oleh:Radhar Panca Dahana
“Ambillah! Aku ikhlas. Ambillah dan cepat pergi!” Tapi perempuan tua
dengan anak tiga tahunan di gendongnya itu tetap kaku di tempatnya.
Wajahnya pias, beku tak berdarah, seperti mayat yang baru terbenam
dua-tiga hari: wajah yang tak berwarna. Tubuhnya yang menggigil kecil
tapi menjangkau seluruh tepi jasadnya itu, menandakan ia hidup. Tentu
saja ia hidup. Baru tiga menit lalu, handphone dan lembaran seratus
ribuku pindah dari kantong celana kiriku ke kain gendongan anaknya,
dalam drama kecil yang terjadi tak sampai lima menit.
Itu belum dimulai ketika bus kota yang
kutumpangi mulai memasuki kawasan Cawang. Jam lima sore lebih. Aku
malas mengangkat pantat, mungkin karena wanita muda sebelahku duduk
seperti memberi kode padaku. Entah apa. Mungkin balasan dari kode yang
kusampaikan dengan, seolah tak sengaja, menjawil ujung lututnya yang
terbuka. Aku mengintip dengan sudut mata kiriku. Wanita muda itu
seperti tersenyum sendiri. Sesungguhnya malu kalau aku merasa
tersanjung.
Tapi kuingat istriku dengan masakan yang menunggu. Juga Bersihar,
anak lelakiku kedua yang menunggu janjiku mengajaknya ke komedi putar.
Maka, terpaksa aku berdiri tepat saat kondektur meneriakkan halte
Cawang, dan wanita muda itu masih tersenyum sendiri. Ia tidak tersenyum
untukku. Aku menghela napas dan melempar tubuhku secepatnya ke arah
pintu belakang. Penumpang cukup padat. Drama pun dimulai.
Bus kota hampir berhenti. Di tangga pintu belakang, tak kurang
delapan orang berjejal. Semua perempuan. Semua setengah baya. Dua di
antaranya menggendong anak. Di belakangku empat orang lain mendesakku.
Semua perempuan tua. Satu yang menggendong anak tepat di belakangku. Ia
mulai mendorong, mendesakku dengan kata-kata penuh cemas,
mengingatkanku kepada anaknya. Dua orang lagi mendorong. Pantatku
ditekan-tekan. Kemejaku ditarik hingga hampir lepas dari selipan
celana. Tiga orang perempuan di depanku bergoyang selaiknya orang
berebutan. Ada sesuatu yang mendorong celana, kantong celana kiriku.
Ada yang tak beres! Aku sigap berkelit dan menengok. Sepotong tangan
mungil terjuntai dari balik kain, tepat di mulut kantong celana kiriku.
Aku mengebaskan pandang ke arah perempuan tua penggendong anak di
belakangku. Tiga orang kiri kanan menggoyangku. Aku mengelilingkan
pandang. Tak kurang selusin perempuan tua di sekelilingku. Dan segera
aku sadar. Kurogoh kantong kiriku. Handphone dan lembaran seratus ribu
sudah tak ditempatnya.
Aku meluap. Tensi darahku pasti melonjak 170, seperti biasanya.
Tangan mengepal seperti hendak berayun. Saat itu, perempuan tua dengan
anak digendongnya mendadak kaku dan bergetar. Wajahnya kertas singkong
yang sangat muram. Semacam putus asa yang menyisakan kematian. Kalau
kemudian aku lepaskan dia dan merasa menyesal di tiga menit kemudian,
bukan karena hartaku lenyap. Namun, gerombolan perempuan tua itu turun
bersama dan pergi dengan segera. Beberapa terdengar mengikik tertawa.
Dua di antaranya menoleh ke arahku sekejap. Entah bagaimana wajah
perempuan tua tak berwarna tadi. Aku tak bisa melukainya. Tentu, aku
tak bisa. Tak bisa.
Istriku mengumpat habis di rumah. Bersihar tak jadi ke komedi putar.
Siaran televisi menjelang malam itu kembali dengan program yang dia
gemari. Seperti biasa, lelaki 30 tahunan itu sudah menyiapkan dengan
saksama, ritus menonton tengah malam itu. Segelas kopi besar dengan es
batu besar-besar, sepiring keripik kulit mangga, dan saputangan untuk
ingusnya yang selalu keluar menjelang tidur. Tegukan pertama kopi ia
telan begitu acara dimulai, diikuti gerak otomatis tangannya merangkai
keripik di mulutnya.
