Setangkup roti tawar yang tersaji di meja makan menampakkan lelehan
pasta selai kacang. Itu kombinasi yang paling kugemari. Meskipun ada
pilihan lain, seperti selai nenas, stroberi, atau keju lembut.
Dalam seminggu aku sarapan roti tawar sedikitnya empat hari. Bahkan
sesekali aku membawanya ke kantor dalam kotak makanan yang terbuat dari
plastik. Pada pukul sepuluh, saat perut belum sepenuhnya lapar,
biasanya aku tergoda untuk membuka bekal dan menggigit roti tawar itu
dengan perasaan iseng.
“Boleh minta separuh?” suatu saat Nila memergoki.
Aku memotong bagian yang tak tersentuh gigiku. “Suka selai kacang?”
“Apa saja.” Ia tersenyum. Matanya tampak lebih lapar. “Terima kasih.”
Akhirnya aku menghentikan pekerjaan dan memandang cara Nila makan.
Sungguh tak tebersit sikap curiga seandainya aku sengaja memancingnya
agar ia mengunyah lebih cepat dan menelan lebih segera. Alangkah mudah
jika aku bermaksud meracuninya. Tentu dia tak akan bertahan lebih dari
lima menit. Selanjutnya terjungkal dari kusi dengan – atau tanpa- mulut
berbusa.
Aku tersenyum, karena memang tidak bermaksud membuatnya celaka. Aku
menyelesaikan separuh roti tawar dengan selai kacang itu lebih
perlahan. Perutku memang belum sepenuhnya lapar.
“Kamu mau kopi? Aku baru saja membuatnya.” Nila berjalan menuju meja
kerjanya di ujung ruang. Lalu kembali dengan cangkir yang tampak
mengepulkan asap.
Aroma kopi menyergap, merangsang hidungku. Segera kuberikan gelasku
untuk membagi kopi itu. Dengan cara yang sungguh mumpuni, Nila menuang
kopi dari cangkirnya tanpa tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin di rumah,
dia sudah biasa melakukannya. Terhadap suami atau anak-anaknya. Eh,
apakah dia sudah tak lajang lagi? sependengaranku, Nila tak pernah
menceritakan perihal anak atau suami.
Kini aku mengamati caranya menyeruput kopi. Begitu khidmat. Tidak
dengan sambil-lalu. Barangkali kopi adalah bagian dari ritualnya
sehari-hari. Seperti roti tawar bagiku.
“Terima kasih roti tawarnya,” ujarnya begitu meletakkan cangkir. Menghindari salah tingkah lantaran kuperhatikan.
“Terimakasih juga kopinya…”
“Tapi kamu belum mencobanya,” Nila memotong.
“Oh ya, sebentar lagi. Masih panas.” Aku sengaja menyentuh gelas dengan telapak tangan.
“Percayalah, justru kalau sudah dingin akan kehilangan rasa sedapnya. Itu yang penting.”
Nila menyebut ’yang penting’ dengan cara seolah benar-benar penting.
Maka aku pun mengangkat gelas dengan sergapan wangi kopi ke dalam
lorong hidung. Kuhirup dan kucecap dengan lidah. Astaga… pahit! Tapi,
tentu saja tidak kutunjukkan keterkejutan dengan ekspresi bibir dan
lidah yang terjulur tanda menolak.
“Enak, bukan?” Nila tersenyum memandangku lurus.
“Hm, ya. Tapi…”
“Pahitkah?” pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau justru harus kubenarkan? “Aku tidak suka kopi manis,” katanya kemudian.
Dengan demikian, pikirku, besok pagi jika memang ditawari lagi, sebaiknya kutolak. Sepanjang dia tak tersinggung, tentu.
Nila bangkit dari duduk. “Kuambilkan gula di pantry Mbak Mimi?”
“Oh, tidak usah.”
“Ayolah, Seto! Daripada kopiku nanti kamu buang.”
“Pasti kuminum.” Heran. Aku berjanji, mengatakan pasti, tapi setengah hati.
