teks

selamat datang di blog saya

Kamis, 16 Desember 2010

Sebutir nasi untuk Pencuri

 cerpen:Agus Noor

INI hari baik buat mencuri. Ia sudah menghitung tanggal, membaca sifat dan watak hari pasaran serta weton-nya. Menambah, mengalikan dan membagi tanggal-tanggal itu, hingga sebagaimana dalam primbon, ketemu angka yang memperlihatkan hari keberuntungannya. Sebagai pencuri, ia memang percaya hari baik seperti itu. Hari yang akan memberinya keselamatan dan ketenangan ketika mencuri. Setidaknya, dengan memercayai perhitungan hari baik seperti itu, ia menjadi berhati-hati ketika memutuskan kapan ia mesti mencuri. Hingga bertahun-tahun menjadi pencuri, syukur alhamdulillah, semuanya lancar-lancar dan baik-baik saja saja.
Ia mengamati rumah yang hendak dimasukinya, sambil mengeluarkan dari sakunya, kalung tali hitam berbandul tulang kelingking bayi. Inilah jimat yang diperolehnya lewat laku membongkar kuburan bayi dan menggigit hingga putus kelingking mayat bayi itu dengan giginya, berpuluh tahun lalu, saat ia masih muda dan memulai kariernya sebagai pencuri. Ia pakai kalung itu, melingkari leher, kemudian merapal mantra agar kegelapan menyembunyikan tubuh dan bayangannya, agar udara menyimpan semua gerak dan langkahnya. Sesaat setelah selesai merapal mantra, ia mulai merasakan seluruh inderanya menjadi begitu peka. Kulitnya bisa merasakan gesekan dingin yang tipis dan pelan. Dari sudut jalan di mana ia sembunyi di sebalik tembok, ia bisa mendenar dengkur halus dari dalam rumah yang hendak dimasukinya itu. Membuatnya tahu, ada dua orang di dalam rumah itu. Bahkan ia bisa menduga dengan yakin di kamar sebelah mana dua orang itu tidur. Ia pun segera menghitung kemungkinan: pintu atau jendela mana yang mesti ia congkel, agar leluasa masuk dan tak membuat terbangun dua orang itu.
Tapi kenapa mendadak ia merasa ragu begini? Ia yakin telah menghitung dengan benar, ini hari baik baginya untuk mencuri. Jimat keberuntungan pun sudah ia kenakan. Namun kenapa ia masih saja tak bisa menentramnkan debar dalam hatinya yang berdenyut perlahan. Begitu pelan, tetapi bisa ia rasakan. Tak pernah ia merasakan keraguan seperti ini. Pengalamannya sebagai pencuri mengajarkan: saat-saat hendak memulai aksi memang situasi paling mendebarkan bagi seorang pencuri. Pada saat itulah, seorang pencuri yang baik akan dengan tepat memutuskan, apakah melanjutkan aksi atau segera menyelinap pergi. Keputusan yang tepat akan menentukan berhasil tidaknya seorang pencuri. Menentukan hidup mati seorang pencuri! Keraguan, sekecil apa pun, bisa menyebabkan keteledoran yang akan membuatnya ketahuan.
Maka ia pun menahan langkahnya. Mencoba menenangkan diri. Mencoba mencari tahu, apa yang membuatnya menjadi agak gugup begini.  Ia mengamati rumah yang hendak dimasukinya itu. Rumah sederhana yang sedikit tersembunyi di pinggir perkampungan. Ia sudah mengamati sejak tiga hari lalu. Ada jendela di sisi kiri, yang terlindung pohon rambutan di sampingnya. Dari jendela itulah ia akan masuk. Ia bahkan sudah menghitung, lewat pintu mana ia akan menyelinap pergi.  Karena pencuri yang baik tak hanya memikirkan bagaimana caranya masuk, tetapi juga mesti memperhitungkan bagaimana agar bisa keluar dengan selamat. Jalan mana yang aman buat menyelinap. Di mana ia bisa sembunyi, meninggalkan barang curian, dan mengambilnya kembali nanti setelah situasi benar-benar aman. Ia sudah memikirkan semua itu – ditambah perhitungan hari baik buat mencuri dan jimat keberuntungan – tapi kenapa masih saja begini gelisah?