Malam ini, siaran itu menyajikan tiga orang pemangsa yang tidak
biasa. Yang pertama, lelaki tua asal Thailand yang menyantap berbagai
jenis serangga seperti kodok, kadal, tikus, hingga ular kecil sebagai
menu sehari-harinya. Yang kedua, perempuan tua Ukraina pemamah tanah
kotor berpasir, tiga kali satu hari dengan piring yang cukup besar.
Kadang ia makan langsung dari ember, bahkan dari galian tanah di hutan.
Cacing atau binatang-binatang kecil ikut di dalamnya.
Yang ketiga, lelaki muda Jawa Timur dengan dua menu istimewa setiap
hari. Jika tidak sepiring belatung, lain waktu sepiring kaca. Ketiga
orang itu semuanya sehat. Hanya perempuan Ukraina sedikit turun
hemoglobinnya. Tapi tak berpengaruh. Mereka mengaku sama berliur jika
melihat santapannya menggeletak begitu saja di jalanan. Tak tahu kapan
mereka akan berhenti dengan menu seperti itu. Mereka merasa tak
memiliki alasan untuk berhenti. Dan lelaki 30 tahunan itu menyeka
hidungnya dengan saputangan.
Esok harinya, ia menemukan ulat di balik sayur sawi buatan istrinya.
Ia tak berteriak seperti biasa. Ia coba menelannya. Tapi kemudian
merasa lebih baik mencoba mengunyahnya.
Padri adalah jagoan PS, alias PlayStation. Kini ia jagoan CS, alias
ComputerStation. Pulang sekolah ia tidak akan istirahat atau makan
siang dulu. Namun, segera ke kios CS. Jika libur; jam enam pagi ia
sudah menunggu di depan kios yang masih tertutup pintunya itu. Aku
sudah mengingatkan berulang kali anak pertamaku itu. Tak ada reaksi.
Kuhukum sudah. Berat bahkan. Neneknya protes. Jangan kejam pada anak,
katanya. Kelakuannya tak baik, kataku. Biarlah, itu kan tak mengganggu
orang. Dan bukankah ia merasa bahagia karenanya? Nenek itu menutup
protesnya dengan lima lembaran lima puluh ribuan, jatah bantuan bulanan
untukku.
Kini Padri bukan cuma jagoan CS. Permainan itu sudah menjadi judi.
Dan Padri selalu jagoan. Ia tak lagi minta jajan. Apa aku merasa
terbantu karenanya? Aku menghukumnya lebih keras. Padri menjerit. Nenek
protes lebih keras lagi. Tak kuberi tahu ia kalau cucunya kini jadi
bandar judi. Aku malu. Jatah bulananku di tambah hampir dua lipat. Dua
minggu kemudian, Sukran, pemuda pengangguran anggota organisasi pemuda
entah apa, melaporkan padaku, Padri terlihat bercumbu dengan Ijah,
pembantu tetangga sebelah di kebon singkong.
Aku tahu, tak kan lama lagi, Padri akan datang dengan perempuan mana
yang dibuntinginya. Apa aku harus menunggu? Kuhukum ia lebih berat
sehingga jatah bulananku pun bertambah? Aku mengeluh pada istriku. Ia
tak menjawab, sibuk dengan Bersihar yang memang sangat cerewet. Aku
menyerbu lemari dapur. Mencari sesuatu. Menemukan sayur sawi.
Kuhabiskan semua dalam beberapa kejap.
Lalu berlari mengelilingi rumah tetangga, kios CS, PS, lapangan,
kebon singkong, sekolahan, kamar tidur Ijah, hingga kampung sebelah.
Padri tak ada. Aku lapor pak RT dan keamanan. Padri tak pulang, hingga
larut malam. Aku tak bisa tidur. Membuka lemari dapur. Kosong.
Pagi-pagi dua orang preman datang mengetuk pintu. Pemberitahuannya
singkat. Padri, anak pertamaku, ada di Polsek, setelah ketahuan
mengganja di kolong jembatan Krukut.
Aku berkemas. Berangkat ke tempat kerja.