“Terima kasih. Roti tawarmu enak. Lembut sekali. Boleh tahu mereknya?”
Aku menyebutkan sebuah nama. Nila pasti sudah sering mendengar nama
itu. Tidak terlalu populer, tapi mudah dicari di supermarket, bahkan di
circle-K.
“Eh, jam berapa ini? Sudah waktunya kerja lagi.” Nila tertawa dan
berdiri. “Apakah kamu selalu meluangkan waktu untuk coffee break?”
“Kadang-kadang.” Aku tersenyum. Dari seberang sana, Nila akan sulit
melihat kebiasaanku. Ada berderet meja karyawan lain. Hanya saat
mengambil air dari dispenser, sesekali dia bisa menoleh kepadaku.
“Ok, selamat bekerja kembali.”
Nila melenggang. Justru setelah dia pergi, wangi parfumnya
tertinggal. Light Blue. Dolce & Gabbana! Harum jasmin yang meruap.
Ah, aku teringat sesuatu! Tapi segera kutepis, karena orang-orang
secara bersamaan keluar dari ruang rapat menuju ke meja masing-masing.
Kini ruangan dengan gaya open space itu kembali ramai.
Saat perjalanan pulang ke rumah, aku teringat kembali percakapan
singkat dengan Nila. Kukira itu terjadi tiga tahun sekali. Maksudku,
setelah aku bekerja di kantor ini selama tiga tahun, peristiwa itu
terjadi. Padahal aku kerap membawa bekal roti tawar ke kantor dan pada
pukul sepuluh sering tergoda untuk menggigitnya.
Entah kenapa, sebelum tiba di rumah aku sengaja mampir ke sebuah
toko bakery langganan. Entah kenapa aku sengaja membeli roti tawar dua
kali lebih banyak daripada biasanya. Diam-diam aku merencanakan sesuatu
untuk esok pagi. Aku akan membawa bekal dan menunggu hingga jam
sepuluh. Menunggu mataku (bukan perutku) tergoda untuk menggigit roti
tawarku. Menunggu Nila melangkah mendekat dan menawariku kopi. Tapi …
apakah sebaiknya kopi itu kutolak?
Kasir menyebut harga yang harus kubayar untuk dua pak roti tawar
tanpa kulit. Aku teringat pujian Nila: Roti tawarmu enak. Lembut
sekali. Boleh tahu mereknya?
Kubaca nama toko bakery itu seperti berusaha menghafal dari awal.
Lalu kuingat-ingat, sejak kapan aku mulai menetapkan pilihan padanya?
Banyak sekali roti tawar yang pernah kucoba, tapi yang ini memang
berbeda. Begitu lembut. Ada semacam rasa ketagihan saat mengunyahnya.
Perjalananku berakhir di depan pagar rumah. Cahaya kuning temaram
menyambutku. Seseorang telah menyalakan menjelang petang tadi. Mungkin
Isah, atau ibuku. Hanya dengan mereka berdua aku tinggal di rumah tipe
45 berhalaman sempit ini. Karena itulah kupilih mobil Karimun yang tak
begitu panjang.
Sebelum kuletakkan segala bawaan dari kantor, yang terdiri dari
lap-top dan majalah, aku mencari Isah hanya untuk mengatakan: “Besok
pagi, siapkan roti tawar lebih banyak.”
“Semua dengan selai kacang?”
Aku tertegun. Apakah sungguh-sungguh Nila menyukai roti tawar dengan
selai kacang? Kebetulan tadi pagi aku membawa selai kacang, tidak ada
pilihan lain. Dan Nila mengatakan: Apa saja. Dengan mata yang tampak
lapar.
“Kalau begitu, buatkan juga dengan stroberi dan nenas.”
Setelah itu aku menjenguk Ibu di kamar tidurnya. Tampaknya sedang
sibuk membereskan lemari bajunya. Padahal aku tak sabar ingin
menyampaikan berita agak penting: “Tadi pagi ada seorang perempuan,
namanya Nila, minta roti tawarku.”
Lalu pertanyaan dalam hati itu mengusik kembali: apakah Nila sudah
tak lajang? Kegemarannya akan kopi pahit terasa agak unik. Karena
seingatku dia salah seorang sekretaris, bukan desainer atau arsitek
yang umumnya bekerja begadang.
ENTAH kenapa, kemudian, aku bangun di pagi berikutnya lebih lekas
daripada biasa dan penuh semangat. Entah kenapa, sebelum ke kamar mandi
aku menengok persiapan di meja makan. Tentu saja belum ada apa-apa.
Mungkin Isah baru saja terjaga.
Ini hari Rabu, membayangkan Nila tidak mengenakan seragam seperti
hari Senin dan Selasa. Mungkin hari ini dia akan mengenakan setelan
baju ketat dengan celana panjang atau justru rok mini. Ah, mengapa
serentak hatiku berdebar? Aku mandi melupakan air dingin, sambil
menggosok tubuhku lebih teliti ketimbang kemarin.
Ketika aku memasukkan empat tangkup roti tawar dengan aneka rasa itu
(satu di antaranya diisi taburan cokelat) ke dalam tempat yang terbuat
dari plastik dengan ukuran lebih besar, tebersit keraguan. Bagaimana
aku membawa turun dari mobil dan masuk ke dalam lift bersama karyawan
lain di gedung 12 lantai itu? Bisa jadi menimbulkan pertanyaan yang
agak menggoda: “Mau piknik ke mana, Seto?”
Aku harus tiba lebih awal, saat lift masih kosong. Tapi keraguan
kedua muncul. Jangan-jangan, pada pukul sepuluh nanti, tidak ada rapat
seperti kemarin, sehingga tentu banyak kawan-kawan lain di sekitar
kami. Aku duduk berderet dengan karyawan lain. Bagaimana mungkin
’mengundang’ Nila ke mejaku? Atau aku yang mendatanginya? Itu justru
semakin tidak mungkin, menenteng tempat roti ke wilayah sekretaris,
yang berdekatan dengan tempat duduk direktur, bukan pada jam istirahat
pula.
Tentu nanti ada akal! Aku pun pamit kepada Ibu dan mengurungkan
niatku untuk menyampaikan peristiwa kemarin karena sedang mengejar
waktu. Pandangan Ibu agak heran dengan bekal yang kubawa.
“Seto, kamu tidak akan ke luar kota, kan?”
“Oh, tidak. Kebetulan aku belum sarapan, sekalian untuk makan siang.”
“Apakah tidak ada kantin di kantormu? Kamu pernah cerita ada tempat makan yang selalu ramai.”
Aku mulai gelisah. “Kadang-kadang pekerjaan sangat padat, membuat aku harus tetap berada di tempat.”
Ibu tersenyum. Mungkin karena bangga terhadap cara kerjaku. Atau
karena memergoki alasan yang kurang masuk akal? Atau hanya ingin
terpingkal lantaran sejak kecil aku begitu menyukai roti tawar?
“Hati-hati di jalan.” Pesannya sewaktu kucium tangannya. “Apakah di kantormu tidak ada gadis cantik yang menjadi teman kerjamu?”
Aku nyaris tersengal. Apakah sebaiknya kuceritakan sekarang? Mungkin
tak cukup seperempat jam. “Ada. Tapi tidak kenal dekat. Nanti malam
kuceritakan pada Ibu.”
Aku segera berlalu sebelum bertambah banyak pertanyaan. Percayalah,
nanti malam kuceritakan. Aku sedang mencoba mempertaruhkan hari ini.
Sebagai tanda dibukanya kembali pintu hatiku.
Sepanjang perjalanan, banyak hal melintas di kepala. Ingatan yang
berlompatan, mendesak untuk tampil di ruang benakku. Beberapa nama yang
sempat tertanam lama meskipun telah jauh berlalu. Saling tumpang-tindih
awalnya, kemudian mulai tersusun seperti sebuah peristiwa yang diputar
ulang.
Kekasihku yang pertama, Putri, melompat dari balkon hotel lantai 23.
Dia patah hati dengan Rangga dan aku mencoba menyembuhkan lukanya.
Namun undangan bertemu bekas kekasihnya itu, di hotel berbintang lima,
membuatnya pergi secara misterius tanpa sepengetahuanku. Beberapa lama
sesudah peristiwa menyedihkan itu, aku mencoba menghibur ibunya yang
tak pernah menghapus tulisan terakhir anaknya di cermin riasnya.
Untuk melupakan kenangan itu aku pindah bekerja, dari sebuah rumah
produksi beralih menjadi pembuat program acara radio. Aku menjadi
jarang jalan-jalan karena lebih banyak bekerja di studio. Temanku
seorang dara yang gagal menjadi penyanyi dan kemudian menjadi penyiar.
Ia menyukai segala sesuatu yang bergambar babi: mulai dari tas, dompet,
gelas minum, t-shirt, saputangan, bahkan sprei dan boneka babi. Yang
tak pernah kusangka, ia ternyata memelihara babi mungil yang boleh
berkeliaran di dalam rumahnya. Itu kuketahui saat aku mengantarnya
pulang sesudah acara siaran langsung pertunjukan festival band kampus.
“Meristin, apakah itu bukan robot babi?” kataku kaget ketika kulihat
babi merah jambu menyerbu di depan pintu yang dibuka oleh ibunya, suatu
tengah malam.
“Sembarangan ngomong!” tegurnya sambil tertawa. “Dia tak akan pergi tidur sebelum aku pulang.”
Aku lebih terkesima saat Meristin memeluk dan mencium moncong babi
yang basah itu. Astaga! Seandainya aku menjadi kekasihnya, apakah aku
harus berbagi bibir Meristin dengan babi itu? Aku mencoba menahan
muntah. Padahal, aku mulai jatuh cinta dengan penyanyi gagal itu.
Selanjutnya aku mulai menjaga jarak agar tidak terlampau jatuh hati
dan mungkin lambatlaun menjadi teman sejawat saja. Bahkan untuk sekadar
berjabat tangan saja aku mulai berpikir, jangan-jangan sebelumnya
Meristin mengelus-elus hidung babi kesayangannya. Dan ketika untuk
kedua kalinya aku terpaksa mengantar Meristin pulang menjelang pagi,
babi itu juga belum tidur. Sesungguhnya aku tak percaya pada pernyataan
Meristin. Babi sialan itu pasti sudah tidur mendengkur sejak sore dan
terbangun menyambut majikannya ketika mendengar suara gaduh di pagar
halaman.
“Hei, Baby! Kasihan kamu belum tidur…” sambut Meristin.
Saat itu aku pun ingin muntah. Lekas-lekas aku pamit. Namun rupanya
Meristin gadis yang sopan, sehingga ia mengantarku sampai ke pintu
pagar. Aku tak melihat babi kesayangannya meluncur dari gendongannya
persis ketika aku menjalankan mobil dengan gas penuh. Bunyi ’nguik!’
dan mobil yang berguncang oleh tubuh babi yang mungkin terlindas ban
membuatku menginjak rem mendadak. Maka gemparlah pagi buta itu dengan
tangis Meristin dan orangtuanya yang marah-marah. Ketika dua orang
satpam melangkah dari gardu di ujung jalan, aku punya pikiran kerdil
untuk segera melarikan diri. Itulah yang kulakukan. Aku akan
bertanggung jawab, misalnya dengan membeli babi sebagai penggantinya,
tetapi tak ingin babakbelur seandainya dua orang satpam yang kurang
tidur itu lepas kendali.
Selamat tinggal Meristin! Aku pun pindah kerja lagi dan kini
diterima pada bagian distribusi unit di perusahaan otomotif.
Tahun-tahun berjalan dengan berusaha melupakan Putri dan Meristin. Pada
suatu acara pertemuan dealer mobil seluruh Indonesia, aku bertemu
dengan seorang gadis wiraniaga yang selalu meninggalkan wangi jasmin
setiap kali melintas di depanku. Tiga hari tiga malam di Lido Resort
membuat kami dekat satu sama lain. Namun pada malam terakhir aku kecewa
karena kupergoki dia menghuni kamar yang salah bersama seorang
laki-laki. Aku lebih mudah melupakannya karena ia segera kembali ke
kotanya di luar Jawa, namun tak mudah melupakan aroma parfumnya. Aku
mencoba mengenali jenis dan mereknya.
