Raung Yang Sia-Sia
Dalam kencang raung yang menggaung sia-sia,
Aku serupa macan betina di gigir tubir paling nadir
Yang paling senja dan kehilangan irama, hanya menahan duka melara
Mencekik-cekik leher yang telah menyempit, ceking oleh gerus waktu
Dalam kencang raung yang sia-sia, lekas menua usia, yang kutunggu tetap
Penantian sebagian rasa jemu, dari sebagian cerita yang hilang,
Mengarus entah kemana.
Raung yang sia-sia
Raung yang kencang, menua usia
28 Oktober-November 2010
Sedarah Senafas
Kita saudara sedarah dan senafas
Sama-sama lahir dari lubang yang sama
Ayah yang berkenan menyisipkan ikan-ikan
Mirip batangan korek api mikroskopis
Tapi hanya yang terkokoh, yang tertangguh
Kemudian bertemu mutiara milik ibu
Di gua misterius, gelap, sangat rahasia
Di kedalam gua itulah
Mereka saling memecahkan sandi kehidupan
Mengeja bentuk-bentuk yang angker
Hingga mampu mewujud
Merupa semacam aksara yang dibaca
Sebelum Tuhan sudi menterjemahkannya
Mejadi darah, menjadi nafas
Menjadi aku juga menjadi kamu
Denpasar, 07/16 November 2010
Sajak Celana Dalam
entah berapa waktu kau dan aku lalui
sampai akhirnya kau tahu pun aku
berada di selangkanganku itu
adalah senikmat memilikimu
Juni – September-November 2010
Dalam kencang raung yang menggaung sia-sia,
Aku serupa macan betina di gigir tubir paling nadir
Yang paling senja dan kehilangan irama, hanya menahan duka melara
Mencekik-cekik leher yang telah menyempit, ceking oleh gerus waktu
Dalam kencang raung yang sia-sia, lekas menua usia, yang kutunggu tetap
Penantian sebagian rasa jemu, dari sebagian cerita yang hilang,
Mengarus entah kemana.
Raung yang sia-sia
Raung yang kencang, menua usia
28 Oktober-November 2010
Sedarah Senafas
Kita saudara sedarah dan senafas
Sama-sama lahir dari lubang yang sama
Ayah yang berkenan menyisipkan ikan-ikan
Mirip batangan korek api mikroskopis
Tapi hanya yang terkokoh, yang tertangguh
Kemudian bertemu mutiara milik ibu
Di gua misterius, gelap, sangat rahasia
Di kedalam gua itulah
Mereka saling memecahkan sandi kehidupan
Mengeja bentuk-bentuk yang angker
Hingga mampu mewujud
Merupa semacam aksara yang dibaca
Sebelum Tuhan sudi menterjemahkannya
Mejadi darah, menjadi nafas
Menjadi aku juga menjadi kamu
Denpasar, 07/16 November 2010
Sajak Celana Dalam
entah berapa waktu kau dan aku lalui
sampai akhirnya kau tahu pun aku
berada di selangkanganku itu
adalah senikmat memilikimu
Juni – September-November 2010
Menikahlah Denganku
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan menggelombang laut
yang melebur sukma
seirama debur
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan terbitkan sengat matahari
lekas menguapkan
melenyapkan
tanpa jejak
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan mengekori hujan
gigil dan kuyup
lalu hanyut
dan luruh
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan memegangi angin
rela menghempas
menyangkutkan
ke tempat paling tepi
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan merebah diri
meredam dalam tanah
bersama remah
mengurai usia
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
lelaki yang menunggumu
sekalipun pernah
kau memilih
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan menggelombang laut
yang melebur sukma
seirama debur
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan terbitkan sengat matahari
lekas menguapkan
melenyapkan
tanpa jejak
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan mengekori hujan
gigil dan kuyup
lalu hanyut
dan luruh
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan memegangi angin
rela menghempas
menyangkutkan
ke tempat paling tepi
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
jangan merebah diri
meredam dalam tanah
bersama remah
mengurai usia
Mari, mari menikah
menikahlah denganku
lelaki yang menunggumu
sekalipun pernah
kau memilih
Denpasar, September-Oktober 2010
- untuk gadis kekunang
Di malam yang semakin lungsur
Di tahun yang selalu membulat
Bulan-bulan yang teramat gelap
Hari-hari yang memekik laknat
Situasi yang lekas memancingku
Rindu pada rupa pada parasmu
Entah kemana suaramu menali
Aku terjerembab di lumpur sunyi
Bila mulai langsap bulan di atas
Kepalamu mencahaya pelangi
Segala penjuru di sana melingkar
Seribu tarian tergesa dalam pentas
Tak peduli buram meremas-remas
Terlebih ini kelam mengerat-ngerat
Tak satupun asa meredup pijar
Apalagi gigih digiring hanyut
Aku telah berjanji pada nurani
Tapi sering pula lekas ingkari
Sebab ingatan selalu mengimaji
Suara pun bisa lepas dari doa
Di suatu malam yang tergelap
Aku akan senantiasa datang
Berbekal puisi membawa isi
Dengan takdir yang usai kudebati
Begitulah liku memulai jalan ini
Dan kau tentu berharap tahu
Sejauh selekas selaras sedalam
Sedangkal apa yang kan kucari
Maksud yang tak tertahan
Ini niat telah hendak kepal di dada
Aku ini kini meruncing mendekati
Kau lekas tersenyum sungging
Tidak ada komentar:
Posting Komentar