Cukup lama, lelaki 30 tahunan itu mengamati Ipung. Ia hanya lelaki
kecil, belum tujuh tahun, namun perangainya dewasa. Air mukanya jenaka,
kulitnya putih, dan matanya berjurang. Belakangan ia agak berubah.
Tetap jenaka, kulit mukanya memuram dan matanya kadang kosong. Ipung
sekolah pagi, tapi pulangnya senantiasa sore. Bapaknya kerja di Senen,
entah apa. Ibunya jual karedok, di pertigaan kampung, dibantu Arti,
anaknya 13 tahun.
Kemarin, lelaki itu tak melihat Ipung seperti biasa: menjelang
maghrib mencakung di depan rumahnya, dekat balai keamanan desa sambil
menggigiti rumput. Dan pagi hari ini, kampung geger. Dari koran yang
dibeli Pak RT, tersiar berita Ipung ada di rumah sakit. Ditemukan
pingsan di jalan menuju pulang dari sekolah. Tubuhnya berantakan. Darah
kental dari celananya mengering. Ia disodomi delapan orang, yang lima
di antaranya sudah tertangkap. Ipung meninggal sepuluh jam kemudian,
lantaran ia disodomi seraya dicekik agar tidak berteriak.
Songkang, lelaki 30 tahunan itu tidak ikut ke rumah sakit bersama
para tetangga. Ia berbela sungkawa dengan memberikan amplop pada bapak
si Ipung. Malamnya ia nongkrong di balai keamanan desa. Membayangkan
Ipung. Wajah yang jenaka, kulit licin, putih, dan mata yang cekung
menawarkan pertanyaan. Bagaimana anak itu sebenarnya? Ia seperti
menyentuh kulit halus anak kecil itu. Menelusuri tubuhnya. Dan
menemukan kelokan dan tikungan yang membuat pengendara apa pun
tergoyang karenanya.
Songkang teringat anaknya. Dan siuman. Hari lewat tengah malam. Ia lihat sekelilingnya, sepi. Ia lihat dirinya, tengah onani.
Aku tertawa kecil mendengar kabar kuping itu. Seorang terdakwa yang
menggali belasan mayat perempuan tua, untuk disantap sedikit demi
sedikit dagingnya, diputuskan bersalah oleh pengadilan dan dihukum
sekian tahun saja. Terdakwa itu tertawa di balik baju kokonya. Beberapa
orang malah menyalami. Beberapa ibu dan perempuan muda minta foto
bareng dengannya. Beberapa wartawan mewawancarai. Ia kontan populer
seperti selebritis negeri ini. Tawanya sumringah, menawarkan sesuatu
pada siapa saja. Bukan rasa gembira. Tapi teror yang tersembunyi. Dan
orang-orang menerimanya, menerima teror seperti lauk-pauk sehari-hari.
Aku tertawa dan mengakui. Imajinasi kita kini begitu miskin
dibanding kenyataan di sekitar kita. Khayal memang tak terduga, tapi
kenyataan kian tak dinyana. Pengarang pasti keok dan terseok
fantasinya, tunduk malu pada kreativitas dunia keseharian. Aku? Manusia
biasa saja. Imajinasi sederhana. Sekadar mengikuti hidup yang ada.
Seperti dorongan selepas senja di hari kerja kelima setiap minggunya,
aku pasti datang ke perempatan itu. Seperti rutin saja. Menemui Shelly,
Sonya, Tessi, Mona, atau siapa saja. Wanita-wanita berjenis kelamin
pria. Menemaniku tidak lama, 30 hingga 40 menit saja. Dekat taman atau
di pinggiran kuburan cina. Karena langganan, aku selalu dapat potongan.
Kadang gratisan.
Petang ini aku menemui Deassy. Entah siapa. Tak peduli aku kenal dia
atau tidak sebelumnya. Namun, memang hanya wanita itu yang ada. Yang
lain entah ke mana. Mungkin hari masih terlalu sore. Dan Deassy pun tak
banyak tanya. Ia menggandengku ke kuburan cina. Tidak di pinggirannya.
Tapi lebih jauh ke dalam. Masih banyak orang lewat, katanya. Aku
menurut saja. Seperti biasa. Tanganku dipegang, resluiting celana
dikendurkan. Seperti biasa. Ia tersenyum kecil, ia berwajah dingin, ia
menunduk. Seperti upacara. Seperti biasa.
Tapi hasilnya, kali ini tidak biasa. Ruar biasa. Aku ejakulasi berat
dan orgasme berat. Namun, bukan orgasme seperti biasa. Saat aku membuka
mata, setelah sekian menit memejam saat puncak orgasme seperti biasa,
aku melihat dan merasa tidak lagi di kuburan cina. Aku di sebuah taman.
Berumput halus berbunga aneka, bersungai bening berawan kapas,
binatang-binatang domestik kecil… bayangkan saja surga dalam komik
anak-anak kita. Semua ada di sana. Dan yang menonjol untukku, di sebuah
pendopo kayu yang sederhana tapi eksotik dan super bersih, berkumpul
bidadari-kalau perempuan-perempuan itu bisa disebut bidadari-yang
seluruhnya bugil-gil. Mereka menatapku. Semua tak kecuali.
Dengan langkah Adam manusia pertama, atau dewata di pewayangan
bolehlah, aku melangkah, mendekati mereka. Memperhatikannya saksama,
satu per satu. Semua cantik, putih, halus, dan sangat seksi. Tapi saat
kuperiksa lebih saksama, ada yang berbeda dari mereka dengan perempuan
yang biasa kukenal. Satu atau beberapa bagian tubuh mereka ternyata
lebih cocok disebut lelaki ketimbang perempuan. Seperti yang di pojok
kiri, yang duduk bertelekan pagar bambu halus, memiliki betis yang
besar, kuat dan kekar, bulu-bulu lebat menyelimutinya.
Atau yang mungil di bagian tengah depan, berjakun besar yang tak
henti menggelinjang. Ada pula yang berpenis, berdada bidang atau
berperut kencang lengkap dengan telur-telur ototnya, bahkan berkumis,
berjenggot, atau berjambang bauk. Dan kalau kuamati lagi lebih saksama,
ada yang berekor, bersusu empat, atau bahkan berkaki kanguru. Tapi…
semua cantik dan menggemaskan. Entah kenapa, bagiku semua “wanita” itu
menggairahkan.
Lucunya, aku seperti mengenal mereka. Ada yang wajahnya seperti
Tari, adik iparku. Atau tubuhnya sedikit gempal lemak dengan lekukan
yang sama dengan istriku. Atau berleher jenjang Kustiyah, ibuku. Atau
seperti Marni, pembantu. Seperti Bersihar, anakku, Rudy, Jamal… ooh.
Semua sungguh memberi kedekatan padaku. Aku seperti terisap. Dan
melebarkan langkahku. Hingga kucium baunya. Bau-bau yang sangat
kukenal, kusukai, kuhormati. Aku pun menghambur.
Aku tak bisa memilih. Dan memang tak memilih. Kuserbu satu, atau
mungkin dua atau tiga di antaranya, dan kubenamkan kepala dan tubuhku
dalam pelukan mereka. Aahhhhhh. Ini surga? Kupejam mata dan
menggerayangkan tanganku. Gila, ini ekstase. Aku surup karena gairah.
Dan gelap. Tubuhku bergoyang dan terlempar-lempar, tepatnya
tergulung-gulung. Bukan pusing, seperti sebuah nikmat. Tapi entah
nikmat apa. Karena kemudian tak kurasakan apa-apa. Cuma gelap. I am
nowhere. Dan kurasa aku pingsan.
Mungkin bukan pingsan. Tapi tertidur, saat aku mendusin. Saat
kujumpai hari pagi, kujumpai diriku terbaring, memeluk kuburan dengan
nisan tepat di bibirku. Dan sungguh, aku tak kaget. Aku puas sekujur
badan, hingga jempol kaki kiriku. Lalu pulang dan melihat semua seperti
baru.
Penduduk kampung tidak geger lagi. Padahal Pak Karmin pagi itu
ditangkap polisi dengan tuduhan-lagi-lagi-pembunuhan. Korbannya tiga
orang, semua anggota keluarganya sendiri, dua anak dan istri. Semuanya
habis disantap, mentah-mentah. Dan sebagian orang terkejut, sebagian
lain menyebutnya dengan enteng, “Pak Karmin lagi muja.” Katanya, ngelmu
untuk mendapatkan kekayaan, kejayaan. Dan itu bukan yang pertama untuk
kasus “muja”. Jadi, biasa-biasa saja.
Apalagi memang dalam beberapa waktu terakhir kasus, entah kenapa,
cukup banyak kasus dialami oleh warga kampung ini. Tak cuma perampokan
dengan pemerkosaan plus mutilasi. Bukan hanya gadis muda dan cantik
yang meminum darah ratusan tikus untuk jadi populer. Tidak melulu
tukang soto dengan daging mayat sebagai campurannya. Atau sekadar
serial pemerkosaan bayi balita yang terjadi di Jembar Udik, kampung
sebelah. Hidup memang kejam kok, kata Pak RT Udin.
Lantaran itu, mungkin, apa yang terjadi pada Songkang dan keluarga
tidak lagi jadi perhatian umum. Sudah lebih tiga minggu, Songkang hidup
sendiri. Istri dan Bersihar, anaknya, pergi. Ke mana, entah. Karena
cerai? Entah. Padri pun lama hilang. Jadi preman, kata orang. Songkang
sendiri hidup seperti biasa. Berangkat pagi dan pulang selepas petang.
Tetangga dekat cuma melihatnya menjadi warga yang lebih sopan dan
berbudi, lebih dari biasanya. Menebar senyum, walau tak banyak bicara.
Suka membantu, walau jarang keluar rumah.
Yang kasatmata, rumah Songkang kini lebih banyak tertutup, sepi,
gelap, dan tak terurus. Rumah hantu, kata anak-anak. Tapi tak ada yang
menegur, karena Songkang banyak senyum. Jadi waktu pun berlalu. Begitu
saja. Seperti biasa. Kejadian demi kejadian terjadi. Begitu saja. Tak
ada yang aneh. “Tuhan memang tak terduga,” kata Pak Soegono, guru SMP.
Memang, siapa menduga kalau Songkang sudah tiga hari tak keluar rumahnya. Ini sungguh tak biasa.
Polisi, lagi-lagi, menyergap kampung. Kali ini rumah ketiga Gang
Arjuna Buntu yang diserbu. Aku tahu itu, bahkan sudah tahu sebelumnya.
Tepatnya sudah menduga. Lebih tepat lagi sudah terencana. Polisi akan
menemukan rumah itu kumuh, gelap, sepi, dan beraroma busuk. Sebagian
polisi menggunakan masker dan membuat dugaan macam-macam. Aku pasti
gembira melihat mimik mereka.
Setelah melewati ruang tamu dengan sofa berlubang dan perabotan
bersilang, mereka akan masuk ruang keluarga yang melulu berisi potongan
koran dan majalah. Bertumpuk-tumpuk dan memenuhi dinding. Lalu menuju
dapur yang telah menjadi gudang. Gudang apa saja, terutama barang
bekas, entah bekas apa. Di sisi kiri, kamar tidur anak yang kosong,
kecuali dipan dengan kasur bolong. Dan akhirnya, mereka akan sampai
ruang belakang, kamar “ngelamun” kata mantan ibu rumah ini.
Di situ polisi akan menemukan sebentuk tubuh bugil. Tubuh lelaki 30
tahunan dengan anggota badan tak lengkap. Tentu ia sudah menjadi mayat,
lebih dua hari katanya. Di sisinya ada televisi yang masih menyala
dengan semut, satu pisau daging yang besar, dua pisau kecil pengerat,
potongan majalah porno, stensilan, kertas dan spidol, nisan kuburan,
tanah yang mengering, bunga-bunga layu, piring bekas makanan, dan
ceceran darah kering di lantai, kaki, selangkangan dan mulutnya.
Analisa polisi: lelaki itu Songkang, bunuh diri karena frustrasi,
cerai istri dan anak, menjadi gila, dan hiperseksual. Dilihat dari
beberapa tanda, lelaki itu seperti habis melakukan semacam monoseks
atau otoseks, dengan berbagai cara. Sampai ia memotong alat vitalnya
sendiri untuk otoseks. Dan itu pun belum juga memuaskannya. Ia mulai
memotong anggota tubuhnya yang lain untuk ia santap. Tapi ia sudah mati
sebelum santapan pertama ia habiskan. Entah karena kehabisan darah,
atau karena tersedak. Di tenggorokannya ditemukan sepotong daging
tersangkut, potongan alat vitalnya sendiri.
Senja di luar datang. Kali ini coklat, buruk dan buram. *