Sejak mula, sesungguhnya ia ragu ketika memilih rumah yang akan ia masuki ini. Tapi di antara rumah-rumah lainnya, rumah inilah yang menurutnya paling memungkinkan. Agak jauh dari rumah lainnya, dan ada jalan kecil yang langsung menghubungkan rumah itu dengan sungai di bagian belakang – kira-kira tujuh puluh lima meter jaraknya – yang bisa ia gunakan untuk situasi darurat bila kepergok. Letak rumah yang menguntungkan bagi pencuri seperti dirinya. Tapi justru rumah itulah yang membuatnya ragu. Sebagai pencuri, sudah ratusan rumah ia masuki, tetapi baru kali inilah ia merasa kalau dirinya benar-benar hendak mencuri.
Ia memang pencuri. Tapi tak pernah merasa mencuri. Karena selama ini ia hanya memilih memasuki rumah mewah milik orang-orang kaya. Itu memang prinsipnya, yang membuatnya bisa membenarkan bahwa apa yang dilakukannya tidaklah salah.  Sebab bila ia mengambil uang atau perhiasan orang-orang kaya, itu sekadar mengambil kembali hak dan rejekinya yang telah dicuri atau dikorupsi oleh mereka. Siapa sih orang kaya yang tidak mencuri dan tidak korupsi hari ini?! Tak apa-apa kan mengambil kembali apa yang telah mereka curi? Lagi pula ia hanya meminta –  dengan diam-diam tentu saja –  sedikit saja kemewahan mereka yang melimpah. Toh mereka tak akan jatuh miskin. Anggap saja apa yang ia curi itu sebagai sedikit sedekah yang mesti disumbangkan orang-orang kaya itu buat kaum miskin seperti dirinya. Itulah sebabnya, ia tak pernah merasa mencuri ketika ia mengambil barang atau uang atau perhiasan di rumah mewah orang-orang kaya itu.
Dulu ia merasa leluasa menyantroni rumah-rumah mewah, mengambil barang secukupnya, kemudian melenggang dengan tenang. Kadang ia malah suka berlama-lama di dalam rumah yang dimasukinya itu. Sementara penghuni rumah ia lelapkan dengan mantra, ia bisa dengan santai mencicipi kue yang ada di kulkas, duduk-duduk menikmati sisa hidangan malam di meja makan, sembari memandangi perabot-perabot mewah yang tak mungkin ia gondol. Guci-guci keramik, televisi plasma, lukisan, jam besar setinggi lemari. Semua barang mewah yang merepotkan bila ia curi. Ia lebih suka mengambil uang atau perhiasan. Lebih praktis dibawa kabur. Bertahun-tahun menjadi pencuri ia tahu, bahwa uang dan perhiasan adalah barang yang gampang didapatkan. Entah kenapa orang-orang kaya itu suka sekali menyimpan perhiasan dan uang tunai. Barangkali mereka beranggapan, perhiasan lebih mudah disembunyikan. Dan uang lebih aman disimpan tunai dalam rumah ketimbang didepositokan di bank – yang kini tak lagi aman karena gampang dilacak bila uang itu uang hasil korupsian.
Hanya saja sekarang ini situasi makin sulit. Rumah-rumah mewah – apalagi yang ada di komplek perumahan elite – tak lagi gampang ia masuki. Selain berpagar tinggi, sekarang ini banyak yang dijaga security. Belum lagi kamera-kamera sembunyi, anjing penjaga,  juga alarm yang tak mampu ia atasi dengan jimat keberuntungan yang ia miliki. Tiga bulan lalu ia hampir saja mati konyol. Ia yakin sudah menyirep penghuni rumah, kemudian dengan tenang meloncat pagar. Tapi mendadak alarm meraung-raung membuatnya gugup dan buru-buru kabur. Anjing-anjing yang menjaga rumah-rumah mewah itu pun tak lagi bisa ditidurkan dengan mantra. Barangkali karena anjing-anjing itu bukan anjing kampung yang hanya bisa menggonggong setiap kali mengendus pencuri. Seorang kawannya mati mengenaskan dengan usus terburai dicabik-cabik empat anjing penjaga, sementara pemilik rumah hanya diam menyaksikan. Mungkin pemilik rumah itu menganggap, begitulah cara paling baik buat menghabisi pencuri.
Ia selalu merasa demam setiap kali teringat peristiwa itu.
Rumah-rumah mewah bukan lagi sasaran menyenangkan bagi pencuri seperti dirinya. Jimat dan mantra yang ia miliki seperti tak ada gunanya lagi. Barangkali zaman memang telah benar-benar berubah. Pencuri seperti dirinya menjadi ketinggalan zaman. Ketika rumah-rumah mewah dan apartemen banyak berdiri di pusat kota, ia malah makin terpinggirkan. Nasibnya kini seperti rumah-rumah kumuh di pinggiran kota. Dan mau tak mau, pencuri seperti dirinya hanya bisa berkeliaran menyantroni rumah-rumah kecil di pinggiran kota itu. Karena itulah, beberapa rekannya kini berhenti jadi pencuri. Mereka memilih jadi garong. Tapi ia mencoba bertahan jadi pencuri. Karena menurutnya lebih menyenangkan jadi pencuri. Menggarong hanya butuh keberanian, begitulah alasan yang ia katakan pada teman-temannya ketika ia menolak diajak merampok, sementara mencuri membutuhkan keahlian. “Makin kamu asah keahlianmu, makin hebat kamu sebagai pencuri. Makin hebat kamu sebagai pencuri, makin canggih kamu mengambil sesuatu tanpa diketahui. Itulah sebabnya, bagi saya, mencuri itu memiliki seni tersendiri. Seni mengambil tanpa diketahui. Orang bijak mengatakan, bila kamu ingin mengalahkan orang lain, kalahkanlah tanpa membuatnya merasa kalah. Begitu juga dalam hal mencuri. Curilah tanpa orang itu menyadari kalau ia telah kamu curi. Itulah seni mencuri. Bila kamu sudah sampai tingkat ini, berarti kamu sudah menjadi pencuri sejati! Ha ha ha…” Saat itu, ia tertawa sendiri.
Tapi itu memang yang ia yakini. Membuatnya tetap memilih jalannya sendiri sebagai pencuri. Meski kini ia makin merasa sulit mencuri di rumah-rumah orang kaya. Sudah tiga kali ia mencoba, tetapi selalu gagal. Sebenarnya bisa saja karena ia sudah makin tua. Hanya ia tak mau mengakuinya. Mungkin sudah saatnya ia pensiun. Ah, tapi sekali saja kau merasakan nikmatnya mencuri, pasti kau akan ketagihan. Seperti kecanduan. Begitulah yang selalu ia rasakan. Ia selalu ingin menikmati saat-saat mendebarkan ketika ia mencongkel jendela atau pintu, merayap di atap, memasuki rumah tanpa membangunkan seorang pun penghuni yang mungkin sedang mimpi indah, mengendap dalam gelap mengambil barang-barang secukupnya, kemudian menyelinap pergi. Bertahun-tahun ia jalani hidupnya sebagai pencuri, ia makin menikmati ketegangan dan kecemasan yang menyenangkan pada saat beraksi seperti itu.
Maka, ia pun mencoba menentramkan diri. Mengamati rumah itu sekali lagi. Rumah sederhana pertama yang ia masuki. Rumah yang tak sepantasnya ia santroni. Tapi mau apalagi. Hanya rumah seperti inilah yang kini bisa ia masuki. Meski merasa terpaksa, ia pikir rumah-rumah kecil dan sederhana seperti inilah yang kini bisa memberi rejeki bagi pencuri seperti dirinya. Saat ia berhasil mencongkel jendela rumah itu, saat itulah ia merasa telah benar-benar menjadi pencuri. Pencuri yang memang hendak mencuri, bukan hendak mengambil kembali rejekinya yang telah dicuri sebagaimana yang selama ini menjadi alasannya setiap kali mencuri. Dan itu membuatnya sedikit gugup saat mengendap memasuki rumah itu. Ia melintasi pintu kamar tidur yang sedikit terbuka. Ia melihat suami istri yang tertidur nyaman. Meski terlihat keruh oleh usia tua, wajah keduanya terasa memancarkan ketentraman.
Ia memutuskan untuk tak langsung masuk ke dalam kamar itu. Ia akan menggeledah kamar sebelahnya lebih dulu. Matanya terbiasa dalam gelap. Pendengarannya bisa mengarahkan kemana ia mesti melangkah tanpa menimbulkan suara atau menyenggol benda-benda. Dengan tetap berusaha tenang ia terus membongkar laci dan lemari, mencari apa saja yang berharga yang bisa ia curi. Setumpuk pakaian lama, tasbih yang tergantung di tembok, sajadah lapuk di atas kasur apek, sisa ikan asin di piring, puntung rokok klobot, kecoa yang mati tergencet di lipatan pintu lemari, koin mata uang lama yang dipakai buat kerokan. Ia terus menggeledah sementara perasaannya yang gelisah tak kunjung mampu ia kuasai, sampai-sampai telapak kakinya berkeringat dan membuatnya tak dapat menahan keseimbangan dengan baik. Ia terpeleset, dan begitu kaget ketika tungkainya menabrak kaki kursi.
Ia mendengar pemilik rumah terbangun. Ia mencoba membungkuk sembunyi di pojok, sambil membabar aji palamuran, agar pandangan orang menjadi kabur dan dirinya tak kelihatan.
“Pak…” Suara si istri membangunkan suaminya. “Ada pencuri…”
Terdengar suara ranjang berderit ketika suami itu bangun. Dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka ia menyaksikan perempuan itu hendak berteriak, tetapi suaminya menyuruhnya diam.
“Sssstt…”
“Pasti ada barang kita yang dicuri.”
“Lho, memangnya kita punya barang yang pantas dicuri?”
“Ah, Bapak…”
“Kita tak punya apa-apa, kan? Karena itu tidak usah cemas, Bu. Bila pencuri itu menggeledah rumah ini dan tak menemukan satu pun barang yang pantas buat dicuri, pasti ia akan segera pergi.”
“Itu kan namanya Bapak membiarkan dia mencuri…”
“Lho, mencuri kan kalau ada yang dicuri. Di rumah ini apa sih yang bisa dibawanya pergi? Apa ia akan mencuri gelas atau panci kita yang sudah peyot?”
Sambil menggigit bibirnya, ia terus berusaha menahan nafas mendengarkan percakapan suami istri itu. Saat tadi menggeledah rumah ini, ia memang tak menemukan satu pun barang berharga yang pastas dicurinya.
“Mungkin anaknya lagi sakit. Mungkin ia benar-benar perlu uang buat makan…” Suami itu bercakap pelan. “Saya malah sedih, Bu, karena kita tak punya apa-apa buat membantunya. Andai saja di rumah ini ada sebutir nasi, biarlah sebutir nasi itu diambilnya. Mungkin sebutir nasi itu akan membuatnya bahagia karena bisa membawa pulang sesuatu buat keluarganya.”
“Bapak ini lho, pencuri kok malah dikasihani…”
“Ia pasti benar-benar kepepet, Bu. Kalau tidak kepepet, kan ya tidak mungkin dia sampai nekat mencuri di rumah orang miskin seperti kita? Bagaimana kalau sampai ketahuan ronda? Sudah ndak dapat apa-apa, bisa mati digebugi dia… Kasihan kan, Bu?”
Sambil menyandarkan badan ia mendengarkan suami istri itu terus bercakap-cakap. Suara mereka menjelma ribuan silet yang mengapung dalam kegelapan, menyayatkan kepedihan dalam hatinya. Ia mendengar suara batuk-batuk pelan si suami yang kemudian dengan halus mengajak istrinya untuk kembali tidur. Kesunyian rumah itu seperti mencekik. Sudah ratusan rumah ia masuki. Sudah bergitu banyak uang dan barang ia curi, tapi tak pernah ia merasa sangat menyesal karena telah menjadi pencuri seperti saat ini. Ia bersijengkat melewati pintu yang sedikit terbuka, dan tak berani memasuki kamar di mana suami istri itu telah kembali tidur tentram.
Ia segera bergegas pergi, tak mengambil apa pun, karena di rumah yang baru saja dimasukinya itu ia memang tak menemukan sesuatu yang pantas dicuri. Rasanya baru kali ini, sebagai pencuri ia merasa menyesal telah menjadi pencuri, justru ketika ia tak mencuri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar