Lampu minyak bergoyang perlahan, tersapu angin kemarau. Apinya berkebit-kebit, bahkan pada saat tertentu nyaris padam. Malam pekat di luar sana, namun juga sepekat kabut yang menyelimuti perasaan Duryudana.
Karna. Nama itu kini seakan menambah persoalan yang dihadapinya.
Dulu, hanya Arjuna yang dikhawatirkannya akan merebut Surtikanti, namun
setelah dilihatnya Surtikanti agak tak acuh pada Arjuna, Duryudana agak
tenteram.
Piala anggur di tangan kirinya. Rambutnya kusut. Wajahnya keruh
dimainkan cahaya api minyak. ”Suruh Togog kemari.” perintahnya dingin
pada penjaga ruangan.
Sang penjaga segera undur dan beberapa saat kemudian kembali bersama
seorang laki-laki tua, gemuk. Laki-laki itu membawa sebuah kotak,
berisi sitar.
”Tuanku?” sapa si laki-laki gemuk dengan
suara seperti terkulum oleh bentuk mulutnya yang tampak terlalu besar
dibandingkan keseluruhan kepalanya. Sedemikian besar mulutnya sehingga
seolah-olah orang hanya melihat wajah Togog Tejamantri hanyalah bibir
yang bermata dan bertelinga.
Tanpa memandang kehadiran Togog, raja muda itu meneguk anggurnya.
Lalu, ”Gog… apa yang bisa mengobati kekhawatiran hati manusia.”
Togog tertawa. Lalu jemarinya mulai memetik dawai-dawai sitar. Nada pun mendenting-denting.
”Kekhawatiran,” Togog tersenyum dan menggantung ucapannya sesaat.
”Ya…, perasaan takut kehilangan. Kehilangan karena kita merasa
memiliki….”
”Apa ini sebuah permainan, Gog?”
”Permainan, tuanku?”
”Aku merasakan diriku dipermainkan.”
”Dipermainkan, tuanku?”
”Dia seperti melihat dan menimbang dengan kedua bola matanya
sekaligus, yang anehnya masing-masing melihat sesuatu yang berbeda.”
”Ha-ha-ha-ha-ha… perasaan tuanku mengatakannya demikian, tetapi, menurut hamba….”
”Memang aneh, Gog, perasaanku ini…”
”Ha-ha-ha-ha… Mengapa tuanku tidak melihat dengan seribu mata?”
”Gog, jangan memberiku pertanyaan aneh. Hidupku sudah aneh.”
”Tuanku adalah raja segala raja. Lebih tinggi daripada Gunung
Mahameru. Menjulang menggapai awan gemawan.. tentunya tuanku memiliki
apa yang hamba maksudkan.”
”Gog…”
”Hamba, tuanku….”
”Menyanyilah….”
Togog tersenyum. Jemarinya menjentik-jentik nada-nada yang tersimpan pada setiap dawai sitar.
”Ada yang berkisah, tentang seorang lelaki resah…
hidupnya bergelimang harta dan mewah
bersama angin dia pergi, mencari sunyi
dengan kaki luka, dia menghancurkan keangkuhannya
berjalan menyeruak semak, seorang diri
mencari jalan menuju keabadian sejati
Tak ada lagi pintu untuk diketuk
Tak ada saudara untuk dijenguk
Dia abaikan istana, dialah Pa..”
”Berhenti sebentar.” Duryudana menabrak keheningan yang mengalir dari suara Togog.
Togog berhenti menembang. Jemarinya masih sesekali menjentik-jentik dawai. Nada merambat nyaring memenuhi sepi malam.
”Apa kau percaya pada perempuan?”
Togog tersenyum. Majikannya terbakar asmara. Putri dari Mandaraka
itu memang jelita. Dan Togog tahu, siapa yang telah bertahta jauh di
lubuk hati putri cantik itu.
Majikannya memang memiliki takhta kekuasaan gading, berbalut emas,
namun tak mampu memindahkannya ke ruang paling dalam kehidupan
Surtikanti. Menyakitkan, memang. Namun, itulah harga yang harus dibayar
ketika manusia harus memilih.
”Hamba percaya, tuanku….”
”Mengapa?” Duryudana meneguk anggur, lalu menyambungnya, ”Apa yang membuatmu percaya?”
”Karena perempuan berkata dengan hatinya, tuanku.”
”Togog, jangan menyindirku….”
Togog diam, hanya tersenyum.
”Aku tahu, dia memilih Karna. Tetapi, bagaimana dengan aku? Mengapa
dia memilih Karna. Apa hebatnya Karna? Bahkan, derajatnya pun aku yang
memberinya. Kini, bahkan dia menjadi pembicaraan para prajurit. Namanya
berkobar bagai api, siap menghanguskan rimba raya kejayaanku. Bangsat!”
dan piala anggur itu dilemparkannya. Bergelontang benda yang sesaat
lalu ditimang dan dipandangnya penuh kebanggaan itu. Menggema jauh
suaranya, sesaat kemudian teredam sunyi.
Togog hanya diam. Dia hanya tersenyum dalam hati dan menjawab
pertanyaan Duryudana dengan pertanyaan sederhana: mampukah kau, wahai
anak Drestrarastra, berguru pada Parasu? Mampukah kau, wahai anak
Gendari, berpisah dari kedua orangtuamu? Karna mampu menelan kenyataan
paling pahit dalam hidupnya, dan karenanya dia layak menerima kemampuan
itu. Dia bagai sebuah pedang yang terasah batu paling keras, sehingga
layak mendapat ketajaman sehebat itu.
”Togog, apa kau pernah merasakan kepedihan seperti ini?”
”Tuanku.. tak ada obat untuk perasaan sakit seperti itu. Apakah tuanku pernah menyatakan perasaan tuanku pada Surtikanti….”
”Tentu saja.”
”Oh, tentu tuanku, tentu….”
”Tentu saja, dia seharusnya mengerti..”
”Ooh? Ha-ha-ha… ha-ha-ha…” dan seperti menirukan ucapan Duryudana Togog bergumam, ”dia seharusnya mengerti….”
”Diam, kau Togog.”
Namun, Togog malah terbahak-bahak. Duryudana tertunduk, kalah oleh
gema suara Togog yang terasa jauh lebih tua daripada segala yang ada di
ruangan itu.
”Tentu, seharusnya dia mengerti. haha-ha, Duryudana tuanku,
junjunganku, tuanku seharusnya bicara sebagai Duryudana, bukan sebagai
raja Hastina.
Karena sebagai raja, tuanku hanya memperoleh setangkup sembah.
Tuanku adalah kekuasaan. Mana mungkin orang mampu bicara di depan
kekuasaan?
Namun, bila tuanku bicara sebagai Duryudana, yang laki-laki biasa.. maka hatinya akan terbuka….”
”Ajari aku tentang itu,” ucap Duryudana lirih. Dikenakannya selimut kain untuk membungkus tubuhnya yang tiba-tiba terasa dingin.
Denting dawai mengisi sunyi. Menenangkan gelegak amarah. Suara Togog
menggaung menembangkan kisah manusia yang bersedia ”menelanjangi” diri.
Kisah seorang manusia bernama Palasara, yang mengembara, membuang semua
kilau harta. Menjelajah lembah, menyeruak semak, membiarkan diri
ditelan hutan. Dialah moyang keluarga besar Hastinapura.
Palasara manusia yang menghamba dan karena itu tak ingin memperhamba
orang lain. Dia tolak singgasana dan memilih kegelapan gua-gua sebagai
gantinya. Dia mencari keheningan nurani di jalan orang papa, dan
menjauhi kehirukpikukan istana. Palasara mempersiapkan keabadian
hidupnya, dan sedang berlatih menjalani kehidupannya kelak di alam
kekal. Dan apalah arti hidupnya yang hanya terdiri dari darah, daging
dan tulang-belulang ini, jika dengan meninggalkannya dia memperoleh
hidup yang jauh lebih bermakna? Maka, wahai anak tertua bangsa Kuru,
apalah arti seorang perempuan yang bahkan tak mengganggapmu ada,
sedangkan Palasara dengan senang hati menyerahkan istri yang
dicintainya kepada orang lain?
***
Belum lagi usai Togog mendendangkan tembangnya, dilihatnya Duryudana
tertunduk. Dia menangis bagai anak kecil kehilangan mainan dan takut
dimarahi ibu-bapaknya. Pundaknya terguncang-guncang, merasakan sakit
yang menusuk ulu jiwanya.
Togog, manusia tua itu, berjalan mendekati rajanya. Kini dia adalah
orangtua, yang jauh lebih memahami perasaan seorang anak kecil yang
kini terendam kepedihan. Diusapnya kepala Duryudana, sebagaimana dulu
ketika dia masih bocah. Di mata Togog, Duryudana tak lebih dari seorang
bocah yang harus memikul beban terlalu berat. Harapan dan impian
ibundanya, orang yang melahirkannya, terlalu besar. Di balik
kegagahannya, Duryudana ternyata hanyalah bayangan, atau bahkan hanya
sebuah telapak kaki bagi kehendak dan impian Gendari; ibundanya.
Telah untuk kedua kalinya raja muda itu mengalami kepahitan
menghadapi perempuan. Dulu, ketika dia diam-diam dijodohkan dengan
Erawati—putri tertua Prabu Salya, sebetulnya Duryudana kurang suka.
Namun, karena Gendari mencengkeramkan kuku elangnya, dan Duryudana
hanyalah seekor anak ayam, maka anak muda itu pun mengalah. Dia mencoba
menyukai pilihan bundanya dan memang pada akhirnya dia merasa tertarik
pada Erawati.
Erawati pun—sepengetahuan Togog, sebetulnya tak memiliki alasan
untuk menolak Duryudana. Nyaris sempurna. Maka, hubungan diam-diam itu
pun sebetulnya telah terjalin. Namun, setelah Duryudana mulai terbawa
oleh perasaan kerinduannya pada Erawati—yang diam-diam dirindukannya
lebih sebagai ibu daripada istri, tiba-tiba perkawinan itu batal begitu
saja. Erawati dikawinkan dengan Kakrasana dari Mandura.
Maka dengan kepahitan yang serupa, Duryudana pun dipaksa menelan
kenyataan, harus memilih Surtikanti—anak Prabu Salya yang nomor dua.
Namun, kini, ketika semua bahkan sudah mengetahui secara gamblang
hubungan keduanya, tiba-tiba muncul Karna. Dan Karna, seakan tak
memandang sebelah mata pada Duryudana. Pesona dan kehebatan Karna
memang tak bisa dilawan dengan harta dan kekuasaan.
Itulah sebabnya Togog merasa iba dengan anak muda yang kini menangis
sesenggukan itu. Sejak kecil dia tak pernah diberi pilihan, dan hanya
menjalani apa kata Gendari, yang dibantu Suman; adiknya. Duryudana tak
bisa melihat pilihan lain. Otaknya seperti kosong dan hanya bisa
melakukan sesuatu atas perintah dan petunjuk ibunya. Kakinya hanya
melangkah manakala ibunya menyuruhnya melangkah. Sementara, mungkin,
jauh di lubuk jiwanya, keinginan untuk memberontak itu sudah ada, hanya
saja.. tak mungkin dia mampu mewujudkannya. Persoalan pelik itu terus
bergulung-gulung di dalam jiwanya.
Kekhawatiran akan hilangnya Surtikanti dari tangannya, bukanlah
semata-mata sebuah tamparan besar karena dia seorang raja. Kegagalan
menyunting Surtikanti adalah sebuah tusukan telak bahwa dirinya
bukanlah laki-laki yang layak mendapatkan cinta seorang perempuan.
Inilah, yang di mata Togog, membuat Duryudana menangis merasakan
kepedihannya.
”Tuanku.. ini sebuah pelajaran..” ucap Togog dengan suara parau.
Ucapan yang keluar, setelah menyimak gemulung persoalan Duryudana.
”Tetapi, ini terlalu mahal…,” jawab Duryudana. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Togog, yang berdiri dengan ketuaannya.
”Tak ada pelajaran yang tak berharga, tuanku.”
Duryudana tegak perlahan, kemudian berjalan menuju jendela yang
terbuka lebar, seakan ingin menghirup kekelaman malam beku di luar sana.
Raja bangsa Kurawa itu mencoba memandang jauh ke depan. Dibiarkannya
kebekuan malam kemarau panjang itu berhembus menerpa kulitnya. Dongeng
kuna tentang Raja Palasara yang mengembara, seakan memberinya kekuatan.
Dulu dongeng itu diabaikannya karena baginya hanyalah sebuah isapan
jempol. Dulu kisah itu dianggapnya sebagai upaya manusia untuk menutupi
ketidakmampuannya mengurus kerajaan. Namun, kini, kisah itu
sesungguhnya mengajarkan betapa besar kekuatan dan kekuasaan Palasara.
Sedemikian besar dan kuatnya, sehingga Palasara mampu menentukan
pilihan hidupnya. Palasara mampu menepiskan keakuannya, menjadikan
dirinya sebagai humus, yang akan menyuburkan pertumbuhan anak cucunya
di kelak kemudian hari..
Sementara Togog melantunkan sepenggal tembang:
[1] Ada lagi sebuah kisah tentang seorang raksasa
Menyiramkan darahnya sendiri bagi kebebasan negerinya…
[1] terjemahan bebas dari Serat Tripama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar