teks

selamat datang di blog saya

Sabtu, 15 Januari 2011

Warung Mak Tun

Oleh :Rangga Agnibaya

Sore itu, warung Mak Tuniah –atau biasa dipanggil Mak Tun, masih tampak lengang. Sudah biasa memang, orang ramai-ramai mendatangi warung Mak Tun pada malam hari, selepas magrib.
Warung Mak Tun jauh dari kesan negatif. Di situ yang ada hanya kopi pahit dan minuman hangat. Ada juga aneka gorengan dan makanan ringan lainnya. Suasana di warung Mak Tun sangat gayeng sekali. Setiap orang bebas berbicara tentang apa saja yang ingin dibicarakan, mulai dari omongan masalah politik sampai omongan yang paling cabul pun ada.

Berbicara mengenai warung Mak Tun, orang pertama kali akan mengingat Pak Dullah. Pak Dullah adalah suami Mak Tun yang mempunyai sejarah kelam di kampung ini. Dulu Pak Dullah adalah seorang pemimpin gembong pencoleng yang terkenal meresahkan warga. Setiap hari ada saja warga yang melapor telah menjadi korban dari gembong Pak Dullah itu. Aktivitas Pak Dullah meresahkan warga itu telah dijadikan profesi olehnya untuk menanggung beban keluarga. Tapi sekarang jamannya telah berganti.

“Mak, kopi satu.” dengan mulut penuh pisang goreng Soleh berkata pada Mak Tun.
“Jangan terlalu pahit ya Mak.” Belum habis pisang goreng yang ada di mulutnya, Soleh mengambil satu pisang goreng lagi dari nampan yang penuh dengan aneka gorengan. Mak Tun tidak menjawab, hanya tersenyum paham.

“Masih sibuk demo Leh?” kata Mak Tun seraya mengangsurkan kopi panas pada Soleh.
“Masih Mak, sebab yang didemo tetap nggak mau nurut.” Soleh menuang kopi panasnya pada lepek.
“Nurut sama siapa Leh? terus yang didemo siapa sih Leh?” Mak Tun berkata sambil terus berada di depan penggorengan. Namun sesekali dia bergerak ke meja di sampingnya, untuk menyiapkan adonan berikutnya.
“Ya nurut sama tuntutan kami Mak. Tempat hiburan malam yang kami demo itu, menurut desas-desus memang sudah kelewatan. Ada penari telanjanglah, narkoba, seks bebas, pokoknya macam-macam deh Mak,”
“Kan ada polisi Leh. Kenapa tidak diserahkan saja pada polisi?”
“Aah, polisi lambat Mak, tidak bisa diandalkan.”
Mak Tun tidak segera menanggapi penjelasan Soleh. Ada yang bergejolak dalam hatinya, tapi tak dapat disampaikan.
“Mak, Mak, Mak”. Soleh membuyarkan lamunan Mak Tun.
“I..iya…ada apa Leh?”
“Kok bengong sih Mak”
“Ah enggak kok Leh.” Mak Tun mengangkat gorengan yang telah matang dari atas penggorengan. Mak Tun masih terus berpikir, mudah-mudahan apa yang diperjuangkan oleh Soleh itu memang untuk kebaikan bersama, dan mewakili semua orang.
“Bagaimana kabar Pak Dullah, Mak?”
“Allhamdulillah Leh, sudah dua minggu ini bekerja”
“Syukur, kerja di mana Mak?”
“Yang Mak tahu sih jadi pesuruh, yang penting nggak seperti dulu lagi. Ya, mudah-mudahan benar Leh.”
“Ya, mudah-mudahan Mak. Memang di jaman seperti ini, kerja apa saja tidak jadi masalah yang penting halal. Negara kita ini lagi busuk, kayak pejabatnya.”

Malam semakin larut, semakin banyak saja orang yang datang ke warung Mak Tun. Seperti biasa, minum teh atau kopi, makan gorengan, sambil melepaskan segala unek-unek, pendapat, dan cerita dengan sesama pengunjung warung. Dan sesekali derai tawa mereka membangunkan malam yang tengah terlelap.

***

Matahari telah lepas landas sejauh sepenggala tangan dari garis cakrawala. Sinarnya yang tadi terasa hangat di kulit, perlahan mulai terasa menyengat. Tapi angin masih terus berderai, membuat kawanan pohon bambu bergoyang syahdu. Orang-orang hilir mudik di depan warung Mak Tun yang masih tutup. Sapaan hangat penuh basa-basi antar warga telah menjadi pemandangan biasa di negara yang penuh kepura-puraan ini.

Pak Dullah duduk termenung di balai-balai yang ada di samping warung, ditemani segelas kopi panas dan satu bungkus rokok. Asap terus mengepul dari mulutnya yang berhias kumis yang lebat. Kumis dari mulut tua itu telah didominasi oleh warna putih keperakan. Garis wajahnya tak lagi menampakkan kesangaran, yang dulu membuat warga kampung ini selalu bergidik jika berpapasan dengannya. Yang ada kini hanya seorang tua yang telah sadar, bahwa hidup itu seperti bermain teater, harus bisa memainkan beberapa lakon, baik susah, senang, jahat, atau baik, tergantung Sang Sutradara Yang Maha Agung.

Mata Pak Dullah memandang lurus ke depan, tapi kosong tak punya fokus. Ada yang berkecamuk dalam hatinya. Di dalam otaknya jelas terbayang masa-masa di kala dia masih menjadi sosok yang disegani di kampung ini. Menjadi pimpinan pencoleng merupakan suatu hal yang tidak pernah disesali oleh Pak Dullah. Sebab bagi Pak Dullah, bukan dirinya yang memilih jalan yang dikutuk itu, jangankan pilihan, malahan Pak Dullah merasa tidak punya pilihan. Keadaan yang telah mengutuk Pak Dullah menjadi bajingan. Keadaan susah, tertekan, ekonomi yang sulit, dan yang paling berjasa besar menjadikan Pak Dullah seorang bajingan adalah keadaan negara yang tengah busuk, sebab dikerat habis-habisan oleh para kutu busuk, sehingga semuanya menjadi sulit.

Hanya karena kematian anak satu-satunya, Pak Dullah berhenti dari dunia hitam itu. Sebab orang-orang berkata bahwa kematian anaknya merupakan karma dari apa yang selama ini dia perbuat.
Seperti biasa, selepas magrib warung Mak Tun kembali ramai. Suara canda dan gelak tawa sesekali mewarnai suasana yang benar-benar gayeng itu.
“Mak, seperti biasa”
“Kopi, tapi tidak terlalu pahit.” Jawab Mak Tun tanpa memandang Soleh.
“Siiip….oh ya Mak, tadi pagi saya lihat Pak Dullah sedang melamun di samping warung, apa tidak bekerja?”
“Saya tidak tahu Leh, dia bilang tempatnya bekerja sudah tidak membutuhkan tenaganya lagi. Tapi kepastian dia bekerja lagi atau tidak, baru ditentukan besok. Dan kalau benar dia tidak bekerja lagi, kami akan balik ke desa saja jadi petani.”
“Loh, Mak, itu tidak bisa didiamkan saja. Kita rakyat kecil jangan mau diperlakukan seenaknya saja. Habis manis sepah dibuang. Bilang sama Pak Dullah, itu bisa diperjuangkan, selama kita mau. Kalau perlu kita ganyang habis-habisan pihak-pihak yang membuat hidup kita jadi susah.”
“Saya tidak tahu Leh masalah seperti itu. Biar saja orang-orang yang membuat hidup kami jadi susah itu mendapat balasannya kelak.”
Beberapa saat suasana antara mereka menjadi hening. Sedang Orang-orang masih ramai dengan obrolan mereka masing-masing.
“Demomu bagaimana Leh?” Mak Tun memecah keheningan.
“Belum ada perkembangan, Mak.” Kata Soleh, enggan.

***

Teriknya matahari benar-benar membakar kulit. Bahkan angin yang berhembus pun terasa hangat di tubuh. Tapi semua itu tak membuat semangat puluhan orang yang sedang berdemo menjadi kendur. Mereka terus berteriak dengan lantang menyampaikan aspirasinya, tak peduli dengan debu-debu yang membuat kerongkongan mereka menjadi tersekat. Barisan pendemo itu terus merangsek maju mendekati gedung. Sosok Soleh tampak di tengah-tengah puluhan pendemo itu. Dengan ikat kepala dan berbagai aksesoris yang menunjukkan identitas golongannya, dia berteriak keras seperti yang dilakukan oleh pendemo yang lain. Lalu tiba-tiba terdengar sebuah komando yang cukup lantang dari salah satu pendemo.
“Maju terus, hancurkan kekuatan Kafir.”
Masa akhirnya semakin tidak terkendali. Menghancurkan segala sesuatu yang mereka temui di depan gedung itu.
“Serbu…….” Dan terjadilah perang dunia ketiga dengan dalih menegakkan kebenaran. Batu-batu berterbangan menghujani kaca-kaca gedung. Hingga hancurlah bagian depan gedung tersebut.
***
Malam menjelang, tapi hanya sedikit bintang-bintang yang sudi menemani bulan malam itu. Burung malam bernyanyi gelisah, dan warna pekat pada malam terasa lebih pekat dengan celoteh gagak yang terdengar jarang-jarang dari kejauhan. Jangkrik berkerik ramai, entah sedang berpesta atau sedang berdoa. Hanya suara radio yang berasal dari pos kamling dekat kuburan, terdengar sebagai nada sumbang dalam orkestrasi alam itu.Malam itu warung Mak Tun tutup, sehingga banyak orang yang akan ngwarung di warung Mak Tun kecele dan kembali pulang. Mak Tun sendiri berada di rumah bersama suaminya, Pak Dullah. Mereka tengah mengemasi pakaian dan barang-barang mereka untuk dibawa pulang ke desa besok pagi.

“Pak, apa tidak bisa diperjuangkan dulu.” Kata Mak Tun sambil terus mengemasi barang-barang.
“Apanya yang diperjuangkan toh bune, wong memang tempat bapak bekerja sudah tidak memerlukan tenaga bapak lagi kok. Mau gimana lagi? memang seperti inilah keadaannya.”
“Tapi kata Soleh, kita jangan mau diperlakukan seenaknya saja. Habis manis sepah dibuang”
“Soleh siapa toh bune?’
“Itu loh pak, Soleh anaknya Pak Diman”
“Oo”
“Atau kita ganyang saja tempat bapak bekerja, sebab sudah sewenang-wenang kepada kita. Kita minta bantuan sama Soleh saja.”

Mak Tun berhenti mengemasi barang. Raut wajahnya jadi sangat serius. Dia berdiri dengan gelisah, lalu duduk tepat di sebelah suaminya itu.
“Bune, bune kamu itu ngomong apa toh.” Pak Dullah menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. “Aku kasih tahu ya bune, kita tidak perlu repot-repot mengganyang tempat bapak bekerja, sebab perusahaan itu sudah diganyang dulu sama orang-orang yang menganggap tempat bapak bekerja kafir, malah sudah diporak-porandakan gedungnya. Dan karena itulah bapak kehilangan pekerjaan, tempat bapak bekerka tidak memerlukan pegawai lagi, sebab dipaksa tutup. Jadi bukan karena mereka sewenang-wenang. Jangankan bapak yang pegawai rendahan bune, wong pegawai atasan saja kehilangan pekerjaan kok.” Mak Tun terperangah mendengarkan penjelasan suaminya itu. Untuk beberapa saat tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Ooalaaah…tega benar orang-orang itu. Gara-gara mereka, banyak orang yang jadi susah.” Mak Tun membatin dalam hati. Malam semakin pekat dan sunyi, nyanyian burung malam terdengar merdu di telinga Mak Tun yang sedang gundah gulana.

***
Sudah tiga hari Soleh mendapati warung Mak Tun tutup, dia sendiri tahu kalau Mak Tun telah pulang ke desa, sebab Pak Dullah telah kehilangan pekerjaannya. Begitu juga orang-orang lainnya, mereka merasa kehilangan tempat favorit mereka untuk bersantai selepas bekerja seharian.
“Kasihan Mak Tun dan Pak Dullah, mereka menjadi korban dari kepentingan orang lain. Terkutuklah orang-orang yang membuat hidup mereka menjadi susah itu.” Soleh membatin dalam hati ketika melewati warung Mak Tun yang sunyi. Dan sekali lagi terdengar suara ribuan jangkrik yang ramai berkerik, entah sedang berpesta, berdoa, atau mungkin mencibir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar