malam sangat pekat.<br />
<br />
”Pak Runci tahu?” kami bertanya nyaris bersamaan.<br />
<br />
”Tahu ada pembongkaran? Iya. Yang bersangkutan minta izin saya.”<br />
<br />
”Pak Runci tahu kalau….”<br />
<br />
”Tahu kalau itu keluarganya? Entahlah. Saya tak menghapal ratusan jenazah yang dimakamkan di sini. Kan semua sudah bergeletakan di banyak tempat. Kan waktu dimakamkan tak ada yang diminta mengenali satu per satu jenazah, karena wajahnya memang sudah bubrah—tak lagi dikenali.”<br />
<br />
Jika Pak Runci tak termasuk yang merasa sangat kehilangan saat terjadi musibah, itu dikarenakan sejak dulu dia tak berkerabat dengan sesiapapun.<br />
<br />
”Pak Runci tahu….”<br />
<br />
”Tahu untuk apa kuburnya dibongkar? Tidak.”<br />
<br />
”Maksud kami….”<br />
<br />
”Mungkin keluarganya punya makam atau tanah di tempat lain yang dianggap lebih layak untuk mengubur,” Pak Runci memotong.<br />
<br />
”Maksud kami, Pak Runci kenal keluarga yang membongkar makam itu?”<br />
<br />
Pak Runci hanya bergumam.<br />
<br />
Kami tak yakin apakah Pak Runci mengenal seorang demi seorang penduduk yang pernah tinggal—juga yang kemudian meninggalkan—perkampungan ini.<br />
<br />
***<br />
<br />
Malam tak begitu pekat. Beberapa lampu minyak membenderangi setiap sudut kuburan massal itu. Namun, tetap saja, hujan yang begitu lebat menutup jarak pandang kami. Mata kami memang sedang menatap mengamati arah pekuburan massal itu. Menurut Pak Runci, malam ini—beberapa hari setelah pembongkaran kuburan pada malam pekat hujan lebat itu—bakal datang entah siapa ke pemakaman. Tak diketahui pasti jamnya. Tak diketahui pasti untuk apa. Tak diketahui pasti, siapa seseorang itu.<br />
<br />
”Bagaimana Pak Runci tahu?” saya bertanya.<br />
<br />
”Nalurinya mengatakan. Begitu katanya. Entahlah,” suami saya menjawab.<br />
<br />
Kami penasaran. Untuk apa kuburan—massal pula—kembali didedah, padahal yang dikubur tak pernah dikenali rincian wajah-wajahnya. Bukan saja tak dikenali karena telah dimakan waktu, tapi waktu dimakamkan pun wajah-wajah itu telah dicacah-cacah oleh musibah. Karenanya, alasan memindahkan kerangka ke tempat yang lebih layak, bagi kami—setidaknya bagi saya—sungguh tak masuk benak.<br />
<br />
Tak hanya di ujung-ujung pemakaman dipasangi lampu minyak. Di setiap ujung gang dan perempatan jalan, juga di antaranya, kami pasang pula lentera. Dengan penerangan lentera dan lampu minyak, setiap jengkal jalanan di hadapan dan sekitaran rumah-rumah kami, juga jalanan menuju pekuburan, akan menampak siapa saja yang bahkan lewat selintasan ke pekuburan. Namun, begitu hujan menderas, dan kami masuk ke dalam rumah, pindah dari teras karena menghindari percik air hujan yang menempias, kami jadi gagal mengamati kalau-kalau ada yang mendatangi pekuburan itu.<br />
<br />
Hingga menjelang fajar, hujan masih membilas-bilas. Pelupuk mata kami mulai terkatup digelayuti kantuk. Kami rasa, tak ada yang mendatangi pekuburan massal itu yang kemudian membongkar salah satu sudutnya. Kami salah, ternyata. Begitu hujan mulai mereda dan matahari membiaskan cahayanya, kami dengar suara teriakan entah siapa dari arah pekuburan. Ada tiga lubang penggalian yang letaknya berjauhan dari pembongkaran pertama. Jenazah—mungkin kerangka, mungkin sekadar serbuk yang sudah berbaur tanah—tak lagi ada di dalamnya.<br />
<br />
Tampaknya, penggalian itu dilakukan saat kami disungkup rasa kantuk ketika menjelang fajar itu. Rasa kantuk itu telah membuat telinga kami tak lagi peka untuk mendengar suara-suara ayunan cangkul yang beradu dengan tanah yang dibongkar.<br />
<br />
Naluri Pak Runci terbukti.<br />
<br />
Atau bukan naluri, melainkan benar-benar ada seseorang yang memberitahunya, meminta izin, sebagaimana kejadian pertama pada malam tanpa lentera dan hujan yang mendera-dera itu.<br />
<br />
”Jika benar ada yang mendatangi Pak Runci, berarti Pak Runci membohongi kita,” ujar suami saya, yang juga menjadi ujaran penduduk lainnya.<br />
<br />
”Tapi, apa untungnya Pak Runci berbohong?” suami saya bergumam, terkesan membantah kesimpulannya sendiri.<br />
<br />
”Lagian, tak ada yang mengharuskan Pak Runci untuk melapor ke kita,” timpal saya pada suami saya saat kami makan malam.<br />
<br />
”Lebih tepatnya, tak ada yang dirugikan di kampung kita ini karena dibongkarnya kuburan itu,” saya menambahkan.<br />
<br />
”Juga hilangnya kerangka-kerangka itu,” suami saya menegaskan.<br />
<br />
Gemuruh guntur di langit menghentikan percakapan kami. Kami buru-buru merapatkan daun pintu dan jendela karena hujan mendadak tumpah. Saya—juga suami saya—tak sempat menengok memastikan apakah lampu minyak sudah dipasang Pak Runci di segenap sudut pemakaman. Kalaupun lentera sempat kami pasang di depan rumah dan di setiap perempatan, pastilah akan segera susut, meredup, diguyur air hujan yang makin menderas, untuk kemudian padam.<br />
<br />
Saya dan suami mencoba mencungkil-cungkil ingatan, apakah Pak Runci sempat memberitahu bahwa malam ini akan datang seseorang atau beberapa orang entah siapa hendak membongkar pemakaman massal. Namun, pemberitahuan Pak Runci—jika ada—tak lagi begitu penting, karena esoknya, setelah hujan yang terguyur sepanjang malam itu mereda, kami menemukan jawabannya, yakni: belasan kuburan dibongkar dan kerangka yang ada di dalamnya tak lagi ada di tempatnya.<br />
<br />
”Saya setengah lupa setengah ingat mereka yang datang menggali kubur itu. Mereka adalah penduduk sini juga yang pindah rumah setelah musibah,” ungkap Pak Runci setelah kami mendesaknya agar memberikan keterangan. Kami, termasuk yang seharusnya sudah sampai di tempat kerja, pagi itu mendatangi pondok Pak Runci.<br />
<br />
”Kata mereka, mereka hendak membuktikan bahwa kerabat mereka benar-benar meninggal. Suaminya tewas, istrinya wafat, orangtuanya—ayahnya atau ibunya atau dua-duanya—tak lagi bernyawa,” sangat panjang Pak Runci menjelaskan.<br />
<br />
”Membuktikan pada siapa?” seseorang bertanya.<br />
<br />
”Pada aturan di wilayah mereka berburu mata pencaharian. Mereka tak bisa menunjukkan bukti tertulis bahwa istri atau suaminya benar-benar meninggal.”<br />
<br />
”Akta atau pencatatan kematian maksudnya?” Seseorang mencoba mempertegas.<br />
<br />
”Dengan kepastian status mereka, janda atau duda, atau sebatangkara, mereka berhak mendapatkan santunan di wilayah tetangga,” Pak Runci tak menggubris pertanyaan.<br />
<br />
”Lha, kan, semua surat-surat itu, termasuk akta tanah segala, ikut lebur dihancurkan musibah?” Seseorang tadi kembali mempertegas arah pembicaraan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Senja jatuh di perbatasan. Banyak orang berbaris mengantre hendak melewati perbatasan yang ditandai oleh selarik garis itu. Wajah-wajah mereka lusuh karena lelah berjalan seharian dan semalaman. Mereka meninggalkan pemakaman massal pada dinihari usai menggali lahat yang diperkirakan sebagai tempat kerabatnya dikuburkan. Mereka bopong jenazah yang sesungguhnya sudah menjadi kerangka itu ke suatu tempat yang menyediakan peti jenazah. Setelah kerangka itu dimasukkan ke dalam peti, mereka menyeret peti itu menuju perbatasan. Seretan peti itu meninggalkan jejak berupa garis-garis bercak di sepanjang jalan yang mereka lewati, termasuk ketika kemudian menyeberangi sungai dan melintasi ngarai.<br />
<br />
Sebelum benar-benar memasuki pintu-pintu gerbang yang dideret-deretkan di tembok yang memanjang dari pangkal ke tepian, ada berderet palang pintu yang dibuat dari bambu, yang dijaga para petugas. Mereka ini mencatat sosok-sosok yang menyeret peti mati itu, juga mencatati isi peti mati setelah terlebih dulu mereka membuka peti-peti itu. Setelah itu, para penjaga itu memberi selembar kertas kepada para penyeret peti mati itu. Lembaran kertas itulah yang dijadikan penanda bahwa pemegangnya diperbolehkan melewati gerbang yang dideretkan di tembok yang memanjang.<br />
<br />
Begitu menerima lembaran kertas, rata-rata penerimanya langsung melonjak lega sebelum kemudian buru-buru menuju deretan gerbang. Di balik tembok yang memanjang itu, sekalipun dari kejauhan sudah tampak kilauan cahaya bauksit, mangan, perak, juga emas. Peti mati yang mereka seret sepanjang siang sepanjang malam itu begitu saja mereka tinggalkan di hadapan para penjaga. Memang, para penjaga itu akan melemparkan peti-peti dan isinya itu ke tubir jurang yang menganga di hadapan mereka ketika malam merayap perlahan.<br />
<br />
****<br />
<br />
Saya tiba di perbatasan juga pada saat matahari makin temaram. Saya rasa, bahkan sinar matahari tak pernah mampir di perbatasan ini. Udara cenderung menggigilkan.<br />
<br />
”Nama?” tanya penjaga palang perbatasan begitu saya mendekati garis batas.<br />
<br />
Saya sebutkan nama saya.<br />
<br />
”Bukti apa hendak kamu sampaikan?” kata penjaga sambil membuka buku catatan.<br />
<br />
”Saya seorang janda,” ujar saya.<br />
<br />
”Buktinya apa?”<br />
<br />
Saya mengerling ke peti yang saya seret semalaman hingga seharian. Penjaga itu memeriksa isi peti. Saya lihat wajahnya terperangah.<br />
<br />
”Ini mayat baru?” katanya.<br />
<br />
Saya mengiyakan. ”Beberapa hari lalu.”<br />
<br />
”Ini bukan jenazah dari pemakaman!” penjaga itu membentak saya. Dia segera memberi isyarat kepada penjaga lain, yang segera meringkus saya dan melemparkan saya sejauh-jauhnya.<br />
<br />
”Tapi saya janda. Saya punya hak mendapatkan santunan,” saya tersengal. Napas saya sesak.<br />
<br />
”Santunan hanya untuk janda yang suaminya menjadi korban musibah. Atau anak-anak piatu, juga yatim, yang orangtuanya menjadi korban musibah. Kamu, bahkan kamu tak punya kerabat yang menjadi korban musibah. Juga suamimu.”<br />
<br />
Benar. Penjaga itu tak salah ucap. Benar. Sejak beberapa hari lalu, semua jenazah, semua kerangka di kuburan massal sudah habis dibongkar. Karena itu, diam-diam saya asah ketajaman pedang sebelum kemudian saya hunus untuk saya tancapkan ke jantung suami saya setelah sebelumnya menerobos dan merontokkan tulang rusuknya.<br />
<br />
Sangat ingin saya menjadi janda.***<br />
<br />
Kupang, 06 Mei 2010;<br />
Jakarta, 05 Juli 2010kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-67139841317327244492011-01-10T06:21:00.000-08:002011-01-10T06:21:21.660-08:00Tulang BelulangOleh : Rama Dira J<br />
<br />
<br />
<br />
Kini, kemana pun pergi, tulang belulang anaknya itu selalu ia bawa. Semuanya bermula dari kematian sang istri. Nyawa perempuan itu habis di tangan sendiri. Ia terjun bebas dari lantai dua belas. Pikiran sehatnya tandas setelah mendapati perutnya semakin membesar, berisi benih majikannya. Pada akhirnya, perempuan itu pulang dari negeri yang jauh dengan kondisi yang tak manusiawi, dalam sebuah peti mati murahan.<br />
<br />
Lelaki itu tak bisa mengelak dari kenyataan yang menyakitkan ini. Serta-merta ia terhempas ke dalam duka yang nyaris tanpa ujung. Bukan semata tersebab kehilangan orang yang begitu ia cintai tapi juga sumber penghidupan. Selama ini, istrinya itu rutin mengirimkan uang asing dari negeri asing yang jika dirupiahkan, jumlahnya bisa membiayai lebih dari cukup hidupnya bersama anak semata wayang mereka.<br />
<br />
Kenyataan yang tak dinyana itu memaksanya kembali menggeluti pekerjaan semula, berjualan obat tradisional racikan sendiri, di pasar. Tak seberapa uang yang bisa diperoleh dari situ. Bahkan, sering kali ia tak beroleh rupiah sama sekali. Masa jayanya tak lagi berbekas. Telah banyak penjual obat yang bermunculan sepeninggalannya. Orang-orang itu lebih lihai menggoda calon pembeli, menggelitik-gelitik rasa penasaran dengan mulut berbumbu mereka, menghipnotis secara tidak langsung sampai membuat mereka menjadi pelanggan setia.<br />
<br />
Ia duduk terpaku dalam lamunan di belakang hamparan obat-obatan jualannya. Ia hanya mengandalkan tulisan sendiri di sebuah papan yang mengumumkan bahwa dialah penjual obat pertama di pasar itu sehingga semestinya kemanjuran obat yang ia jual tak akan ada yang bisa menandingi.<br />
<br />
Setelah hari-hari tanpa hasil, hari ini hatinya senang bukan kepalang. Seorang kawan lama mampir dan lebih karena rasa kasihan, membeli sebotol obat gosok buatannya dengan bayaran dua kali lipat dari harga yang ditawarkan. Ia pun segera pulang setelah sebelumnya membeli dua bungkus nasi padang. Ia memutuskan untuk makan duluan. Sebungkus lagi ia sisakan buat anaknya.<br />
<br />
Ia sangat menyayangi anaknya yang sudah beranjak bujang itu. Selama ini, dialah yang berperan besar menghalau kesepian dan kesendirian si penjual obat. Anak itu pula menjadi alasannya untuk kuat bertahan menjalani sisa hidup, meski dalam kesulitan, sepeninggalan istri tercinta.<br />
<br />
Sampai malam tiba, anaknya tak segera menampakkan diri. Memang, waktu berangkat sekolah tadi pagi ia sempat berpamitan sambil mengatakan: sepulang dari sekolah, ia langsung menonton pertandingan bola di ibu kota. Klub kesayangannya akan main.<br />
<br />
Sampai pagi keesokannya, anak itu belum juga datang. Justru mobil ambulans tiba dengan membawa sesosok jasad dalam kondisi yang mengenaskan. Itulah anaknya. Ia tewas setelah terjatuh dari atap kereta api yang tengah melaju. Dibantu oleh orang-orang kampung, dalam suasana hatinya yang tak karuan, anak itu dimakamkan siang itu juga.<br />
<br />
Mulai malamnya, ia merasakan kesepian yang menakutkan, hidup sebatang kara yang begitu menyakitkan. Ia dikungkung kesepian yang mencekam, seperti yang mungkin dirasakan orang yang baru saja mati meninggalkan dunia dan susah payah beradaptasi dengan kehidupan di alam kubur yang benar-benar asing.<br />
<br />
Tak tahan dalam teror penderitaan itu, dua minggu kemudian, ia nekad menggali kuburan anaknya. Pikirnya, daripada mereka hidup masing-masing di tempat yang berbeda, lebih baik mereka kembali hidup berdua lagi meski anaknya hanya tulang belulang kini.<br />
<br />
”Aku kesepian. Kau pasti kesepian juga. Baiknya kita tetap hidup bersama saja. Kalau ibumu, tak akan sendirian dia dalam kubur. Ada nenek dan kakekmu di sana.” Ia berbicara pada tulang belulang anaknya itu. Tulang belulang itu ia bebaskan dari lumpur dan kotoran, ia mandikan. Ia sirami dengan minyak wangi, ia sayangi kemudian. Ia pun mengajaknya bertukar cerita sampai larut malam, sampai ia tertidur tak lagi memeluk guling, tapi tulang belulang itu. Malam itu juga, ia bermimpi indah.<br />
<br />
Esok paginya, seperti biasa, dari rumah ia beranjak menuju pasar. Ada pemandangan yang tak biasa bagi orang-orang pasar pagi itu. Mereka melihatnya membawa tulang belulang. Mulanya orang-orang terteror dan enggan mendekat. Namun, lama kelamaan, rasa penasaran memicu terjadinya kerumunan di sekitar lelaki yang mereka kenal sebagai penjual obat itu.<br />
<br />
”Apakah itu dijual?”<br />
<br />
”Tidak.”<br />
<br />
”Tulang belulang siapa itu?”<br />
<br />
”Anakku.”<br />
<br />
”Ha?”<br />
<br />
Orang-orang langsung saja bubar jalan usai mendengar pengakuan yang mengejutkan itu. Dalam bisik-bisik, mereka mencapnya gila. Meski kerumunan telah bubar, ada seorang lelaki muda yang justru bertahan di hadapan si penjual obat.<br />
<br />
”Mengapa masih di sini. Mengapa tak pergi juga seperti mereka?”<br />
<br />
Lelaki itu tersenyum dan mengajukan permintaan yang aneh: ”Aku meminta air bekas bilasan tulang belulang itu.”<br />
<br />
Penjual obat tersinggung dan tak mengindahkan permintaan itu. Karena tak digubris, lelaki muda itu berinisiatif mendapatkan sendiri apa yang dipintanya. Penjual obat tak sempat menghalangi gerak cepat lelaki muda itu yang mengambil salah satu bagian dari tulang belulang untuk kemudian ia siram. Air bekas menyiram tulang yang tertampung dalam baskom itulah yang kemudian diambilnya. Ia bergegas pergi dengan wajah sumringah setelah meninggalkan begitu saja selembar uang lima puluh ribu di hadapan si penjual obat.<br />
<br />
Meski masih dilanda kebingungan bercampur marah yang tertahan, penjual obat menyambar uang itu dan memasukkannya ke sela kopiah miringnya. Ia mencoba untuk tenang dan menimbang-nimbang dengan akal, apa yang sesungguhnya terjadi barusan. Ia pun sampai pada kesimpulan bahwa, lelaki tadi pasti menganggap tulang belulang anaknya itu sebagai pembawa berkah. Dengan demikian, dalam sukacita ia mengambil air bilasan dari belulang itu demi hajat tertentu. Ia tak mau memperpanjang pikiran ke arah kejadian yang barusan. Ia cukup puas dengan pemberian lelaki muda itu. Dengan uang selembar tersebut, ia tak lagi perlu menjajakan dagangannya hari ini. Ia memutuskan pulang. Dari perhitungan, uang itu cukup untuk keperluan hidup sampai tiga hari. Ia akan berdiam diri saja di rumah selama tiga hari ke depan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Ia belum bangun pagi itu. Pintu rumahnya digedor-gedor seseorang. Lebih karena ingin mengakhiri teror gedoran daripada mengetahui siapa yang melakukannya, ia beranjak dari tidur dan membuka segera pintu rumah dengan harapan urusan segera kelar dan ia bisa segera melanjutkan tidur. Ia tak begitu memperhatikan siapa yang berada di ambang pintu. Ia hanya mendengarkan beberapa baris omongannya. Permintaan lelaki itu, yang ingin mendapatkan lagi air siraman dari tulang belulang anaknya, membuatnya tahu itu pasti lelaki terakhir yang memberinya uang lima puluh ribu tiga hari yang lalu.<br />
<br />
”Oh.. kamu..”<br />
<br />
”Ya, Pak. Berilah lagi saya air tulang belulang itu. Soto saya laris manis tiga hari ini berkat kuah yang saya campurkan dengan air tulang belulang dari Bapak. Para pembeli bilang, kuah soto saya dahsyat nikmatnya.”<br />
<br />
”Dari mana kamu tahu saya tinggal di sini?”<br />
<br />
”Sama seperti waktu saya menemukan Bapak beberapa hari yang lalu di pasar, saya menemukan tempat tinggal Bapak ini berdasarkan bisikan spiritual.”<br />
<br />
”Bisikan spiritual?”<br />
<br />
Meski belum begitu paham dengan penjelasan si penjual soto, ia tak bisa mengelak untuk memenuhi permintaannya. Lebih-lebih lagi lelaki itu telah menyodorkan uang yang berlipat jumlahnya dibanding yang lalu. Kali ini, tiga lembar seratus ribuan.<br />
<br />
Tanpa berpanjang lebar, ia segera menyiram tulang belulang anaknya dan mengisi jeriken lima liter bawaan si penjual soto. Sepeninggalan penjual soto, dia meledak dalam girang bukan main. Dari perhitungan, uang itu akan cukup untuk hidup selama seminggu. Ia segera menghampiri tulang belulang anaknya, memeluknya sebagai ungkapan rasa terima kasih tak terhingga.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kabar mengenai kehebatan air bilasan tulang belulang milik si penjual obat segera merebak ke mana-mana, terbang bersama angin ke segenap penjuru. Setelah si penjual soto, berdatangan beragam orang, dari beraneka profesi, beragam desa dan kota dengan tujuan yang sama: ingin sukses dalam bidangnya masing-masing dengan air bilasan tulang belulang.<br />
<br />
Sesungguhnya, ia sendiri sangsi dengan khasiat air tulang belulang itu sebagaimana yang mulai banyak diyakini orang-orang. Ia pun tak tahu sampai sejauh mana keyakinan orang-orang itu akan bertahan. Meski demikian, ia akan tetap melayani. Kapan lagi ia bisa memperoleh uang banyak dengan cara yang begitu mudah, bukan?<br />
<br />
Kini, ia menetapkan tarif. Untuk satu jeriken lima liter air rendaman tulang belulang, ia memungut lima ratus ribu rupiah. Meski terhitung mahal, tak ada yang keberatan. Semakin hari semakin banyak orang yang berbondong-bondong dan rela antre kepanasan selama berjam-jam demi mendapatkan air rendaman tulang belulang.<br />
<br />
Sampai saatnya kemudian, si tukang obat tak sanggup melayani sendiri orang-orang yang berdatangan tanpa henti. Ia lantas mengupah dua orang tetangganya sebagai asisten dan mulai menetapkan jam buka dan jam tutup pelayanan.<br />
<br />
Orang yang berdatangan makin tak henti-henti. Meskipun suatu hari kenyataan pahit datang ke hadapan mereka di mana si penjual obat tak lagi bisa memberikan air rendaman tulang belulang sebab tulang belulang anaknya hilang. Ia tak tahu siapa yang telah mencurinya. Ia kini hanya mampu bersedih tanpa henti. Ia menyesal tak bisa menjaga dengan baik tulang belulang itu sampai-sampai ia mengutuk dirinya sendiri kini. Untuk sementara waktu, ia memutuskan menutup pintu rumahnya dan menghentikan pelayanan. Ia menawarkan hadiah berpuluh juta bagi siap saja yang bisa menemukan tulang belulang anaknya.<br />
<br />
Sampai berminggu-minggu, tulang belulang si anak tak juga ditemukan. Sementara itu, antrean orang-orang tak henti memanjang. Dalam penantian tanpa kepastian, mereka tetap sabar. Meski rumah si penjual obat masih dalam kondisi tertutup. Beberapa hari kemudian, muncul bau busuk dari dalam rumah itu. Dari salah seseorang yang berinisiatif masuk ke dalam rumah, diketahui kemudian bahwa si tukang obat telah meninggal. Kenyataannya, ia mati dalam kesedihan tiada tara dan rasa kesepian yang menggunung setelah kehilangan tulang belulang anaknya.<br />
<br />
Mendengar kabar kematian itu, tiba-tiba saja orang-orang berebutan masuk ke dalam rumah si penjual obat. Mereka menjadi liar, mereka sikut-sikutan, saling berebut mengambil bagian-bagian dari tubuh si penjual obat yang telah menjadi jasad. Mereka yakin, kesaktian air bilasan tulang belulang milik si tukang obat akan lebih hebat daripada air bilasan tulang belulang anaknya.<br />
<br />
Samarinda, 2010kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-37818323977753544292011-01-10T06:12:00.000-08:002011-01-10T06:12:32.845-08:00Lebih Kuat dari MatiOleh : Mardi Luhung<br />
<br />
<br />
I<br />
<br />
Akhirnya, aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Dengan kata lain, ada orang yang sakit, bahkan yang parah sekalipun, tetapi tak mati-mati. Dan sebaliknya, ada yang kelihatannya sehat, segar dan lincah, tetapi tiba-tiba kleplek-kleplek mati. Mati tanpa pesan. Tanpa amanat. Apalagi tanpa tanda-tanda awal yang dapat dibaca oleh yang ada di sekitarnya. Tanda-tanda awal yang bergerak seperti kelebat burung gagak di malam hari. Kelebat bagi siapa saja yang akan dijemput oleh mati.<br />
<br />
Jadinya, segalanya seperti memang alamiah. Dan sepertinya memang sudah digariskan dari sono-nya. Tak ada yang bisa menerka. Apalagi meramalkan. Karenanya, terus terang, aku lebih percaya jika urusan mati ya urusan mati sendiri. Dan sakit ya urusan sakit sendiri. Dan meski ada yang bilang: ”Jika sakit adalah bagian dari pembuka jalan bagi mati, aku tetap saja merasa itu bukan hal yang benar. Tapi hal yang kebetulan benar saja. Jadi bisa benar bisa tidak.”<br />
<br />
”Bisa benar bisa tidak?”<br />
<br />
”Ya, begitulah!”<br />
<br />
Dan itu dapat dilihat dari diriku sendiri. Diri yang kini sudah berumur hampir 70 tahun ini. Diri yang tetap bisa mandi, makan, jalan-jalan, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh. Diri, yang waktu umur 27 tahun, telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Tapi nyatanya? Hmmm, masih saja bertahan sampai kini. Bahkan, masih sanggup untuk menikmati apa saja yang enak-enak. Rawon, tempe penyet, hamburger, nasi kuning, martabak. Atau menonton siaran sepak bola dini hari.<br />
<br />
Diri yang dianggap oleh orang-orang yang ada di sekitar sebagai orang yang lebih kuat dari mati. Orang yang mungkin punya nyawa rangkap. Dan orang yang dianggap tenggorokannya buntu. Dan karena buntu itu, maka nyawanya cuma memantul-mantul di rongga dadanya. Tak bisa keluar. Atau dikeluarkan. Ha-ha-ha, anggapan yang agak aneh. Anggapan yang kerap membuat aku tersenyum simpul. Ya, barangkali aku memang lebih kuat dari mati. Dan barangkali pula itu yang membuat aku ingin menulis cerita ini.<br />
<br />
II<br />
<br />
Seperti yang aku katakan, ketika umurku 27 tahun, aku telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Katanya, aku mengidap penyakit ganas. Penyakit yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Bahkan, kata si dokter lagi, mulai hari itu juga apa yang menjadi keinginan dan hasratku harus dituruti. Tentu saja, keluargaku menjadi sedih. Adik perempuanku menangis. Ibuku juga menangis. Dan ayahku, ya, ayahku, meski tak kelihatan menangis, tapi matanya tampak merah. Seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang dijaga oleh karang yang kokoh. Tapi aku yakin, pasti sesekali, tanpa sepengetahuanku diambrolkannya juga.<br />
<br />
”Istirahatlah, Nak,” begitu kata ayahku.<br />
<br />
”Jangan terlalu berpikir yang macam-macam,” sambung ibuku.<br />
<br />
Dan sergah adik perempuanku: ”Iya, Mas, harus istirahat. Jika sudah sembuh bisa jalan-jalan sama Mbak Ninuk lagi.”<br />
<br />
Ninuk? Akh, Ninuk. Pacarku yang tersayang. Pacarku yang akan aku nikahi 2 tahun lagi. Pacarku yang cantik, manis dan berambut keriting. Pacarku yang telah aku cium sebanyak 4 kali. Sekali di beranda rumahku. Dua kali di alun-alun kota. Dan sekali lagi di rumahnya. Sewaktu rumahnya kosong. Ditinggal oleh keluarganya kondangan di kelurahan. Dan karena ciuman sebanyak 4 kali inilah, aku pun berbisik padanya:<br />
<br />
”Kau harus kontrol, Nuk?”<br />
<br />
”Kontrol?”<br />
<br />
”Iya. Siapa tahu kau ketularan penyakitku?”<br />
<br />
Dan deg, Ninuk pun menutup mulutnya. Wajahnya memerah. Ada ketakutan dan kegelisahan di wajah itu. Ketakutan dan kegelisahan yang tak diduga. Yang muncul ketika semuanya telah terjadi. Ya, memang, ketika kita sudah di depan pacar, kita sudah tak lagi berpikir: ”Apakah pacar kita punya penyakit dalam atau tidak. Menular atau tidak. Yang penting ciuman dan ciuman. Mumpung ada kesempatan. Kesempatan yang kelak akan mencelakakan atau tidak? Siapa yang peduli? Jiahh….”<br />
<br />
Dan dua bulan kemudian (setelah kontrol dan ternyata tak tertular), Ninuk pun memutuskan untuk pergi dari sisiku. Sebagai pacar yang berpenyakit. Yang hidupnya sudah divonis cuma 3 bulan, tentu saja aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan meski semangatku sedikit ambruk, tapi aku tetap bertahan. Dan tetap merasa jika kepergian Ninuk adalah hal yang baik. Sebab, apa yang bisa diharapkan dari seorang pacar yang punya kondisi seperti diriku ini. Paling-paling cuma akan merumitkan masa depannya saja.<br />
<br />
III<br />
<br />
Waktu berlalu. Tiga bulan dari waktu yang divonis si dokter tinggal seminggu lagi. Rasanya rumahku jadi ramai. Tetangga dan keluarga jauhku berdatangan. Menjenguk diriku. Ada yang menghibur. Ada yang basa-basi. Dan ada pula yang malah mengajari aku untuk bersabar. Sambil membocorkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kubur. Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa kitabmu? Yang kesemuanya selalu diakhiri dengan tangisan. Tangisan yang juga kerap membuat aku turut terharu. Dan berpikir: ”Apakah benar aku akan mati? Dan apakah semua orang yang datang ini cuma ingin mengantar diriku mati?” Aku tak bisa menjawabnya. Aku cuma merasa jika memang mati ya matilah! Mati ya matilah!<br />
<br />
Tapi, ahai, ternyata, seperti yang terjadi aku tidak mati. Dan meski 3 bulan telah lewat. Diganti 5, 6, sampai 7 bulan. Terus setahun. Dan sekian puluh tahun (meski kerap kumat dan drop), aku tetap tak mati-mati. Tetap hidup. Bahkan, malah-malah sempat datang ke perayaan pernikahan Ninuk dengan lelaki yang punya usaha penggilingan daging. Dan itu terjadi setahun setelah Ninuk memutuskan untuk pergi dari sisiku. Juga aku pun sempat melihat bagaimana kotaku dibangun. Lalu terterjang macet. Dibangun lagi. Terterjang lagi. Dibangun lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Seperti tak ada hentinya. Tak ada lelahnya. Seperti sebuah persilangan yang tak tahu mana ujungnya. Yang hasilnya tetap saja ruwet. Dan macet melulu.<br />
<br />
Macet yang makin lama makin mengancam. Macet yang seperti hidup. Bisa berpikir. Dan bisa menentukan sikap. Jika dibuka yang sebelah sini, akan memacetkan sebelah sana. Dan jika sebelah sana yang dibuka, wah, wah, akan ngeloyor ke sebelah yang lain lagi. Yang lain lagi. Dan yang lain lagi. Dan itu membuat siapa saja saling tuding. Saling melemparkan kesalahan. Juga tanggung jawab yang tak diketahui bagaimana mesti menjawabnya. Cuma ada gontok-gontokan. Yang disertai dengan sekian ribu alasan. Dan juga sekian ribu teori. Teori yang sepertinya tulus dan ikhlas. Tapi nyatanya malah seperti permainan cilukba.<br />
<br />
Dan yang lebih tak masuk akal, tepat 3 bulan dari vonis hidupku itu, ternyata si dokterlah yang justru mati duluan. Kabarnya, dia terjungkal di kamar mandi. Gegar otak dan tak tertolong. Dan setelah itu giliran tetangga dan keluarga jauhku (yang pernah menjengukku) yang bersusulan mati. Emak Icih yang menyusul pertama. Emak Icih mati karena kaget ketika ada suporter di kotaku ngamuk. Ngamuk gara-gara tim sepak bola kesayangan mereka kalah telak. Seluruh pot di jalanan diguling. Warung-warung disatroni. Bahkan beberapa lampu-lampu jalan yang ada dipecahi. Dan kota pun seperti dalam siaga berat.<br />
<br />
Lalu Kang Pardi mati karena jatuh dari atap sewaktu hujan deras. Bayu tertabrak sepeda motor. Wely terpeleset di trotoar sekolahannya. Terus Joko, Mbak Sol, dan Takin yang mati tanpa sakit. Dan yang lebih menggegerkan adalah matinya Mas Karyo. Mas Karyo mati karena tabung gas di warung kopinya meledak. Banyak yang menjadi korban. Termasuk juga Suaib dan Wak Ipin yang sedang asyik main catur di warung itu. Yang setelah kejadian itu, sebagian tangan dan dada mereka berdua terbakar berat. Terbakar dengan kulit gosong. Mengeriput dan kasar. Kasar dengan bentuk-bentuk yang begitu menggiriskan. Seperti bentuk-bentuk yang kerap aku temui saat penyakitku sedang kumat atau drop. Ada yang lonjong. Ada yang bundar. Ada yang segi tak beraturan. Juga lurus lancip menukik.<br />
<br />
Ya, ya, satu per satu hampir semuanya bersusulan mati. Juga ayah dan ibuku pun mati. Dan keduanya mati hampir berbarengan. Dan itu persis ketika aku berumur 40 tahun. Tepat ketika adikku perempuan telah menikah hampir 7 tahun dengan seorang pemilik peternakan marmut. Seorang yang biasa aku panggil dengan nama: Adik War. Dan ketika ayah dan ibuku ini mati, aku benar-benar merasa kehilangan. Dunia yang aku pijak pun seakan longsor. Dan itu cukup lama aku tanggung. Aku tanggung!<br />
<br />
IV<br />
<br />
”Pak De, mau ke mana?”<br />
<br />
”Ikut?”<br />
<br />
”Tidak. Kata ibu jangan terlalu lama. Juga jangan lupa minum obat.”<br />
<br />
Nah, itulah percakapanku dengan Sasi, putri tunggal adik perempuanku, di suatu pagi. Memang, sejak ayah dan ibuku itu mati, aku tinggal bersama keluarga adikku. Dan semua keperluanku ditanggung oleh mereka. Keperluan seseorang yang telah berumur hampir 70 tahun dan tidak menikah ini. Seseorang yang pernah divonis cuma bisa hidup 3 bulan di umur ke-27 tahunnya. Dan seseorang yang ternyata tetap tak mati-mati. Dan tetap saja bisa mandi, makan, jalan kaki, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh.<br />
<br />
Dan setiap orang yang melihatku kini, setiap orang, dari anak-anak para tetangga dan kerabat jauhku yang lebih dulu mati dibandingkan aku itu, selalu memanggilku: ”salah satu pak tua yang tersisa”, Pak tua yang punya nyawa rangkap. Pak tua yang punya tenggorokan buntu (sehingga nyawanya tak bisa keluar atau dikeluarkan). Pak tua yang setiap pagi berkeliling kampung. Pak tua yang baru semingguan ini mendapat kabar. Jika Ninuk, bekas pacarnya dulu, juga telah mati. Tanpa sebab-sebab yang jelas. Akh!<br />
<br />
”Baiklah. Paling sebelum jam 9, Pak De sudah pulang….”<br />
<br />
V<br />
<br />
Nah, itulah cerita yang aku tulis. Cerita (seperti yang aku katakan), berhubungan dengan kepercayaanku. Jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Melainkan berdiri sendiri-sendiri. Dan punya urusan sendiri-sendiri. Mati ya urusan mati sendiri. Sakit (separah apa pun) juga begitu. Dan setelah kepercayaanku ini terbukti, apakah lantas aku senang? Ternyata tidak. Malahan, aku merasa waswas. Sebab, bagaimana tidak waswas. Jika ternyata nanti aku benar-benar akan jadi lebih kuat dari mati. Dan umurku makin lebih panjang. Mungkin menginjak 80, 90, atau 100 tahun lebih. Tentu aku akan lebih banyak menyaksikan: ”Bagaimana orang-orang yang aku kenal, baik yang lama ataupun yang baru, selalu mati satu demi satu. Dan bagaimana pula kotaku, yang jatuh bangun melawan macet, selalu kalah. Dan kalah!”<br />
<br />
Hmmm, siapa yang lebih kuat dari mati….kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-54269492299955438562011-01-08T20:22:00.001-08:002011-01-08T20:22:49.818-08:00Lempuyangan: Seraut KenanganOleh : Sungging Raga<br />
<br />
<br />
Sinyal masuk stasiun dibuka. Kereta kujalankan kembali dengan kecepatan rendah. Tampak Stasiun Lempuyangan detik demi detik semakin membesar, mendekat. Orang-orang sudah berbaris di jalur dua. Kecepatan kereta berangsur-angsur kuturunkan selepas melewati perlintasan di bawah jembatan layang yang penuh mural di setiap sisi penyangganya. Kereta mulai memasuki area stasiun, tepatnya di jalur dua.<br />
<br />
Aku mengerem sekali lagi, perlahan-lahan, kulihat barisan penumpang yang berjejal. Seorang petugas stasiun baru saja menangkap surat perjalanan yang kuserahkan lewat jendela. Akhirnya kereta pun berhenti. Dan seperti biasanya, perempuan itu sudah ada di situ, berdiri di ujung barat stasiun, tersenyum padaku.<br />
<br />
Lempuyangan yang murung, lempuyangan yang sedih. Mendung bergulung-gulung, cahaya matahari mengendap di langit. Sore begitu tua. Ibu-ibu penjual nasi berpakaian hijau hilir mudik di sepanjang gerbong, berteriak dengan intonasi yang khas, menjajakan nasi yang hangat dan akan selalu hangat. Suasana yang selalu hiruk-pikuk. Tetapi, setelah turun dari lokomotif, perhatianku kemudian hanya tertuju kepadanya, seorang perempuan yang kini duduk di sebelahku, di tangannya ada rantang kecil. Aku tahu, rantang itu berisi makanan: masakannya sendiri. Kami duduk dan sejenak saling menatap.<br />
<br />
”Terlambat setengah jam, ya?” Ia bertanya.<br />
<br />
”Iya. Kamu sudah lama?”<br />
<br />
”Lumayanlah…. Ini, dimakan dulu.”<br />
<br />
Aku membuka rantang bersusun itu, ada nasi dan lauk ayam, lengkap dengan sambal. Aku pun segera menyantapnya. Ia hanya mengamatiku.<br />
<br />
Kereta yang kukemudikan masih punya waktu sekitar lima belas menit di Lempuyangan, ini dikarenakan sejak perjalanan awal tadi sudah terlambat, dampaknya adalah mengacaukan seluruh jadwal, dan karena keretaku kelas ekonomi, maka harus lebih sering mengalah.<br />
<br />
Lima belas menit itu kumanfaatkan untuk menikmati masakan pemberiannya. Ia, seperti hari-hari dan minggu-minggu sebelumnya, tetap tak banyak bicara. Kalaupun harus bicara, mungkin ia hanya berbagi kisah-kisah pendek yang bahagia, entah fiktif entah nyata, lalu diakhiri ucapan selamat jalan ketika aku harus kembali ke atas lokomotif.<br />
<br />
Kami duduk di tempat yang agak sepi. Sementara di bagian timur, penumpang hilir-mudik, naik-turun, mengangkat tas, berdesakan, terburu-buru. Aku masih makan. Sesaat kulihat ia tersenyum tipis kepadaku, setipis hati yang sepertinya sangat rindu.<br />
<br />
***<br />
<br />
Sudah empat tahun aku menjadi masinis, menjalankan kereta api Logawa jurusan Purwokerto-Jember, terkadang juga aku menjadi kepala perjalanan kereta Sawunggalih jurusan Kutoarjo-Pasarsenen. Tetapi tak ada yang lebih menyenangkan selain membawa kereta Logawa memasuki Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Sebab di sanalah aku selalu melihat perempuan itu selama beberapa bulan terakhir, setia menunggu kedatanganku.<br />
<br />
Aku tidak ingat lagi bagaimana pertemuan awal kami, bagaimana kemudian ia rajin membawakanku masakan dalam rantang kecil, bagaimana kami bisa akrab tanpa saling mengenal, bagaimana ia bisa bersabar menunggu kehadiranku di sela jadwal kereta yang selalu dan akan selalu terlambat. Bahkan, hingga kini aku tak pernah tahu namanya. Aku juga tidak memperkenalkan namaku, dan aku tak bertanya apakah ia mengenal namaku.<br />
<br />
Ya. Semua terjadi begitu saja, lebih alami dari uap air yang menjadi hujan, seakan-akan kami pernah mengenal pada suatu masa yang lampau, dan kini dipertemukan kembali. Ia menjadi sangat akrab berada di dekatku. Namun, aku tak pernah berpikir serius. Bisa saja ia tidak hanya melakukan ini padaku. Mungkin setiap ada kereta yang tiba, pasti ia juga mendatangi sang masinis dan menawari makanan. Itu dugaan awalku, tetapi, ketika iseng-iseng kutanya masinis kereta Pasundan jurusan Bandung-Surabaya, apakah dia pernah melihat seorang wanita tersenyum padanya setiap kali tiba di Stasiun Lempuyangan, dia tampak bingung, dan ketika kutanya lagi, apakah ada seorang wanita yang memberinya makanan dalam rantang kecil, dia semakin bingung.<br />
<br />
Karena itulah, selanjutnya aku benar-benar yakin bahwa ia hanya menungguku, sebab masinis kereta Logawa selain aku pun mengaku tak pernah melihat perempuan yang memberikan makanan dan menyambut dengan senyuman.<br />
<br />
Pada usia di atas 40 tahun, memiliki seorang istri dan sepasang anak, pertemuan dengan seorang perempuan rasanya hanya kilasan sesaat yang tak berjejak bagiku, seperti risiko yang biasa dihadapi seseorang yang lebih sering berada dalam perjalanan. Namun lama-kelamaan, kehadirannya seperti serabut yang kian lama kian menguat. Aku kian terjebak. Tiba-tiba ada aura tak terelakkan setiap kali kereta Logawa yang kukemudikan berhenti di Lempuyangan. Pada sore hari, dari arah Jember, kereta ini tiba pukul empat, sementara pagi harinya, dari Purwokerto, kereta tiba pukul sembilan. Di dua waktu tersebut, ia selalu berada di stasiun ini, menyambutku turun dari lokomotif, menjulurkan rantang kuningnya yang berisi makanan kepadaku.<br />
<br />
Seperti sebuah seremoni sederhana, aku merasakan ketenangan tersendiri di antara kepenatan dan kebosanan menjadi kepala perjalanan ini. Entah berapa usia perempuan itu, mungkin dua puluh lima, mungkin lebih muda dari itu. Tetapi ia tampak dewasa, cara berpakaiannya, sikap hangatnya setiap kali menatap dan menyambutku, seperti telah mengerti bagaimana menghadapi seorang laki-laki. Diam-diam, kalau sedang bertugas di atas kereta Logawa, aku selalu ingin cepat bertemu dengannya, duduk berdua selama kereta berhenti. Dan setiap kali petugas stasiun sudah memberikan tanda hijau, aku selalu mengalami perpisahan layaknya yang terjadi antara penumpang kereta dan pengantarnya. Aku kembali ke atas lokomotif, melihat ia melambaikan tangan kepadaku, lalu kami perlahan menjauh, menjauh, menjauh, begitu berulang-ulang, dengan janji akan bertemu di jadwal perjalananku berikutnya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Begitulah. Minggu melipat hari, bulan menggulung minggu. Ia masih setia, menungguku, menemaniku dalam rentang waktu yang sangat sedikit, memberikan makanan yang selalu beragam. Entahlah, aku tak bisa menafsirkan perasaan macam apa yang sedang berusaha tumbuh di antara kami. Aku menikmatinya, tiba-tiba segala di luar itu menjadi tidak penting. Rasanya keretaku ingin kuberhentikan lebih lama lagi, melawan lagu anak- anak itu.<br />
<br />
Sampai akhirnya, pada suatu hari aku menyadari sesuatu.<br />
<br />
Pagi itu, aku berangkat dari Purwokerto. Rindu sudah menggebu. Ketika memasuki Stasiun Lempuyangan, aku melihatnya mengenakan daster merah muda, wajahnya tetap cerah, senyumnya sangat indah, membawa rantang kecil yang segera diberikannya kepadaku. Tetapi sepertinya ada yang tak bisa disembunyikan lagi kali ini: aku melihat perutnya membesar, aku menebak, ia sedang hamil. Itu juga jelas sekali dari perubahan gerak tubuhnya. Aku pun merasa bodoh, mengapa beberapa bulan terakhir aku tak sempat memerhatikan? Meski bisa saja itu karena kemampuannya sebagai wanita untuk menyembunyikan sesuatu. Namun pagi ini aku tak lagi tertipu, ia menunduk ketika aku beberapa kali melirik ke arah perutnya. Seakan-akan sudah tahu apa yang ada di pikiranku tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.<br />
<br />
Ya, ia tak perlu berkata apa-apa. Aku juga tak berhak bertanya apa-apa. Kami sama- sama tertunduk. Jadi, ia sudah punya suami, dan sebentar lagi punya anak. Begitu. Lalu untuk apa selama ini ia membawakanku makanan? Apakah ia sekadar membangun fantasi? Padahal aku sudah 40 tahun, setidaknya ia bisa menafsirkan usiaku. Aku tak mengerti, perempuan, di mana-mana, selalu membingungkan.<br />
<br />
Sejenak hanya terdengar suara mesin lokomotif, teriakan ibu-ibu penjual nasi, dan obrolan orang-orang yang bercampur aduk. Selain itu, kesepian batin menghampar di antara kami.<br />
<br />
Dan demi mencairkan suasana, akhirnya aku membuka suara juga.<br />
<br />
”Sudah berapa bulan?”<br />
<br />
Mendengar pertanyaanku yang sudah diduga-duga, ia menoleh, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya.<br />
<br />
”Lima bulan.”<br />
<br />
”Ooo….”<br />
<br />
Dan tiba-tiba saja aku langsung kehabisan kata-kata.<br />
<br />
”Semoga kelak anakku ini bisa jadi masinis, ya?” Ucapnya kemudian. Aku tak tahu apakah ia bertanya kepadaku, sebab kepalanya lagi-lagi tertunduk, tak menatapku. Aku tak mengerti apakah itu semacam pertanyaan atau selintas harapan.<br />
<br />
”Jadi masinis? Seperti aku?”<br />
<br />
Ia mengangguk, masih tak menatapku.<br />
<br />
”Jangan.” Jawabku.<br />
<br />
”Kenapa?”<br />
<br />
”Masinis sangat jarang tinggal di rumah. Lebih baik anakmu menjadi dokter atau guru.”<br />
<br />
Ia terus menunduk dalam senyum heningnya. ”Aku tetap lebih suka anakku menjadi masinis.”<br />
<br />
”Kenapa?” Kali ini aku yang bertanya.<br />
<br />
”Sebab, masinis selalu dirindukan oleh penumpang kereta meski tak ada yang mengenalnya.”<br />
<br />
Aku tak tahu harus menjawab apa. Sebuah jeda yang gelisah, beberapa teman petugas stasiun tampak melirik kepadaku, tetapi mereka sudah tahu, selalu ada yang menungguku di sini. Pemandangan yang sungguh biasa.<br />
<br />
Keheningan ini pun terus merebak di antara kami. Aku memikirkan kata, ia entah berpikir apa. Kami mencapai titik diam yang sempurna. Sampai beberapa menit kemudian, seseorang membuyarkannya.<br />
<br />
”Waah, Vivin, habis diusir Tante Dini, sekarang mangkal di sini, ya?” Ucap seorang pemuda yang lewat di hadapan kami.<br />
<br />
Ia tampak terkejut mendengarnya. Kulihat wajahnya mendadak merah, matanya mulai basah. Ia tak berkata apa-apa, namun apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ia segera bangkit, lalu berlari ke arah peron tanpa berkata apa-apa lagi padaku. Semua serba cepat. Entah mengapa aku hanya terpaku, tak memanggilnya untuk kembali. Aku seperti melamun, aku berpikir amat serius tentang kata ”mangkal”, ia sudah menghilang di kerumunan, pemuda itu pun entah ke mana, lamunanku baru selesai, kepala stasiun mengumumkan keberangkatan. Rantang kecil yang ternyata masih di tanganku, kubawa ke atas lokomotif.<br />
<br />
Mangkal? Apa dia pelacur? Gumamku. Sambil menatap rantang kuning yang ditinggalkannya.<br />
<br />
Suasana kemudian sangat mengganjal. Pagi menjelang siang itu, tak ada lambai perpisahan seperti biasa, seakan-akan aku merasakan suatu keanehan yang dalam. Seperti ketakutan yang samar-samar.<br />
<br />
***<br />
<br />
Dan sungguh. Apa yang kutakutkan ternyata benar-benar terjadi.<br />
<br />
Sejak kejadian itu, sampai hari ini, pada setiap kedatanganku di Lempuyangan, ia tak ada di sana. Tak pernah kulihat lagi seorang perempuan yang menungguku di Stasiun Lempuyangan setiap kali kereta Logawa yang kukemudikan tiba. Seakan-akan yang terjadi selama ini hanya ilusi yang terang dan mencengangkan. Rinduku tersesat, buntu, seperti berujung di sebuah tebing yang terjal. Ke mana perempuan itu? Ke mana dia? Mengapa aku merasa kehilangan? Mengapa ia pergi begitu saja?<br />
<br />
Aku berharap ini memang ilusi, mungkin karena aku merindukan keluargaku. Namun aku paham, selalu ada sisa-sisa bayangan bagaimana kebersamaan itu jelas terekam, bagaimana ia tersenyum padaku, bagaimana ia menyerahkan masakan buatannya sendiri, lalu berbincang tentang segala hal yang indah, menghabiskan waktu yang singkat seperti kerinduan yang amat panjang, sampai akhirnya ia pergi begitu saja dengan menahan tangis.<br />
<br />
Ya. setidaknya aku bisa mengerti, semua kenangan itu memang benar-benar pernah terjadi, di sini, di Stasiun Lempuyangan yang dingin ini.<br />
<br />
Lempuyangan, 2010kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-47893732233720365382011-01-08T20:17:00.001-08:002011-01-08T20:17:49.256-08:00Ordil Jadi GancanOleh : Gde Aryantha Soethama<br />
<br />
Dari bawah pohon sawo di sudut alun-alun, Ordil menatap bade tumpang sembilan itu dengan pandang berseri-seri, tapi juga dengan perasaan memuncak dengki. Dia girang, niat melampiaskan dendam sebentar lagi terpenuhi. Pada saat sama, kebencian membakar rongga dadanya, karena jenazah orang yang paling ia musuhi memperoleh kehormatan dibakar dengan menara megah bertumpang sembilan.<br />
<br />
Ordil melangkah pelan mendekati bade yang dibangun dari bambu, dibalut kapas biru, merah, kuning, hijau, membentuk wajah boma dengan mata mendelik, kedua tangan terbuka lebar dengan kuku-kuku panjang. Di kedua sisi membentang sayap dililit kain putih, membuat menara itu bagai hendak terbang. Tumpang sembilan mengkerucut ke atas, dihias kertas-kertas emas dan warna-warni, sehingga bade itu menjadi sebuah meru yang meriah dan pesolek. Cahaya sore membuat warna-warna prada yang membungkus tiang-tiang bade kian gemerlap, berpendar ke daun-daun beringin di sebelahnya.<br />
<br />
”Mampir, Dil! Ada kecambah dan sayur kelongkang kesukaanmu,” sapa Men Kelambi, pedagang tahu goreng dengan bumbu pedas di pinggir alun-alun.<br />
<br />
Men Kelambi menatap botol plastik bekas air mineral setengah liter yang digenggam Ordil. Perempuan separo baya itu seolah tahu, cairan bening dalam botol itu bukan air. Ia merasakan, isinya lebih kental dibanding air.<br />
<br />
Ordil berdiri di bawah bade yang menuding langit. Besok, selepas tengah hari, puluhan orang mengarak menara itu ke kuburan, mengusung jenazah Dalem Sogata. Wartawan televisi dan cetak dari Jepang, Australia, Eropa, Amerika, Jakarta, datang meliput ngaben termegah setengah abad terakhir. Di Facebook foto bade itu sudah berhari-hari muncul, dijalarkan internet ke mana-mana, diunduh ribuan orang. Besok adalah hari milik Dalem Sogata, orang paling bermartabat di kota kecil itu. Tapi, tidak bagi Ordil, kendati ibunya selalu membujuk agar ia menghormati Dalem.<br />
<br />
”Dalem Sogata itu ayahmu, Nak!” jelas Ibu berkali-kali penuh iba. ”Tapi, keadaan tak memungkinkan kita bersama….”<br />
<br />
”Maafkan saya yang bosan mendengar penjelasan itu berulang-ulang, Bu. Dia menolak menikahi Ibu tidak karena Ibu perempuan biasa, tapi karena dia sudah beristri dua dengan delapan anak. Dia malu kalau punya tiga istri, tak rela menerima kenyataan saya anaknya yang kesembilan. Bagaimana bisa Ibu membela laki-laki pengecut macam dia?”<br />
<br />
Ibu tak pernah sepenuhnya paham, bagaimana bisa menerima cinta Dalem Sogata. Awalnya cuma pertemuan-pertemuan pendek jika Dalem datang ke pondok, menanyakan hasil sawah dan kebun yang digarap keluarganya. Pertemuan itu berulang dalam pertunjukan seni untuk kegiatan keagamaan dan adat.<br />
<br />
Ketika hamil, dan Dalem Sogata berjanji menikahi, dia terisak karena tersanjung bahagia, kendati cuma akan jadi istri ketiga. Tapi, sekian kali Dalem berjanji menikahi, sekian kali pula ia mengingkari. Hasrat melambung itu rapuh menjadi mimpi ketika Ordil lahir. Seluruh kota tahu Dalem tak akan menikahi wanita yang menandu sawah keluarganya. Itu sama saja dengan aib yang harus ditanggung seorang tuan besar ketika harus menikahi babunya. Untuk apa? Bukankah semua bisa dicampakkan begitu saja?<br />
<br />
Pengingkaran itu berbiak menjadi dengki yang meruyak, memenuhi seluruh rongga dan pori-pori tubuh Ordil. Dia merasa dinista dan dicampakkan, sejak lahir, hingga kini, lebih dari seperempat abad kemudian. Tak pernah lelah ia memanggul dendam yang mendekam sepanjang usia. Dan petang ini, ia punya hari baik untuk menuntaskannya.<br />
<br />
Lampu di sudut-sudut alun-alun sudah menyala. Ordil membuka tutup botol, menuangkan minyak tanah isinya ke bagian bawah bade. Tak ada yang tahu, karena para pengagum bade yang sepanjang hari tadi duduk-duduk di bawah beringin, sudah pulang, setelah capek berdecak-decak heran dan bangga.<br />
<br />
Ordil merogoh saku, mengeluarkan korek api, menggesek, dan melepasnya ke kapas dan kertas-kertas yang basah oleh minyak. Api pelan-pelan merambat menimbulkan suara berdetak-detak halus, semakin keras. Dalam beberapa detik api membesar, bade pesolek setinggi pohon beringin di sebelahnya itu mulai benar-benar terbakar.<br />
<br />
Men Kelambi yang pertama melihat api merambat berteriak sembari melompat dan berputar-putar di depan warung. ”Apiii…! Apiii…! Apiii…!” teriaknya kuat-kuat dengan telunjuk kanan menuding-nuding bade, tangan kiri melambai-lambai pada setiap orang lewat. Ia segera bisa menduga si pelaku, karena segera teringat dengan botol plastik dalam genggaman Ordil.<br />
<br />
Api berkobar beringas, membakar kertas-kertas dan kapas warna-warni, menjadi serpihan-serpihan bunga api berseliweran, berlomba dengan asap yang merayap kemudian membubung. Alun-alun terang benderang oleh api menjilat-jilat, menerangi orang-orang yang cuma bisa melongo dan berkerumun. Tak ada guna melakukan apa pun, karena dalam sekejap bade molek itu akan menjadi puing, dengan tonggak-tonggak hitam tiang-tiang bambu gosong. Semua menonton dengan bisu ketika bade itu ambruk, tumpang-tumpang sembilan terjungkal menimpa ranting-ranting beringin, menimbulkan deru gemuruh, diikuti gema seruan, ”Ooooohhhhh……!” semua orang.<br />
<br />
Orang-orang Dalem Sogata menghampiri Men Kelambi, mengharap kepastian pembuat onar. ”Bangsat, pemuda tengik bikin rusuh!” seru seorang. Mereka bergegas kembali ke rumah Dalem Sogata, mengambil kelewang, tombak, dan seekor anjing pelacak yang biasa diajak memburu landak dan biawak. ”Ayo bunuh… bunuh! Serbuuu…!” teriak mereka semangat berhamburan keluar gerbang.<br />
<br />
Keluarga besar Dalem Sogata panik karena harus membuat bade untuk mengusung jenazah besok, yang mustahil bisa diselesaikan dalam semalam. Berita bade yang disiapkan berminggu-minggu dan dibakar sehari sebelum saatnya, akan menyebar ke seluruh dunia. Televisi dan Facebook akan riuh, mengabarkan keluarga Dalem Sogata dipermainkan oleh sebuah sabotase yang dirancang cermat. Malu, betapa malu menerima kekalahan ini, yang dilampiaskan oleh dendam tersimpan lebih dari seperempat abad.<br />
<br />
Ordil bergegas pulang dengan kepuasan tiada tara. Ia memasuki halaman berpagar pohon beluntas dengan enteng. Tak pernah ia merasa seringan ini ketika menguak pintu masuk rumah. Ia melihat Ibu bersimpuh mengenakan kain batik, mencakupkan tangan di ruang depan, di hadapan foto Dalem Sogata. Ia berdoa untuk ketenangan arwah laki-laki yang memberinya seorang anak, walau tak pernah menepati janji untuk menikahi.<br />
<br />
”Sudah kutuntaskan dendam kita, Bu!” seru Ordil dengan bangga. Tubuhnya hangat oleh bara kemenangan. ”Mereka pasti malu dan kacau. Kuruntuhkan kejayaan dan kemegahan mereka dalam sekejap. Ha, ha, ha!”<br />
<br />
Ibu berdiri, memeluk Ordil, mengusap-usap kepalanya. ”Dendammu Nak, bukan dendam Ibu,” ujar Ibu meratap. ”Kamu dengar gemuruh itu? Mereka memburumu!”<br />
<br />
Ordil memiringkan kepala, menajamkan telinga. Ia mendengar langkah orang-orang tergopoh-gopoh. Ia pandang Ibu, meminta pendapat tindakan yang mesti ia perbuat.<br />
<br />
”Mereka akan membunuhmu. Lari, Nak, lari!” seru Ibu mengguncang-guncang pundak Ordil.<br />
<br />
Wajah Ordil yang tadi sumringah kini merayap tegang. ”Ibu…… bersama Ibu……!”<br />
<br />
”Tinggalkan Ibu, kamu yang mereka inginkan. Mereka tak akan menyentuh Ibu!”<br />
<br />
Langkah-langkah orang berderap di depan rumah, bersiap memasuki pekarangan. Anjing pelacak menyalak terus, tak sabar masuk halaman, menarik-narik tali yang digenggam kuat seorang pawang cekatan.<br />
<br />
Ibu menarik Ordil ke dapur, membuka pintu ke kebun belakang. Ordil memandang Ibu dengan gamang. Betapa tabah dan teguh hati perempuan itu, yang memilih memendam duka sendiri tinimbang mengobral cerita ke banyak orang.<br />
<br />
Pintu depan digedor orang-orang dengan nafas tersengal-sengal karena amuk amarah. Ibu menarik Ordil ke ambang pintu, memeluknya, mengusap kepala dan mengecup dahinya. ”Larilah sekuat-kuatmu, Nak. Pergilah sejauh kamu sanggup. Kelak akan ada cara buatmu untuk berkabar. Kita pasti bertemu!”<br />
<br />
”Maafkan saya, Bu.”<br />
<br />
Pintu didobrak, mereka kini di ruang depan.<br />
<br />
”Lari Nak, lari!”<br />
<br />
Ordil menerobos tanaman singkong, berlari kencang menembus batas petang dan malam. Para pemburu itu berdiri di ujung dapur, berkacak pinggang, menghunus kelewang. Anjing pelacak mengendus-endus seluruh ruangan.<br />
<br />
”Di mana dia?!” teriak geram laki-laki berkumis.<br />
<br />
Ibu tak menjawab, terpaku di samping tungku. Ia kenal baik laki-laki berkumis itu, sering menjadi utusan Dalem Sogata untuk menanyakan keadaan dirinya dan Ordil. Ia selalu santun kalau bertemu, kadang ngobrol lama menanyakan hasil kebun.<br />
<br />
”Di mana laknat itu!” hardik yang lain, langsung melompat hendak mencabik kain Ibu.<br />
<br />
”Jangan!” teriak laki-laki berkumis. ”Dia milik Dalem.”<br />
<br />
Anjing pelacak itu menyalak, moncongnya yang cerewet mendongak-dongak ke pintu belakang yang terbuka. Tubuhnya maju mundur tak sabar siap memburu.<br />
<br />
”Ayo, kita kejar! Cepat!” seru pawang yang ditarik-tarik anjing pelacak.<br />
<br />
Tengkuk Ordil merinding mendengar salak anjing. Para pemburu rasanya cuma sejengkal di belakang pundak, siap menerkam. Di atas tebing, dekat rumpun bambu, ia berhenti. Di bawah sana terdengar suara halus sekali, gemericik dan liukan air sungai yang pelit di musim kemarau. Ia harus menyeberangi sungai kalau ingin lolos, namun ia tak sepenuhnya yakin. Mungkin dengan menyamar dan bersembunyi lebih baik. Tapi, anjing pelacak akan tetap mengendusnya.<br />
<br />
Sempat ia berniat bersembunyi dengan memanjat pohon sengon yang dahannya menjulur ke atas kali. Tapi, ia memutuskan untuk memanfaatkan rimbunan pohon pisang gancan yang tumbuh subur di hadapannya. Ibu selalu menggunakan daun pisang gancan untuk mengusir kucing yang suka mencuri ayam panggang dalam sesaji. Daun pisang gancan diserakkan sekitar sesaji, dan kucing-kucing itu takut mendekat. Ordil ingin mencoba berlindung dari endusan anjing pelacak dengan membalut diri menggunakan daun pisang gancan.<br />
<br />
Ordil menarik daun-daun pisang, memutus dengan menyentak pelepah. Daun-daun itu ia lilitkan ke pinggang, membuat ia seperti menjadi sebatang pohon pisang gancan. Ia menuruni tebing, masuk ke sebuah ceruk yang dirimbuni pohon paku-paku dan pidpid. Air menetes-netes mengikuti aliran daun-daun kecil dan lancip.<br />
<br />
Ia mendengar langkah para pemburu berhenti di tebing, tiga meter di atas ceruk. Anjing pelacak berhenti menyalak, hanya mengeluarkan bunyi nguik-nguik tak teratur. Daun telinganya bergerak-gerak, kaki mengais-ngais. Anjing itu kehilangan jejak endusan, dengan hidung hanya bisa mendengus-dengus linglung dan bingung, mengapa buruannya lenyap tak berbekas.<br />
<br />
Laki-laki berkumis memerintahkan rombongan menuruni tebing, menerobos sungai, terus memburu sampai ke seberang. Ordil melihat dari sela-sela daun dan tetesan-tetesan air pemburu-pemburu bergerak gesit, sigap meloncat dari batu ke batu. Anjing pelacak terkaing-kaing tercebur ke air diseret pawangnya. Tadi binatang itu sangat dihargai sebagai penuntun, kini jadi beban merepotkan.<br />
<br />
Ordil keluar ceruk, merangkak dalam gelap naik ke tebing, berdiri di antara pohon pisang gancan. Ia pandang angkasa bertabur bintang, semoga mendapat berkah tentang arah mesti dituju. Lama ia tengadah dan tercenung, berharap di antara bintang-bintang bertemu sesuatu yang menyapanya.<br />
<br />
Tiba-tiba ia mendengar bisikan, ”Ke utara, Nak! Ke utara kamu harus pergi!”<br />
<br />
Ke utara berarti ke arah pegunungan, tempat para petani dan penggarap kebun bermukim. Dia melangkah mengikuti bisikan itu, menurutkan kata hati, dituntun bintang biduk. Daun pisang gancan masih melilit di pinggang, tak ada anjing menggonggong, karena kini ia bebas endusan.<br />
<br />
Tentu dia akan menjadi orang baru di sana, dan harus menyamar agar tak terlacak oleh orang-orang Dalem Sogata yang memburunya. Kepada orang-orang di daerah baru itu ia akan memperkenalkan diri, ”Nama saya Gancan.”kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6428097017162712544.post-13605359334533452842011-01-08T20:09:00.001-08:002011-01-08T20:09:19.417-08:00PerjalananOleh : Finsa E Saputra<br />
<br />
1.<br />
<br />
Selalu, kuingat tentang kisah picisan kita, Sonya. Setiap menelusur kota pada malam hari. Bahkan dari gigil udara malam, dendang solilokui tentangmu dapat memancing kehangatan.<br />
<br />
Bila, kata orang sebijak-bijaknya, jodoh merupakan salah satu tulang rusuk yang tercerabut. Tidak bagiku. Kau adalah sebelah mataku. Yang kugunakan untuk mengenal dunia.<br />
<br />
2.<br />
<br />
Sepanjang malam, gelap menyadurkan melankolia. Jalanan kota hari ini sepi. Malam semakin larut. Bebunyian yang tersisa hanya deru kendaraan malam. Yang terlambat bangun. Yang melintasi malam bersama kerahasiaan tentang tujuan. Perjalananku sendiri lamat saja. Decit roda motor menggilas aspal terdengar jelas. Belum pernah kurasa kota menjadi amat sepi. Malam ini, kota seakan lelah. Dan jatuh terlelap.<br />
<br />
Bagi seorang buta sebelah sepertiku, pelan adalah keselamatan. Menekuri ketelitian. Menghindari bakhil yang celaka. Hanya mata kiriku yang berfungsi. Tersisa dunia hanya bagi belahan pandang sebelah kiri. Semenjak beberapa tahun lampau. Ketika mata kananku kudonorkan. Lebih tepatnya, hadiah sebuah ulang tahun. Tak mengenal aku coklat, parfum mahal, pakaian, atau lingkar cincin di pergelangan jari manis—tak mampu pula isi dompetku menebus hal tersebut—sebagai hadiah. Maka kuberikan mataku sebelah kanan. Yang terjernih. Begitu membanggakan.<br />
<br />
Bulan mendengkur. Aku mendengarnya. Aku selalu dapat mendengar dengkurnya yang keras menggaung di antara awan dan gedung tinggi. Bulan selalu tertidur selepas tengah malam. Bosan barangkali. Lelah juga mungkin. Tapi kau selalu mengatakan, ”bulan bukan bosan. Ketika kota hening, ketenangan akan membiusnya.” Tak setuju benar aku perihal itu. Tapi memang keheningan selalu dapat membius. Keheningan adalah jenis racun dengan wujud yang lain.<br />
<br />
”Kau ingin hadiah apa untuk ulang tahun?” tanyaku pada pertengahan bulan September. Tahun lalu. Ketika kemarau membakar kulit. Kau tampak asyik melumat sebongkah pecahan es batu dalam mulut. Mengusir gerah.<br />
<br />
”Mobil!” Jawabmu sembari melempar senyum nakal. Kau selalu menggoda. Ah, alangkah hal ini membuat jantung berdegup. Dapat kuterjemahkan godaan tersebut dari matamu yang bulat, melirik dengan mengerdip.<br />
<br />
”Ayolah, aku ingin memberimu sesuatu kali ini.”<br />
<br />
Kau tertawa. Siang begitu jernih. Dapat kulihat bibirmu yang penuh bongkah es terbuka. Terkekeh. Kau tak percaya? Aku tersinggung.<br />
<br />
”Tak percayakah kau? Baiklah, Sonya, aku hanya seorang penulis lepas. Pengangguran di mata orang normal seperti kau. Yang tak selalu memiliki peser-peser uang. Bahkan selama ini, selalu pundi-pundi dan kiriman orang tuamu yang selalu kau bagikan. Maka, atas segala jasamu izinkan aku membalasnya. Dengan materi.” Meledaklah rasa payahku.<br />
<br />
”Oho, marah rupanya. Aku ikhlas melakukannya selama ini. Tak dapatkah kau mengartikan ketulusan, wahai penulis?” kembali kau terkekeh. Sebuah lesung pipit tersemat di hulu pipimu, kiri.<br />
<br />
Aku terpengkur. Nanar kesabaranku. ”Sonya, aku harus tahu apa yang sedang kau inginkan.”<br />
<br />
”Simpan saja uangmu.”<br />
<br />
”Mengertilah arti dari balas budi ini. Bukan hanya tentang berbagi. Harga diri. Aku ingin menggelontorkan materi untukmu.”<br />
<br />
”Budi, mengertilah. Sudah banyak bantuanmu.”<br />
<br />
”Tapi, bukan materi.”<br />
<br />
Sebuah kereta melintas di sisi kiri jalan. Derap rodanya bagai guntur. Memecah hening. Kota sekejap terbangun. Terdengar kembali klakson dan teriak orang. Rupanya perjalanan membawaku pada sebuah pasar. Aku keterusan. Tujuanku terlewat. Segera kucari jalur untuk memutar arah.<br />
<br />
3.<br />
<br />
Bahkan bertahun-tahun diriku masih berkantung kempis. Tak dapat kuberikan hadiah pada tepat ulang tahunmu. Sebagai cendera mata dari kedalaman kesungguhan. Tetap saja aku tak ber-uang. Bahkan, ketika dulu kujanjikan banyak hal, tak ada satu pun berwujud nyata. Kecuali racun yang bernama ketenteraman. Kecuali juga, seorang bayi manis—yang kerap menangis malam hari mengganggu persanggamaan kita. Dan tentu kecuali, sebutir mata sebelah kanan.<br />
<br />
Sudah luluh benar rasanya kejantananku. Kodrat sebagai seorang lelaki. Simbol kesuksesan. Ketika dulu aku melamarmu, kukatakan impian yang dapat membius wanita mana pun. Dan mimpi itu kini lapuk dimakan rayap. Waktu. Dan bumi yang berputar menyelipkan kusam. Seperti sesusun batu di balkon rumah susun kita—kita sebut sebagai tugu. Tugu yang kini tua dimakan cuaca. Renta melahapnya. Walau banyak tersemat nostalgia.<br />
<br />
”Maaf, Sonya, nasib baik enggan menghampiriku,” kataku ketika melahap makan malam. Perayaan dua tahun pernikahan; kau menggodaku pada sebuah jamuan; makanan lezat restoran mahal.<br />
<br />
”Apalah nasib baik itu, Budi? Perjalanan kitalah yang satu-satunya kunikmati.” Kau melumat sepotong daging dan lumatan halus kentang. Sambil menatapku dalam. Tak kau rasa ketika setitik saus hinggap di ujung bibir. Dengan kepala ibu jari kuusap. Kau tersenyum.<br />
<br />
”Tak dapat kuberikan hal menyenangkan. Tak dapat kuberikan sebuah mobil seperti impian kita sebelum menikah. Tak dapat.”<br />
<br />
Kau melintangkan telunjuk kurusmu di depan bibirku.<br />
<br />
Dan memang sepertinya hidupku harus berjauhan dengan materi. Seperti sebuah musuh. Sebuah pembantaian akan harapan. Gestapo kehidupanku, barangkali.<br />
<br />
Ketika ibu meninggal. Kuingat. Kau pun merelakan separuh gajimu untuk pembiayaan ibu. Uang yang kau cari setiap gelap dengan menjadi seorang pelayan klub malam.<br />
<br />
”Akan kuganti uang ini,” ujarku ketika dalam perjalanan pulang selepas menjemputmu. Malam telah pudar. Fajar menguncup di balik mega-mega.<br />
<br />
”Sudahlah,” tercium bau alkohol menyelinap keluar dari dalam mulutmu.<br />
<br />
Dan hingga kini tak dapat kuganti uang tersebut. Bahkan untuk kepul harum di atas meja makan, harus kurela menjadi seorang pengecat rumah serabutan. Ketika cerita-cerita picisanku hanya menjadi penghuni laci meja tulis.<br />
<br />
4.<br />
<br />
Malam semakin dingin. Waktu semakin bergeser. Dan pagi menunggu di ujung jalan. Terdengar kicau beberapa burung yang terjaga. Cukup untuk memberi kabar bahwa sudah waktunya kau pulang. Kutambah kecepatan. Bersalipan dengan waktu. Meskipun aku harus waspada juga. Aku hanya punya mata sebelah kiri, dan tak ingin tergelincir karenanya. Cukup sekali kusaksikan sebuah kecelakaan. Musibah. Sebuah peristiwa yang memerihkan.<br />
<br />
Musibah tersebut menghilangkan pandanganmu. Yang membutakanmu. Merenggut segala parawarna yang diciptakan untuk dikagumi. Menghancurkan asa.<br />
<br />
Kuingat, Sonya, hari naas tersebut. Sebagai lara yang tak tersembuhkan. Yang kelak kutahu bahwa hal tersebut sebagai penyiksa. Seperti kuingat tetumpuk batu yang kita bangun—kita sebut tugu. Di balkon tempat kita menghitungi lampu kota pada malam, tugu tersebut selalu mengingatkan pada masa-masa penuh kelaparan.<br />
<br />
”Aku lapar,” katamu. Kontan berhenti jari-jariku yang sedari pagi menari di atas tuts komputer. Mendadak diriku melemah. Serasa ada denyut nadi terpotong. Seminggu penuh, hanya dedaunan yang disebut kangkung—kukira lambung kita turut merayakan kemiskinan—yang dapat dikunyah. Kala itu, bulan sedang menutup umurnya. Tanggal tua.<br />
<br />
”Sedang nasi hanya tinggal satu gelas.”<br />
<br />
”Lapar.”<br />
<br />
Pekerjaan menulis memang sedang tak banyak. Sedangkan, upah mengecat belum juga dibayar. Ingin kupotong saja kemaluanku. Oh, kaum pria. Kaum pekerja.<br />
<br />
”Ayo duduk di balkon, mungkin ada yang dapat mengalihkan pikiran,” ajakku.<br />
<br />
Siang itu tak terlalu terik. Agaknya gerumbul awan berdesakan di cakrawalalah musababnya. Di dinding balkon, terpajanglah dengan cantik beberapa kaktus. Buah tangan ibu. Hadiah pernikahan kami. Pada dasar pot kaktus tersebut bertimbunlah bebatuan aneka warna.<br />
<br />
”Kaktus—tanaman tahan susah. Ibu seperti hendak menyindir,” kataku sembari memunguti beberapa batu dari kaki-kaki kaktus.<br />
<br />
”Hush.”<br />
<br />
Kutata bebatuan tersebut di lantai balkon. Membentuk sebuah limas. Kau tersenyum, bagimu menggelikan memang terus-menerus mendirikan bebatuan yang bandel. Bebatuan tak kenal disiplin. Permukaan batu yang berpori kecil membuat licin. Absurd.<br />
<br />
Setelah bergelut dengan ketekunan sekian lama, sempurnalah! ”Akan kuruntuhkan ketika kelaparan adalah makhluk asing bagi kita.”<br />
<br />
”Runtuhkan saja ketika kita punya mobil.”<br />
<br />
”Terserahlah.”<br />
<br />
Dan kemiskinan kian mesra. Berbulan kemudian kulihat tubuhmu tambah ceking. Bahkan setahun kemudian, ketika kau melahirkan Kaktus—anak kita. Kau tampak kekurangan gizi. Celakalah bagiku. Tak dapat merawat istri.<br />
<br />
”Pakai kata Kaktus untuk nama depannya. Agar tahan susah,” katamu di meja persalinan. Dan seperti kau duga, memang hidup bersama seorang anak tak menambah rezeki kita. Bahkan, dengan kepala tertunduk, aku (dan kau, Sonya) harus menitipkan Kaktus ke rumah ibumu. Dan kau meminta izin kepadaku untuk bekerja pada malam hari. Untuk pertama kali aku sesenggukan. Dan untuk kedua kalinya, aku merasa lemah. Hanya pikiran yang kupunya, dan perut buncit. Dan kemaluan—yang sangat ingin kutanggalkan.<br />
<br />
Dan untuk yang kedua kali sesenggukanku menjadi raungan, ketika pada sebuah pagi, klub malam tempatmu bekerja diserang gerombol pria bersurban dan berjubah putih. Mereka membakar tempat kau mengais nafkah. Meneriakkan nama Tuhan. Dan membabi buta. Menghancurkan apa saja. Memukuli siapa saja. Termasuk membawamu dalam lubang hitam bernama koma.<br />
<br />
5.<br />
<br />
Segala usaha pekerjaan kulakukan. Hingga sales kosmetik yang akrab dengan cibiran. Kesialan menguntitku. Bahkan aku selalu merasa ketika tertidur, kesialan memerkosaku. Aku seorang sarjana. Sarjana kebudayaan. Namun, dunia semakin praktis. Kebudayaan bukanlah barang sekali kedip, tak praktis, cenderung rumit, harganya tak lebih penting ketimbang sebungkus mi instan. Seribu lima ratus.<br />
<br />
Suatu waktu temanku yang bekerja pada sebuah koran menghubungi. Jawatannya membutuhkan seorang penulis. Bidang kebudayaan. Sebuah kolom. Di antara berita tentang mayat dan pelecehan manusia. Aku menerima dengan perasaan yang berbunga. Kelebatan pikiran yang muncul pertama adalah bayanganmu, Sonya—dan Kaktus, tanggung jawab kita. Sebuah ledakan meledak di dada. Seperti kembang api berharga jutaan. Dengan kaya warnanya mendebarkan getar semangatku. Sonya, akan kukabarkan hal baik ini padamu, segera. Bahkan aku ingin mendahului waktu. Sebuah pekerjaan tetap dan hadiah akan bertumpuk terbayang kemudian. Kita rayakan apa pun; ulang tahunmu, ulang tahun Kaktus, ulang tahun perkawinan, bahkan bila perlu kematian ibu—mengingat jasa beliau.<br />
<br />
Maka, kupacu sepeda motor menembus padat kota malam hari. Tak sabar rasanya mengabarkan sukacita. Harapan. Namun malam itu, tak dapat kutemui dirimu. Hanya gedung dan gerombol riuh manusia yang kutemui..<br />
<br />
***<br />
<br />
Kuingat, dua hari kemudian dokter menunjukkan hasil pemeriksaan. Visum menunjukkan kepalamu terantuk benda keras puluhan kali. Gegar otak. Bahkan bibit amnesia merupakan risikonya. Kaktus menangis semalaman. Ibumu juga. Dan aku meraung. Ketika dokter berkabar bahwa kau menjadi buta, aku kalap. Hampir kujotos dokter. Bila ia tak mengatakan, ”Mata kanannya masih punya harapan. Sedangkan mata kirinya rusak berat akibat hantaman. Kiranya mata kanan itu dapat sembuh apabila ada pendonor mata.”<br />
<br />
Dua hari kemudian kubagikan mataku. Dokter mengundangku ke ruang inapmu. Kulihat kau masih terpejam. Malam itu kau begitu cantik. Kulitmu begitu bersinar. Amat putih. Dan bibirmu yang menjadi biru, menyisir darahku dengan kekaguman. Sonya. Sayangku.<br />
<br />
6.<br />
<br />
Inilah tikungan terakhir, Sonya. Mari kita pulang. Esok kita jemput Kaktus dari rumah ibumu. Dan untuk menyambut pagi kita habiskan waktu dengan bercinta. Sonya, esok hari ulang tahunmu.<br />
<br />
Mintalah apa pun.<br />
<br />
Bahkan, bulan yang mendengkur sekali pun.<br />
<br />
Setelah sebuah tikungan ke arah kiri, terbayanglah senyummu. Kuhentikan sepeda motor di depan bangunan dengan tanaman rambat yang merimbun dan gosong yang kelam.<br />
<br />
Kutatap bangunan tersebut seperti menatap bulan yang jatuh ke atas ubun-ubunku, Sonya.<br />
<br />
Surabaya, 11 April 2010kolom penulishttp://www.blogger.com/profile/10571700679165295865noreply@blogger.com0