Kemarin Nila memiliki aroma yang sama! Light Blue!
Kini aku melambatkan mobil, memasuki halaman parkir gedung kantor.
Hatiku mulai berdebar. Aku merencanakan sesuatu pada jam sepuluh nanti.
Akankah Nila kali ini curiga dengan bekalku yang bertambah banyak? Aku
gembira mendapatkan kantor masih lengang. Dan segera meletakkan bekalku
di bawah meja kerja. Tentu belum ada yang datang kecuali office boy
yang sedang merapikan ruangan.
Ketika jam kerja dimulai, perhatianku mulai terpecah pada hal-hal
yang kurencanakan. Aku tidak jadi sarapan, agar jam sepuluh nanti
perutku cukup lapar. Dari jauh aku melihat Nila mengenakan blouse warna
ungu muda ditutup blazer dan pada lehernya tersimpul scarf. Warna yang
mengganggu perasaan. Warna yang dikenakan gadis wiraniaga dari luar
Jawa itu pada hari penghabisan rapat nasional. Ternyata aku masih
kecewa. Tapi, pasti tak ada hubungan antara Nila dengan peristiwa itu.
Mengapa jam terasa begitu lambat? Dan rupanya aku menjadi tidak
produktif. Entah kenapa, saat Nila berjalan dari ujung ruang menuju
dispenser, aku seperti telah mengenal ketukan langkahnya. Seperti
sebuah gerakan perlambatan, sengaja kuambil bekal dan kuletakkan di
atas meja. Pagi ini tidak ada rapat, semua karyawan sedang sibuk di
meja masing-masing. Sementara yang kutunggu dengan perasaan berdebar
tak kunjung tiba. Nila tidak menoleh sama sekali ke arahku. Saat itu
teman sebelah-menyebelahku memergoki sejumlah roti tawar dari tempat
transparan dengan mata bersinar.
“Seto, bagi rotinya ya!” Entah siapa yang memiliki gagasan itu,
sekitar empat orang mendekat. Adi, Yong, Yudi, dan Ibnu berkerumun. Mau
tak mau aku membuka kotak bekalku. Mataku mencoba mencari Nila, tapi
perempuan itu sudah kembali ke mejanya. Bahkan agaknya tak mendengar
kata ’roti’ yang diucapkan teman sebelahku. Sayup aroma kopi yang
diseduhnya terbang ke hidungku…
Rencana pukul sepuluhku berlalu menyedihkan. Di kotak bekal tinggal
setangkup roti berisi selai nenas yang tidak kusukai. Tapi tak mungkin
juga kutawarkan kepada Nila, seolah menyodorkan penganan sisa. Aku tak
perlu mendengar ucapan terima kasih kawan-kawan yang juga memuji lezat
dan lembutnya roti tawarku. Mereka tak pernah tahu, bahwa roti tawar
itu untuk Nila!
Sisa hari yang panjang tak memberi semangat, tapi mungkin aku masih
punya kesempatan mengajaknya makan siang bersama. Maka menjelang pukul
dua belas aku sengaja menunggu di depan elevator, pura-pura hendak
turun makan. Nanti, ketika Nila muncul dari ruangan untuk istirahat
makan siang, bisa turun bersama-sama.
Saat pintu lift terbuka, seorang tamu laki-laki keluar dari kabin
menuju resepsionis. Sementara itu beberapa orang keluar ruangan,
sebagian dengan kotak rokok di tangan, siap turun makan siang. Lantai
tujuh ini memang paling banyak memiliki karyawan. Lobi segera meriah
oleh suara mereka yang antri di depan lift. Tak lama kemudian, Nila
muncul dari ruangan dengan wajah sumringah. Aku menanti berdebar, siap
berebut tempat jika Nila masuk ke dalam lift. Namun yang terjadi, Nila
berjalan lurus menuju seorang laki-laki yang berdiri di depan meja
resepsionis.
“Hai, tepat waktu kamu!” ujar Nila pada laki-laki itu. Lalu
mengucapkan terima kasih pada Sofie, resepsionis yang memanggilnya
melalui telepon internal. Perasaanku ciut. Kekasih atau suaminya?
Kami bersama-sama menunggu lift yang selalu penuh di kala jam makan
siang. Aku tersenyum kepada Nila. Ia membalas senyumku, tapi seperti
lupa kejadian kemarin. Aku tentu tak bermaksud mengingatkan, apalagi di
depan laki-laki lain. Entah kenapa, aku bersyukur Nila tak
memperkenalkan temannya itu. Dan entah kenapa, sewaktu pintu elevator
terbuka, aku tak ikut masuk ke dalamnya. Aku memilih lewat tangga
darurat.
Dalam perjalanan pulang ada yang kurasakan hilang. Tapi seperti
biasa aku tetap singgah di toko roti langganan. Lama aku berdiri,
sampai seorang pramuniaga mengambilkan roti tawar kegemaranku. “Oh ya,
terima kasih. Tapi satu saja.”
Ketika tiba di rumah, Ibu sudah menunggu di meja makan dengan wajah
yang tampak segar. Aku tersenyum dan mengatakan hendak mandi dulu. Isah
menyambut roti tawar yang kubawa seraya bertanya: “Besok pagi mau bawa
berapa tangkup?”
“Seperti biasa satu saja. Isi selai kacang.”
Aku pun mandi dengan perasaan ngungun. Ibu masih di meja makan begitu aku selesai mengenakan baju rumah.
“Ibu buatkan kopi, agar letihmu hilang.”
“Wah, terima kasih.” Aku pun duduk di depannya.
“Kamu janji mau ceritakan sesuatu, bukan?”
Kini aku gelisah. Kemudian mencoba mencari cangkir baru. “Kopinya
dibagi dua saja.” Aromanya begitu wangi menyergap hidung. Mengingatkan
harum kopi Nila kemarin pagi.
Dengan cara yang sungguh mumpuni, Ibu menuang kopi dari satu cangkir
ke cangkir lainnya tanpa tumpah setetes pun. Hebat! Mungkin sebelumnya
sudah biasa melakukannya. Terhadap Ayah, semasa masih hidup. Eh,
bukankah Ayah sudah lama tiada? Tentu sudah lama pula Ibu tak membagi
secangkir kopi menjadi dua.
“Bagaimana tentang perempuan kawan kerjamu?” tanya Ibu.
“Boleh aku minum kopi dulu?” aku mengulur waktu. Aku pun menyeruput, dan… ah! Aku menahan lidahku dalam geletar.
“Pahitkah?” tanya Ibu. Pertanyaan yang tak perlu kujawab. Atau
justru harus kubenarkan? “Ayah tak pernah minum kopi manis. Itu yang
membuat ayahmu kuat, tabah, dan tak mudah putus asa untuk mencapai
keinginannya.”
Mungkinkah Ibu menyindirku? Kini aku harus lebih dulu mengajukan pertanyaan. “Sebenarnya sejak kapan aku gemar roti tawar?’
Ibu nyaris tertawa mendengar pertanyaanku. Mungkin kedengaran aneh.
Tapi aku serius ingin tahu. Kadang-kadang terpikir, apa enaknya roti
tawar? Kata ’tawar’ boleh jadi membuat perasaanku selalu tawar. Kata
’tawar’ menyebabkan segala yang kulakukan berada dalam keragu-raguan:
selalu dalam keadaan tawar-menawar. Sedangkan kopi pahit, sebagaimana
kata Ibu, membentuk seseorang menjadi kuat, tabah, dan tidak putus asa.
Nila menyukai kopi pahit seperti Ayah!
“Pasti Ibu ingat, kapan aku mulai menyukai roti tawar?”
Kini Ibu benar-benar tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar